Anda di halaman 1dari 20

PENDAHULUAN

Sklera adalah pembungkus fibrosa pelindung mata di bagian luar. Jaringan ini
padat dan berwarna putih serta bersambungan dengan kornea di sebelah anterior
dan duramater nervus optikus di belakang. Permukaan luar sklera anterior
dibungkus oleh sebuah lapisan tipis dari jaringan elastik halus, episklera yang
mengandung banyak pembuluh darah yang memasuki sklera. Skleritis adalah
peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya infiltrasi seluler,
kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler. Sedangkan episkleritis adalah suatu
peradangan pada episklera. Proses peradangan ini terjadi karena adanya proses
imunologis, atau karena suatu infeksi. Trauma lokal juga dapat mencetuskan
proses peradangan tersebut. Skleritis sering berasosiasi dengan suatu infeksi
sistemik ada suatu penyakit autoimun.
Skleritis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Insidensi di Amerika Serikat
diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi penduduk. Dari kasus skleritis yang
ditemukan, sekitar 94 % merupakan skleritis anterior dan sisanya ialah skleritis
posterior. Dari data internasional, tidak ada distribusi geografis yang pasti
mengenai insiden skleritis. Skleritis lebih sering dijumpai pada wanita, pada
umumnya sekitar umur 20-60 tahun dan rata-rata orang yang menderita skleritis
adalah usia 52 tahun. Rasio antara perempuan dan laki-laki adalah 1,6:1. Angka
morbiditas ditentukan oleh penyakit primer skleritis itu sendiri dan penyakit
sistemik yang menyertai.
Pada 15% kasus, skleritis bermanifestasi sebagai gangguan kolagen vaskular dan
gejala bertambah hingga beberapa bulan. Hampir separuh dari kasus skleritis
terjadi secara bilateral. Adapun gejala-gejala umum yang biasa terjadi pada
skleritis yaitu rasa nyeri berat yang dapat menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Rasa
nyeri ini terkadang dapat membangunkan dari tidur akibat sakitnya yang sering
kambuh. Pergerakan bola mata dan penekanan pada bulbus okuli juga dapat
memperparah rasa nyeri tersebut. Rasa nyeri yang berat pada skleritis dapat

dibedakan dari rasa nyeri ringan yang terjadi pada episkleritis yang lebih sering
dideskripsikan pasien sebagai sensasi benda asing di dalam mata. Selain itu
terdapat pula mata merah berair, fotofobia, dan penurunan tajam penglihatan.
Skleritis dapat menimbulkan berbagai komplikasi jika tidak ditangani dengan baik
berupa keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina, ablasio retina eksudatif,
proptosis, katarak, dan hipermetropia.
Penatalaksanaan skleritis tergantung pada penyakit yang mendasarinya. Oleh
karena itu perlu diagnosis yang tepat sesuai dengan etiologinya guna
penatalaksanaan lebih lanjut. Terapi inisial untuk skleritis adalah dengan
pemberian NSAIDs. Bisa diberikan Indometasin 75 mg setiap hari atau Ibuprofen
600 mg setiap hari. Kebanyakan kasus menunjukkan penurunan rasa sakit yang
bermakna dengan pemberian NSAIDs ini. Apabila terapi ini tidak menunjukkan
respon yang baik selama 1-2 minggu, dapat diberikan Prednison oral 0,5-1,5
mg/kg/hari. Pada kasus yang berat terkadang diperlukan Metilprednisolon 1 gram
intravena. Apabila mikroorganisme penyebab telah teridentifikasi, maka
sebaiknya diberikan antibiotik spesifik.
Mengingat pentingnya pengetahuan tentang skleritis dan episkleritis ini maka inilah
yang menjadi alasan penulis dalam menyusun referat ini. Dalam referat ini akan
dibahas secara menyeluruh mengenai skleritis dan episkleritis. Adapun referat ini
dibuat agar dapat menambah pengetahuan penyusun dan sebagai tugas dalam
kepaniteraan klinik ilmu penyakit mata Rumah Sakit Umum daerah dr. H. Abdul
Moeloek Provinsi Lampung.

