PENDAHULUAN
Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau
mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu. Insomnia merupakan gangguan tidur
yang paling sering ditemukan. Setiap tahun diperkirakan sekitar 20%-50% orang dewasa
melaporkan adanya gangguan tidur dan sekitar 17% mengalami gangguan tidur yang serius.
Prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67%. Walaupun demikian,
hanya satu dari delapan kasus yang menyatakan bahwa gangguan tidurnya telah didiagnosis oleh
dokter.
Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Hal ini biasanya berhubungan
dengan faktor-faktor stres yang persisten, dapat situasional (seperti kematian atau penyakit) atau
lingkungan (seperti kebisingan). Insomnia kronis adalah setiap insomnia yang berlangsung lebih
dari 6 bulan. Hal ini dapat dikaitkan dengan berbagai kondisi medis dan psikiatri biasanya pada
pasien dengan predisposisi yang mendasari untuk insomnia.
Irwin Feinberg mengungkapkan bahwa sejak meninggalkan masa remaja, kebutuhan akan
tidur siang menjadi relatif tetap. Luce and Segal mengungkapkan bahwa faktor usia merupakan
faktor terpenting yang berpengaruh terhadap kualitas tidur. Telah dikatakan bahwa keluhan
terhadap kualitas tidur sering dengan bertumbuhnya usia. Pada kelompok lanjut usia (40 tahun)
hanya dijumpai 7% kasus yang mengeluh masalah tidur (hanya dapat tidur tidak lebih dari 5 jam
sehari). Hal yang sama di jumpai pada 22% kasus pada kelompok usia 70 tahun. Demikian pula,
kelompok lanjut usia lebih banyak mengeluh terbangun lebih awal dari pukul 05.00 pagi. Selain
itu, terdapat 30% kelompok usia 70 tahun yang banyak terbagnun diwaktu malam hari.
Meskipun kurang tidur, banyak pasien dengan insomnia tidak mengeluh mengantuk di
siang hari. Namun, mereka mengeluhkan rasa lelah dan letih, dengan konsentrasi yang buruk.
Hal ini mungkin berkaitan dengan keadaan fisiologis hyperarousal. Bahkan, meskipun tidak
mendapatkan tidur cukup, pasien dengan insomnia seringkali mengalami kesulitan tidur bahkan
untuk tidur siang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fisiologi Tidur
Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan beredarnya
waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai
irama sirkadian.
Tidur tidak dapat diartikan sebagai manifestasi proses deaktivasi sistem Saraf Pusat. Saat
tidur, susunan saraf pusat masih bekerja dimana neuron-neuron di substansia retikularis
ventral batang otak melakukan sinkronisasi.
Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak pada
substansia ventrikulo retikularis batang otak yang disebut sebagai pusat tidur (sleep center).
Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada
bagian rostral batang otak disebut sebagai pusat penggugah (arousal center).
Stadium 1, berlangsung selama 5% dari keseluruhan waktu tidur. Stadium ini dianggap
stadium tidur paling ringan. EEG menggambarkan gambaran kumparan tidur yang khas,
bervoltase rendah, dengan frekuensi 3 sampai 7 siklus perdetik, yang disebut gelombang
teta.
Stadium 2, berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu tidur. EEG
menggambarkan gelombang yang berbentuk pilin (spindle shaped) yang sering dengan
frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik, lambat, dan trifasik yang dikenal sebagai
gelombang delta. Orang tidur dengan sangat nyenyak, sehingga sukar dibangunkan.
Stadium 4, berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur. Gambaran EEG hampir sama
dengan stadium 3 dengan perbedaan kuantitatif pada jumlah gelombang delta. Stadium 3
dan 4 juga dikenal dengan nama tidur dalam, atau delta sleep, atau Slow Wave Sleep
(SWS)
Sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur. Tidak dibagi-bagi
terang masuk, NSC segera mengeluarkan hormon yang menstimulasi peningkatan temperatur
badan, kortisol dan GH sehingga orang terbangun. Jila malam tiba, NSC merangsang
pengeluaran hormon melatonin sehingga orang mengantuk dan tidur. Melatonin adalah
hormon yang diproduksi oleh glandula pineal. Saat hari mulai gelap, melatonin dikeluarkan
dalam darah dan akan mempengaruhi terjadinya relaksasi serta penurunan temperatur badan
dan kortisol. Kadar melatonin dalam darah mulai meningkat pada jam 9 malam, terus
meningkat sepanjang malam dan menghilang pada jam 9 pagi
Perubahan tidur akibat proses menua
Orang usia lanjut membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk tidur ( berbaring lama di
tempat tidur sebelum tidur) dan mempunyai lebih sedikit/lebih pendek waktu tidur nyenyaknya.
