Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

DISLOKASI SENDI BAHU

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


Departemen Bedah
Rumah Sakit Moh.Ridwan Meuraksa

Diajukan Kepada Pembimbing :


dr. Abidin Sp.OT

Disusun Oleh :
Dicky Lesmana
110.2010.077

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI JAKARTA
2015

LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
Dislokasi Sendi Bahu

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


Rumah Sakit Moh.Ridwan Meuraksa

Telah disetujui
Tanggal :
.............................................................
Disusun oleh :
Dicky Lesmana
110.2010.077

Pembimbing

dr. Abidin , Sp.OT

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan pembuatan Referat yang berjudul Dislokasi Sendi Bahu yang
merupakan salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi
Dokter Departemen Bedah di Rumah Sakit Moh.Ridwan Meuraksa .
Dalam menyelesaikan Referat ini penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada
dr.Abidin , Sp.OT sebagai dokter pembimbing. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
Referat ini banyak terdapat kekurangan dan juga masih jauh dari kesempurnaan, sehingga
penulis mengharap kritik dan saran dari pembaca.
Semoga Referat ini dapat bermanfaat bagi teman-teman pada khususnya dan semua
pihak yang berkepentingan bagi pengembangan ilmu kedokteran pada umumnya. Amin.

Jakarta, 22 Juni 2015

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR JUDUL .......................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1....................................................................................................Latar Belakang
................................................................................................... 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 3
BAB III.KESIMPULAN ................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 17

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dislokasi adalah suatu keadaan dimana terjadi pergeseran secara
total dari permukaan sendi dan tidak lagi bersentuhan (Apley, 1995).
Dislokasi

menyebabkan

terlepasnya

kompresi

jaringan

tulang

dari

kesatuan sendi. Dislokasi bisa mengenai komponen tulangnya saja yang


bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang
seharusnya. Dislokasi yang sering terjadi adalah dislokasi sendi bahu dan
sendi pinggul. Sendi Bahu merupakan salah satu sendi besar yang paling
sering berdislokasi. Ini disebabkan karena banyaknya rentang gerakan
sendi

bahu,mangkuk

sendi

glenoid

yang

dangkal

serta

adanya

kelonggaran ligament. Dislokasi bahu dapat terjadi pada bagian anterior


(paling sering, ditemukan pada 95% kasus), posterior atau errecta.
Dislokasi anterior terjadi biasanya pada posisi sendi bahu abduksi dan
external rotasi.

Dislokasi sendi bahu sering ditemukan pada orang

dewasa, jarang ditemukan pada anak-anak (Apley,1995)


Tingkat kejadian dislokasi bahu adalah sekitar 24 per 100.000 orang
per tahun di dunia. Dan sementara ini telah dilaporkan terdapat
peningkatan angka kejadian lebih dari dua kali lipat dari tingkat
sebelumnya untuk dislokasi bahu pada populasi umum di Amerika Serikat,
dibandingkan dengan angka kejadian cedera muskuloskeletal yang
lainnya yang umum didapati di ruang gawat darurat, seperti luka pada
lutut, punggung bawah dan kaki. (Owens, 2010)
Dari sebuah studi pada penderita dislokasi yakni didapatkan dari
71,8 persen laki-laki yang mengalami dislokasi , 46.8 persen penderita
1

berusia antara 15-29 tahun; 48,3 persen terjadi akibat kegiatan olahraga,
dan 37 persen dari semua cedera olahraga yaitu pada olahraga sepakbola
dan basket. Pada wanita, tingkat dislokasi yang lebih tinggi terlihat di
antara penderita yang berusia > 60 tahun. Peningkatan ini terutama
diakibatkan oleh kejadian terjatuh di rumah (Owens, 2010)
Tanda-tanda dislokasi sendi bahu yaitu, sendi bahu tidak dapat
digerakakkan; penderita mengendong tangan yang sakit dengan tangan
yang lainnya; penderita tidak bisa memegang bahu yang berlawanan;
kontur bahu hilang, bongkol sendi tidak teraba pada tempatnya; lengkung
bahu hilang; tidak dapat digerak-gerakkan; lengan atas sedikit abduksi;
lengan bawah sedikit supinasi (Ardi, 2011)
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah sebagai berikut:
1 Untuk mengetahui tentang dislokasi regio shoulder termasuk definisi,
etiologi, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis.
2 Mendapatkan

