PERUNDANG-UNDANGAN
Oleh:
T. Saiful Bahri, S.H.,M.Si
Penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik, pada hakekatnyaperlu memperhatikan
dasar-dasar pembentukannya terutama berkaitan denganlandasan-landasan, asasa-asas yang
berkaiatan dengan materi muatannya.Sekurang-kurangnya dasar-dasar penyusunan peraturan
perundang-undanganharus memiliki tiga landasan, yaitu landasan filosofis, landasan sosiologis
dan landasan yuridis. Namun selain dari ketiga landasan tersebut, ada landasanlandasanlain
yang perlu diperhatikan juga antara lain landasan teknik perancangan dan landasan politis.
Landasan-landasan, asas-asas dan materi muatan peraturan perundang-undangan dimaksud
dapat dijelaskan sebagai berikut:
A. LANDASAN
1. Landasan Filosofis (Filosofische grondslag)
Landasan filosofis merupakan filsafat atau pandangan hidup sesuatu bangsayang berisi nilai-nilai
moral atau etika dari bangsa tersebut. Moral dan etikapada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik
dan yang tidak baik. Nilai yang baik adalah pandangan dan cita-cita yang dijunjung tinggi.
Dimana di dalamnya ada nilai kebenaran, keadilan, kesusilaan, dan berbagai nilai lainnya yang
dianggap baik. Pengertian baik, benar, adil, dan susila tersebut menurut takaran yang dimiliki
bangsa ybs. Hukum yang baik harus berdasarkan kepada semua itu. Hukum yang dibentuk tanpa
memperhatikan moral bangsa akan sia-sia diterapkannya, tidak akan ditaati atau dipatuhi. Semua
nilai yang ada diIndonesia terakumulasi dalam Pancasila, karena Pancasila adalah pandangan
hidup, cita-cita bangsa, falsafah atau jalan kehidupan (way of life), dan berbagai sebutan lainnya.
Apapun jenisnya filsafat hidup bangsa, harus menjadi rujukan dalam membentuk hukum yang
akan dipergunakan dalam kehidupan bangsa tersebut.
Oleh karena itu kaidah hukum yang dibentuk (yang termuat dalam peraturan perundangundangan) harus mencerminkan filsafat hidup bangsa itu. Sekurangkurangnya tidak
bertentangan dengan nilai-nilai moral bangsa, dan mencerminkan nilai-nilai keadilan masyarakat.
2. Landasan Sosiologis (Sociologische grondslag)
Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis apabila
ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat.
Hal ini penting agar perundang-undangan yang dibuat ditaati oleh masyarakat, tidak menjadi
kalimat-kalimat mati belaka1. Hal ini berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang dibuat
harus dipahami oleh masyarakat, sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat ybs. Membuat
suatu aturan yang tidak sesuai dengan tata nilai, keyakinan dan kesadaran masyarakat tidak
akan ada artinya, tidak mungkin dapat diterapkan karena tidak dipatuhi dan ditaati. Hukum yang
dibentuk harus sesuai dengan "hukum yang hidup" (living law) dalam masyarakat. Dengan
demikian perlu dipahami juga bahwa tidak berarti apa yang ada pada saat ini dalam suatu
masyarakat, akan menjadi nilai kehidupan pada masyarakat selanjutnya. Produk perundangundangan tidak sekedar merekam keadaan seketika (moment opname).2 Masyarakat berubah,
nilai-nilaipun berubah, kecenderungan dan harapan masyarakat harus dapat diprediksi dan
terakumulasi dalam peraturan perundang-undangan yang berorientasi masa depan.
3. Landasan Yuridis (Juridische grondslag)
Landasan yuridis adalah landasan hukum (yuridische gelding) yang menjadi dasar kewenangan
(bevoegdheid atau competentie) pembuatan peraturan perundang-undangan. Apakah
kewenangan seseorang pejabat atau lembaga/badan tertentu mempunyai dasar hukum yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau tidak. Dasar hukum kewenangan
membentuk peraturan perundang-undangan sangat diperlukan. Tanpa disebutkan dalam
peraturan perundangan sebagai landasan yuridis formal, seorang pejabat atau suatu
lembaga/badan adalah tidak berwenang (onbevoegdheid) mengeluarkan peraturan. Sebagai
landasan yuridis formal tersebut misalnya, Pasal 20 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 memberikan
kewenangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk membentuk Undang-undang. Demikian
pula ketentuan
Pasal 5 ayat (2) memberikan dasar hukum kewenangan kepada Presiden dalam menetapkan
Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-undang. Di dalam landasan yuridis formal
selain menetapkan lembaga/badan yang berwenang membentuk, juga secara garis besar
ditetapkan proses dan prosedur penetapannya. Misalnya, suatu Undang-undang sebelum
disahkan (istilah UUDNRI Tahun 1945) menjadi Undang-undang harus mendapat persetujuan
bersama terlebih dahulu dari Presiden. Selain itu, walaupun RUU telah disetujui oleh Presiden
tetapi dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak persetujuan tidak disahkan oleh Presiden, maka
RUU tersebut sah menjadi Undang-undang dan wajib diundangkan (Pasal 20 ayat (5) UUDNRI
Tahun 1945). Demikian pula misalnya Peraturan Daerah, ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah
mendapat persetujuan bersama DPRD (Pasal 136 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah). Kalau suatu Peraturan Daerah dibuat oleh Kepala Daerah tanpa disetujui oleh DPRD
maka Peraturan Daerah tersebut batal demi
hukum (van rechtwegenietig).
Dengan demikian jenis peraturan perundang-undangan serta lembaga/badan yang berwenang
membentuknya harus mempunyai landasan formal secara tegas dalam peraturan perundangundangan. Tanpa landasan formaldemikian, maka prinsip negara berdasar atas hukum akan
menjadi goyah. Oleh karena itu dasar yuridis sangat penting dalam pemuatan peraturan
perundangundangan yang ditandai dengan:
1. adanya kewenangan untuk pembuat peraturan perundang-undangan, karena setiap
peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/badan atau pejabat yang
berwenang;
2. adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi
yang diatu, terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perundangundangan tingkat
lebih tinggi atau sederajat;
1 Bagir Manan, dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit Indhill, Co, Jakarta, 1992.
2 Amiroeddin Syarif, Perundang-undangan, Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya, Penerbit Bina
Aksara, Jakarta,
1987
3. mengikuti tata cara atau prosedur tertentu, apabila tidak diikuti maka peraturan
perundang-undangan tersebut dimungkinkan batal demi hukum atau tidak/belum
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi
tingkatannya. Suatu Undang-undang tidak boleh mengandung kaidah yang bertentangan
dengan UUD. Demikian pula seterusnya sampai pada peraturan perundang-undangan
tingkat lebih bawah.
Selain menentukan dasar kewenangan landasan hukum juga merupakan dasar keberadaan atau
pengakuan dari suatu jenis peraturan perundangundangan adalah landasan yuridis material.
Landasan yuridis material menunjuk kepada materi muatan tertentu yang harus dimuat dalam
suatu peraturan perundang-undangan tertentu. Pembentuk peraturan menghendaki bahwa
sesuatu materi tertentu hendaknya diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan tertentu
pula. Dalam UUD 1945 disebutkan adanya materi-materi tertentu yang harus diatur dengan
Undang-undang. Isi atau substansi suatu peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan
"wadahnya" atau jenis peraturan perundang-undangan. Selain itu, isi suatu peraturan perundang-
undangan tidak boleh bertentangan dengan isi peraturan perundang-undangan yang derajatnya
lebih tinggi.
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa, selain ketiga landasan (filosofis, sosiologis dan
yuridis) masih terdapat landasan teknik perancangan dan landasan politis.
a. Landasan teknik perancangan
Unsur teknik perancangan merupakan unsur yang tidak boleh diabaikan dalam upaya membuat
peraturan perundang-undangan yang baik. Peraturan perundangundanganyang kurang baik
dapat juga terjadi karena tidak jelas perumusannya sehingga tidak jelas arti, maksud dan
tujuannya (ambiguous) atau rumusannya dapat ditafsirkan dalam berbagai arti (interpretatif) atau
terjadi inkonsistensi dalam menggunakan peristilahan atau sistematika yang tidak baik, bahasa
yang berbelitbelit sehingga sukar dimengerti dan lain sebagainya.