Pada penelitian di laboratorium tidur, orang usia lanjut mengalami waktu tidur yang
dalam lebih pendek, sedangkan tidur stadium 1 dan 2 lebih
polysomnographic didapatkan penurunan yang bermakna dalam slow wave sleep dan rapid eye
movement (REM). Orang usia lanjut juga lebih sering terbangun di tengah malam akibat
perubahan fisik karena usia dan penyakit yang dideritanya sehingga kualitas tidur secara nyata
menurun.
Pada usia lanjut juga terjadi perubahan pada irama sirkadian tidur normal yaitu menjadi
kurang sensitif dengan perubahan gelap dan terang. Dalam irama sirkadian yang normal terdapat
peranan pengeluaran hormon dan perubahan temperatur badan selama siklus 24 jam. Ekskresi
kortisol dan GH meningkat pada siang hari dan temperatur badan menurun di waktu malam.
Pada usia lanjut, ekskresi kortisol dan GH serta perubahan temperatur tubuh berfluktuasi dan
kurang menonjol. Melatonin menurun dengan meningkatnya umur.
Penelitian lain menunjukkan kualitas tidur usia lanjut yang sehat, juga tergantung pada
bagaimana aktivitasnya pada siang hari. Bila siang hari sibuk dan aktif sepanjang hari, pada
malam hari tidak ada gangguan dalam tidurnya, sebaliknya bila siang hari tidak ada kegiatan dan
cenderung tidak aktif, malamnya akan sulit tidur.
Hypnograms memerlihatkan perbedaan karakter tidur pada orang muda dan orang tua.
Dibandingkan dengan orang muda, orang tua cenderung memiliki onset tidur yang lama, tidur
yang terfragmentasi, bangun terlalu dini di pagi hari dan menurunnya tidur tahap 3 dan 4.
B. Definisi Insomnia
Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal kesulitan untuk
memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif yang berlangsung setidaknya
satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau gangguan dalam fungsi individu.
Menurut The International Classification of Sleep Disorders, insomnia adalah kesulitan
tidur yang terjadi hampir setiap malam, disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur
tersebut. Jadi, Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk
tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk melakukannya.
Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu gejala yang memiliki berbagai
penyebab, seperti kelainan emosional, kelainan fisik dan pemakaian obat-obatan. Insomnia
dapat mempengaruhi tidak hanya tingkat energi dan suasana hati tetapi juga kesehatan,
kinerja dan kualitas hidup.
C. Klasifikasi Insomnia
1. Insomnia Primer
Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia atau susah
tidur ini dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita insomnia. Pola
tidur, kebiasaan sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur seringkali menjadi penyebab
dari jenis insomnia primer ini.
2. Insomnia Sekunder
Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya kondisi
medis. Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan dementia dapat
menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari 10 orang. Selain itu masalah
fisik seperti penyakit arthritis, diabetes dan rasa nyeri juga dapat menyebabkan terjadinya
insomnia sekunder ini dan biasanya mempengaruhi 1 dari 10 orang yang menderita
insomnia atau susah tidur. Insomnia sekunder juga dapat disebabkan oleh efek samping
dari obat-obatan yang diminum untuk suatu penyakit tertentu, penggunaan obat-obatan
yang terlarang ataupun penyalahgunaan alkohol. Faktor ini dapat mempengaruhi 1-2 dari
10 orang yang menderita insomnia.
Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik yaitu
International code of diagnosis (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM) IV dan International Classification of Sleep Disorders (ISD).
Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu:
Organik
Non organik
- Dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur)
- Parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti mimpu buruk,
berjalan sambil tidur, dll)
Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder. Insomnia disini
adalah insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah menyebabkan
gangguan fungsi dan sosial.
Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:
1.
2.
3.
4.