TINJAUAN PUSTAKA
A. SKLERA
1. ANATOMI SKLERA
Sklera yang juga dikenal sebagai bagian putih bola mata, merupakan kelanjutan dari
kornea. Sklera berwarna putih buram dan tidak tembus cahaya, kecuali di bagian
depan bersifat transparan yang disebut kornea. Sklera merupakan dinding bola mata
yang paling keras dengan jaringan pengikat yang tebal, yang tersusun oleh serat
kolagen, jaringan fibrosa dan proteoglikan dengan berbagai ukuran. Pada anak-anak,
sklera lebih tipis dan menunjukkan sejumlah pigmen, yang tampak sebagai warna
biru. Sedangkan pada dewasa karena terdapatnya deposit lemak, sklera tampak
sebagai garis kuning.
Gambar 1. Anatomi Mata
(Dikutip dari kepustakaan Subramanian, 2008)

Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea dan berakhir pada
kanalis optikus yang berlanjut dengan dura. Enam otot ekstraokular disisipkan ke
dalam sklera. Jaringan sklera menerima rangsangan sensoris dari nervus siliaris
posterior. Sklera merupakan organ tanpa vaskularisasi, menerima rangsangan tersebut
dari jaringan pembuluh darah yang berdekatan. Pleksus koroidalis terdapat di bawah
sklera dan pleksus episkleral di atasnya. Episklera mempunyai dua cabang, yang
pertama pada permukaan dimana pembuluh darah tersusun melingkar, dan yang
satunya lagi yang lebih di dalam, terdapat pembuluh darah yang melekat pada sklera.
Sklera membentuk 5/6 bagian dari pembungkus jaringan pengikat pada bola mata
posterior. Sklera kemudian dilanjutkan oleh duramater dan kornea, untuk menentukan
bentuk bola mata, penahan terhadap tekanan dari luar dan menyediakan kebutuhan
bagi penempatan otot-otot ekstra okular. Sklera ditembus oleh banyak saraf dan
pembuluh darah yang melewati foramen skleralis posterior. Pada cakram optikus, 2/3
bagian sklera berlanjut menjadi sarung dural, sedangkan 1/3 lainnya berlanjut dengan
beberapa jaringan koroidalis yang membentuk suatu penampang yakni lamina
kribrosa yang melewati nervus optikus yang keluar melalui serat optikus atau
fasikulus. Kedalaman sklera bervariasi mulai dari 1 mm pada kutub posterior hingga
0,3 mm pada penyisipan muskulus rektus atau akuator.3,4
Gambar 2. Sklera
(Dikutip dari kepustakaan Bolumleri, 2008)

Sklera mempunyai 2 lubang utama yaitu:6


Foramen sklerasis anterior, yang berdekatan dengan kornea dan merupakan tempat
meletaknya kornea pada sklera.
Foramen sklerasis posterior atau kanalis sklerasis, merupakan pintu keluar nervus
optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang terdiri dari sejumlah
membran seperti saringan yang tersusun transversal melintas foramen sklerasis
posterior. Serabut saraf optikus lewat lubang ini untuk menuju ke otak.
Gambar 3. Struktur Sklera
(Dikutip dari kepustakaan Bolumleri, 2008)

Secara histologis, sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar dan berkas-berkas
jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai tebal 10-16 m dan
lebar 100-140 m, yakni episklera, stroma, lamina fuska dan endotelium. Struktur
histologis sklera sangat mirip dengan struktur kornea.

Gambar 4. Histologi Sklera


(Dikutip dari kepustakaan Bolumleri, 2008)

2. FISIOLOGI SKLERA
Sklera berfungsi untuk menyediakan perlindungan terhadap komponen intra okular.
Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini memungkinkan pergerakan bola
mata tanpa menimbulkan deformitas otot-otot penggeraknya. Pendukung dasar dari
sklera adalah adanya aktifitas sklera yang rendah dan vaskularisasi yang baik pada
sklera dan koroid. Hidrasi yang terlalu tinggi pada sclera menyebabkan kekeruhan
pada jaringan sklera. Jaringan kolagen sklera dan jaringan pendukungnya berperan
seperti cairan sinovial yang memungkinkan perbandingan yang normal sehingga
terjadi hubungan antara bola mata dan socket. Perbandingan ini sering terganggu
sehingga menyebabkan beberapa penyakit yang mengenai struktur artikular sampai
pembungkus sklera dan episklera.