keterampilan

dalam

melakukan

anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan menggunakan pemeriksaan penunjang yang


dibutuhkan dalam penegakkan diagnosis dislokasi regio shoulder.
3 Mengkaji ketepatan dan kesesuaian kasus yang dilaporkan dengan
teori berdasarkan literatur.
1.2 Batasan Masalah
Penulisan referat ini dibatasi pada definisi, epidemiologi, etiologi,
patogenesis, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, diagnosis, diagnosis
pembanding, komplikasi, penatalaksanaan, dan prognosis dislokasi sendi bahu.
Adapun fokus pembahasan referat ini yaitu peranan bedah orthopedi pada kasus
dislokasi sendi bahu.
1.3 Tujuan Penulisan
Referat ini disusun sebagai pemenuhan tugas kepaniteraan klinik Referat
ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam menambah pengetahuan mengenai
pada kasus dislokasi sendi bahu, Selain itu, juga dapat digunakan sebagai rujukan
demi kemajuan pelayanan .
1.4 Metode Penulisan

Dalam penulisan referat ini digunakan metode deskriptif analisis dengan


menggunakan kajian literatur dan hasil penelitian terbaru.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Bahu

1) Shoulder Joint
Gerakan-gerakan yang terjadi di gelang bahu dimungkinkan
oleh sejumlah sendi yang saling berhubungan erat, misalnya sendi
kostovertebral atas, sendi akromioklavikular, sendi sternoklavikular,
permukaan pergeseran skapulotorakal dan sendi glenohumeral atau
sendi

bahu.

Gangguan

gerakan

didalam

sendi

bahu

sering

mempunyai konsekuensi untuk sendi-sendi yang lain di gelang bahu


dan sebaliknya (Spalteholz, 2000)
Sendi bahu dibentuk oleh kepala tulang humerus dan
mangkok sendi, disebut cavitas glenoidalis. Sendi ini menghasilkan
gerakan fungsional sehari-hari seperti menyisir, menggaruk kepala,
mengambil dompet dan sebagainya atas kerja sama yang harmonis
dan

simultan

dengan

sendi-sendi

lainnya.
3

Cavitas glenoidalis sebagai mangkok sendi bentuknya agak cekung


tempat melekatnya kepala tulang humerus dengan diameter cavitas
glenoidalis yang pendek kira-kira hanya mencakup sepertiga bagian
dan kepala tulang sendinya yang agak besar, keadaan ini otomatis
membuat sendi tersebut tidak stabil namun paling luas gerakannya.
Beberapa karakteristik daripada sendi bahu, yaitu: (Sufitmi,
2004)

Perbandingan antara permukaan mangkok sendinya


dengan

kepala sendinya tidak sebanding.


Kapsul sendinya relatif lemah.
Otot-otot
pembungkus
sendinya

relatif

lemah,

seperti otot supraspinatus, infrapinatus, teres minor dan

subscapularis.
Gerakannya paling luas.
Stabilitas sendinya relatif kurang stabil.