b. Landasan politis
Landasan politis ialah garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijakankebijakan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan negara. Misalnya garis politik di
bidang otonomi yang tercantum dalam TAP MPR-RI No IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi
Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, menjadi landasan politis dalam pembuatan
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah disempurnakan
dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tegasnya, garis
politik dalam TAP MPR-RI itu, memberi pengarahan dalam pembuatan undang-undang itu.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa hal itu termasuk dalam landasan yuridis karena indikasi
mengenai otonomi yang tertuang dalam Ketetapan MPR yang nota bene merupakan landasan
yuridis. Di pihak lain, keberadaan Pemerintahan Daerah baik secara yuridis maupun politis diatur
dalam Pasal 18, Pasal 18 A, Pasal 18 B UUDNRI Tahun 1945 dan secara tegas telah
ditindaklanjuti pengaturannya dalam Undangundang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah
B. ASAS-ASAS
Secara garis besar peraturan perundang-undangan itu dibedakan menjadi dua, pertama adalah
peraturan perundang-undangan yang dibentuk karena prakarsa oleh Presiden/KDH dengan
Persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah (Pasal 5 ayat (1) UUDN-RI Tahun 1945),
atau yang dibentuk karena inisiatif oleh Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah dan disahkan oleh
Presiden/KDH (Pasal 20 UUDN-RI Tahun 1945), dan kedua adalah peraturan perundangundangan yang tidak memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam
peraturanperundang-undangan
dibutuhkan
pemahaman
terhadap
asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan dan asas-asas materi muatan peraturan
perundang-undangan sesuai dengan jenis dan hierarkinya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundangundangan telah dirumuskan adanya asas-asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan; yaitu setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; yaitu setiap jenis peraturanperundangundangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturanperundang-undangan
yang berwenang. Apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yangtidak berwenang, peraturan
perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan ataubatal demi hukum.
c. kesesuaian anatara jenis dan materi muatan; yaitu dalam pembentukan
peraturanperundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang
tepatdengan jenis peraturan perundang-undangannya.
a. dalam hukum pidana, terdapat asas legalitas, asas tiada hukum tanpa kesalahan, asas
pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b. dalam hukum perdata, terutama dalam hukum perjanjian, terdapat asaskesepakatan,
asas kebebasan berkontrak, dan asas itikad baik.
Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan peraturan
Perundang-undangan, secara teoritis beberapa ahli telah memperkenalkan asas perundangundangan yaitu:
1. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam Peraturan dan Yurisprudensi (1979)
menyebutkan ada enam asas peraturan perundangundangan yang meliputi:
a. Undang-undang tidak berlaku surut,
b. Undang-undang yang dibuat oleh Penguasa yang lebih tinggi, mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi pula,
c. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undangundang yang
bersifat umum (Lex specialis derogat lex generali),
d. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undangundang yang
berlaku terdahulu (Lex posteriore derogat lex priori), Undang-undang tidak dapat
diganggu-gugat.
e. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai
kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupunindividu, melalui
pembaharuan atau pelestarian (Welvaarstaat).
2. Amiroeddin Syarif dalam Peraturan Perundang-undangan: Dasar, Jenis dan Teknis
membuatnya (1987) juga telah menawarkan lima asas perundangundangan, yang
meliputi:
a. Asas tingkatan hirarki
b. Undang-undang tak dapat diganggu gugat
c. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang
bersifat umum (Lex specialis derogat lex generalis)
d. Undang-undang tidak berlaku surut,
e. Undang-undang yang baru menyampingkan undang-undang yang lama (Lex
posteriori derogat lex priori).
Jika kedua pendapat tersebut dibandingkan maka terdapat persamaan dan perbedaan.
Persamaannya bahwa lima asas adalah sama, dan perbedaannya bahwa Purnadi dan Soerjono
Soekanto menarnbahkan satu asas lagi yaitu asas welvaarstaat. Dalam hal ini mungkin lebih
cenderung menyetujui pendapat Amiroeddin Syarif, karena asas welvaarstaat bukanlah asas
tetapi lebih cenderung berkaitan dengan fungsi hukum (perundang-undangan) dalam konteks
negara kesejahteraan. Peraturan perundang-undangan dibuat untuk dipergunakan bagi
peristiwaperistiwa yang akan datang (terjadi setelah peraturan perundang-undangan tersebut
dinyatakan berlaku), tidak diberlakukan terhadap peristiwa yang terjadi sebelumnya. Pada
dasarnya peraturan perundang-undangan akan mengikat sejak saat dinyatakan berlaku dan
diundangkan. Dengan demikian maka peraturan perundana-undangan dibentuk dengan maksud
untuk mengantisipasi fenomena di masa mendatang.
Peraturan perundang-undangan hanya berlaku bagi peristiwa atau perbuatan yang dilakukan
sejak peraturan perundangundangan tersebut dinyatakan berlaku, tidak boleh berlaku surut.
Seandainya akan diberlakukan terhadap peristiwa-peristiwa sebelumnya, maka harus diambil
ketentuan yang menguntungkan pihak yang terkena. Hal seperti itu diatur dalam Pasal 1 ayat (1)
KUH Pidana yang menyatakan "Tiada peristiwa dapat dipidana, kecuali atas dasar kekuatan
suatu aturanperundang-undangan pidana yang mendahulukan" (Geen feit is strafbaar dan uit
kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling)3.
Asas bahwa peraturan perundang-undangan tidak boleh berlaku surut sangat relevan dengan
fungsi hukum untuk mencapai keadilan dan berkaitan dengan asas legalitas. Pada sisi lain
keberadaan asas bahwa peraturan perundang-undangan tidak boleh berlaku surut tidak lepas
dari pemeo yang menyatakan "tiada hukum tanpa pengecualian" (geen recht zonder uit
zondering). Artinya bahwa kepastian dan keadilan hukum harus diperhatikan, tetapi pengecualian
dapat dilakukan sepanjang tidak merugikan pihak-pihak yang terkena aturan tersebut, karena
hukum ditujukan untuk mengayomi dan mensejahterakan masyarakat. Hukum bukan untuk
menindas masyarakat.
3 Ranggawijaya Rosidi, Pengantar Ilmu perundang-Undangan Indonesia, Penerbit, Mandar Maju,
Bandung, 1998
Asas perundang-undangan berkaitan dengan lingkungan kuasa waktu atau "tijdsgebied" atau
"temporal sphere", yang dikemukakan oleh JHA Logemann, yang dikenal dengan teori tentang
lingkup atau lingkungan berlakunya hukum (geldingsgebied van het recht).
Menurut Logetmann lingkungan kuasa hukum meliputi empat hal, yaitu:
a. Lingkungan kuasa tempat (ruimtegebied atau territorial sphere).
b. Lingkungan kuasa persoalan (zakengebied atau material sphere).
c. Lingkungan kuasa orang (personengebied).
d. Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied atau temporal sphere).
a. Lingkungan kuasa tempat (ruimtegebied atau territorial sphere).
Berlakunya aturan hukum (peraturan perundang-undangan) dibatasi oleh ruang atau tempat.
Apakah sesuatu aturan hukum itu berlaku untuk suatu wilayah negara atau hanya berlaku untuk
suatu bagian dari wilayah negara. Seperti diketahui, "daerah kekuasaan" berlakunya suatu
Undang-undang dapat meliputi seluruh wilayah negara, tetapi untuk suatu keadaan tertentu atau
suatu materi tertentu hanya diberlakukan untuk suatu wilayah tertentu pula. Suatu peraturan
daerah hanya berlaku untuk suatu daerah tertentu (Provinsi, dan Kabupaten/Kota) saja.
b. Lingkungan kuasa persoalan (zakengebied atau material sphere)
Suatu materi atau persoalan tertentu yang diatur dalam suatu peraturan perudangundangan
mengidentifikasi masalah tertentu. Dengan demikian maka persoalan yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan menunjukkan lingkup materi yang diatur, apakah persoalannya
adalah persoalan publik atau privat, persoalan
perdata atau pidana dsb. Materi tersebut menunjukkan lingkup masalah atau persoalan yang
diatur.
c.
Sesuatu aturan mungkin hanya diberlakukan bagi sekelompok atau segolongan orang atau
penduduk tertentu. Dengan ditetapkannya subyek atau orang (orang) tertentu dalam peraturan
perundangundangan tersebut maka memperlihatkan adanya pembatasan mengenai orangnya.
Undang-undang tentang Pegawai Negeri, Undang-undang tentang Tenaga Kerja. Undangundang
tentang Pidana Militer, Undang-undang tentang Pajak Orang Asing, dsb; menunjukkan bahwa
peraturan perundang-undangan tersebut hanya diberlakukan bagi kelompak orang yang
diidenrifikasi dalam peraturan
perundang-undangan tersebut.
d. Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied atau temporal sphere)
Lingkungan waktu menunjukkan kapan suatu peraturan perundana-undangan berlaku, apakah
beriaku untuk suatu masa tertentu atau untuk masa tidak tertentu. Apakah mulai berlaku sejak
ditetapkan atau berlaku surut sebelum ditetapkan. Berlakunya suatu peraturan hukum ditentukan
oleh waktu.
Dalam teori tata urutan atau hirarki peraturan perundang-undangan sebagairnana dikemukakan
oleh Hans Kelsen, terdapat asas-asas atau prinsip-prinsip tata urutan, yaitu bahwa:
a. Perundang-undangan yang rendah derajatnya tidak dapat mengubah atau
mengenyampingkan ketentuan-ketentuan perundangundangan yang lebih tinggi;
b. Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau ditambah oleh ataudengan
perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi tingkatannya.
c. Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak
mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila bertentangandengan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Sebaliknya ketentuan-ketentuan
perundang-undangan yang lebih tinggi, tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum
serta mengikat, walaupun diubah, ditambah,diganti atau dicabut oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah.
d. Materi yang seharusnya diatur oleh perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya
tidak dapat diatur oleh perundng-undangan yang lebih rendah;
Pengertian dari asas bahwa undang-undang tidak dapat diganggu gugat, dalam politik hukum
Indonesia menjadi tidak bermakna, karena Pasal 24 C UUDNRI
Tahun 1945, menyatakan bahwa mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap UUD,
....dts. Ini menunjukkan bahwa materi muatan undang-undang dapat diuji oleh badan peradilan
(M.K). Bukan lagi paradigma bahwa hanya pembentuk undang-undang sendiri yang dapat
menilai substansi undang-undang, sehingga perubahan, pencabutan atau pembatalan suatu
undang-undang hanya dapat dilakukan dengan undang-undang sendiri.
