Anda di halaman 1dari 6

Nama

Putri Saidah

NIM

140513600928

Prodi

S1-Pendidikan Teknik Otomotif (B1)

A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia tersebar dari sabang sampai merauke, terdiri dari berbagai
macam agama, suku bangsa, budaya, dan ras. Oleh karena itu, masyarakat
Indonesia disebut masyarakat majemuk atau multiculture. Kemajemukan
masyarakat dapat menimbulkan konflik sosial, tetapi jika berjalan secara selaras,
serasi, dan harmonis akan tercipta integrasi social. Indonesia dikenal dengan
kemajemukan masyarakat, baik dari sisi etnisitas maupun budaya serta agama dan
kepercayaannya.
Kemajemukan juga menjangkau pada tingkat kesejahteraan ekonomi,
pandangan politik serta kewilayahan, yang semua itu sesungguhnya memiliki arti
dan peran strategis bagi masyarakat Indonesia. Meski demikian, secara bersamaan
kemajemukan masyarakat itu juga bersifat dilematis dalam kerangka penggalian,
pengelolaan, serta pengembangan potensi bagi bangsa Indonesia untuk menapaki
jenjang masa depannya. Kemajemukan masyarakat Indonesia dapat berpotensi
membantu bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang bersama.
A. Kemajemukan Masyarakat di Indonesia
Istilah Masyarakat Indonesia Majemuk pertama kali diperkenalkan oleh
Furnivall dalam bukunya Netherlands India: A Study of Plural Economy (1967),
untuk menggambarkan kenyataan masyarakat Indonesia yang terdiri dari
keanekaragaman ras dan etnis sehingga sulit bersatu dalam satu kesatuan sosial
politik.

Kemajemukan

masyarakat

Indonesia

ditunjukkan

oleh

struktur

masyarakatnya yang unik, karena beranekaragam dalam berbagai hal.


Faktor yang menyebabkan kemajemukan masyarakat Indonesia adalah sebagai
berikut:

a) Keadaan geografi Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan yang


terdiri dari lima pulau besar dan lebih dari 13.000 pulau kecil sehingga hal
tersebut menyebabkan penduduk yang menempati satu pulau atau sebagian
dari satu pulau tumbuh menjadi kesatuan suku bangsa, dimana setiap suku
bangsa memandang dirinya sebagai suku jenis tersendiri.
b) Letak Indonesia diantara Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik serta
diantara Benua Asia dan Australia, maka Indonesia berada di tengahtengah lalu lintas perdagangan. Hal ini mempengaruhi terciptanya
pluralitas/kemajemujkan agama.
c) Iklim yang berbeda serta struktur tanah di berbagai daerah kepulauan
Nusantara ini merupakan faktor yang menciptakan kemajemukan regional.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa kemajemukan Indonesia tampak pada
perbedaan warga maryarakat secara horizontal yang terdiri atas berbagai
ras, suku bangsa, agama, adat dan perbedaan-berbedaan kedaerahan.
Menurut Robertson (1977), ras merupakan pengelompokan manusia
berdasarkan ciri-ciri warna kulit dan fisik tubuh tertentu yang diturunkan secara
turun temurun.Untuk itu ras yang hidup di Indonesia antara lain Ras Melayu
Mongoloid, Weddoid dan sebagainya. Sedangkan untuk suku bangsa / etnis yang
tersebar di Indonesia sangatlah beraneragam dan menurut Hildred Geertz di
Indonesia terdapat lebih dari 300 suku bangsa, dimana masing-masing memiliki
bahasa dan identitas kebudayaan yang berbeda.
Dalam kemajemukan agama di Indonesia secara umum agama yang
berkembang di Indonesia adalah Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu,
Budha. Selain itu terdapat agama-agama lain seperti Kong Hu Chu, Kaharingan di
Kalimantan, Sunda Kawitan (suku Baduy) serta aliran kepercayaan.
Dengan demikian keanekaragaman tersebut merupakan suatu warna dalam
kehidupan, dan warna-warna tersebut akan menjadi serasi, indah apabila ada
kesadaran untuk senantiasa menciptakan dan menyukai keselarasan dalam hidup
melalui persatuan yang indah yang diwujudkan melalui integrasi.