Dengan melihat keadaan sendi tersebut, maka sendi bahu


lebih mudah mengalami gangguan fungsi dibandingkan
dengan
sendi lainnya.
2) Kapsul Sendi
Kapsul sendi terdiri atas 2 lapisan (Haagenars)
a) Kapsul Sinovial
lapisan bagian dalam dengan karakteristik mempunyai jaringan
fibrokolagen agak lunak dan tidak memiliki saraf reseptor dan
pembuluh darah.Fungsinya menghasilkan cairan sinovial sendi
dan sebagai transformator makanan ke tulang rawan sendi. Bila
ada gangguan pada sendi yang ringan saja, maka yang pertama
kali mengalami gangguan fungsi adalah kapsul sinovial, tetapi
karena kapsul tersebut tidak memiliki reseptor nyeri, maka kita

tidak merasa nyeri apabila ada gangguan, misalnya pada artrosis


sendi (Spalteholz, 2000)
b) Kapsul Fibrosa
Karakteristiknya berupa jaringan fibrous keras dan memiliki saraf
reseptor dan pembuluh darah. Fungsinya memelihara posisi dan
stabititas sendi, memelihara regenerasi kapsul sendi, Sehingga
dapat

merasakan

posisi

sendi

dan

merasakan

nyeri

bila

rangsangan tersebut sudah sampai di kapsul fibrosa. (Spalteholz,


2000)

3) Kartilago
Kartilago atau ujung tulang rawan sendi berfungsi sebagai
bantalan sendi, sehingga tidak nyeri sewaktu penderita berjalau.
Namun demikian pada gerakan tertentu sendi dapat nyeri akibat
gangguan yang dikenal dengan degenerasi kartilago. (Spalteholz,
2000)
3) Biomekanika sendi bahu
Gerakan dan luas gerak sendi bahu
Gerakan-gerakan

dari

bahu

dibagi

dua,

yang

didasarkan

pada

kelompok otot penggeraknya. Gerakan tersebut antara lain gerakan


skapula dan gerakan dari humerus. Gerakan-gerakan tersebut antara
lain : (Nordin, 1989)
1) Gerakan skapula
a. Elevasi dan depresi
Elevasi yaitu gerakan skapula ke atas sejajar dengan vertebra,
dapat dilakukan dengan mengangkat bahu ke atas. Sedangkan
depresi adalah kembalinya bahu dari posisi elevasi. Gerakan
vertikal disertai dengan tilting. Total luas geraknya adalah 10
12 cm.
b. Abduksi (protraksi) dan Aduksi (retraksi)
5

Protraksi adalah gerakan kelateral skapula menjauhi vertebra.


Gerakan ini dapat terjadi ketika bahu melakukan gerakan
mendorong ke depan. Retraksi yaitu gerakan skapula ke medial,
dapat dilakukan dengan menarik bahu ke belakang. Total luas
geraknya adalah kira-kira 15 cm.
c. Upward rotation dan downward rotation
Upward rotation yaitu gerakan rotasi dari scapula pada bidang
frontal sehingga fossa glenoidalis bergerak ke atas. Sedangkan
downward rotation yaitu gerakan kembali dari upward rotation. Total
luas gerak 600 , displacement sudut bawah skapula 10 12 cm dan
sudut superolateral 5 6 cm.
4. Upward tilt dan reduction of upward tilt.
Upward tilt yaitu gerakan skapula pada aksis frontal horisontal
yang menyebabkan permukaan posterior skapula bergerak ke atas.
Gerakan ini terjadi oleh karena rotasi dari klavikula, sehingga bagian
superior

skapula

bergerak

naik-turun

dan

bagian

inferiornya

bergerak maju-mundur. Hal ini hanya terjadi jika bahu hiperekstensi.


Reduction of upward tilt yaitu gerakan kembali dari upward tilt.
2) Gerakan humerus
Posisi awal berdiri tegak dengan lengan di samping tubuh.
a. Fleksi dan ekstensi
Feksi adalah gerakan lengan atas dalam bidang sagital ke depan
dari 00 ke 1800. Gerak yang berlawanan ke posisi awal (00) disebut
gerak depresi lengan. Gerak ekstensi adalah gerak dari lengan
dalam bidang sagital ke belakang dari 00 ke kira-kira 600. Gerakan
fleksi dibagi menjadi 3 fase. Fase 1, fleksi 00 sampai 500 - 600.
Otot yang terlibat yaitu deltoid anterior, korakobrakhialis, pektoralis
mayor serabut klavikular. Gerakan fleksi bahu ini dibatasi oleh
tegangan dari ligamen korakohumeralis dan tahanan yang dilakukan
oleh teres minor, teres major dan infraspinatus. Fase II, Fleksi 600 1200.
Pada fase ini diikuti gerakan shoulder girdle, yaitu rotasi 600 dari
skapula, sehingga glenoid cavity menghadap ke atas dan ke depan,
6