Kalau kita perhatikan pada paradigma lama (dalam sejarah perundangundangan Republik
Indonesia) yaitu Asas undang-undang tidak dapat diganggu gugat tersebut dianut dalam
Konstitusi RIS 1949 dan UUD 1950, sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 130 ayat
(2) Konstitusi RIS, bahwa Undangundang Federal tidak dapat diganggu gugat, dan Pasal 95 (2)
UUDS 1950 bahwa Undang-undang tidak dapat diganggu gugat. Sesungguhnya adanya
ketentuan tesebut berkaitan dengan kewenangan pembentuk undang-undang. Menurut
Konstitusi RIS 1949 Pasal 127, pembentuk undang-undang adalah Pemerintah, DPR dan Senat
(untuk materi tertentu dibentuk oleh Pemerintah dan DPR); sedangkan menurut UUDS 1950
Pasal 89, pembentuk undang-undang adalah Pemerintah dan DPR. Sementara itu, Pemerintah
dan DPR sendiri adalah pelaksana kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2) Konstitusi RIS 1949 dan
UUDS 1950). Sebagai badan pelaksana kedaulatan rakyat maka produk hukumnya adalah
"superior", dan tidak dapat diuji oleh badan lain. Itulah sebabnya baik Konstitusi RIS 1949
maupun UUDS 1950 menetapkan dalam Undang-undang Dasarnya asas bahwa Undang-undang
tidak dapat diganggu gugat.
Asas lain adalah bahwa peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengesampingkan
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Hal ini berkaitan dengan kepastian hukum.
Apabila ada beberapa atau sekurang-kurangnya dua peraturan perundang undangan yang sama
jenisnya, maka peraturan perundang-undangan yang mengatur materi yang khusus yang harus
dipergunakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur materi yang umum harus
dikesampingkan. Peraturan perundang-undangan yang mengatur materi yang lebih khusus yang
berlaku. Misalnya KUH Dagang mengesampingkan KUH Perdata. KUH Pidana Militer
mengesampingkan KUH Pidana. Jika seorang anggota ABRI melakukan pencurian maka
ketentuan yang dipakai adalah Pasal 140 KUH Pidana Militer bukan Pasal 362 KUH Pidana.
Bila ada dua atau lebih peraturan perundang-undangan yang sejenis (sederajat) mengatur materi
yang sama dan peraturan perundang-undangan yang baru tidak dengan secara eksplisit
menyatakan bahwa peraturan perundangundangan yang lama itu dicabut atau dinyatakan tidak
berlaku lagi, maka berlaku asas lex posteriori derogat lex priori. Peraturan perundang-undangan
yang lama dikesampingkan oleh peraturan perundang-undangan yang baru. Hal ini pun harus
c.
Semoga bermanfaat
Jakarta, September 2006
Harmonisasi
Rancangan
Undang-Undang
Tentang
Administrasi
Pemerintahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
Pendahuluan
Berbicara tentang pengharmonisasian, dasar hukum yang digunakan adalah Pasal 18
ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, yang menentukan Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh Menteri yang
tugas dan tanggungjawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. Ketentuan dalam pasal
ini memang membatasi hanya rancangan undang-undang saja yang perlu diharmoniskan, dan
RUU-nya pun dibatasi hanya yang berasal dari Presiden. RUU yang datang dari DPR tidak
melalui prosedur pengharmonisasian berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004.
Selanjutnya, pasal ini juga menyebutkan bahwa yang diberikan kewenangan untuk
melakukan koordinasi pengharmonisasian adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang peraturan perundang-undangan. Rumusan pasal ini tidak bisa ditafsirkan lain selain
Menteri Hukum dan HAM yang berwenang melakukan koordinasi pengharmonisasian RUU yang
datang dari Presiden. Bagaimana dengan rancangan peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang, apakah berlaku prosedur pengharmonisasian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2004? Saya berpendapat bahwa tidak ada salahnya
10
11
Penjelasan Pasal 7 ayat (5) menentukan bahwa yang dimaksud dengan hierarki adalah
penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas
bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dari ketentuan di atas jelas bagaimana saling keterkaitan dan saling ketergantungan
satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain yang
merupakan satu kebulatan yang utuh.
Nilai-nilai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara harus mengalir
dalam materi muatan peraturan perundang-undangan. Demikian pula Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan sumber hukum bagi
pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar.
Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pengharmonisasian dilakukan untuk menjaga keselarasan, kemantapan, dan kebulatan
konsepsi peraturan perundang-undangan sebagai sistem agar peraturan perundangundangan berfungsi secara efektif.
b.
12
pengujian
peraturan
perundang-undangan
kepada
kekuasaan
kehakiman
yang
berkompeten.
Putusan kekuasaan kehakiman dapat menyatakan bahwa suatu materi muatan pasal,
ayat, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat atau tidak mempunyai dampak yuridis, sosial dan politis yang luas.
Karena itu pengharmonisasian perlu dilakukan secara cermat.
c.
3.
peraturan perundang-undangan, yaitu yang berkaitan dengan aspek konsepsi materi muatan dan
aspek teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.
a.
13
1)
Pengharmonisasian konsepsi materi muatan rancangan peraturan perundangundangan dengan Pancasila. Nilai-nilai Pancasila harus menjadi sumber dalam
setiap peraturan perundang-undangan sehingga nilai-nilai tersebut menjadi aktual
dan memberikan batas kepada peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Setiap peraturan perundang-undangan secara substansial mesti menjabarkan nilainilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial.
Pancasila merupakan cita hukum (rechtsidee). Cita hukum tidak hanya berfungsi
sebagai tolok ukur yang bersifat regulatif, yaitu yang menguji apakah suatu hukum
positif adil atau tidak, melainkan juga sekaligus sebagai dasar yang bersifat
konstitutif, yaitu yang menentukan bahwa tanpa cita hukum, hukum akan kehilangan
maknanya sebagai hukum.
2)
Pengharmonisan konsepsi materi muatan rancangan peraturan perundangundangan dengan Undang-Undang Dasar.
Pengharmonisasian
14
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 menggolongkan asas peraturan perundangundangan menjadi 3 (tiga) golongan yaitu : asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik (Pasal 5) asas materi muatan (Pasal 6 ayat (1) dan
asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan (Pasal 6 ayat (2).
Pasal 5 menentukan bahwa asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik adalah sebagai berikut: kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ
pembentukan yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat
dilaksanakan kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan
keterbukaan.
akan
menimbulkan
ketidakpastian
hukum
dan
ambiguitas
dalam
penerapannya.
15
peraturan
perundang-undangan
akibatnya
memang
tidak
sefatal
permasalahan yang dihadapi dalam praktik? Pengharmonisan rancangan peraturan perundangundangan dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM, dalam hal ini oleh Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan atas permintaan tertulis dari Menteri atau Pimpinan LPND yang
16
permintaan
tersebut,
Direktorat
Jenderal
Peraturan
Perundang-undangan
17
a)
b)
Masih adanya semangat egoisme sektoral dari masing-masing instansi terkait, karena
belum adanya persamaan persepsi tentang rancangan peraturan perundang-undangan
sebagai suatu sistem sehingga pembahasan oleh wakil-wakil instansi terkait tidak
bersifat menyeluruh tetapi bersifat fragmentaris menurut kepentingan masing-masing
instansi.
c)
Wakil-wakil yang diutus oleh instansi terkait sering berganti-ganti dan tidak berwenang
untuk mengambil keputusan sehingga pendapat yang diajukan tidak konsisten,
tergantung kepada individu yang ditugasi mewakili, sehingga menghambat pembahasan.
d)
e)
5.
mempertimbangkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, secara khusus harus merpertimbangkan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Kemudian, Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
18
Nepotisme dan undang-undang lainnya serta dengan RUU lain yang diprakarsai oleh
Kementerian PAN.
19
Pasal 44
Ketentuan ini merupakan Ketentuan Peralihan. Ayat (1) dan ayat (2) pasal
ini bertentangan dengan kompetensi absolut PTUN berdasarkan Undangundang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004. Kompetensi absolut PTUN adalah menyelesaikan dan mengadili
sengketa Keputusan TUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka
3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004.
20
Pajajaran Bandung, dan S3 dari Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Jakarta.
