Anda di halaman 1dari 7

Topik: Etik

Tanggal (kasus): -

Presenter: dr. Garry Prasetyo Adi

Tanggal presentasi: 9 Maret 2011

Pendamping: dr. Ike Dyah Ayu Pambayun

Tempat presentasi: Ruang Komite Medik RSUD Pacitan


Obyektif presentasi
Keilmuan

Keterampilan

Penyegaran

Tinjuan pustaka

Diagnostik

Manajemen

Masalah

Istimewa

Neonatus

Bayi

Anak

Remaja

Dewasa

Lansia

Bumil

Deskripsi : Dokter Anestesi disebuah RS merasa terganggu dengan tingkah laku seorang dokter
bedah di ruang operasi. Selain itu menurutnya dokter bedah tersebut menggunakan metode yang
sudah ketinggalan, sehingga merugikan pasien.
Tujuan : mempelajari masalah etik yang dapat terjadi dalam hubungan dokter dan kolega, dan
bagaimana penyelesaianya secara profesional dan etis.
Bahan bahasan:

Tinjauan pustaka Riset

Cara membahas: Diskusi

Presentasi dan
diskusi

Kasus

Audit

E-mail

Pos

Data pasien:

Nama: dr.C

No.registrasi: -

Nama klinik: RS.X

Telp: -

Terdaftar sejak: -

Data utama untuk bahan diskusi:


1. Latar belakang : Dokter merupakan profesi yang oleh masyarakat pada saat ini difungsikan dalam
aturan yang sangat herarkis, baik di dalam maupun di luar.
Di dalam, ada 3 herarki yang saling tumpang tindih: yang pertama membedakan di antara spesialis,
dimana yang satu dianggap lebih bergengsi, dan lebih besar jasanya dari pada yang lain; yang
kedua antar spesialis itu sendiri dengan adanya jenjang akademik menjadi lebih berpengaruh
dibanding dalam praktek masyarakat atau swasta; yang ketiga berhubungan dengan perawatan
terhadap pasien tertentu dimana pemberi perawatan berada di herarki paling atas dan dokter lain
walaupun lebih senior dan memiliki ketrampilan yang lebih baik hanya bertindak sebagai konsultan
kecuali pasien ditransfer kepada pelayanan mereka.
Dengan cepatnya pertumbuhan pengetahuan ilmiah dan aplikasi kliniknya, pengobatan menjadi
kompleks. Dokter secara individu tidak bisa menjadi ahli untuk semua penyakit yang diderita oleh
pasien mereka dan perawatan yang harus diberikan sehingga membutuhkan bantuan dari dokter
spesialis lain dan profesi kesehatan yang memiliki ketrampilan yang diperlukan seperi perawat,
farmasis, fisioterapis, teknisi lab, pekerja sosial, dan lainnya. Dokter harus mengetahui bagaimana
mendapatkan ketrampilan yang relevan yang diperlukan pasiennya dan yang dia sendiri kurang
menguasai. Model kerjasama dalam pengambilan keputusan telah menggantikan model otoritarian
yang merupakan sifat dari paternalisme medis tradisional. Perkembangan seperti ini merubah
aturan main dalam hubungan antara dokter dengan kolega dokter mereka dan dengan profesi
kesehatan lain.
2. Kasus : Dr. C, ahli anastesi yang baru ditunjuk di RS di suatu kota, merasa terganggu dengan
tingkah laku dokter bedah senior di ruang operasi. Dokter bedah tersebut menggunakan teknik yang
kuno yang dapat memperlama waktu operasi, menimbulkan rasa sakit post-operasi yang lebih, dan
waktu penyembuhan yang lebih lama. Terlebih lagi dia membuat guyonan kasar mengenai pasien
yang jelas mengganggu para perawat yang bertugas. Sebagai salah satu staff baru, Dr. C merasa
enggan untuk mengkritik dokter bedah tersebut secara pribadi atau melaporkannya kepada pejabat

