Kekuatan Maaf
Kekuatan Maaf
Seorang ayah beserta anak perempuan dan anak laki-laki kecilnya yang berusia 6 tahun sedang menunggu keberangkatan pesawat yang akan
membawa mereka pulang. Saat itu di Chicago sedang hujan salju sangat lebat dan keberangkatan pesawat pun tertunda. Sang ayah sudah
bertekad akan terus bersikap sabar dan tenang, agar dapat menjadi contoh bagi anaknya, meskipun itu berat karena kondisi kurang tidur selama
beberapa hari terakhir.
Ketenangan sang ayah terusik ketika menyadari akibat dari keterlambatan itu, pesawat yang membawa mereka baru mendarat pukul 11.00,
sementara penerbangan mereka berikutnya dijadwalkan take-off pada pukul 11.02. Seorang pramugari mendengar percakapan Ayah dengan
anak-anaknya, lalu membantu dengan cara mengumumkan kepada penumpang lainnya agar memberi kesempatan kepada sang ayah dan 2
anaknya untuk turun terlebih dahulu (mereka duduk di kursi paling belakang). Tak lupa pramugari itu menggunakan koneksi wi-fi-nya untuk
menemukan gate keberangkatan pesawat mereka berikutnya.
Dua menit sepertinya mustahil. Tapi melihat usaha dari pramugari itu, sang Ayah pun memutuskan untuk tidak menyerah. Dia memutuskan akan
tetap mengejar pesawat berikutnya yang dijadwalkan jam 11.02 itu.
Ketika pesawat mereka mendarat, semua penumpang tampaknya lupa dengan pesan pramugari. Semua sibuk menurunkan bawaannya dan
bergegas keluar dari pintu depan. Alhasil, sang ayah dan kedua anaknya menjadi penumpang terakhir yang turun.
Ayah mulai kehilangan kesabaran. Dia juga marah kepada penumpang lain yang egois. Dalam kemarahan sang Ayah, mereka terus berlari
menuju gate keberangkatan yang ada di terminal lain.
Ketika sampai, pintu sudah tertutup dan papan pengumuman sudah mengumumkan jadwal penerbangan berikutnya. Hanya ada satu petugas di
sana. Ayah memanggil petugas itu, tapi si petugas mengabaikannya.
Bisa bantu kami?
Maaf, saya tidak bisa membantu anda sekarang.
Dan petugas itu bergegas pergi.
Habis sudah kesabaran sang Ayah. Kata maki-makian keluar ditujukan kepada si petugas, yang dalam ketergesaannya sempat menjawab, Kalau
ketinggalan pesawat, silahkan ke counter otomatis di antara gate C2 dan C3.
Sang ayah makin marah. Sudah ketinggalan pesawat akibat keluar pesawat terakhir gara-gara penumpang lain tidak ada yang mau mengalah,
petugas tidak ada yang mau membantu, dan sekarang malah disuruh menggunakan counter otomatis yang dijalankan oleh komputer. Lagi-lagi
kata makian keluar dari mulutnya.
Tetapi sesaat kemudian sang ayahpun tersadar dan melihat ke arah anak laki-lakinya yang berusia 6 tahun itu. Anaknya terlihat bingung karena ia
belum pernah mengalami situasi semacam itu dan belum pernah melihat ayahnya bersikap seperti itu. Sang ayah menyadari dirinya telah
'merusak' anaknya.
Setelah mengurus penggantian jadwal ke penerbangan selanjutnya (berangkat 4 jam kemudian), makan siang, dan leyeh-leyeh, sang ayah
berpikir bagaimana cara memperbaiki kerusakan yang telah ia perbuat. Ia harus berbuat sesuatu yang akan terus diingat anaknya.
Setelah merenung cukup lama, ia mengajak anak laki-lakinya untuk menemui petugas yang tadi ia bentak.
Kenapa, ayah? tanya anaknya yang sedang asyik main HP ayahnya.
Ayo ikut sajalah . Ayah ingin kamu melihat dan mendengarkannya. Pergilah mereka menemui petugas itu.
Maaf pak, barangkali bapak lupa dengan saya. Kira-kira 3 jam yang lalu, saya melakukan hal yang tidak pantas. Saya memaki-maki anda karena
ketinggalan pesawat dan anda tidak bisa membantu kami untuk mendapatkan penerbangan lain. Saya menumpahkan kemarahan pada anda dan
memberi contoh yang buruk bagi anak saya. Saya ingin minta maaf dan berharap anda mau memaafkan saya.
Si petugas diam saja, seolah tak tahu harus bagaimana. Ketika sang ayah hampir berbalik arah meninggalkannya, petugas itu berkata : Saya
tak tahu harus menanggapi bagaimana. Saya tadi tidak mendengar umpatan anda. Saya sedang mencari kotak P3K untuk wanita yang terluka di
gate sebelah. Saya ingin membantu anda, tapi saya buru-buru untuk menemani wanita itu. Maaf saya tidak berhenti untuk membantu anda.
Sang Ayah makin merasa malu dan berkata, Anda tidak perlu minta maaf. Saya yang salah. Saya perlu minta maaf dan meluruskan kesalahan
saya, sekaligus menunjukkan anak saya bahwa perbuatan saya tadi salah kata ayah itu.
Petugas itu tampak terkejut. Tidak apa-apa, Pak. Saya memaafkan anda dan saya sangat menghargai permintaan maaf anda. Anda tidak perlu
melakukan ini sebenarnya. Tak ada yang pernah melakukannya dan kami sudah biasa menerima umpatan dan lontaran kemarahan penumpang.
Anda membuat hidup saya di hari ini jadi berarti dan saya berterima kasih untuk itu. Petugas itupun mengulurkan tangannya untuk bersalaman,
Nama saya Ron.
Terima kasih, Ron. Saya Josh. Senang bertemu dengan anda dan semoga sisa hari anda indah.
Setelah beranjak pergi, sang ayah menatap anaknya yang masih menggenggam tangannya dengan erat. Anaknya kini menatapnya, kali ini
tatapan kagum dan disusul senyum di bibirnya. Sang ayah membalas senyumnya dan berkata, Anakku, kita telah melakukan hal yang benar.
Selalu melakukan hal yang benar, tak peduli apapun kondisinya.
Lima menit kemudian, Ron memanggil sang ayah. Dalam tiket yang sang ayah pegang, mereka bertiga mendapat tempat duduk berjauhan
karena itulah tempat duduk yang tersisa. Ron mengambil inisiatif mengatur penumpang lain agar mereka bertiga bisa duduk bersebelahan, dan
juga mendapatkan kursi dengan ruang kaki yang lebih luas.
Memberi maaf adalah satu bentuk hadiah cinta. Suatu tindakan indah yang tidak hanya memberi manfaat bagi yang memberi maaf, tapi juga bagi
yang meminta maaf.
Terima kasih kepada hujan salju, penerbangan yang terlambat dan keegoisan penumpang lain. Sang ayah telah mendapat kesempatan untuk
mengajarkan hal yang baik kepada anak-anaknya.
Sesuatu yang akan mereka ingat seumur hidup..!
(Diterjemahkan bebas dan diringkas dari artikel "To The Ticket Agent at The Delta Counter" oleh bunda Savrina Tanjung Prabandari, anggota
grup RFC )
Terima kasih, Bunda Savrina