Menguji Undang-Undang
Oleh karena itu, ada suatu mekanisme hukum tata negara yang lazim diterapkan di
berbagai negara di dunia. Mekanisme ini lazim disebut uji materil undang-undang
atau judicial review. Untuk menjaga agar pembuat undang-undang tidak semenamena, konstitusi dijadikan dasar untuk menguji undang-undang. Sebab di dalam
konstitusilah diatur prinsip-prinsip dasar bernegara. Mulai dari hak asasi manusia,
sampai bagaimana perekonomian negara seharusnya diatur.
21
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada tahun 1945 sampai dengan amandemen
UUD yang dimulai pada tahun 1999, soal uji materil ini selalu menjadi salah satu
topik yang menarik. Persoalan utamanya berkisar pada siapa yang diberi
kewenangan menguji suatu peraturan?
Melalui perdebatan panjang, pada tahun 1970 secara resmi akhirnya wewenang
menguji peraturan diberikan kepada Mahkamah Agung melalui Undang-Undang No.
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (saat ini
sudah digantikan oleh UU No. 4 Tahun 2004). Namun, wewenang yang diberikan
kepada Mahkamah Agung hanyalah untuk menguji peraturan di bawah undangundang, seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan lain-lain. Sementara
itu, undang-undang tidaklah dapat diuji. Padahal hakekat dari judicial review yang
dikenal dalam praktek hukum tata negara secara universal adalah untuk memberikan
wewenang pengawasan oleh lembaga yudikatif kepada pembuat undang-undang. Di
sinilah salah satu inti dari apa yang disebut checks and balances.
Selagi amandemen terhadap UUD pada tahun 1999 dilakukan, topik ini menghangat
kembali. Akhirnya pada tahun 2001 (amandemen ketiga), muncul ketentuan baru
dalam UUD yang diamandemen. Ketentuan inilah yang berlaku pada saat ini.
Melalui mekanisme ini, masyarakat luas mempunyai saluran untuk menguji suatu
undang-undang ataupun peraturan di bawah undang-undang apabila dirasakan
bertentangan dengan hak asasi manusia serta prinsip-prinsip konstitusional lainnya.
Memang, perlu dicatat bahwa wewenang Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah
Agung tidaklah bersifat pro-aktif. Mereka hanya dapat menguji peraturan sesuai
dengan wewenangnya, apabila ada permohonan dari masyarakat yang
berkepentingan.
22
Pemohon dalam hal ini adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang,
yaitu:
a.
b.
2.
c.
d.
Lembaga negara.
Pembentukan
undang-undang
berdasarkan UUD 1945; dan/atau
tidak
memenuhi
ketentuan
b.
23
3.
Dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan
tersebut dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, Mahkamah Konstitusi
akan menyampaikan permohonan tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan presiden untuk diketahui.
4.
Dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan
dicatat dalam Buku Registrasi Perkara, Mahkamah Konstitusi akan menetapkan
hari sidang pertama. Penetapan hari sidang tersebut diumumkan kepada para
pihak dan masyarakat.
5.
6.
b.
keterangan saksi;
c.
keterangan ahli;
d.
24
e.
f.
7.
8.
9.
petunjuk; dan
Amar putusan akan menyatakan permohonan ditolak apabila undangundang tersebut baik pembentukan maupun materinya tidak bertentangan
dengan UUD 1945.
apabila
Mahkamah
Putusan yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada sekurangkurangnya 2 (dua) alat bukti.
25
11. Putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai kekuatan hukum tetap sejak selesai
diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Mahkamah Konstitusi wajib
untuk mengirimkan salinannya kepada para pihak dalam waktu paling lambat 7
(tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan dan putusan tersebut wajib dimuat
dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak putusan diucapkan.
Untuk mengetahui lebih rinci mengenai prosedur uji materil dan lembaga Mahkamah
Konstitusi, klik http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/.
26
Seperti diungkapkan di atas, wewenang uji materil atas peraturan perundangundangan yang lebih rendah dari undang-undang diberikan kepada Mahkamah
Agung. Kewewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian tersebut pada
awalnya lahir dari UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman dan juga UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Kedua undang-undang tersebut pada pokoknya mengatakan bahwa Mahkamah
Agung berwenang untuk melakukan pengujian materiil terhadap peraturan
perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang dan menyatakan tidak
sah peraturan tersebut apabila ternyata bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berada di atasnya.
Selanjutnya, MPR melalui Ketetapan MPR No. III Tahun 2000 (Pasal 5 ayat (2), (3),
dan (4)) juga mengatur kewenangan Mahkamah Agung tersebut. Begitu pula halnya
dengan UUD. Sebagaimana tercantum dalam amandemen ketiga UUD 1945 yang
disahkan pada November 2001, Mahkamah Agung berwenang untuk menguji
peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang terhadap
undang-undang di atasnya.
Baik UU No. 14 Tahun 1970, TAP MPR No. 3 Tahun 1978 maupun UU No. 14 Tahun
1985 menyatakan bahwa kewenangan pengujian yang dimiliki oleh Mahkamah Agung
hanya dapat dilakukan apabila berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat
kasasi. Dalam perkembangannya, mengingat umumnya sifat pengaturan yang
terdapat dalam peraturan-peraturan tersebut, maka dalam rangka memberikan
panduan dalam pelaksanan uji materil ini, pada tahun 1993 Mahkamah Agung
mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang kemudian pada tahun
1999 diubah dengan PERMA No. 1 tahun 1999.
Berbeda dengan UU 14 Tahun 1970 dan UU No. 14 Tahun 1985, PERMA mengatur
bahwa Mahkamah Agung memeriksa dan memutus pengujian atas peraturan
perundang-undang yang berada di bawah undang-undang berdasarkan gugatan atau
permohonan. Ketentuan tersebut dipertegas lagi dalam Ketetapan MPR No. III Tahun
2000, di mana Mahkamah Agung dapat secara aktif melakukan pengujian atas
peraturan perundang-undangan tanpa harus ada suatu peradilan kasasi terlebih
dahulu dan keputusannya bersifat mengikat.
27
1.
2.
b.
3.
4.
5.
28
Hari berikutnya setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari di atas, Panitera
Pengadilan Negeri yang bersangkutan segera meneruskan meneruskan
gugatan dan jawaban penggugat kepada Mahkamah Agung untuk kemudian
disampaikan oleh Panitera Mahkamah Agung kepada Ketua Mahkamah Agung
agar dapat ditetapkan Majelis Hakim Agung yang akan menanganinya.
6.
7.
8.
9.
Dalam hal gugatan dinilai tidak beralasan maka Majelis Hakim yang
menangani perkara tersebut akan menolak gugatan/permohonan keberatan
tersebut.
Pemberitahuan
salinan
putusan
Mahkamah
Agung
terhadap
gugatan/permohonan keberatan disampaikan dengan surat tercatat kepada para
29
10.
11. Putusan Majelis Hakim Agung atas gugatan/permohonan keberatan atas suatu
peraturan perundangan-undangan tidak dapat diajukan peninjauan kembali.
Dari hasil studi mengenai Mahkamah Agung yang dilakukan oleh Lembaga Kajian dan
Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) pada tahun 2003, terdapat beberapa
pertanyaan yang muncul sehubungan dengan hukum acara judicial review yang
diatur dalam PERMA tersebut. Beberapa pertanyaan tersebut antara lain:
Apakah tepat bahwa dalam pemeriksaan judicial review yang dilakukan atas dasar
permohonan maka pihak termohon (pembuat peraturan perundang-undangan
tersebut) tidak perlu didengar keterangannya?
Apakah pemberlakuan jangka waktu 180 hari sejak suatu peraturan perundangundangan dinyatakan berlaku merupakan jangka waktu yang cukup untuk
membatasi pengajuan judicial review atas peraturan perundang-undangan tersebut?
Pertanyaan tersebut diajukan sehubungan dengan kondisi nyata. Seringkali suatu
perundang-undangan sulit untuk diakses oleh masyarakat atau tidak bisa segera
diakses setelah dinyatakan berlaku. Apalagi biasanya masyarakat baru membaca dan
merasakan adanya kesalahan dalam suatu peraturan perundang-undangan pada saat
mereka menghadapi masalah yang berhubungan dengan peraturan tersebut.
Meskipun demikian, perlu juga dicatat bahwa pembatasan jangka waktu tersebut
diadakan dengan alasan memberikan kepastian hukum.
Bagaimana dengan penyelesaian dari akibat atas tindakan yang telah dilakukan
oleh pemerintah atau pihak lain yang diberi wewenang tertentu dalam peraturan
yang dinyatakan tidak berlaku tersebut? Apakah tindakan-tindakannya tetap
dinyatakan sah atau batal demi hukum atau dapat dibatalkan? Kemudian apabila
30
telah ada suatu kerugian yang muncul akibat peraturan yang dinyatakan tidak
berlaku tersebut, apakah mereka yang dirugikan dapat meminta ganti kerugian?
PENGANTAR MEMAHAMI
UNDANG-UNDANG TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1.