yang lebih tinggi. Namun Dr. C merasa bahwa dia harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki
situasi ini.
3. Pembahasan : Melemahnya sistem paternalisme medis dibarengi dengan hilangnya kepercayaan
bahwa dokter memiliki pasien mereka. Hak pasien untuk meminta opini kedua telah diperluas
dengan memasukkan untuk mendapatkan layanan kesehatan lain yang mungkin sanggup memenuhi
kebutuhannya lebih baik. Menurut Declaration on the Rights of the Patient dari WMA
menyatakan bahwa: Dokter mempunyai kewajiban untuk bekerja sama dalam koordinasi, dalam
merawat pasien dengan profesi kesehatan lain. Namun demikian dokter tidak mencari untung dari
kerjasama ini melalui pembagian biaya. Restriksi terhadap kepemilikan dokter terhadap pasien
mereka harus diseimbangkan dengan ukuran-ukuran lain.
Sebagai anggota dari profesi kesehatan, dokter diharapkan memperlakukan profesi kesehatan lain
lebih sebagai anggota keluarga dari pada sebagai orang asing, bahkan sebagai teman. Deklarasi
Geneva dari World Medical Association ( WMA ) juga memuat janji: Kolega saya akan menjadi
saudara saya. Selain tuntutan positif untuk memperlakukan kolega secara terhormat dan
bekerjasama untuk memaksimalkan perawatan pasien, Kode Etik Kedokteran Internasional yang
dikeluarkan oleh WMA mempunyai dua pengecualian pada hubungan dokter dengan orang lain: (1)
membayar atau menerima upah atau apa saja yang menyerupai untuk mendapatkan rujukan pasien;
dan (2) mencuri pasien dari kolega. Kewajiban ketiga, untuk melaporkan perilaku tidak etik
atau tidak kompeten yang dilakukan oleh kolega.
Profesi kesehatan harus membangun standar perilaku yang tinggi untuk anggotanya dan prosedur
pendisiplinan dalam menyelidiki tuduhan adanya tindakan yang tidak benar dan jika perlu
menghukum yang berbuat salah. Sistem pengaturan sendiri ini sering gagal dalam kasus ini
kewajiban untuk melaporkan kolega yang melakukan tindakan yang tidak kompeten,
mencelakakan, perbuatan tidak senonoh, yang ditekankan dalam Kode Etik Kedokteran
Internasional yang dikeluarkan oleh WMA. Di satu sisi seorang dokter mungkin menyerang
reputasi koleganya karena motif yang tidak benar seperti karena cemburu dan perasaan terhina oleh
koleganya. Di sisi lain dokter bisa merasa tidak enak dan ragu untuk melaporkan tindakan
koleganya yang tidak benar karena simpati atau persahabatan. Konsekuensi pelaporan tersebut
dapat berakibat kurang baik bagi yang melapor, termasuk hubungan dengan yang tertuduh atau
bahkan juga dari kolega yang lain. Terlepas dari hal tersebut, pelaporan terhadap tindakan salah
yang dilakukan kolega merupakan suatu tugas profesional. Dokter tidak hanya mempunyai
kewajiban menjaga reputasi yang baik dari profesinya tetapi juga karena mereka sendirilah yang
kadang bisa mengetahui ketidak kompetenan, kelalaian atau kesalahan prosedur. Langkah yang
dapat diambil menurut Medical Ethics Manual WMA antara lain: Langkah pertama mendekati
kolega tersebut dan mengatakan bahwa menurut pendapat anda tindakannya tidak aman dan tidak
etis. Jika masalahnya dapat diselesaikan pada level tersebut, mungkin tidak diperlukan langkah
lebih jauh. Jika tidak, langkah selanjutnya mungkin membicarakannya dengan atasan dan/atau
atasan kolega anda dan menyerahkan keputusannya kepada orang tersebut. Jika langkah ini tidak
praktis atau tidak memberikan hasil, mungkin langkah terakhir perlu memberitahukan komisi
disiplin.
Walaupun dokter dapat mengalami banyak konflik dengan dokter dan profesi kesehatan lain, yang
menjadi fokus di sini adalah konflik dalam perawatan pasien. Idealnya keputusan layanan
kesehatan merupakan persetujuan antara pasien, dokter, dan orang lain yang terlibat dalam
perawatan pasien. Perbedaan harus dipecahkan di dalam lingkup lain, bukan debat di depan pasien.
Karena kedua macam konflik ini menyangkut etika, maka diperlukan saran dari komite etik klinik
atau konsultan etika dimana sumber tersedia. Jika penyedia layanan kesehatan tidak dapat
mendukung keputusan karena pendapat profesional atau masalah moral pribadi, maka diijinkan
untuk menarik diri dari keikutsertaan dalam menerapkan keputusan, setelah memastikan bahwa