B. SKLERITIS
1. DEFINISI
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang
ditandai oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang
mengisyaratkan adanya vaskulitis.1
2. EPIDEMIOLOGI
Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Di Amerika Serikat
insidensi kejadian diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien
yang ditemukan, didapatkan 94% adalah skleritis anterior, sedangkan 6%nya
adalah skleritis posterior. Di Indonesia belum ada penelitian mengenai penyakit
ini. Penyakit ini dapat terjadi unilateral atau bilateral, dengan onset perlahan atau
mendadak, dan dapat berlangsung sekali atau kambuh-kambuhan. 2
Peningkatan insiden skleritis tidak bergantung pada geografi maupun ras.
Wanita lebih banyak terkena daripada pria dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden
skleritis terutama terjadi antara 11-87 tahun, dengan usia rata-rata 52 tahun. 2
3. ETIOLOGI
Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh
proses imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan
tipe III (kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus,
mungkin terjadi invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses
imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-proses lokal, misalnya bedah
katarak.1
Berikut ini adalah beberapa penyebab skleritis, yaitu:

PATOFISIOLOGI
Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang meliputi sel T
dan makrofag pada sklera memegang peranan penting terjadinya skleritis.
Inflamasi dari sklera bisa berkembang menjadi iskemia dan nekrosis yang akan
menyebabkan penipisan pada sklera dan perforasi dari bola mata. Inflamasi yang
mempengaruhi sklera berhubungan erat dengan penyakit imun sistemik dan
penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi pada penyakit auto imun secara
umum merupakan faktor predisposisi dari skleritis. Proses inflamasi bisa
disebabkan oleh kompleks imun yang berhubungan dengan kerusakan vaskular
(reaksi hipersensitivitas tipe III dan respon kronik granulomatous (reaksi
hipersensitivitas tipe IV). Interaksi tersebut adalah bagian dari sistem imun aktif
dimana dapat menyebabkan kerusakan sklera akibat deposisi kompleks imun pada

pembuluh di episklera dan sklera yang menyebabkan perforasi kapiler dan venula
post kapiler dan respon imun sel perantara. Tidak seperti episkleritis, peradangan
pada skleritis dapat menyebar pada bagian anterior atau bagian posterior mata.

KLASIFIKASI
Skleritis-episkleritis diklasifikasikan menjadi:
1. Episkleritis
a. Simple
Biasanya jinak, sering bilateral, reaksi inflamasi terjadi pada usia muda yang
berpotensi mengalami rekurensi. Gejala klinis yang muncul berupa rasa tidak
nyaman pada mata, disertai berbagai derajat inflamasi dan fotofobia. Terdapat
pelebaran pembuluh darah baik difus maupun segmental. Wanita lebih banyak
terkena daripada pria dan sering mengenai usia dekade 40-an.
b. Nodular
Baik bentuk maupun insidensinya hampir sama dengan bentuk simple scleritis.
Sekitar 30% penyebab skleritis nodular dihubungkan dengan dengan penyakit
sistemik, 5% dihubungkan dengan penyakit kolagen vaskular seperti artritis
rematoid, 7% dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus dan 3% dihubungkan
dengan gout.
2. Skleritis Anterior
95% penyebab skleritis adalah skleritis anterior. Insidensi skleritis anterior sebesar
40% dan skleritis anterior nodular terjadi sekitar 45% setiap tahunnya. Skleritis
nekrotik terjadi sekitar 14% yang biasanya berbahaya. Bentuk spesifik dari
skleritis biasanya tidak dihubungkan dengan penyebab penyakit khusus, walaupun

penyebab klinis dan prognosis diperkirakan berasal dari suatu inflamasi. Berbagai
varian skleritis anterior kebanyakan jinak dimana tipe nodular lebih nyeri. Tipe
nekrotik lebih bahaya dan sulit diobati.

Gambar 5. Skleritis Anterior


(Dikutip dari kepustakaan Bolumleri, 2008)
a. Difus
Ditandai dengan peradangan yang meluas pada seluruh permukaan sklera.
Merupakan skleritis yang paling umum terjadi. Bentuk ini dihubungkan dengan
artritis rematoid, herpes zoster oftalmikus dan gout.
b. Nodular
Ditandai dengan adanya satu atau lebih nodul radang yang eritem, tidak dapat
digerakkan, dan nyeri pada sklera anterior. Sekitar 20% kasus berkembang
menjadi skleritis nekrosis. Bentuk ini dihubungkan dengan herpes zoster
oftalmikus.
c. Necrotizing
Bentuk ini lebih berat dan dihubungkan sebagai komplikasi sistemik atau
komplikasi okular pada sebagian pasien. 40% menunjukkan penurunan visus.
29% pasien dengan skleritis nekrotik meninggal dalam 5 tahun.
Bentuk skleritis nekrotik terbagi 2 yaitu:
i. Dengan inflamasi; Biasa mengikuti penyakit sistemik seperti rheumatoid
arthtitis. Nyeri sangat berat dan kerusakan pada sklera terlihat jelas. Apabila
disertai dengan inflamasi kornea, dikenal sebagai sklerokeratitis.

ii. Tanpa inflamasi (scleromalacia perforans); Biasa terjadi pada pasien yang
sudah lama menderita rheumatoid arthritis. Diakibatkan oleh pembentukan nodul
rematoid dan absennya gejala.