Pendahuluan
sebagai kepala pemerintahantidak bertanggung jawab terhadap pelaksanaan undangundang tersebut. Pandanganlain menyebutkan Sekretaris Negara dianggap tidak
menjalankan kewajibankonstitusi jika tidak mengundangkan suatu undang-undang yang
telah mendapatkanpersetujuan bersama walaupun Presiden tidak menandatangani
(mengesahkan)nya.Ada pula pendapat lain yang menganggap undang-undang belum ada,
karenapersetujuan bersama DPR dan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat(2) UUD 1945 persetujuan tadi oleh Presiden diwujudkan dengan pembubuhan
tandatangan Presiden atas undang-undang sebelum dimuat dalam lembaran negara.
2.
32
b.
kewajiban Presiden mengesahkan rancangan undang-undangmenjadi undangundang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.(Pasal 20
ayat (4);
c.
d.
e.
f.
3.
Memenuhi amanatPasal 22A UUD 1945 dan Pasal 6 TAP MPR No. III/MPR/2000
tentang Sumber HukumdanTata Urutan Peraturan Perundang-undangan, DPR bersama
dengan Presiden telahmembentuk Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan
PeraturanPerundang-undangan yang telah mendapat persetujuan bersama pada tanggal 24
Mei2004. Pada dasarnya UU P3 dimaksudkan untuk membentuk suatu ketentuan yang
bakumengenai tata cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.[12]
Substansi UU P3terdiri 13 bab dan 58 pasal disertai penjelasan umum dan pasal
perpasal danlampiran yang berisi teknik penyusunan peraturan perundang-undangan
yangdahulunya dimuat dalam Keppres No. 44/1999 setelah diadakan modifikasi
danpenyempurnaan.
Secara umumdapat dikatakan bahwa UU P3 memuat ketentuan mengenai asas
peraturanperundang-undangan (asas pembentukan, materi muatan, jenis dan
hierarki ),materi muatan, pembentukan peraturan perundang-undangan, pembahasan
danpengesahan, teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, pengundangan
33
danpenyebarluasan,
dan
partisipasi
masyarakat
dalam
penyiapan
pembahasanrancangan undang-undangan rancangan peraturan daerah.
atau
4.
34
b.
c.
Ketiga asas diatas lebih dititiberatkan pada asas formal P3 yang dapat dirumuskan
lagisebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
Tidak dicantumkannyaasas alasan (motivasi) pembentukan peraturan perundangundangan secaraeksplisit dalam UUP mungkin dimaksudkan karena asas tersebut sudah
inklusifdalam asas tentang kejelasan tujuan dalam Pasal 5 huruf a yang
dalampenjelasannya disebutkan bahwa setiap P3 harus mempunyai tujuan yang jelas
yanghendak dicapai. Asas motivasi lebih mencerminkan tentang kehendak
yangsebenarnya dari P3 yang sangat mungkin ditumpangi atau disusupi olehkepentingan
kelompok tertentu atau berlatar belakang KKN seperti yang banyakdisinyalir akhir-akhir
ini.
Dalam UU P3,apakah asas undang-undang harus tercantum secara eksplisit dalam
batang tubuh?Pembentuk undang-undang mungkin memerlukan pencantuman asas, dan
jika demikianasas dapat dimasukkan dalam bab ketentuan umum dan bukan dalam
tersendiri.Namun ketentuan umum sebaiknya hanya mencerminkan asas, maksud dan
tujuan.[18]
UU P3 telahmenyelesaikan perbincangan sekitar masalah jenis peraturan
perundang-undangansecara cukup memuaskan. Selama ini masih dipersoalkan tentang
kedudukankeputusan menteri yang secara eksplisit tidak tercantum sebagai
jenisperaturan perundang-undangan menurut TAP MPR No. III Tahun 2000 tentang
SumberTertib Hukum. Jenis Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) UU
35
diakuikeberadaannya;
b.
c.
d.
36
materimuatan
Peraturan
Presiden
memang
berbeda
dengan
paradigma
konsepsionalKeputusan Presiden yang bersumber dari Pasal 4 ayat (1).[20]Jika demikian,
bagaimana penjabaran kekuasaan pengaturan oleh Presidenberdasarkan Pasal 4 ayat (1)?
[21]
5.
37
6.
7.
Penutupdan Saran
38
[1]UUD
56.
39
[4]Lihat
1950.
[5]Lihat
[8]Pasal
20 ayat (2)
[9]Menurut
antara yang menarik dari Konstitusi RIS adalah ketentuan Pasal 127
yangmenganut politik hukum konstitusi dengan membagi kekuasaanperundang-undangan
federal menjadi dua bagian, yaitu kekuasaan yang dipegangoleh Pemerintah bersamasama dengan DPR dan Senat jika berkaitan denganpengaturan mengenai daerah bagian
atau perhubungan antara RIS dengandaerah-daerah tersebut, dan kekuasaan yang
dipegang oleh Pemerintahbersama-sama dengan DPR dalam seluruh lapangan pengaturan
selebihnya. JadiKonstitusi RIS menekankan kekuasaan bersama (joint authority)
yangbersifat berimbang antara Presiden dan DPR. Ini berbeda dengan UUD
1945(sebelum perubahan) yang menerapkan politik hukum dengan konsentrase
kekuasaan(concentrated
authority)
dengan
menegaskan
Presiden
sebagai
pemegangkekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR (Pasal 5 ayat
(1). UUD 1945 (setelah perubahan) diubah secara dramatis yaitu Dewan
PerwakilanRakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20 ayat (1)
dankewajiban suatu rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden
untukmendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (2). Demikian pula pengaturan
Pasal138 ayat (2) yang menyatakan bahwa Pemerintah harus mensahkan usulundangundang yang sudah diterima, kecuali jika Pemerintah dalam satu bulansesudah usul itu
disampaikan kepadanya untuk disahkan menyatakan keberatannyayang tak dapat
40
[14]Hamid
Attamimi,
Peranan
Keputusan
Presiden
RI
dalam
PenyelenggaraanPemerintahan Negara, (disertasi Fakultas Pascasarjana UI, 1990), hal.
334 335.
[15]Ibid,
[16]Van
[18]Lihat
[19]Hamid
41
terkait menjadistu, yaitu unsur memerintah dan unsur melaksanakan (das Element
derRegierung und der vollziehung). Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang tidak
mengalamiperubahan mengatakan dengan jelas bahwa Presiden memegang
kekuasaanpemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Kekuasaan pemerintahan
mengandungkekuasaan memutuskan (beslissende bevoegdheid) dan kekuasaan
mengatur(regelende bevoegdheid) Di zaman Orde Lama, peraturan presiden
dapatdijadikan lembaga pengaturan yang bersumber kepada kewenangan Presiden
selakupenyelenggara tertinggi pemerintahan menurut Pasal 4 ayat (1) UUD 1945
namundapat pula bersumber pada penetapan presiden (PENPRES) yang digunakan
sebagaiperaturan pelaksanannya. Perpres adakalanya memuat ketentuan pidana
(PerpresNo. 14 tahun 1964) yang pada hakekatnya adalah ketentuan bagi
tindakanadministratif, dan diundangkan dalam lembaran negara agar setiap
orangmengetahuinya. Hamid menyebutkan tiga keuntungan memakai nama Perpres
yaitulebih mudah disebut, langsung menunjuk kepada peraturan, dan diundnagkan
dalamlembaran negara. Sedangkan unsur negatifnya, Perpres berkedudukan lebih
tinggidari keputusan presiden lainnya, dapat bersumber pada penetapan presiden
yangtidak mempunyai dasar dalam UUD 1945, dan memasuki materi muatan
peraturanperundang-undangan yang lebih tinggi seperti materi muatan undang-undang.
Unsurpositif keputusan presiden adalah berfungsi pengaturan yang mandiri
mandiri berpegang kepada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. (lihat Hamid Attamimi, Op cit,
hal.75 276).
[20]Menurut
penjelasan UUD 1945 yang lama, Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) dan
telahdihapus dari UUD 1945 (setelah perubahan), Presiden ialah kepala
kekuasaaneksekutif dalam negara. Untuk menjalankan undang-undang, ia mempunyai
kekuasaanuntuk menetapkan peraturan pemerintah. (pouvoir reglementaire).
HamidAttamimi mengartikan bahwa di dalam kekuasaan eksekutif terdapat
kekuasaanpengaturan, yaitu pengaturan dengan Keputusan Presiden. (Hamid Attamimi,
Opcit, hal. 144).
Politik Perundang-undangan
Dikirim/ditulis pada 30 April 2007 oleh aliamsyah
42
A.