B. Pengaruh Kemajemukan di Indonesia


Pengaruh kemajemukan masyarakat Indonesia berdasarkan suku bangsa,ras
dan agama dapat dibagi atas pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positifnya
adalah terdapat keanekaragaman budaya yang terjalin serasi dan harmonis
sehingga terwujud integrasi bangsa. Pengaruh negatifnya antara lain :
a. Primordial
Karena adanya sikap primordial kebudayaan daerah, agama dan kebiasaan
di masa lalu tetap bertahan sampai kini. Sikap primordial yang berlebihan
disebut etnosentris. Jika sikap ini mewarnai interaksi di masyarakat maka
akan timbul konflik, karena setiap anggota masyarakat akan mengukur
keadaan atau situasi berdasarkan nilai dan norma kelompoknya. Sikap ini
menghambat

tejadinya

integrasi

sosial

atau

integrasi

bangsa.

Primordialisme harus diimbangi tenggang rasa dan toleransi.


b. Stereotip Etnik
Interaksi sosial dalam masyarakat majemuk sering diwarnai dengan
stereotip etnik yaitu pandangan (image) umum suatu kelompok etnis
terhadap kelompok etnis lain (Horton & Hunt). Cara pandang stereotip
diterapkan tanpa pandang bulu terhadap semua anggota kelompok etnis
yang distereotipkan, tanpa memperhatikan adanya perbedaan yang bersifat
individual. Stereotip etnis disalah tafsirkan dengan menguniversalkan
beberapa ciri khusus dari beberapa anggota kelompok etnis kepada ciri
khusus seluruh anggota etnis. Dengan adanya beberapa orang dari suku
bangsa A yang tidak berpendidikan formal atau berpendidikan formal
rendah, orang dari suku lain (B) menganggap semua orang dari
sukubangsa A berpendidikan rendah. Orang dari luar suku A menganggap
suku bangsanya yang paling baik dengan berpendidikan tinggi. Padahal
anggapan itu bisa saja keliru karena tidak semua orang dari sukubangsa di
luar sukubangsa A berpendidikan tinggi, banyak orang dari luar suku
bangsa A yang berpendidikan rendah. Jika interaksi sosial diwarnai
stereotip

negatif,

akan

terjadi

disintegrasi

sosial.

Orang

akan

memberlakukan anggota kelompok etnis lain berdasarkan gambaran


stereotip tersebut. Agar integrasi sosial tidak rusak, setiap anggota

masyarakat harus menyadari bahwa selain sukubangsa ada faktor lain yang
mempengaruhi sikap seseorang, yaitu pendidikan, pengalaman, pergaulan
dengan kelompok lain, wilayah tempat tinggal, usia dan kedewasaan jiwa.
c. Potensi Konflik
Ciri utama masyarakat majemuk (plural society) menurut Furnifall (1940)
adalah

kehidupan

masyarakatnya

berkelompok-kelompok

yang

berdampingan secara fisik, tetapi mereka (secara essensi) terpisahkan oleh


perbedaan-perbedaan identitas sosial yang melekat pada diri mereka
masing-masing serta tidak tergabungnya mereka dalam satu unit politik
tertentu.
Mungkin pendekatan yang relevan untuk melihat persoalan masyarakat
majemuk ini adalah bahwa perbedaan kebudayaan atau agama memang potensial
untuk mendestabilkan negara-bangsa. Karena memang terdapat perbedaan dalam
orientasi dan cara memandang kehidupan ini, sistem nilai yang tidak sama, dan
agama yang dianut masing-masing juga berlainan. Perbedaan di dalam dirinya
melekat (inherent) potensi pertentangan, suatu konflik yang tersembunyi (covert
conflict).
Namun demikian, potensi itu tidak akan manifes untuk menjadi konflik
terbuka bila faktor-faktor lain tidak ikut memicunya. Dan dalam konteks
persoalan itu nampaknya faktor ekonomi dan politik sangat signifikan dalam
mendorong termanifestasinya konflik yang tadinya tersembunyi menjadi terbuka.
Furnivall sendiri sudah mensinyalir bahwa konflik pada masyarakat majemuk
Indonesia menemukan sifatnya yang sangat tajam, karena di samping berbeda
secara horisontal, kelompok-kelompok itu juga berbeda secara vertikal,
menunjukkan adanya polarisasi.
Artinya bahwa disamping terdiferensiasi secara kelompok etnik agama dan
ras juga ada ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan sarana produksi dan
kekayaan. Ada ras, etnik, atau penganut agama tertentu yang akses dan kontrolnya
pada sumber-sumber daya ekonomi lebih besar, sementara kelompok yang lainnya
sangat kurang. Kemudian juga, akses dan kontrol pada sektor politik yang bisa
dijadikan instrumen untuk pemilikan dan penguasaan sumber-sumber daya
ekonomi, juga tidak menunjukkan adanya kesamaan bagi semua kelompok. Di