dan aksial pada sendi sternoklavikular dan akromioklavikular, setiap


sendi membantu 300. Gerakan ini melibatkan otot trapezius,
serratus anterior. Fleksi pada sendi skapulothorakis dibatasi oleh
tahanan lattisimus dorsi dan serabut kostosternal dari pektoralis
mayor. Fase III, fleksi 1200 - 1800. Jika hanya satu lengan yang
fleksi dari spinal kolumn. Bila kedua lengan fleksi maksimum akan
terjadi gerakan lordosis dari lumbal melebihi normal.
b. Abduksi dan adduksi
Gerak abduksi adalah gerak dari lengan menjauhi tubuh
dalam bidang frontal dari 00 ke 1800 Gerak adduksi adalah gerak
kebalikan dari abduksi yaitu gerak lengan menuju garis tengah
tubuh. Tigafase gerakan abduksi, fase I, abduksi 00 900
merupakangerakan start abduksi dari sendi bahu. Otot-otot yang
terlibat yaitu deltoid middle dan supraspinatus. Pada akhir abduksi
900

shoulder

mengunci

sebagai

hasil

greater

tuberosity

menyentuh superior margin dari glenoid. Fase II, abduksi 900


1500 , ketika abduksi 900, disertai fleksi sehingga dapat aduksi
sampai 1200 shoulder mengunci dan abduksi hanya dapat maju
dengan disertai gerakan shoulder girdle. Gerakan ini adalah ayunan
dari skapula dengan rotasi tanpa mengunci, sehingga kavitas
glenoidalis menghadap agak keatas dengan luas gerakan 600 Aksial
rotasi pada sendi sternoklavikularis dan akromioklavikularis, setiap
sendi membantu gerakan 300. otot- otot yang terlibat ialah
trapezius atas dan bawah dan seratus anterior. Pada gerakan 1500 ,
yang dihasilkan oleh rotasi skapula diketahui dengan adanya
tahanan peregangan dari otot-otot abduktor yaitu latissimus dorsi
dan pektoralis mayor. Fase III, abduksi 1500 1800 dalam fase ini,
abduksi mencapai posisi vertikal dan disertai gerakan spinal
kolumn . Bila gerakan hanya satu tangan disertai pemelesetan
kelateral dari spinal kolumn yang dihasilkan oleh otot spinal
lawannya. Jika kedua lengan abduksi bersama-sama sampai 1800
akan terjadi lumbar lordosis yang dipimpin oleh otot spinal. (Nordin,
1989)
7

c. Fleksi dan Ekstensi lumbar


Gerak fleksi horisontal adalah gerak dari lengan dalam bidang horisontal
mulai 00 1350. Gerak ekstensi horisontal ialah gerak lengan kebelakang
dalam bidang horisontal dari 00 450.
d. Rotasi
Rotasi dengan lengan disamping tubuh, siku dalam fleksi, bila lengan
bawah digerakkan menjauhi garis tengah tubuh disebut eksorotasi, bila
lengan bawah digerakkan menuju garis tengah tubuh disebut endorotasi.
Luas geraknya 900 .
Rotasi dengan lengan dalam abduksi 900 dan telapak tangan menghadap
kebawah, bila lengan diputar kearah kranial disebut eksorotasi dan bila
kearah kaudal disebut endorotasi. Luas geraknya 900 . ( Nordin, 1989)
Pada sendi bahu meliputi :
1) Pada gerakan endorotasi caput humeris roll searah dengan
gerakan endorotasi dan slidenya ke posterior.
2) Pada gerakan abduksi caput humeris roll searah dengan gerakan
abduksi dan slidenya ke caudal.
3) Pada gerakan eksorotasi caput humeris roll searah gerak
eksorotasi dan slide ventral agak medial
3.2 Definisi dislokasi
Dislokasi adalah suatu keadaan dimana terjadi pergeseran secara
total dari permukaan sendi. Dislokasi ditandai dengan keluarnya bongkol
sendi dari mangkok sendi atau keluarnya kepala sendi dari mangkoknya.
Bila hanya sebagian yang bergeser disebut subluksasi dan bila seluruhnya
disebut dislokasi. Dikatakan Recurrent apabila terjadi suatu dislokasi
berulang sedangkan Habitual apabila dislokasi dapat diprofokasikan