Pendahuluan
Peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari
sistem hukum. Oleh karena itu, bila kita membahas mengenai politik peraturan
perundang-undangan pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari membahas
mengenai politik hukum. Istilah politik hukum atau politik perundang-undangan
didasarkan pada prinsip bahwa hukum atau peraturan perundang-undangan
merupakan bagian dari suatu produk politik karena peraturan perundang-undangan
pada dasarnya merupakan rancangan atau hasil desain lembaga politik (body
politic).[2] Sedangkan pemahaman atau definisi dari politik hukum secara sederhana
dapat diartikan sebagai arah kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan
secara nasional oleh pemerintah.[3] M. Mahfud MD mengemukakan bahwa politik
hukum meliputi:
Pertama; pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan
terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan;
Kedua; pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi
lembaga dan pembinaan para penegak hukum.[4]
Sebagaimana telah disebutkan bahwa politik peraturan perundangundangan merupakan bagian atau subsistem dari politik hukum, dengan demikian
dapat dikatakan bahwa mempelajari atau memahami politik hukum pada dasarnya
sama dengan memahami atau mempelajari politik perundang-undangan demikian
pula sebaliknya, karena pemahaman dari politik hukum termasuk pula di dalamnya
mencakup proses pembentukan dan pelaksanaan/penerapan hukum (salah satunya
peraturan perundang-undangan) yang dapat menunjukkan sifat ke arah mana
hukum akan dibangun dan ditegakkan.[5] Bagir Manan mengartikan istilah politik
perundang-undangan secara sederhana yaitu sebagai kebijaksanaan mengenai
penentuan isi atau obyek pembentukan peraturan perundang-undangan. Sedangkan
pembentukan peraturan perundang-undangan itu sendiri diartikan sebagai tindakan
melahirkan suatu peraturan perundang-undangan.[6] Sedangkan Abdul Wahid
Masru mengartikan politik peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan
43
2.
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah/negara pada saat itu yang merupakan
garis pokok arah pembentukan hukum, seperti GBHN pada masa
pemerintahan orde baru atau Prolegnas dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional yang berlaku pada saat ini.
B.
supremasi hukum;
2.
44
3.
cita terwujudnya negara Indonesia yang damai dan sejahtera. Apabila hukum
ditegakkan dan ketertiban diwujudkan, maka diharapkan kepastian, rasa aman,
tenteram, ataupun kehidupan yang rukun akan dapat terwujud. Untuk itu politik
hukum nasional harus senantiasa diarahan pada upaya mengatasi berbagai
permasalahan dalam penyelenggaraan sistem dan politik hukum yang meliputi
permasalahan yang berkaitan dengan substansi hukum, struktur hukum, dan budaya
hukum.
1.
untuk
memperhatikan
mewujudkan
asas
umum
tertib
dan
perundang-undangan
hirarki
dengan
perundang-undangan
dan
sistem
hukum
dan
peraturan
melalui
pemberdayaan
45
46
peraturan
perundang-undangan.
Hal
ini
bertujuan
untuk
masyarakat
pada
hukum
dewasa
ini
sudah
sangat
terhadap
hukum
itu
sendiri.
Di
lain
pihak
kualitas,
sesuai dengan
jalur hukum
yang
benar
dan
tidak
menyimpang.
47
2.
C.
4.
Politik Perundang-undangan
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa politik perundangundangan merupakan arah kebijakan pemerintah atau negara mengenai arah
pengaturan (substansi) hukum yang dituangkan dalam peraturan perundangundangan (hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mengapa hanya menggambarkan keinginan atau kebijakan pemerintah atau
negara? Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
disebutkan bahwa kewenangan atau organ pembentuk peraturan perundangundangan adalah hanya negara atau Pemerintah.[8] Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan bentuk
monopoli negara yang absolut, tunggal, dan tidak dapat dialihkan pada badan yang
bukan badan negara atau bukan badan pemerintah. Sehingga pada prinsipnya tidak
akan ada deregulasi yang memungkinkan penswastaan pembentukan peraturan
perundang-undangan. Namun demikian dalam proses pembentukannya sangat
mungkin mengikutsertakan pihak bukan negara atau Pemerintah.[9] Hal tersebut
48
masyarakat
untuk
melakukan
berbagai
prakarsa
dalam
Hukum yang responsive merupakan produk hukum yang lahir dari strategi
pembangunan hukum yang memberikan peranan besar dan mengundang
partisipasi secara penuh kelompok-kelompok masyarakat sehingga isinya
mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat pada
umumnya.[10]
Dari yang telah diuraikan tersebut, maka seharusnya peraturan perundangundangan
dapat
diformulasikan
sedemikian
rupa
yaitu
sedapat
mungkin
49
mengenai hal ini sangat penting karena dapat menghindari benturan pemahaman
antara masyarakat dan pemerintah atau negara yang akan terjebak ke dalam
tindakan yang dijalankan diluar jalur atau landasan hukum. Bila hukum yang
dihasilkan adalah hukum yang responsif, maka tidak akan ada lagi hukum siapa
yang kuat (punya kekuasaan) akan menguasai yang lemah atau anggapan rakyat
selalu menjadi korban, karena lahirnya hukum tersebut sudah melalui proses
pendekatan dan formulasi materi muatannya telah menampung berbagai aspirasi
masyarakat. Pada dasarnya penerimaan (resepsi) dan apresiasi masyarakat
terhadap hukum sangat ditentukan pula oleh nilai, keyakinan, atau sistem sosial
politik yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.[11]
Dalam sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan di Indonesia
pernah terjadi bahwa selama lebih dari 30 tahun sebelum reformasi tahun 1998,
konfigurasi politik yang berkembang di negara Indonesia dibangun secara tidak
demokratis sehingga hukum kita menjadi hukum yang konservatif dan terpuruk
karena selalu dijadikan sub ordinat dari politik. Sedangkan ciri atau karakteristik
yang melekat pada hukum konservatif antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
50
maupun
individu-individu
dalam
masyarakat.
Dalam
program
pembangunan
hukum
nasional
yang
dilaksanakan
untuk
mewujudkan negara hukum yang adil dan demokratis serta berintikan keadilan dan
kebenaran yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa di dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
D.
politik perundang-
undangan sudah pasti bertumpu pada suatu landasan (yuridis), yaitu antara lain:
51
a.
Pancasila.
Pancasila ladasan awal dari politik hukum dan peraturan perundangundangan hal ini dimaksudkan agar kebijakan dan strategi (politik) hukum
dan peraturan perundang-undangan sejalan sesuai dengan nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat Indonesia dengan tetap membuka diri terhadap
berbagai hal-hal yang baik yang merupakan hasil perubahan yang terjadi
dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara baik di lingkungan pergaulan nasional maupun internasional.
b.
NRI
Tahun
1945
merupakan
landasan
formal
dan
materiil
Rencana
Pembangunan
Jangka
Menengah,
dan
lain
sebagainya.
Di samping landasan tersebut, dalam melaksanakan politik peraturan
perundang-undangan, seharusnya perlu diperhatikan pula mengenai pola pikir
pembentukan peraturan perundang-undangan (hukum) yang harus disesuaikan
dengan prinsip-prinsip:
1)
52
Oleh sebab itu, tata urutan, kesesuaian isi antara berbagai peraturan
perundang-undangan tidak boleh diabaikan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan.
2)
3)
Pembentukan peraturan perundang-undangan, selain mempunyai dasardasar yuridis, harus dengan seksama mempertimbangkan dasar-dasar
filosifis dan kemasyarakatan tempat kaidah tersebut akan berlaku.
4)
5)
6)
7)
E.
53
Dalam rangka pembenahan sistem dan politik hukum nasional pada tanggal
19 Januari 2005 ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 20042009. Satya Arinanto dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap
Fakultas Hukum Universitas Indonesia tanggal 18 Maret 2006 menyatakan
bahwa Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional ini dapat dikatakan sebagai Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN) yang pernah ada dalam Era Orde Lama dan Orde Baru.[16]
Bila dilihat dari beberapa hal yang berkaitan dengan pembenahan substansi
hukum, maka dapat dikatakan bahwa politik hukum atau politik peraturan
perundang-undangan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional ini diarahkan pada permasalahan terjadinya tumpang tindih dan
inkonsistensi peraturan perundang-undangan dan implementasi undangundang yang terhambat peraturan pelaksanaannya.[17] Berdasarkan
adanya permasalahan tersebut, maka politik hukum nasional akan diarah
pada terciptanya hukum nasional yang adil, konsekuen, dan tidak
diskriminatif serta menjamin terciptanya konsistensi seluruh peraturan
perundang-undangan
pada
tingkat
pusat
dan
daerah
serta
tidak
maka
dengan
Peraturan
Presiden
tentang
Rencana
penataan
peraturan
perundang-undangan
termasuk
didalamnya
54
efektif
dalam
masyarakat
dan
dapat
menjadi
sarana
untuk
55
2.
yang
didasarkan
pada
cita-cita
Proklamasi
dan
landasan
b.
56
c.
d.
Penyusunan
Prolegnas
di
lingkungan
Dewan
Perwakilan
Rakyat
lingkungan
hidup,
pertahanan
dan keamanan,
sebagai
57
c.
d.
e.
mendukung
pembangunan
ekonomi,
demokrasi
dan
g.
h.
58
sisa
yang
tidak
dapat
diselesaikan
menjadi
prioritas
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
59
j.
dan
meningkatkan
kondisi
kesejahteraan
sosial
masyarakat.
