PENDAHULUAN
Virus HPV saat ini menjadi agen penularan infeksi seksual dengan prevalensi
paling tinggi di dunia dan paling sering menyerang region perianal. Lebih dari 50%
seseorang dengan seksual aktif terinfeksi virus HPV; tetapi pada umunya bersifat
asimtomatik, dan hanya 10% menimbulkan lesi verukosa, papilomatosa, atau
dysplasia. Bagian anus adalah daerah extragenital tersering, dan paling agresif serta
sering terjadi rekurensi pada pasien HIV.
Diantara beberapa pengobatan untuk kondiloma akuminata, yang paling
banyak diberikan obat topical ablasi (podofilin, TCA, dan podofilotoksin),
pembedahan (elektrokauter, laser, koagulasi infrared, krioterapi, dan eksisi) dan
imunoterapi (imiquimod dan cidofovir).
Imiquimod, adalah imidazoquinoline, merupakan agen kemoterapi dan
imunostimulan dengan aktivitas anti-tumor dan anti-virus. Berkerja seperti sebuah
imunomodulator, melalui aktifitas seperti agonis monosit, makrofag, dan sel dendritic,
mengaktivasi imunitas seluler (Th 1) dengan menginduksi sitokin pro-inflamasi,
seperti interferon alfa, TNF-alfa, IL-1, 6, 8, dan 12. Sebagai tambahan, juga
menginduksi proses apoptosis dan aktivasi limfosit B, mempercepat respon imunologi
sel.
Meskipun beberapa literature menyebutkan bahwa imiquimod menurunkan
isidensi rekurensi, memperpanjang periode bebas sakit, dan secara kualitatif dan
kuntitatif menurunkan virus, penelitian tersebut memperlihatkan beberapa keurangan,
yaitu secara umum tidak dilakukan studi prospektif, tidak diacak, dan,sampel kecil.
Penelitian tersebut tidak menyebutkan lokasi lesi serta waktu follow up yang singkat.
Kekecewaan tersebutlah yang menjadi salah satu tujuan penelitian ini, yang
mana mengevaluasi efektivitas imiquimod pada pasien HIV dengan kondiloma
akuminata kronik dan rekuren
KASUS DAN METODE
Ini merupakan penilitian prospektif selama 12 bulan, dimana kream 5%
imiquimod, diresepkan kepada 75 pasien dengan kondiloma perianal rekuren yang
susah dikontrol, dan sudah dilakukan beberapa pengobatan baik topikal dan bedah.
Kriteria eksklusi, pasien yang tidak kembali untuk follow-up, 3 pasien tidak
memakai obat yang diresepkan dan 1 pasien drop out akibat perianal discomfort.
Kemudian, sebanyak 61 pasien (yang telah dirawat sejak tahun 2008) masuk kedalam
kriteria inklusi, dan menggunakan imiquimod selama 8 minggu, setuju untuk
disertakan sebagai subjek penelitian, menandatangani informed-consent, serta mau
datang ke klinik untuk dilakukan follow-up. Terdiri dari 55 laki-laki dan 6 perempuan,
rerata usia 40 tahun , dengan rentang 22 sampai 63 tahun.
Obat diaplikasikan dirumah, dimasukan kedalam canalis anal oleh pasien
sendiri atau orang yang merawat. Sediaan (250 mg) diberikan 3 kali dalam seminggu
selama delapan minggu.
Efektifitas obat akan di evaluasi pada hari ke-15 setelah pengobatan selesai,
kemudian dilakukan pemeriksaan protological, termasuk kolposkopi dan sitology
kanalis anus, pada pasien yang tidak tampak lesi makroskopis. Untuk pemeriksaan ini,
kami menggunakan kolposkopi konvensional dan memberikan asam asetat 5% dan
larutan iodinate untuk mengidentifikasi lesi subklinik. Pada pasien denga lesi yang
menetap, dilakukan pemeriksaan makros dan mikroskopi, diberikan obat lagi selama 8
minggu kemudian dievaluasi 15 hari setelah selesai masa pengobatan.