sendiri oleh penderitanya, keadaan ini bersifat kongenital atau akibat


injeksi berkali-kali (biasanya antibiotika) ke dalam otot (Apley, 1995).
Sendi Bahu merupakan salah satu sendi besar yang paling sering
berdislokasi. Ini disebabkan karena beberapa faktor, dangkalnya mangkuk
sendi glenoid; besarnya rentang gerakan; keadaan yang mendasari
misalnya ligamentosa yang longgar atau displasia glenoid; dan mudahnya
sendi itu terserang selama aktivitas yang penuh tekanan pada tungkai
atas (Apley, 1995)
3.3 Etiologi dislokasi
Dari segi Etiologi, Dislokasi dapat disebabkan oleh:

Cedera olah raga. Olahraga yang biasanya menyebabkan dislokasi


adalah sepak bola dan hoki, serta olah raga yang beresiko jatuh
misalnya : terperosok akibat bermain ski, senam, volley. Pemain
basket dan pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi
pada tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap

bola dari pemain lain.


Trauma yang tidak berhubungan dengan olah raga seperti benturan
keras pada sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan

dislokasi.
Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang

licin
Patologis : terjadinya tear ligament dan kapsul articuler yang
merupakan kompenen vital penghubung tulang.(Sufitmi, 2004)

3.4 Patofisiologi dislokasi


Dislokasi terjadi karena kekuatan yang menyebabkan gerakan
rotasi eksterna dan ekstensi sendi bahu. Kaput humerus didorong
kedepan dan menimbulkan avulsi kapsul sendi dan kartilago beserta
periosteum labrum glenoidalis bagian anterior. (crenshaw, 1992 ;
Rasjad, 2007)
Pada dislokasi berulang labrum dan kapsul sering terlepas dari
lingkar anterior glenoid. Tetapi pada beberapa kasus labrum tetap
utuh dan kapsul serta ligamentum glenohumerus keduanya terlepas
9

atau terentang kearah anterior dan inferior. Selain itu mungkin ada
indentasi pada bagian posterolateral kaput humerus (lesi HillSachs), yaitu suatu fraktur kompresi akibat kaput humerus menekan
lingkar glenoid anterior setiap kali mengalami dislokasi. (Rasjad,
2007)
Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada bagian lengan.
Humerus terdorong kedepan , merobek kapsul atau menyebabkan
tepi glenoid teravulsi. Kadang-kadang bagian posterolateral kaput
hancur. Mesti jarang, prosesus akromium dapat mengungkit kaput
ke bawah dan menimbulkan luksasio erekta (dengan tangan
mengarah ; lengan ini hampir selalu jatuh membawa kaput ke posisi
di bawah karakoid).
3.5 Klasifikasi dislokasi
1. Dislokasi anterior
Dislokasi

anterior

disebut

juga

sebagai

dislokasi

pregnoid,

subkorakoid dan subklavikuler. Dislokasi bahu anterior merupakan


kondisi dimana keluarnya caput humeri dari cavitas artikulare sendi
bahu yang dangkal. Dislokasi sendi bahu anterior biasanya terjadi
setelah cedera akut karena lengan dipaksa berabduksi, berotasi
eksterna dan ekstensi sendi bahu.
2. Dislokasi posterior
Dislokasi posterior lebih jarang ditemukan dan biasanya disebabkan
karena trauma langsung pada sendi bahu dalam keadaan rotasi
interna.
3. Dislokasi inferior atau luksasi erekta
Kaput humerus mengalami jepitan di bawah glenoid dimana lengan
mengarah ke atas sehingga terjadi dislokasi inferior.
4. Dislokasi disertai dengan fraktur tuberositas mayor humerus
Jenis ini biasanya adalah dislokasi tipe anterior disertai fraktur.
Apabila reposisi pada dislokasi, biasanya fraktur akan tereposisi dan
melekat kembali pada humerus.