orang yang menerima perawatan tidak beresiko tersakiti atau terlantarkan. ( Medical Ethics
Manual WMA ).
4. Kesimpulan: dr.C benar jika dia harus waspada terhadap perilaku dokter bedah seniornya dalam
ruang operasi. Tidak hanya karena dia membahayakan kesehatan pasien tapi karena dia juga tidak
menghargai pasien dan koleganya. dr.C mempunyai tugas etik untuk tidak mengabaikan perilaku
seperti ini namun harus melakukan sesuatu. Sebagai langkah pertama, dia tidak boleh menunjukkan
dukungan terhadap perilaku itu seperti tertawa dengan guyonannya. Jika dipikirkan bahwa diskusi
langsung dengan dokter bedah tersebut efektif, maka harus segera dilakukan. Jika tidak mungkin
harus melalui otoritas yang lebih tinggi dalam rumah sakit tersebut. Jika ternyata mereka tidak
bersedia berhadapan dengan situasi itu, maka dapat dilakukan tindakan melalui komite etik dan/
disiplin dan memintanya menyelidiki kasus tersebut. Perbedaan pendapat dalam pemberian
pelayanan terhadap pasien hendaknya diselsaikan secara etis dan profesional.
Daftar Pustaka:
a. Ethics Manual ( Indonesian )
b. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK). 2002. Kode Etik Kedokteran Indonesia
(KODEKI) dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter
Indonesia (IDI)
c. Presiden RI. 2004. UU No. 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
Hasil pembelajaran:
1. Tanggung jawab etik dan profesional antara kolega
2. Penyelesaian masalah etik yang terjadi antara kolega secara profesional dan etis

1. Subyektif:
Keluhan muntah dapat disebabkan kelainan pada saluran cerna dan kelainan sistemik. Gejala lain
yang menyertai muntah penting untuk mengevaluasi penyebab muntah. Pada pasien dikeluhkan
juga bengkak pada ekstremitas dan wajah. Penyebab bengkak terbanyak adalah kelainan jantung,
hati, dan ginjal, sementara penyebab lainnya yang mungkin adalah filariasis, hipotiriod, beri-beri
dan tumor. Pada pasien didapatkan keluhan bengkak yang berkurang seiring perubahan posisi tubuh
yang jarang terjadi pada bengkak yang diakibatkan oleh tekanan hidrostatik vena yang meningkat
seperti pada penyakit jantung kongestif dan sirosis hati. Anamnesa lain yang mendukung adalah
tidak ditemukannya riwayat sesak saat aktivitas, pasien tidur dengan 1 bantal, dan tidak didapatkan
keluhan sering terbangun saat malam karena sesak. Tidak didapatkan riwayat BAK cokelat, mata
kekuningan, konsumsi alkohol, ataupun gejala flu-like yang mengarah kepada infeksi virus dimasa
lampau. Namun untuk menyingkirkan kedua kelainan tersebut masih diperlukan pemeriksaan fisik
seperti tekanan vena jugular, tanda hipertensi porta dan gagal fungsi hati, maupun pemeriksaan
penunjang seperti foto polos dada dan albumin serum. Adanya gejala gejala uremia seperti
anoreksia, nausea, muntah, anemia, mengarah kepada penurunan fungsi ginjal. Gejala uremia
lainnya dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik.
Perlu dicari gejala gejala dari penyakit yang mendasari seperti riwayat diabetes melitus,
hipertensi, ISK, BSK, penyakit penyakit ginjal lainnya sepert glomerulonefritis dan penyakit
ginjal polikistik.
Pada pasien ditemukan riwayat diabetes melitus dan hipertensi. Dalam hal ini untuk mengetahui
apakah hipertensinya sebagai akibat atau penyebab penurunan fungsi ginjal perlu dilakukan
pemeriksaan funduskopi. Perlu dievaluasi juga komplikasi lain dari diabetes melitus lama dan
hipertensinya.
2. Objektif:
Pada pasien dengan keluhan utama muntah perlu dievaluasi tanda tanda dehidrasi. Pada pasien
tidak didapatkan mata cowong, mukosa mulut yang kering , dan turgor normal, kesadaran compos
mentis, tidak ditemukan tanda shock ataupun preshock dari tanda vital, sehingga disimpulkan
pasien tidak mengalami dehidrasi.
Pemeriksaan tekanan vena jugular, batas batas jantung menyingkirkan adanya kelainan jantung
( masih memerlukan pemeriksaan penunjang ). selain itu tidak ditemukan tanda tanda peningkatan
tekanan vena porta seperti splenomegali, ascites, caput medusa, dan tanda tanda kegagalan fungsi
hati seperti ikterus, spider naevi, ginekomastia, eritema palmaris, ascites, bulu ketiak rontok, white
nail yang merupakan manifestasi klinis dari sirosis hati.
Gejala klinis yang ditemukan pada penyakit ginjal kronis merupakan akibat dari kegagalan fungsi
ekskresi, penurunan GFR, gangguan resorbsi dan sekresi di tubulus yang mengakibatkan tumpukan
toksin uremik, gangguan keseimbangan elektrolit, dan asam-basa tubuh. Selain itu juga dapat
ditemukan ganggun fungsi hormonal seperti enurunan eritopoetin, vitamin D3 aktif, dan gangguan
sekresi renin.
Gejala yang ditemukan antara lain anemia ( konjungtiva palpebra anemis, Hb: 9,40 g%,
HCT:27,6%, RBC 3,28x106 /mm3 ), hipertensi ( TD: 180/100 ),azotemia ( Ureum: 169 mg/dl, BUN
79 mg/dl ) dan edema palpebra dan ektremitas.
Dengan rumus Cockroft-Goult GFR pada pasien ini:
(140-umur) x berat badan
X (0,85 jika wanita )
72 x kreatinin serum
=