3. Skleritis Posterior
Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama dengan skleritis
anterior. Biasanya skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri, proptosis dan
penurunan kemampuan melihat. Dari pemeriksaan objektif didapatkan adanya
perubahan fundus, adanya perlengketan massa eksudat di sebagian retina,
perlengketan cincin koroid, massa di retina, udem nervus optikus dan udem
makular. Inflamasi skleritis posterior yang lanjut dapat menyebabkan ruang okuli
anterior dangkal, proptosis, pergerakan ekstra ocular yang terbatas dan retraksi
kelopak mata bawah.

Gambar 6. Skleritis Posterior


(Dikutip dari kepustakaan Bolumleri, 2008)

DIAGNOSIS
Skleritis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
didukung oleh berbagai pemeriksaan penunjang.
ANAMNESIS
Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien, perjalanan penyakit,
riwayat penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma ataupun riwayat
pembedahan juga perlu pemeriksaan dari semua sistem pada tubuh.

Keluhan pasien akan bervariasi, tergantung dari tipe skleritis yang dialami pasien.
Pasien dengan necrotizing anterior scleritis with inflammation akan mengeluhkan
rasa nyeri yang hebat disertai tajam penglihatan yang menurun, bahkan dapat
terjadi kebutaan. Tajam penglihatan pasien dengan non-necrotizing scleritis
biasanya tidak akan terganggu, kecuali bila terjadi komplikasi seperti uveitis.
Gejala-gejala dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme, dan
penurunan ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah. Nyeri
adalah gejala yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi
yang aktif.. Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan ujung saraf
akibat adanya inflamasi. Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat,
nyeri tajam menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien terbangun sepanjang
malam, kambuh akibat sentuhan. Nyeri dapat hilang sementara dengan
penggunaan obat analgetik. Mata berair atau fotofobia pada skleritis tanpa disertai
sekret mukopurulen. Penurunan ketajaman penglihatan biasa disebabkan oleh
perluasan dari skleritis ke struktur yang berdekatan yaitu dapat berkembang
menjadi keratitis, uveitis, glaucoma, katarak dan fundus yang abnormal.

Gambar 7. Skleritis
(Dikutip dari kepustakaan Bolumleri, 2008)
Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata menjelaskan adanya penyakit
sistemik, trauma, obat-obatan atau prosedur pembedahan dapat menyebabkan
skleritis seperti
Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat
Penyakit infeksi

Penyakit miscellanous ( atopi,gout, trauma kimia, rosasea)


Trauma tumpul atau trauma tajam pada mata
Obat-obatan seperti pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid dan
ibandronate.
Post pembedahan pada mata
Riwayat penyakit dahulu seperti ulserasi gaster, diabetes, penyaki hati, penyakit
ginjal, hipertensi dimana mempengaruhi pengobatan selanjutnya.
Pengobatan yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang berlangsung dan
responnya terhadap pengobatan.

PEMERIKSAAN FISIK SKLERA

Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan pemeriksaan tajam
penglihatan.Visus dapat berada dalam keadaan normal atau menurun namun
gangguan visus lebih jelas pada skleritis posterior. Pemeriksaan umum pada kulit,
sendi, jantung dan paru paru dapat dilakukan apabila dicurigai adanya penyakit
sistemik.

1. Daylight
Sklera bisa terlihat merah kebiruan atau keunguan yang difus. Setelah serangan
yang berat dari inflamasi sklera, daerah penipisan sklera dan transluse juga dapat
muncul dan juga terlihat uvea yang gelap. Area hitam, abu-abu dan coklat yang
dikelilingi oleh inflamasi yang aktif yang mengindikasikan adanya proses
nekrotik. Jika jaringan nekrosis berlanjut, area pada sklera bisa menjadi avaskular

yang menghasilkan sekuester putih di tengah yang dikelilingi lingkaran coklat


kehitaman. Proses pengelupasan bisa diganti secara bertahap dengan jaringan
granulasi meninggalkan uvea yang kosong atau lapisan tipis dari konjungtiva.
2. Pemeriksaan Slit Lamp
Untuk menentukan adanya keterlibatan secara menyeluruh atau segmental. Injeksi
yang meluas adalah ciri khas dari diffuse anterior scleritis. Pada skleritis, terjadi
bendungan yang masif di jaringan dalam episklera dengan beberapa bendungan
pada jaringan superfisial episklera. Pada tepi anterior dan posterior cahaya slit
lamp bergeser ke depan karena episklera dan sclera edema.
Pada skleritis dengan pemakaian fenilefrin hanya terlihat jaringan superfisial
episklera yang pucat tanpa efek yang signifikan pada jaringan dalam episklera.
Penggunaan lampu hijau dapat membantu mengidentifikasi area avaskular pada
sklera. Perubahan kornea juga terjadi pada 50% kasus. Pemeriksaan kelopak mata
untuk kemungkinan blefaritis atau konjungtivitis juga dapat dilakukan.