10

3.6 Diagnosis
Diagnosis kasus dislokasi bahu anterior ditegakkan melalui
anamnesis (autoanamnesis atau alloanamnesis), pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis dapat memberikan informasi
riwayat trauma dan mekanisme terjadinya trauma tersebut, sehingga
dapat

lebih

membantu

menegakkan

diagnosis

dan

mengetahui

penyulit-penyulit yang mungkin telah ada dan yang dapat muncul


kemudian. Selain itu juga diperlukan informasi mengenai riwayat
penyakit

pasien

dan

riwayat

trauma

sebelumnya,

untuk

mempertimbangkan penanganan yang akan diambil. (Crenshaw, 1992;


Rasjad, 2007)
Dari pemeriksaan fisik ditemukan beberapa tanda diantaranya
adanya nyeri, terdapat tonjolan pada bagian depan bahu, posisi lengan
abduksi eksorotasi, tepi bahu tampak menyudut, nyeri tekan, dan
adanya gangguan gerak sendi bahu. Ada 2 tanda khas pada kasus
dislokasi sendi bahu anterior ini yaitu sumbu humerus yang tidak
menunjuk ke bahu dan kontur bahu berubah karena daerah dibawah
akromion kosong pada palpasi. Penderita merasakan sendinya keluar
dan tidak mampu menggerakkan lengannya dan lengan yang cedera
ditopang oleh tangan sebelah lain dan ia tidak dapat menyetuh
dadanya. Lengan yang cedera tampak lebih panjang daripada normal,
bahu terfiksasi sehingga mengalami fleksi dan lengan bawah berotasi
kearah interna. Posisi badan penderita miring kearah sisi yang sakit.
Pemeriksa terkadang dapat membuat skapula bergerak pada dadanya
namun tidak akan dapat menggerakkan humerus pada scapula. Jika
pasien tidak terlalu banyak menggerakka bahunya , maka pada kasus
ini kaput humerus yang tergeser dapat diraba dibawah prosesus
korakoideus (Crenshaw, 1992).
Diagnosis klinik untuk kasus dislokasi sendi bahu anterior ini
dapat menggunakan tanda cemas (apprehension sign). Pemeriksaan ini
dilakukan dengan cara mengangkat lengan kedalam abduksi, rotasi
11

luar dan kemudian ekstensi secara hati-hati dalam posisi duduk atau
berbaring. Pada saat kritis pasien akan merasa bahwa kaput humerus
seperti akan telepas kebagian anterior dan tubuhnya menegang karena
cemas. Uji ini harus diulangi dengan menekan bagian depan bahu,
dimana dengan manuver ini pasien akan merasa lebih aman dan tanda
cemasnya negatif (Rasjad, 2007)
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah rontgen
foto bahu anteroposterior (AP) dan lateral. Rontgen bagian AP akan
memperlihatkan bayangan yang tumpang tindih antara kaput humerus
dan fossa glenoid, kaput biasanya terletak di bawah dan medial
terhadap mangkuk sendi. Foto lateral yang diarahkan pada daun
skapula akan memperlihatkan kaput humerus keluar mangkuk sendi
(Apley, 2010). Selain itu juga dianjurkan melakukan pemeriksaan
pandangan oblik agar dapat dipastikan tidak terdapat dislokasi
posterior kasus.Diagnosis banding dari kasus dislokasi anterior ini juga
dapat disingkirkan dengan pemeriksaan pandangan oblik.Pemeriksaan
pandangan oblik memang lebih sulit dilakukan namun lebih mudah
diintepretasi (Sufitmi, 2004)
3.7 Gambaran Klinis
Didapatkan nyeri yang hebat serta gangguan pergerakan sendi
bahu. Kontur sendi bahu menjadi rata karena kaput humerus bergeser ke
depan. Penderita mengendong tangan yang sakit dengan tangan yang
lainnya; penderita tidak bisa memegang bahu yang berlawanan, bongkol
sendi tidak teraba pada tempatnya; lengkung bahu hilang;