3. Etiologi Insomnia
Stres. Kekhawatiran tentang pekerjaan atau peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti
kematian atau penyakit dari orang yang dicintai, perceraian atau kehilangan pekerjaan.
Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia dalam
7. Tatalaksana
1. Non Farmakoterapi
a. Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan mengajarkan cara
untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku ini umumnya direkomendasikan
sebagai terapi tahap pertama untuk penderita insomnia.Terapi tingkah laku meliputi
-
atau beribadah
Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan tidur pada
malam hari.
Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti menghindari
kebisingan
Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit setiap hari
2. Farmakologi
Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan yaitu
benzodiazepine dan non-benzodiazepine.
a. Benzodiazepine (Nitrazepam, Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)
BAB III
PERMASALAHAN
1. Masih minimnya tingkat pengetahuan kelompok lansia tentang insomnia, banyak dari peserta
penyuluhan yang tidak mengetahui tanda dan gejala dari insomnia
2. Banyak dari lansia yang datang berobat mengeluh kesulitan untuk tidur dan meminta obat
tidur
3. Banyak dari lansia yang ingin mengetahui bagaimana mengatasi insomnia tanpa
menggunakan obat
BAB IV
PEMECAHAN MASALAH
Meninjau dari beberapa masalah yang yang ditemukan di lapangan, maka sebaiknya
dilakukan upaya untuk mengurangi masalah-masalah tersebut.Upaya yang dilakukan tentunya
dengan melakukan penyuluhan tentang apa itu insomnia dan perubahan tidur karena proses
menua.
Penyuluhan dilakukan pada tanggal 8 April 2016 pukul 8.00 wita yang dilaksanakan di
aula pertemuan puskesmas unit 1 sumbawa. Kegiatan penyuluhan sendiri diikuti sekitar 30 orang
lansia. Materi penyuluhan berisikan tentang gangguan tidur insomnia mulai dari apa itu
insomnia, klasifikasi insomnia, gejalanya serta tatalaksana. Selain itu juga menjelaskan
bagaimna perubahan pola tidur pada lansia.
Untuk permasalahan yang kedua mengenai banyaknya lansia yang datang berobat
mengeluh kesulitan untuk tidur dan meminta obat dan lansia yang ingin mengetahui bagaimana
mengatasi insomnia tanpa menggunakan obat, hal ini harus disiasati dengan memberikan
pemahaman bahwa dengan bertambahnya usia terdapat penurunan dari periode tidur dan
kebutuhan tidur akan berkurang dengan berlanjutnya usia dan upaya meningkatkan higiene tidur
perlu dilaksanakan di rumah.
BAB V
KESIMPULAN
Insomnia merupakan kesulitan untuk masuk tidur, kesulitan dalam mempertahankan
tidur, atau tidak cukup tidur. Insomnia merupakan gangguan fisiologis yang cukup serius, dimana
apabila tidak ditangani dengan baik dapat mempengaruhi kinerja dan kehidupan sehari-hari.
Insomnia dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti stres, kecemasan berlebihan, pengaruh
makanan dan obat-obatan, perubahan lingkungan, dan kondisi medis.
Pola tidur pada usia lanjut yang berbeda dengan orang dewasa perlu mendapat perhatian
dari para petugas kesehatan. Perubahan struktur tidur juga berbeda pada usia lanjut sehingga
umumnya kurang dapat menikmati tidur nyenyak daripada orang muda. Upaya meningkatkan
higiene tidur perlu dilaksanakan di rumah.
Insomnia dapat ditatalaksana dengan cara farmakologi dan non farmakologi, bergantung
pada jenis dan penyebab insomnia. Obat-obatan yang biasanya digunakan untuk mengatasi
insomnia dapat berupa golongan benzodiazepin dan non. Tatalaksana dengan obat-obatan perlu
diberikan dengan dimulai dosis efektif paling kecil sehingga tidak menimbulkan efek kumulatif.
Untuk tatalaksana insomnia secara non farmakologis dapat berupa terapi tingkah laku dan
pengaturan gaya hidup dan pengobatan di rumah seperti mengatur jadwal tidur.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed: Wiguna, I
Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher
2. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC
3. Maslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
4. Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
5. Insomnia.
(http://www.mayoclinic.com/health/insomnia/DS00187/DSECTION=alternativemedicine Diakses tanggal 25 Oktober 2013)