(140-58) x 65
72 x 6,65

5330
478,8

= 11,131 ml/menit/1,73m2
Produksi urine perlu di pantau untuk balance cairan. Untuk menegakan diagnosa nefropati diabetik

perlu dilakukan pemeriksaan urine lengkap dan funduskopi.


3. Assesment: (penalaran klinis)
Pada pasien didapatkan daftar masalah sebagai berikut :
1.
nausea, vomiting, anoreksia
2.
Hipertensi (TD: 180/100 mmHg)
3.
Konjungtiva palpebra pucat
4.
Edema palpebra, ekstremitas superior dan inferior
5.
Anemia normositik normokromik (Hb: 9,40 g%, HCT:27,6%, RBC 3,28x106 /mm3)
6.
Azotemi (Ureum: 169 mg/dl, BUN 79 mg/dl)
7.
DM ( GDS 248 mg/dL, GDP 187 mg/dL, GD2JPP 291mg/dL)
8.
GFR 11,131 ml/menit/1,73m2
Dari daftar masalah tersebut diatas pasien kemudian diasses dengan:
1. CKD stage V
dasar diagnosis :
Azotemia, uremia, hipertensi, anemia normokromik normositer,
GFR 11,131 ml/menit/1,73m2
2. HT stage II
Dasar diagnosis :
Tanggal pemeriksaan
Tekanan darah
19/2/2011

180/100 mmHg

20/2/2011

140/90 mmHg

21/2/2011
170/100 mmHg
3. DM type II
Dasar diagnosis :
riwayat DM menjalani terapi insulin suntik
Tanggal pemeriksaan
Hasil pemeriksaan
19/2/2011

GDS 248 mg/dL

20/2/2011

GDP 187 mg/dL


GD2JPP 291mg/dL

21/2/2011

GDS 316 mg/dL

Diagnosa banding:
1. Anemia defisiens besi
Dasar diagnosis:
- Badan lemas, nafsu makan menurun
- PF: konjunctiva pucat
- Laboratorium darah: Hb: 9,40 g%, HCT:27,6%, RBC 3,28x106 /mm3
Dasar tidak mendukung
indeks eritrosit normal, butuh pemeriksaan lebih lanjut: morfologi darah, hitung retikulosit dan
SI, TIBC
2. CHF
Dasar diagnosis:

TD : 180/100 mmHg

Terdapat edema tungkai

EKG susp LVH


Dasar tidak mendukung:

tidak didapatkan keluhan DOE, PND, dan orthopnoe

Batas jantung tidak melebar ( pemeriksaan paru tidak ditemukan kelainan )


Prinsip penatalaksanaan berdasarkan stadium CKD
Stadium GFR
Rencana
1 90 ml/menit/1,73 m2

Diagnosis dan pengobatan, pengobatan kondisi


komorbit, perlambat progresivitas, penurunan
risiko PJK

2 60-89 ml/menit/1,73 m2

Memperkirakan progesivitas

3 30 59 ml/menit/1,73 m2

Evaluasi dan obati komplikasi

4 15 29 ml/menit/1,73 m2

Persiapan terapi penggantian ginjal

5 < 15 ml/menit/1,73 m2 atau dialisis

Terapi pengganti ( jika ada uremia )