Kalimantan Barat dan Tengah para perantau Madura yang beragama Islam setahap
demi setahap bisa menguasai jaringan produksi dan distribusi ekonomi.
Demikian pula dengan orang-orang Bugis-Makassar dan Buton yang
umumnya beragama Islam di kawasan Timur Indonesia telah membuat jaringan
yang cukup luas dalam sektor ekonomi ini. Termasuk dalam kasus ini adalah
orang-orang Cina yang sebagian besar beragama non-Islam yang menguasai
sebagian besar sarana dan aset produksi serta jaringan distribusi di kota-kota besar
dan menengah Indonesia. Ketika Orde Baru memegang tampuk pemerintahan
tampaknya ketimpangan ekonomi dan politik antar kelompok etnik dan ras ini
tidak secara sungguh-sungguh dicoba untuk dihapuskan. Malah pemihakan pada
kelompok tertentu sangat kentara, sementara kelompok yang lain mengalami
proses marjinalisasi. Di sinilah polarisasi antar kelompok masyarakat yang
berbeda secara kultural dan agama itu menjadi semakin tajam. Di samping itu,
pemerintah dan masyarakat di daerah secara politik betul-betul lemah, tidak
memiliki saluran institusional yang memungkinkan kepentingan dan kebutuhan
mereka dapat diakomodasi. Di sini sentralisme adalah ciri utama sistem politik
negara Orde Baru.
Memang selama rezim Orde Baru berkuasa konflik itu tidak banyak
muncul, kalaupun terjadi ledakannya tidak besar dan akan segera diredam secara
represif. Namun pendekatan keamanan itu tidak menghilangkan potensi konflik
tersebut, karena akar persoalannya tidak dipecahkan. Hubungan antar kelompok
tetap dalam situasi ketegangan, menunggu momen untuk meledak. Karena itu,
ketika rezim Orde Baru mulai kehilangan legitimasi dan kemudian jatuh, konflik
yang tadinya laten menjadi terbuka.
Hal ini dikarenakan, bahwa pengkotakan masyarakat hanya mampu
menekan eskalasi konflik dan disharmoni sosial dalam masyarakat, namun ia tidak
mampu menghilangkan poensi-potensi konflik yang telah lama dan masih
terpendam dalam masyarakat. Konflik dan disharmoni sosial dapat muncul karena
mereka, kelompok-kelompok sosial tersebut tetap hidup berdampingan secara
fisik dalam suatu komunitas masyarakat. Pembenaran atas ketidaksamaan, pada

hakekatnya adalah juga sebentuk pembenaran terhadap adanya potensi potensi


konflik dalam masyarakat yang pluralis.
Bagaimana kemajemukan di indonesia menjadi persatuan di indonesia ?
Jawabannya adalah nilai-nilai kemanusiaan, keadilan sosial, demokrasi,
nasionalisme, kekeluargaan yang diwujudkan dalam semboyan Bhinneka Tunggal
Ika yang menjadi dasar perjuangan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia
Di tengah arus reformasi dewasa ini, agar selamat mencapai Indonesia
Baru, maka idiom yang harus lebih diingat-ingat dan dijadikan landasan kebijakan
mestinya harus berbasis pada konsep Bhinneka Tunggal Ika. Artinya, sekali pun
berada dalam satu kesatuan, tidak boleh dilupakan, bahwa sesungguhnya bangsa
ini berbeda-beda dalam satu kemajemukan.
Dengan demikian keanekaragaman tersebut merupakan suatu warna dalam
kehidupan, dan warna-warna tersebut akan menjadi serasi, indah apabila ada
kesadaran untuk senantiasa menciptakan dan menyukai keselarasan dalam hidup
melalui persatuan yang indah yang diwujudkan melalui integrasi.
Maka, Indonesia Baru yang kita ciptakan itu, hendaknya ditegakkan
dengan menggeser perbadaan yang ada dengan mengedepankan ke Bhinnekaan
sebagai strategi integrasi nasional. Namun, jangan sampai kita salah langkah, yang
bisa berakibat yang sebaliknya: sebuah konflik yang berkepanjangan

Anda mungkin juga menyukai