bahu tidak

dapat digerak-gerakkan; lengan atas sedikit abduksi; lengan bawah


sedikit supinasi.

3.8 Penanganan
Penanganan Umum
Penanganan umum untuk semua pasien trauma tetap berpegang
pada

prinsip

ATLS

(Advanced

Trauma

Life

Support)

yakni

selalu
12

menangani hal-hal yang mengancam nyawa terlebih dahulu meliputi


airway, breathing dan circulation. Pada dislokasi akut jarang diperlukan
tindakan terbuka, meskipun demikian tindakan yang dilakukan dengan
paksa harus dilakukan secara hati-hati karena dapat menyebabkan
kerusakan jaringan yang lebih berat ataupun komplikasi fraktur. Yang
perlu diingat adalah dapat terjadi interposisi jaringan lunak yang
menghalangi usaha reposisi kita yang sering kali memaksa kita untuk
melakukan tindakan terbuka ( Crenshaw, 1992)
Dislokasi akut semestinya dilakukan reposisi sesegera mungkin
untuk mencegah komplikasi lebih lanjut, meskipun perlu disadari reposisi
yang segera ini belum menjamin bahwa komplikasi lanjut (seperti frakturdislokasi, cedera saraf, cedera pembuluh darah, dll) tidak akan terjadi.
Tindakan reposisi sering kali memerlukan bantuan anestesi agar tidak
terasanya nyeri, meskipun demikian kadang dapat dilakukan tanpa
pembiusan yaitu pada periode shock jaringan.
Closed reduction
Ekstremitas superior (Shoulder)
Penatalaksanaan kasus dislokasi anterior bahu dilakukan secara
konservatif dan operatif. Terapi cedera ini secara konservatif sering
memberikan hasil yang memuaskan bila tidak disertai cedera lain
didaerah tersebut seperti fraktur pada caput humeri atau tuberculum
majus dan cedera neuromuscular. Pilihan terapi konservatif berupa
reposisi tertutup dengan manuver Kocher (siku posisi 90 dan dilakukan
traksi sesuai garis humerus. Lakukan rotasi lateral, kemudian adduksi lalu
lakukan rotasi medial abduksi), immobilisasi dengan verban Velpeau atau
collar cuff selama lebih kurang 3 minggu.

13

Reduksi dislokasi harus segera dilakukan untuk kasus dislokasi anterior


bahu yang baru terjadi. Reduksi segera ini dapat dilakukan dengan 2
metode (Crenshaw, 1992 ; Rasjad, 2007) :
1. Metode Stimson
Metode ini mudah dilakukan dan tidak memerlukan anestesi .Penderita
diminta tidur telungkup dengan lengan yang terkena dibiarkan
menggantung ke bawah dengan memberikan beban tergantung dari
kekuatan otot si penderita yang diikatkan pada pergelangan tangan.
Pada saat otot bahu dalam keadaan relaksasi, diharapkan terjadi
reposisi akibat berat lengan yang tergantung disamping tempat tidur
tersebut. Metode ini dilakukan selama 10-15 menit (Wibowo, 1995)

14

Cara reposisi dislokasi bahu dengan metode Stimson


2. Metode Hippocrates
Metode ini dilakukan jika metode stimson tidak memberikan hasil
dalam waktu 15 menit. Reposisi dilakukan dalam keadaan anestesi
umum. Lengan pasien ditarik kearah distal punggung dengan sedikit
abduksi, sementara kaki penolong berada diketiak pasien untuk
mengungkit kaput humerus kearah lateral dan posterior. Setelah
reposisi,

bahu

dipertahankan

dalam

posisi

endorotasi

dengan

penyangga ke dada selama paling sedikit 3 minggu.