3. Pemeriksaan skleritis posterior


Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada palpasi dan proptosis.
Dilatasi fundus dapat berguna dalam mengenali skleritis posterior. Skleritis
posterior dapat menimbulkan amelanotik koroidal. Pemeriksaan funduskopi dapat
menunjukan papiledema, lipatan koroid, dan perdarahan atau ablasio retina

3. Pemeriksaan Red-free Light

Pemeriksaan ini dapat membantu menegakkan area yang mempunyai kongesti


vaskular yang maksimum, area dengan tampilan vaskular yang baru dan juga area
yang avaskular total. Selain itu perlu pemeriksaan secara umum pada mata
meliputi otot ekstra okular, kornea, uvea, lensa, tekanan intraokular dan fundus.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Berdasarkan riwayat penyakit dahulu, pemeriksaan sistemik dan pemeriksaan
fisik dapat ditentukan tes yang cocok untuk memastikan atau menyingkirkan
penyakit-penyakit yang berhubungan dengan skleritis. Adapun pemeriksaan
laboratorium tersebut meliputi :
Hitung darah lengkap dan laju endap darah
Kadar komplemen serum (C3)
Kompleks imun serum
Faktor rematoid serum
Antibodi antinukleus serum
Antibodi antineutrofil sitoplasmik
Imunoglobulin E
Kadar asam urat serum
Urinalisis
Rata-rata Sedimen Eritrosit
Tes serologis
HBs Ag

PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Berbagai macam pemeriksaan radiologis yang diperlukan dalam menentukan


penyebab dari skleritis adalah sebagai berikut :
Foto thorax
Rontgen sinus paranasal
Foto lumbosacral
Foto sendi tulang panjang
Ultrasonography ( Scan A dan B)
8. B-Scan Ultrasonography dapat membantu mendeteksi adanya skleritis
posterior.

Gambar 7. B-Scan Ultrasonography pada skleritis posterior menunjukkan adanya


akumulasi cairan pada kapsul tenon
(Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/1228865-overview#a30)
CT-Scan
MRI
Pemeriksaan lain yang diperlukan antara lain :
Skin Test
Tes usapan dan kultur
PCR

Histopatologi

DIAGNOSIS BANDING
Berikut ini adalah beberapa diagnosis banding dari skleritis:
Konjunctivitis alergika
Episkleritis
Gout
Herpes zoster
Rosasea okular
Karsinoma sel skuamosa pada konjunctiva
Karsinoma sel skuamosa pada palpebra
Uveitis anterior nongranulomatosa

PENATALAKSANAAN
Pengobatan pada skleritis membutuhkan pengobatan secara sistemik. Pasien yang
terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan pengobatan yang spesifik
juga Penatalaksanaan skleritis dibagi menjadi pengobatan pada skleritis yang
tidak infeksius, pengobatan pada skleritis yang infeksius, serta konsultasi kepada
bagian terkait apabila dicurigai ada penyakit sistemik yang menyertai.

1. Pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius. NSAIDs, kortikosteroid, atau


obat imunomodulator dapat digunakan. Pengobatan secara topikal saja tidak
mencukupi. Pengobatan tergantung pada keparahan skleritis, respon pengobatan,
efek samping, dan penyakit penyerta lainnya.

o Diffuse scleritis atau nodular scleritis

Pengobatan awal menggunakan NSAIDs. Jika gagal dapat menggunakan 2


jenis NSAIDs yang berbeda. Untuk pasien resiko tinggi, berikan juga misoprostol
atau omeprazole untuk perlindungan gastrointestinal.

