Anda di halaman 1dari 3

ME EN NG GA AP PA A C CS SR R P PE EN NT TI IN NG G? ?

Lahirnya CSR dipengaruhi oleh fenomena DEAF (yang dalam Bahasa Inggris berarti tuli) di
dunia industri. DEAF adalah akronim dari Dehumanisasi, Emansipasi, Aquariumisasi, dan
Feminisasi (Suharto, 2007a: 103-4):

# Dehumanisasi industri. Efisiensi dan mekanisasi yang semakin menguat di dunia


industri telah menciptakan persoalan-persoalan kemanusiaan baik bagi kalangan
buruh di perusahaan, maupun bagi masyarakat di sekitar perusahaan. “Merger mania”
dan perampingan perusahaan telah menimbulkan gelombang PHK dan pengangguran.
Ekspansi dan eksploitasi industri telah melahirkan ketimpangan sosial, polusi dan
kerusakan lingkungan yang hebat.

# Emansipasi hak-hak publik. Masyarakat kini semakin sadar akan haknya untuk
meminta pertanggung jawaban perusahaan atas berbagai masalah sosial yang
seringkali ditimbulkan oleh beroperasinya perusahaan. Kesadaran ini semakin

3 Poverty line (garis kemiskinan), selain berbeda untuk wilayah perdesaan dan perkotaan,
juga berbeda untuk
setiap provinsi setiap tahunnya. Selama Maret 2006 sampai dengan Maret 2007, poverty line di
Indonesia naik
sebesar 9,67 persen, yaitu dari Rp.151.997 per kapita per bulan pada Maret 2006 menjadi
Rp.166.697 per kapita
per bulan pada Maret 2007 (TKPK, 2007) CSR2008/suharto@policy.hu 6
menuntut kepedulian perusahaan bukan saja dalam proses produksi, melainkan pula
terhadap berbagai dampak sosial yang ditimbulkannya.

# Aquariumisasi dunia industri. Dunia kerja kini semakin transparan dan terbuka
laksana sebuah akuarium. Perusahaan yang hanya memburu rente ekonomi dan
cenderung mengabaikan hukum, prinsip etis dan filantropis tidak akan mendapat
dukungan publik. Bahkan dalam banyak kasus, masyarakat menuntut agar
perusahaan seperti ini di tutup.

# Feminisasi dunia kerja. Semakin banyaknya wanita yang bekerja semakin menuntut
penyesuaian perusahaan bukan saja terhadap lingkungan internal organisasi, seperti
pemberian cuti hamil dan melahirkan, keselamatan dan kesehatan kerja, melainkan
pula terhadap timbulnya biaya-biaya sosial, seperti penelantaran anak, kenakalan
remaja, akibat berkurangnya atau hilangnya kehadiran ibu-ibu di rumah dan tentunya
di lingkungan masyarakat. Pendirian fasilitas pendidikan, kesehatan dan perawatan
anak (child care) atau pusat-pusat kegiatan olah raga dan rekreasi bagi remaja adalah
beberapa bentuk respon terhadap isu ini.
Pertanyaan mengenai mengapa CSR penting, tidak cukup dijawab dengan menyatakan bahwa
CSR telah diamanatkan UU. Jika CSR dianggap penting hanya karena UU, perusahaan akan
cenderung terpaksa dan stengah hati melaksanakan CSR. Harus ada pemahaman filosofis dan
komitmen etis tentang CSR.
Pentingnya CSR perlu dilandasi oleh kesadaran perusahaan terhadap fakta tentang adanya
jurang yang semakin menganga antara kemakmuran dan kemelaratan, baik pada tataran
global maupun nasional. Oleh karena itu, diwajibkan atau tidak, CSR harus merupakan
komitmen dan kepedulian genuine dari para pelaku bisnis untuk ambil bagian mengurangi
nestapa kemanusiaan.
Memberi gaji pada karyawan dan membayar pajak pada negara kurang patut dijadikan alasan
bahwa perusahaan tidak perlu melaksanakan CSR. Terlebih di Indonesia yang menganut
residual welfare state, distribusi pendapatan mengalami distorsi luar biasa.
Manfaat pajak sering tidak sampai kepada masyarakat, terutama kelompok lemah dan rentan
seperti orang miskin, pekerja sektor informal, kaum perempuan, anak-anak, dan komunitas
adat terpencil (KAT). Akibatnya, sebagian besar dari mereka hidup tanpa perlindungan sosial
yang memadai.
M MA AN NF FA AA AT T C CS SR R: : T Ta ak ke en n f fo or r G Gr ra an nt te ed d? ?
Tiga lembaga internasional independen, Environics International (Kanada), Conference Board
(AS), dan Prince of Wales Business Leader Forum (Inggris) melakukan survey tentang
hubungan antara CSR dan citra perusahaan. Survey dilakukan terhadap 25 ribu konsumen di
23 negara yang dituangkan dalam The Millenium Poll on CSR pada tahun 1999 (lihat Bisnis
dan CSR, 2007: 88-90).
Hasil survey menunjukkan bahwa mayoritas responden (60%) menyatakan bahwa CSR seperti
etika bisnis, praktik sehat terhadap karyawan, dampak terhadap lingkungan, merupakan unsur
utama mereka dalam menilai baik atau tidaknya suatu perusahaan. Sedangkan faktor
CSR2008/suharto@policy.hu 7
fundamental bisnis, seperti kinerja keuangan, ukuran perusahaan, strategi perusahaan atau
manajemen, hanya dipilih oleh 30% responden.
Sebanyak 40% responden bahkan mengancam akan ”menghukum” perusahaan yang tidak
melakukan CSR. Separo responden berjanji tidak akan mau membeli produk perusahaan yang
mengabaikan CSR. Lebih jauh, mereka akan merekomendasikan hal ini kepada konsumen
lain.
Jika dikelompokkan, sedikitnya ada empat manfaat CSR terhadap perusahaan (Wikipedia,
2008):
# Brand differentiation. Dalam persaingan pasar yang kian kompetitif, CSR bisa
memberikan citra perusahaan yang khas, baik, dan etis di mata publik yang pada
gilirannya menciptakan customer loyalty. The Body Shop dan BP (dengan bendera
“Beyond Petroleum”-nya), sering dianggap sebagai memiliki image unik terkait isu
lingkungan.