Untuk kedua metode ini, pasien diminta mengabduksikan lengannnya


secara lembut kemudian lakukan pemeriksaan untuk memastikan tidak
ada saraf aksilaris atau muskulokutaneus yang cedera. Lakukan
kembali pemeriksaan Rontgen untuk konfirmasi.

Open reduction (Crenshaw, 1992)


Indikasi

Bila gagal dicapai reposisi anatomis yang dikehendaki

Bila hasil reposisi tidak stabil. Biasanya bila ada fragment tulang
(fraktur dilokasi)

Terjadi cedera saraf setelah tindakan reposisi tertutup


15

Adanya cedera vascular sebelum reposisi dan masih tetap terjadi


setelah reposisi

Kasus lama (neglected case). Operasi dilakukan dengan metode


Bristow. labium glenoid dan kapsul yang robek dan metode PuttiPlatt untuk memendekkan kapsul anterior dan subskapularis dengan
perbaikan tumpang tindih. Metode operasi lain yang dilakukan
adalah metode Bankart untuk memperbaiki.

3.9 Komplikasi (Rasjad, 2007)


Komplikasi yang dapat terjadi pada dislokasi anterior adalah timbulnya
dislokasi kambuhan, lesi pleksus brakialis dan nervus aksilaris, serta
interposisi tendo bisep kaput longum. Robekan arteri aksilaris jug dapat
terjadi. Langkah antisipatif yang dapat dilakukan sebelum dirujuk
adalah dengan melakukan penekanan kuat pada aksila. Komplikasi
lanjut dapat berupa kaku sendi dan dislokasi rekurens. Dislokasi
rekuren anterior terjadi karena pengobatan awal (immobilisasi) yang
tidak adekuat sehingga terjadi dislokasi. Dislokasi terjadi karena
adanya titik lemah pada selaput sendi disebelah depan dan terjadi
karena trauma yang ringan. Dislokasi rekuren dapat mudah terjadi
apabila lengan dalam keadaan abduksi, ekstensi dan lateral rotasi
(Appley, 1995)

DAFTAR PUSTAKA

1. Apley, A Graham & Solomon, Louis. 1995. Ortopedi dan Fraktur


sistem Apley. Jakarta : Widya Medika.
2. Brett Owens, MD, study co-author. March, 2010. Studies show high
rates of shoulder dislocation in young men and elderly women an
orthopedic surgeon at the Keller Army Hospital at West Point, New York
16

and Associate Professor at the Uniformed Services University of Health


Sciences
3. Crenshaw. AH:Dislocation in Campbells Operative Orthopaedics,8th
ed. Vol II 1992.Mosby Year Book, St.Louis Baltimore Boston Chicago
London Philadelphia Sydney Toroto.
4. Eko Ardi P, M.Subhan Zuhdi, Tony Wahyu P, Satrio Yudi Er.2011.
Dislokasi Pada Sendi Bahu. Digitasl Library USU.
5. Hardianto Wibowo, dr, Pencegahan dan penatalaksaan cedera
olahraga, cetakan I, EGC, 1995.
6. Nordin, M and Frankel H victor : Basic Biomechanic of the
Muskuloskeletal system. Lea and Febriger Philadelphia, London , tahun
1989 , halaman 225-234.
7. Rasjad, Chairuddin.Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi edisi V.2007.
Yarsif Watampone : Jakarta.
8. Sufitni. Cedera pada Extremitas Superior. Anatomi Fakultas
Kedokteran.2004.Universitas Sumatera Utara.
9. Werner Spalteholz, 2000. Hand atlas of human anatomy, seven
edition in English. JB Lippincott Company

17

Anda mungkin juga menyukai