F. Penutup
Dari beberapa kebijakan yang menjadi landasan politik hukum dan politik
peraturan perundang-undangan tersebut di atas jelas terlihat betapa pentingnya dan
strategisnya fungsi perencanaan pembangunan dan politik peraturan perundangundangan (hukum) sebagai salah satu wujud pembangunan substansi hukum (legal
substance) untuk mencapai tujuan dan mewujudkan penyusunan peraturan
perundang-undangan yang efektif, responsif, dan demokratif dalam kerangka
pembangunan
sistem
hukum
nasional
secara
keseluruhan
yang
meliputi
[2] HM. Laica Marzuki, Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap
Undang-Undang, Jurnal Legislasi Vol. 3 Nomor 1, Maret 2006, hal. 2. Lihat juga M. Mahfud MD,
Politik Hukum di Indonesia, cet. II (Jakarta: LP3ES, 2001), hal. 5. Mahfud MD menyebutkan
bahwa hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai formalitas atau
kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersanginan. Lebih
jauh Mahfud MD mengemukakan bahwa hubungan kausalitas antara hukum dan politik yang
berkaitan dengan pertanyaan apakah hukum mempengaruhi politik ataukah politik yang
mempengaruhi hukum, dapat dijawab Pertama; hukum determinan atas politik yaitu kegiatankegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua; politik
determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak
politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan. Ketiga; politik dan hukum sebagai
subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang sederajat determinasinya.
[3] M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. II (Jakarta: LP3ES, 2001), hal. 9.
60
[4] Ibid. Lihat juga Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, makalah
pada Kerja Latihan Bantuan Hukum, Surabaya, September 1985.
[5] Bagir Manan, Politik Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, Mei 1994, hal. 1.
[6] Ibid, hal. 2.
[7] Abdul Wahid Masru, Politik Hukum dan Perundang-undangan, Makalah,
Jakarta, 2004.
[8] Hal ini disebut sebagai asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat yang
terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
[9] Ibid, Psl 53. Pasal 53 merumuskan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan
secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang
dan rancangan peraturan daerah.
[10] M. Mahfud MD, Demokratisasi Dalam Rangka Pembangunan Hukum Yang
Responsif, Makalah, FH UNDIP, Semarang, 1996, hlm 1.
[11] Iskandar Kamil, Peradilan Anak, Makalah, Disampaikan pada Workshop (Round
Table Discussion) mengenai Pedoman Diversi untuk Perlindungan Bagi Anak Yang Berhadapan
dengan Hukum, Jakarta, 1 Juni 2005.
[12] M. Mahfud MD, Langkah Politik dan Bingkai Paradikmatik Dalam Penegakan
Hukum Kita, Makalah, Bahan Kumpulan Perkuliahan Pasca Sarjana FH UI, 2004, hal 3-5.
[13] Satya Arinanto, Kumpulan Materi Pendukung (Transparansi) Politik Hukum dan
Politik Perundang-undangan (Dihimpun dari Berbagai Sumber), Disampaikan pada Pendidikan
dan Pelatihan Perancangan Perundang-undangan Bagi Legislative DrafterSekretariat Jenderal
DPR RI, tanggal 14 April 2003, hal. 8.
[14] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 107.
Satjipto Rahardjo mengutip Paul Scholten yang mengemukakan konsep bahwa hukum
merupakan suatu kesatuan norma-norma yang merupakan rangkaian perjalanan sejarah yang
61
Reformasi, Pidato Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar tetap pada FH-UI, Jakarta, 18
Maret 2006, hal. 14 16. Alasan menyebut sama dengan GBHN dalam era Orde Lama dan Orde
Baru, karena sebagai akibat proses perubahan UD 1945, dimana salah satu dasar pemikiran
perubahannya adalah tentang kekuasaan tertinggi di tangan MPR, maka semenjak tahun 2004,
MPR hasil pemilihan umum pada tahun tersebut tidak lagi menetapkan produk hukum yang
berupa GBHN.
[17]
Mochtar
Kusumaatmadja,
Fungsi
dan
Perkembangan
Hukum
dalam
Pembangunan Nasional, jilid III, No. 4, (Bandung: Padjadjaran), 1970, hal. 5-16, dalam Satjipto
Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (bandung: Penerbit Alumni), 1979, hal. 161.
[21] Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005, Psl. 1 angka 1.
[22] Ibid, Psl. 4.
[23] Dewan Perwakilan Rakyat, Program Legislasi Nasional Tahun 2005 -2006.
[24] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 , Op. Cit., Psl. 17 ayat
(3).
[25] Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Catatan PSHK Tentang Kinerja
Legislasi DPR 2005, (Jakarta: PSHK, 2006), hal. 59.
62
[26] RUU prioritas yang tidak selesai pada satu tahun anggaran akan secara langsung masuk
dalam prioritas tahun anggaran yang akan datang, hal tersebut biasanya disebut program luncuran atau
carry-over. Lihat Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan
Program Legislasi Nasional, Psl. 27. Pasal 27 berbunyi Dalam keadaan tertentu pelaksanaan program
pembentukan Undang-Undang dalam Prolegnas belum dapat diselesaikan pada tahun berjalan sesuai
dengan skala prioritas yang ditetapkan, program pembentukan Undang-Undang tersebut dijadikan
Prolegnas tahun berikutnya dengan skala prioritas utama.
63
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
Ayat (2) menentukan bahwa Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e meliputi:
a. Peraturan Daerah Provinsi dimuat oleh DPRD Provinsi bersama dengan
Gubernur;
b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota di buat oleh DPRD Kabupaten/Kota
bersama dengan bupati, walikota;
c. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan
desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Dalam hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut diatas
Peraturan Daerah menempati jenjang rendah, karena itu Peraturan Daerah tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
atau dengan nada yang lebih tegas, menurut Pasal 136 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan bertentangan dengan
kepentingan umum dalam ketentuan diatas ialah kebijakan yang berakibat
terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, tergaggunya pelayanan
umum dan terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang
bersifat diskriminatif.
Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menurut Pasal 145 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
Keputusan pembatalan tersebut ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling
lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Peraturan Daerah tersebut.
Selain itu Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung menetapkan bahwa Mahkamah Agung berwenang
menyatakan ketidaksahan peraturan perundang-undangan dibawah undangundang
atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
Ketentuan tersebut di atas merupakan mekanisme kontrol dalam rangka
menjaga keserasian Peraturan Daerah dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Sebab peraturan daerah merupakan salah satu sub sistem
dalam sistem peraturan perundang-undangan dalam Negara RI. Oleh karena itu
Peraturan Daerah harus ditempatkan sebagai bagian dari keseluruhan sistem
peraturan perundang-undangan. Artinya Peraturan Daerah sebagai instrument
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan selain harus mampu
menampung kondisi khusus atau cirri khas masing-masing daerah juga harus
ditempatkan dalam konteks penjabaran peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi. Dengan kata lain Peraturan Daerah ditempatkan sebagai bagian dari
keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004. Prof. MR. Paul Scholten (Struktur Ilmu Hukum, 2003: 30)
antara lain mengemukakan: Dan dari kesatuan hukum itu muncul, bahwa
aturan-anturan harus memperhatikan homogenitas logical, yang menyebabkan
menata diri ke dalam suatu sistem. Lebih lanjut dikemukakan: Tiap aturan
hukum hanya berlaku dalam konteks interaksi dengan aturan-aturan hukum yang
lain. Kemudian dikatakannya bahwa hal ini hanya mungkin, jika aturan-aturan itu
secara logical berada dalam saling berhubungan antara satu dengan yang
lainnya, mewujudkan satu kesatuan, jadi jika mereka mewujudkan sebuah
sistem.
III. Penyusunan Prolegda
Mengingat peranan Peraturan Daerah yang demikian penting dalam
penyelenggaraan otonomi daerah, maka penyusunannya perlu diprogramkan,
agar berbagai perangkat hukum yang diperlukan dalam rangka
penyelenggarakan otonomi daerah dapat dibentuk secara sistematis, terarah dan
64
65
66
67
68
suatu masalah dalam suatu Peraturan Daerah, maka tentunya ini merupakan
hal terpenting yang dapat dijadikan alasan agar Rancangan Peraturan
Daerah tersebut dapat diletakkan dalam urutan pertama atau dalam skala
prioritas tertinggi untuk dapat segera disahkan menjadi suatu Peraturan
Daerah.
2. Rancangan Peraturan Daerah atau Rancangan Legislasi Daerah tersebut
terkait dengan pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi lainnya
Suatu Rancangan Peraturan Daerah atau Rancangan Legislasi Daerah
dapat juga diletakkan dalam skala prioritas yang tinggi apabila Rancangan Peraturan Daerah
tersebut dimaksudkan untuk melaksanakan suatu
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi namun tidak diperintahkan
secara langsung oleh Peraturan Perundang-undangan tersebut.
3. Rancangan Peraturan Daerah atau Rancangan Legislasi Daerah tersebut
dimaksudkan untuk mendorong percepatan reformasi
Saat ini reformasi di segala bidang sedang giat-giatnya di galakkan seperti
reformasi yang dimaksudkan untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu, maka suatu Rancangan Peraturan Daerah atau Rancangan
Legislasi yang akan dibuat untuk misalnya mengurangi kemungkinan
seorang aparat melakukan tindak pidana korupsi, perlu mendapat prioritas
tinggi untuk dapat segera disahkan menjadi Peraturan Daerah.