Jika NSAIDs tidak efektif, gunakan kortikosteroid oral. Jika terjadi remisi,
dipertahankan menggunakan NSAIDs.
Jika oral kortikosteroid gagal, obat obatan imunosupresif dapat digunakan.
Methotrexate adalah obat pilihan pertama, tapi dapat juga digunakan azathioprine,
mycophenolate, mofetil, cyclophosphamide, atau cyclosporine. Untuk pasien dengan
Wegeners granulomatosis atau polyarteritis nodosa, cyclophosphamide adalah
pilihan utama.
Jika masih gagal, dapat diberikan obat obatan imunomodulator seperti
infliximab atau adalimumab yang diharapkan dapat efektif.
o Necrotizing scleritis
Obat obatan imunosupresif ditambahkan dengan kortikosteroid pada bulan
pertama, kemudian jika mungkin dikurangi perlahan lahan.
Jika gagal, pengobatan imunomodulator dapat digunakan.
Injeksi steroid periokular tidak boleh dilakukan karena dapat memperparah
proses nekrosis yang terjadi.
2. Pengobatan untuk skleritis yang infeksius. Pengobatan sistemik dengan atau tanpa
antimikrobial topikal dapat digunakan. Sementara kortikosteroid dan imunosupresif
tidak boleh digunakan.
3. Konsultasi. Dapat dilakukan kepada ahli penyakit dalam untuk penyakit penyerta,
dan konsultasi dengan spesialis hematologi atau onkologi untuk pengawasan terapi
imunosupresif.
Adapun jenis obat-obatan yang dapat dipakai sebagai medikamentosa dalam penyakit
skleritis ialah:11
A. NSAIDs (Non-steroid Anti Inflammatory Drugs)

Obat ini digunakan untuk menurunkan rasa nyeri dan peradangan. NSAIDs bekerja
dengan cara menghambat sintesis prostaglandin, menghalangi perjalanan dari lekosit,
dan menghambat fosfodiesterase.
Pemberian:
Minum pada waktu yang bersamaan dengan makanan atau dengan air untuk
menghindari gangguan pada saluran pencernaan.
1. Indometasin (Indocin)
Sering dianggap sebagai obat pilihan pertama. Indometasin dapat dengan cepat
diserap. Metabolisme terjadi di hati dengan demetilasi, deasetilasi, dan konjugasi
glukuronid.
Dosis: 75-150 mg PO/hari or dibagi 2 kali sehari; tidak melampaui 150 mg/hari
Pemberian pada lansia harus diawasi fungsi ginjal, Penurunan fungsi ginjal lebih
mungkin terjadi usia lanjut. Dosis/frekuensi terendah disarankan.
2. Diflunisal (Dolobid)
Turunan asam salisilat nonsteroid yang bekerja secara perifer sebagai analgesik.
Memiliki efek antipiretik dan anti radang; tetapi, berbeda secara kimia dengan
aspirin dan tidak dimetabolisme menjadi asam salisilat. Obat ini adalah sebuah
penghambat prostaglandin sintase.
Dosis: 250-1000 mg PO setiap hari dibagi setiap 12 jam.
Dosis maksimum: 1500 mg/hari.
3. Naproxen (Naprelan, Anaprox, Aleve, Naprosyn)
Digunakan untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang. Menghambat reaksi
peradangan dan nyeri dengan menurunkan aktifitas enzim siklooksigenase,
menghasilkan penurunan dari sintesis prostaglandin.
Naproxen diserap dengan cepat dan memiliki paruh waktu sekitar 12 15 jam.
Dosis: 250-500 mg PO 2 kali sehari. Tidak lebih dari 1500 mg/hari.
4. Ibuprofen (Motrin, Ibuprin, Advil)
Biasanya merupakan obat pilihan untuk pengobatan nyeri ringan sampai sedang, jika
tidak ada kontraindikasi. Menghambat reaksi peradangan dan nyeri, kemungkinan
dengan menurunkan aktifitas enzim siklooksigenase, yang menghasilkan sintesis
prostaglandin.
Obat yang berikatan kuat dengan protein dan siap diserap secara
oral.
Memiliki paruh waktu yang singkat (1.8-2.6 jam).
Dosis: 300-800 mg PO 4 kali sehari
400-800 mg IV selama 30 menit setiap 6 jam kalau diperlukan. Tidak melebihi 3200
mg/hari
5. Sulindac (Clinoril)
Menurunkan aktifitas siklooksigenase dan, dengan begitu, menghambat sintesis
prostaglandin. Menghasilkan penurunan pembentukan mediator peradangan.
Dosis: 150-200 mg PO 2 kali sehari. Tidak melebihi 400 mg/hari.
Gunakan dosis terendah yang paling efektif untuk jangka waktu terpendek.
6. Piroxicam (Feldene)
Secara struktur kimia berbeda dengan NSAID. Berikatan dengan protein plasma.
Menurunkan aktifitas siklooksigenase dan dengan begitu, menghambat sintesis
prostaglandin. Efek ini menurunkan pembentukan mediator radang.