Saat evaluasi efektifitas produk, dikatakan remisi sempurna adalah ketika
tidak didapatakan lesi klinis atau subklinis, dan remisi parsial adalah ketika secara
klinis mereda sebagian jika dibandingkan saat awal pengobatan. Tanpa respon adalah
jika manifestasi klinis berlanjut atau hanya menurun 50% dari lesi awal.
Kami mengevaluasi lagi semua pasien denngan remisi sempurna melalui
pemeriksan patologi dan kolposkopi dan asam asetat, waktunya adalah enam bulan
setelah akhir pengobatan. Kriteria rekuren adalah saat masih ada lesi secara makro
atau mikroskopik setelah remisis sempurna, Dan kami juga meneliti efek samping
pengobatan.
Akhirnya, kami membandingkan kelompok remisi sempurna dengan remisi
parsial dan kelompok tidak berrespon. Analisis statistik menggunakan independen
sample t-test.
HASIL
Setelah 8 minggu terapi, 33% (20 kasus) remisi sempurna, 51% (31 kasus)
remisi parsial, dan 16% (10 kasus) tanpa remisi. Termasuk pasien yang menggunakan
selama 16 minggu, 46% (28 kasus) remisi sempurna, 44% (27 kasus) remisi parsial
dan 10% (6 kasus) tanpa respon.
Kasus rekuren pada pasien tersebut sebanyak 11 % (3 kasus), 2 diantaranya
menggunakan imiquimod selama 8 minggu dan rekuren dalam 16 dan 24 minggu,
kemudian satunya menggunakan selama 16 minggu dan kemudian muncul lesi dalam
24 minggu.
Berdasarkan kadar serum sel T CD4, secara signifikan tidak ada perbedaan
pada masing-masing kelompok penelitian (p=0.110), antara kelompok dengan remisi
sempurna setelah 16 minggu pengobatan (rerata kadar sel T CD4: 398 sel/mm 3) dan
kelompok dengan lesi yang menetap (324 sel/mm3).
Efek samping dilaporkan 45% dari jumlah total pasien. Yang paling sering
dikeluhkan luka bakar sedang (25%), intense burning (7%), dermatitis ulseratif (8%),
dan respon sistemik (5%). Efek samping sistemik terjadi pada dua pasien. Satu
dilaporkan sindrom flu dan satu dengan eritema nodusum pada kaki kanan.
DISKUSI
Pada literature lain terjadi perdebatan mengenai terapi terbaik untuk
kondiloma akuminata pada anus, beberapa penulis mengindikasikan pemberian
substansi topical merupakan terapi pertama, dan yang lain adalah ablasi bedah.
Penelitian kami menunjukan hasil yang lebih baik dengan terapi topical sebagai terapi
awal (podofilin 25% dibawah line pectinata dan TCA 95% diatas lineapectinata),
dengan 50% terjadi remisi sempurna dan dua kali lipat periode bebas penyakit
dibanding dengan ablasi bedah. Rerata rekuren 71% dengan ablasi terapi dan 51%
dengan topical, menempatkan pembedahan pada urutan kedua setelah topical.
Ketika dibandingkan dengan penelitian yang menggunakan teknik ablasi
dikombinasikan imiquimod, maka merupakan first line treatment. Kelompok
pembedahan 45 sampai 79% terjadi rekurensi, 65% dengan infrared, dan hanya 26
sampai 29% pada kelompok imiquimod.
CRITICAL APPRAISAL
WORKSHEET CRITICAL APPRAISAL
A. ARE THE STUDY RESULTS VALID ?
1. Was the assignment of patients to treatment groups truly
randomized?
2. Were all patients who entered the study accounted for
appropriately at the end?
3. Were patients, physicians, and those doing the
assessments blind to treatment?
4. Was similarity between group documented?
5. Aside from intervention, were the groups treated in the
same way?
No
Yes
No
Yes
Yes
C.
1.
2.
3.
JOURNAL READING
Di presentasikan oleh :
Fajar Nursulistyo
09711006
Pembimbing :
dr. Rahajeng Musy, Sp.KK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT DAN KELAMIN
RSUD DR. SOEDONO MADIUN
2015