4 Rancangan Peraturan Daerah atau Rancangan Legislasi Daerah tersebut
belum disahkan pada tahun sebelumnya
Untuk Rancangan-rancanga Peraturan Daerah yang belum diproses atau
belum mendapat pengesahan pada tahun sebelumnya misalnya tahun 2005,
maka pada tahun 2006 ini Rancangan Peraturan Daerah tersebut
menempati skala prioritas pertama untuk disahkan menjadi suatu Peraturan
Daerah.
5. Peraturan Daerah atau Legislasi Daerah tersebut memerlukan revisi atau
perbaikan karena bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi
Suatu Peraturan Daerah atau Legislasi Daerah yang isinya bertentangan
dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, maka perlu
disegerakan untuk dilakukan perubahan agar tidak menimbulkan kesulitan di
masa yang akan datang baik di lihat dari sisi penegak hukum maupun dilihat
dari sisi pelaksana Peraturan Daerah itu sendiri dalam hal ini aparat
pelaksana dan masyarakat itu sendiri.
6. Rancangan Peraturan Daerah atau Rancangan Legislasi Daerah tersebut
berorientasi pada pengaturan hak-hak asasi manusia
Masalah hak asasi manusia saat ini merupakan issu nasional terbesar,
khususnya masalah-masalah hak asasi manusia yang memperhatikan prinsip-prinsip kesetaraan
dan keadilan gender. Sehingga apabila ada suatu
Rancangan Peraturan Daerah mengatur masalah tersebut di atas, maka
Rancangan Peraturan Daerah tersebut sebaiknya diletakkan pada skala
prioritas yang tinggi untuk dapat segera disahkan menjadi suatu Peraturan
Daerah.
7. Rancangan Peraturan Daerah atau Rancangan Legislasi Daerah tersebut
dimaksudkan untuk mendukung pemulihan dan pembangunan ekonomi
kerakyatan yang bekeadilan
Apabila suatu Rancangan Peraturan Daerah tersebut dimaksudkan untuk
memulihkan kondisi ekonomi kerakyatan dan melakukan pembangunan
ekonomi kerakyatan agar keadilan semakin terasa di masyarakat, maka
Rancangan Peraturan Daerah tersebut perlu dimasukkan dalam prioritas
utama untuk disahkan menjadi suatu Peraturan Daerah. Karena dengan
menciptakan kondisi masyarakat yang adil dan sejahtera, maka ini berarti
daerah yang bersangkutan telah melakukan reformasi juga khususnya di
69
70
71
72
Visi Unibraw
Menjadi universitas yang terkemuka di bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, berperan aktif dalam peningkatan peradaban, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
mampu memecahkan berbagai masalah kemasyarakatan.
Misi
a. Menyelenggarakan proses pendidikan untuk membantu menjadi manusia yang
berkualitas, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkemampuan akademik
dan/atau profesional sehingga mampu berperanan secara bermakna di segala aspek
kehidupan masyarakat.
b. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan
memperkaya kebudayaan nasional.
Dasar Pendidikan
Pendidikan Tinggi dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Nasional diatur dalam
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 056/U/1994. Sesuai dengan keputusan
tersebut, pendidikan akademik yang terdiri atas program sarjana, program magister dan program
doktor, adalah pendidikan yang diarahkan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan kesenian. Pendidikan profesional adalah program pendidikan diploma yang
diarahkan terutama pada kesiapan penerapan keahlian tertentu, sedangkan pendidikan profesi
adalah pendidikan tambahan setelah program sarjana untuk memperoleh keahlian dan sebutan
profesi dalam bidang tertentu.
Tujuan Pendidikan
Program Sarjana
Program Sarjana diarahkan pada hasil lulusan yang memiliki kualifikasi sebagai berikut :
1. Menguasai dasar-dasar ilmiah dan ketrampilan dalam bidang keahlian tertentu sehingga
mampu menemukan, memahami, menjelaskan, dan merumuskan cara penyelesaian
masalah yang ada di dalam kawasan keahliannya.
2. Mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya sesuai dengan
bidang keahliannya dalam kegiatan produktif dan pelayanan kepada masyarakat dengan
sikap dan perilaku yang sesuai dengan tata kehidupan bersama.
3. Mampu bersikap dan berperilaku dalam membawakan diri berkarya di bidang
keahliannya maupun dalam berkehidupan bersama di masyarakat.
4. Mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian yang
merupakan keahliannya.
73
Program Dokter
Tujuan pendidikan Dokter adalah menghasilkan lulusan yang mempunyai cukup pengetahuan,
ketrampilan dan sikap untuk :
1. Melakukan profesi kedokteran dalam suatu sistem pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebijaksanaan umum pemerintah yang berlandaskan Pancasila, mencakup hal-hal
sebagai berikut :
a. Mengenal, merumuskan dan menyusun prioritas masalah kesehatan masyarakat
sekarang dan yang akan datang serta berusaha bekerja untuk menyelesaikan
masalah-masalah tersebut melalui perencanaan, implementasi dan evaluasi
program-program yang bersifat promotif, preventif, kuratif sera rehabilitatif.
b. Memecahkan masalah-masalah kesehatan penderita dengan menggunakan
pengetahuan, ketrampilan klinik, laboratorium serta observasi, pencatatan yang
baik untuk mengidentifikasi, mendiagnosa, melakukan usaha pencegahan,
meminta konsultasi, mengerjakan usaha rehabilitasi masalah kesehatan
penderita dengan berlandaskan etika kedokteran, mengingat aspek jasmani,
rohani dan sosio-budayanya.
c. Memanfaatkan sebaik-baiknya sumber daya dan tenaga lainnya dalam
meningkatkan kesehatan masyarakat.
d. Bekerja selaku unsur pimpinan dalam suatu tim kesehatan.
e. Menyadari bahwa sistem pelayanan kesehatan yang baik adalah suatu faktor
penting dalam ekosistem yang dapat meningkatkan kesehatan masyarakat.
f. Mendidik dan mengikutsertakan masyarakat untuk meningkatkan taraf
kesehatan.
2. Senantiasa meningkatkan dan mengembangkan diri dalam segi ilmu kedokteran sesuai
dengan bakatnya, dengan berpedoman pada pendidikan sepanjang hayat.
3. Menilai kegiatan profesinya secara berkala, menyadari keperluan untuk menambah
pendidikannya, memilih sumber-sumber pendidikan yang serasi, serta menilai kemajuan
yang telah tercapai secara klinis.
4. Mengembangkan ilmu kesehatan, khususnya ilmu kedokteran dengan ikut serta dalam
pendidikan dan penelitian, mencari penyelesaian masalah kesehatan penderita, sistem
pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan serta usaha medis.
5. Memelihara, mengembangkan kepribadian dan sikap yang diperlukan untuk
kelangsungan profesinya seperti integritas, rasa tanggung jawab, dapat dipercaya,
menaruh perhatian serta penghargaan terhadap sesama manusia sesuai dengan etika
kedokteran.
6. Berfungsi sebagai anggota masyarakat yang kreatif, produktif, bersikap terbuka, dapat
menerima perubahan, berorientasi kemasa depan dan mendidik serta mengajak
masyarakat ke arah sikap yang sama.
Program Magister
Program magister diarahkan pada hasil lulusan yang memiliki ciri-ciri sbb:
1. Mempunyai kemampuan mengembangkan dan memutakhirkan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan/atau kesenian dengan cara menguasai dan memahami, pendekatan,
metode, kaidah ilmiah disertai ketrampilan penerapannya.
2. Mempunyai kemampuan memecahkan permasalahan di bidang keahliannya melalui
kegiatan penelitian dan pengembangan berdasarkan kaidah ilmiah.
3. Mempunyai kemampuan mengembangkan kinerja profesionalnya yang ditunjukkan
dengan ketajaman analisis permasalahan, keserbacakupan tinjauan, kepaduan
pemecahan masalah atau profesi yang serupa.
Program Doktor
74
Program Doktor diarahkan pada hasil lulusan yang memiliki kualifikasi sebagai berikut :
1. Mempunyai kemampuan mengembangkan konsep ilmu, teknologi, dan/atau kesenian
baru di dalam bidang keahliannya melalui penelitian.
2. Mempunyai kemampuan mengelola, memimpin, dan mengembangkan program
penelitian.
3. Mempunyai kemampuan pendekatan interdisipliner dalam berkarya di bidang
keahliannya.
Program Spesialis I (SpI)
Tujuan pendidikan dokter Sp1 adalah setelah melalui proses belajar dengan suatu kurikulum
menghasilkan lulusan yang :
1. Mempunyai rasa tanggung jawab dalam pengamalan ilmu kesehatan sesuai dengan
kebijakan pemerintah berdasarkan Pancasila.
2. Mempunyai pengetahuan yang luas dalam bidangnya serta mempunyai ketrampilan dan
sikap yang baik sehingga sanggup memahami dan memecahkan masalah kesehatan
secara ilmiah serta dapat mengamalkan ilmu kesehatan kepada masyarakat sesuai
dengan bidang keahliannya secara optimal.
Mampu menentukan, merencanakan dan melaksanakan, penelitian secara mandiri serta
mengembangkan ilmu ketingkat
75