Penatalaksaan pasien CKD meliputi


1. Pengobatan penyakit dasar
pengendalian tekanan darah, regulasi gula darah pada pasien DM, koreksi jika ada obstruksi
saluran kemih, dan pengobatan ISK.
2. Pengendalian keseimbangan air dan garam
pemberian cairan disesuaikan dengan produksi urine, yaitu produksi urine 24 jam ditambah
500cc. Asupan garam tergantung evaluasi elektrolit, umumnya dibatasi 40-120mEq ( 9202760mg). Diuretik tidak bermanfaat pada fase lanjut dan merupakan kontraindikasi pada
obstruksi.
3. Diet rendah protein dan tinggi kalori
asupan protein dibatasi 0,6-0,8 gram/kgBB/hari, kebutuhan kalori minimal 35 kcal/kgBB/hari.
Diet rendah protein dan tinggi kalori akan memperbaiki keluhan mual, menurunkan BUN. Diet
rendah protein akan menghambat progresivitas penurunan faal ginjal.
4. Pengelolaan hipertensi
Pada CKD pembatasan cairan mutlak dilakukan. Penghambat ACE dan ARB diharapkan akan
memperlambat progresivitas CKD.
5. Pengelolaan gangguan keseimbangan elektrolit dan asam-basa
gannguan elektrolit utama adalah hiperkalemia. Pencegahan meliputi asupan diet rendah kalium,
dan menghindari pemakaian diuretika K-sparring.
6. Pencegahan dan pengobatan ROD
Pengendalian hiperphosphatemia selain lewat diet adalah dengan obat pengikat fosfat yaitu
alumunium hidroksida 300-1800mg, sebagi pilihan lain dapat diberikan kalsium karbonat 5003000mg. Suplemen vitamin D3 aktif hanya diberikan pada kadar fosfat normal.
7.Pengobatan gejala uremi spesifik
termasuk disini adalah pengobatan simptomatis untuk pruritus, keluhan gastro-intestinal dan
penanganan anemia. Diet rendah protein dapat memperbaiki keluhan pruritus, anoreksia, mual.
Anemia pada CKD terutama disebabkan oleh defisiensi hormon eritropoetin, selain itu juga
disebabkan oleh defisiensi Fe, asam folat dan vit B12 .
8.Pengobatan infeksi
Indikasi HD :
Elektif

CITO

Sindrom uremi
Hipertensi sulit terkontrol
Overloadcairan
Persiapan opersi

Hiperkalemia
Edem paru
Asidosis metabolic berat
Overdosis obat

Oliguri-anuri 3-5 hr
Keratin >8-12 mg%
Klirens Creatinin< 5ml/mnt/1,73m2
4. Plan:
Diagnosis: Diperlukan pemeriksaan elektrolit untuk menilai ada tidaknya gangguan elektrolit, foto
thoraks untuk menilai rasio cardio thoraks, urine lengkap untuk mencari adanya proteinuria,
albumin dan total protein, dapat dilakukan funduskopi untuk menilai efek diabetes melitus dan
hipertesi pada papil nervus II dan kadar HbA1C untuk menilai progres penyakit DMnya.
Pengobatan: telah diberikan pengobatan non farmakologis dan medika mentosa yang optimal yaitu
pengobatan penyakit dasar dengan pengendalian tekanan darah, regulasi gula darah pada pasien
DM, pengendalian keseimbangan air dan garam pemberian cairan disesuaikan dengan produksi
urine. Diet rendah protein dan tinggi kalori, Pengobatan gejala uremi spesifik disini adalah
pengobatan simptomatis untuk keluhan gastro-intestinal dan penanganan anemia. Pengelolaan
gangguan keseimbangan elektrolit dan asam-basa tidak dilakukan karena kadar elektrolit tidak
dinilai. Berdasarkan perhitungan GFR pasien memerlukan terapi pengganti ginjal. Pilihan terapi
yang tersedia adalah hemodialisa rutin.
Pendidikan: dilakukan kepada pasien dan keluarga untuk membantu proses penyembuhan,
pemulihan, dan pencegahan penyulit, untuk itupasien diinformasikan untuk membatasi cairan yang
diminum dan mengikuti aturan makan sesuai dengan diet yang diberikan rumah sakit. Memotivasi
pasien untuk menjalani hemodialisa rutin sebagai terapi yang harus dilakukan pasien. Menjelaskan
kepada pasien dan keluarga bahwa yang dikhawatirkan dari hipertensi dan diabetes melitus adalah
akibat jangka panjangnya terhadap kerusakan organ-organ tubuh seperti jantung, mata, otak, dan
ginjal. Memotivasi kepada pasien agar kontrol dan minum obat secara teratur, juga diet rendah
garam dan menghindari stress.
Rujukan: direncanakan karena proses penyakit sudah sampai pada stadium diman diperlukan
terapi pengganti ginjal.

Anda mungkin juga menyukai