# Human resources. Program CSR dapat membantu dalam perekrutan karyawan baru,
terutama yang memiliki kualifikasi tinggi. Saat interviu, calon karyawan yang memiliki
pendidikan dan pengalaman tinggi sering bertanya tentang CSR dan etika bisnis
perusahaan, sebelum mereka memutuskan menerima tawaran. Bagi staf lama, CSR
juga dapat meningkatkan persepsi, reputasi dan dedikasi dalam bekerja.

# License to operate. Perusahaan yang menjalankan CSR dapat mendorong


pemerintah dan publik memberi ”ijin” atau ”restu” bisnis. Karena dianggap telah
memenuhi standar operasi dan kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat luas.

# Risk management. Manajemen resiko merupakan isu sentral bagi setiap perusahaan.
Reputasi perusahaan yang dibangun bertahun-tahun bisa runtuh dalam sekejap oleh
skandal korupsi, kecelakaan karyawan, atau kerusakan lingkungan. Membangun
budaya ”doing the right thing” berguna bagi perusahaan dalam mengelola resiko-resiko
bisnis.
Ada kecenderungan perkembangan CSR kini bergeser dari underestimate ke overestimate.
Jika pada masa lalu pandangan terhadap CSR lebih banyak dipengaruhi Milton Friedman yang
cenderung ”memusuhi” CSR. Kini, pandangan terhadap CSR lebih positif, bahkan terkadang
overestimate. Seakan-akan CSR adalah panacea yang bisa menyembuhkan penyakit apa
saja. Padahal, manfaat CSR terhadap perusahaan tidaklah ”taken for granted” dan otomatis.
Salah satu tokoh yang kritis terhadap CSR adalah David Vogel, penyandang Solomon Lee
Professor of Business Ethics pada Haas School of Business dan Professor of Political Science
di University of California Berkeley. Menurutnya, perkembangan literatur CSR memiliki
kelemahan yang seragam, yakni “tidak menimbang dengan hati-hati apa yang dapat dan tidak
dapat dicapai oleh dan melalui CSR” (lihat Jalal, 2006).
Vogel mengajukan pertanyaan "does virtue pay?". Berdasarkan hasil studinya, Vogel
menemukan bahwa “tesis” yang menyatakan bahwa CSR akan meningkatkan keuntungan
perusahaan merupakan keyakinan yang kurang didukung data empiris. Investasi dalam CSR
mirip belanja iklan, yang belum tentu mendongkrak keuntungan perusahaan.
CSR2008/suharto@policy.hu 8
Namun, ini tidak berarti bahwa melakukan CSR sama sekali tidak memberikan keuntungan.
Bukti-bukti empiris yang ada menyaksikan bahwa pada kondisi-kondisi tertentu CSR berperan
melejitkan keuntungan perusahaan.
Kesimpulannya, CSR bukanlah strategi generik. CSR mungkin cocok pada kondisi tertentu,
tetapi tidak pada kondisi lainnya. Karenanya, menurut Vogel, argumen mengenai hubungan
positif antara kinerja sosial dengan kinerja finansial perusahaan harus dilihat secara lebih
kontekstual (Jalal, 2006).

Anda mungkin juga menyukai