Dosis: 20 mg PO setiap harinya atau dibagi 2 kali sehari; tidak melebihi 30-40
mg/hari
B. Agen Imunosupresan
Digunakan untuk skleritis berat (Necrotizing scleritis) dan yang resisten terhadap
NSAIDs.
1. Methotrexate (Folex, Rheumatex)
Mekanisme kerjanya dalam pengobatan reaksi peradangan kurang diketahui. Dapat
mempengaruhi fungsi imun dan biasanya menghilangkan gejala peradangan (nyeri,
bengkak, kaku).
Dosis tunggal PO sebanyak 7.5 mg setiap minggu. Dosis dibagi PO
sebanyak 2.5 mg setiap 12 jam untuk 3 dosis, sebagai pengganti
sekali seminggu
Peningkatan sampai respon optimum; tidak melebihi dosis tunggal dari 20 mg
(meningkatkan resiko supresi sum sum tulang). Kurangi sampai serendah mungkin.
Kurangi sampai dosis efektif terendah dengan waktu istirahat terpanjang
Awasi : fungsi ginjal, keracunan hematopoietik, fungsi paru, fungsi hati
2. Cyclophosphamide (Cytoxan, Neosar)
Secara struktur kimia berhubungan dengan mustards nitrogen. Sebagai alkylating
agent, mekanisme kerjanya sebagai metabolit aktif mungkin melibatkan
penyambungan silang DNA, yang dapat mengganggu pertumbuhan sel normal dan
neoplastik.
Pemberian IV:
Dosis tunggal: 40-50 mg/kg dibagi selama 2-5 hari; dapat diulangi dalam interval 2-4
minggu
Dosis setiap hari: 1-2.5 mg/kg/hari
Pemberian oral:
Dosis : 400-1000 mg/sq.meter dibagi selama 4-5 hari sebagai terapi intermiten
Terapi berulang: 50-100 mg/sq.meter/hari
Pemberian:
Berikan dosis pertama sepagi mungkin
Minum banyak cairan bersamaan dengan dosis per oral
Pasien harus buang air untuk mencegah sistitis hemoragik.
Awasi: Hitung sel darah (Sel darah putih dapat menurun sampai 2000-3000/cu.mm
tanpa resiko serius terkena infeksi)
3. Azathioprine (Imuran)
Menghambat mitosis dan metabolisme seluler dengan mengganggu metabolisme
purin dan sintesis DNA, RNA, dan protein.
Dosis awal: 1 mg/kg IV/PO setap hari atau dipisah 2 kali sehari,
dapat ditingkatkan seperti berikut:

Sebesar 0.5 mg/kg/hari setelah 6-8 minggu, kemudian sebesar 0.5 mg/kg/hari setiap 4
minggu, tidak melebihi 2.5 mg/kg/hari.
Pengawasan: Kurangi dosis sebanyak 0.5 mg/kg setiap 4 minggu sampai dosis efektif
terendah tercapai
4. Cyclosporine (Neoral)
Siklik polipeptida yang menekan beberapa imun humoral dan reaksi imun yang
dilakukan sel, seperti hipersensitifitas tipe lambat dan penolakan cangkok.
Dosis: 2.5 mg/kg/hari dibagi 2 kali sehari PO kurang lebih 8 minggu, Dapat ditambah
menjadi tidak lebih dari 4 mg/kg/hari
Awasi: fungsi ginjal
C. Glukokortikoid
Memiliki sifat anti peradangan dan mengakibatkan bermacam efek metabolik.
Kortikosteroid mempengaruhi respon imun tubuh dan berguna dalam pengobatan
skleritis yang berulang.
1. Methylprednisolone (Depo-Medrol, Solu-Medrol, Medrol)
Pemberian IM atau IV. Biasanya digunakan sebagai tambahan agen imunosupresif
lainnya.
Dosis: 2-60 mg/hari dibagi sekali sehari atau 2 kali sehari PO
Metilprednisolon asetat: 10-80 mg IM setiap 1-2 minggu
Jika diberikan sebagai pengganti sementara untuk pemberian oral, berikan dosis IM
setiap harinya sama dengan dosis oral.
Untuk efek jangka panjang, berikan dosis oral 7 kali setiap harinya IM setiap minggu.
Hanya metilprednisolon sodium sukinat dapat diberikan secara IV
Dosis: 1 g IV selama 1 jam selama 3 hari
2. Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred)
Digunakan untuk mengobati reaksi peradangan dan alergi. Bekerja dengan cara
meningkatkan permeabilitas kapiler dan menekan kerja PMN, serta dapat
menurunkan peradangan.
Dosis: 5-60 mg/hari PO setiap hari atau dibagi 2 kali sehari sampai 4
kali sehari.

Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki perforasi sklera atau
kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan apabila terjadi kerusakan
hebat akibat invasi langsung mikroba, atau pada granulomatosis Wegener atau
poliarteritis nodosa yang disertai penyulit perforasi kornea. Penipisan sklera pada
skleritis yang semata-mata akibat peradangan jarang menimbulkan perforasi
kecuali apabila juga terdapat galukoma atau terjadi trauma langsung terutama
pada usaha mengambil sediaan biopsi. Tandur sklera pernah digunakan sebagai

tindakan profilaktik dalam terapi skleritis, tetapi tandur semacam itu tidak jarang
mencair kecuali apabila juga disertai pemberian kemoterapi.

Skleromalasia perforans tidak terpengaruh oleh terapi kecuali apabila terapi


diberikan pada stadium paling dini penyakit. Karena pada stadium ini jarang
timbul gejala, sebagian besar kasus tidak diobati sampai timbul penyulit.

Komplikasi
Skleritis dapat mengakibatkan terjadinya beberapa komplikasi. Makular edema
dapat terjadi karena perluasan peradangan di sklera bagian posterior sampai
koroid, retina, dan saraf optic. Makular edema dapat mengakibatkan penurunan
penglihatan. Komplikasi lainnya yaitu perforasi dari sklera yang mengakibatkan
hilangnya kemampuan mata untuk melihat. Skleromalasia juga dapat terjadi,
terutama pada skleritis dengan rheumatoid arthritis. Obat kortikosteroid juga dapat
memicu terjadinya perforasi serta meningkatkan tekanan intraokular sehingga
beresiko merusak saraf optik akibat glaukoma.

Tanpa pengobatan segera dapat terjadi kondisi seperti katarak, ablasio retina,
keratitis, uveitis, atau atrofi optik. Keratitis bermanifestasi sebagai pembentukan
alur perifer, vaskularisasi perifer, atau vaskularisasi dalam dengan atau tanpa
pengaruh kornea. Penyulit pada kornea dapat dalam bentuk keratitis sklerotikan,
dimana terjadi kekeruhan kornea akibat peradangan sklera terdekat. Bentuk
keratitis sklerotikan adalah segitiga yang terletak dekat skleritis yang sedang
meradang. Hal ini terjadi akibat gangguan susunan serat kolagen stroma. Pada

keadaan ini tidak pernah terjadi neovaskularisasi ke dalam stroma kornea. Proses
penyembuhan kornea yaitu berupa menjadi jernihnya kornea yang dimulai dari
bagian sentral. Sering bagian sentral kornea tidak terlihat pada keratitis
sklerotikan.

Uveitis adalah tanda buruk karena sering tidak berespon terhadap terapi. Uveitis
anterior terjadi pada sekitar 30% kasus skleritis. Sedangkan uveitis posterior
terjadi pada hampir seluruh kasus skleritis posterior, namun tak jarang juga
dijumpai pada kasus skleritis anterior. Skleritis dapat berulang dan berpindah ke
posisi sklera yang berbeda.

PROGNOSIS
Prognosis skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya. Skleritis pada
spondiloartropati atau pada SLE biasanya relatif jinak dan sembuh sendiri dimana
termasuk tipe skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada mata
Skleritis pada penyakit Wagener adalah penyakit berat yang dapat menyebabkan
buta permanen dimana termasuk tipe skleritis nekrotik dengan komplikasi pada
mata.
Skleritis pada rematoid artritis atau polikondritis adalah tipe skleritis difus,
nodular atau nekrotik dengan atau tanpa komplikasi pada mata. Skleritis pada
penyakit sistemik selalu lebih jinak daripada skleritis dengan penyakit infeksi atau
autoimun. Pada kasus skleritis idiopatik dapat ringan, durasi yang pendek, dan
lebih respon terhadap tetes mata steroid. Skleritis tipe nekrotik merupakan tipe
yang paling destruktif dan skleritis dengan penipisan sklera yang luas atau yang
telah mengalami perforasi mempunyai prognosis yang lebih buruk.

Prognosis
Individu dengan skleritis ringan biasanya tidak akan mengalami kerusakan
penglihatan yang permanen. Hasil akhir cenderung tergantung pada penyakit penyerta
yang mengakibatkan skleritis. Necrotizing scleritis umumnya mengakibatkan
hilangnya penglihatan dan memiliki 21% kemungkinan meninggal dalam 8 tahun. 8
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

Anda mungkin juga menyukai