Anda di halaman 1dari 75

DASAR-DASAR PENYUSUNAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN
Oleh:
T. Saiful Bahri, S.H.,M.Si
Penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik, pada hakekatnyaperlu memperhatikan
dasar-dasar pembentukannya terutama berkaitan denganlandasan-landasan, asasa-asas yang
berkaiatan dengan materi muatannya.Sekurang-kurangnya dasar-dasar penyusunan peraturan
perundang-undanganharus memiliki tiga landasan, yaitu landasan filosofis, landasan sosiologis
dan landasan yuridis. Namun selain dari ketiga landasan tersebut, ada landasanlandasanlain
yang perlu diperhatikan juga antara lain landasan teknik perancangan dan landasan politis.
Landasan-landasan, asas-asas dan materi muatan peraturan perundang-undangan dimaksud
dapat dijelaskan sebagai berikut:
A. LANDASAN
1. Landasan Filosofis (Filosofische grondslag)
Landasan filosofis merupakan filsafat atau pandangan hidup sesuatu bangsayang berisi nilai-nilai
moral atau etika dari bangsa tersebut. Moral dan etikapada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik
dan yang tidak baik. Nilai yang baik adalah pandangan dan cita-cita yang dijunjung tinggi.
Dimana di dalamnya ada nilai kebenaran, keadilan, kesusilaan, dan berbagai nilai lainnya yang
dianggap baik. Pengertian baik, benar, adil, dan susila tersebut menurut takaran yang dimiliki
bangsa ybs. Hukum yang baik harus berdasarkan kepada semua itu. Hukum yang dibentuk tanpa
memperhatikan moral bangsa akan sia-sia diterapkannya, tidak akan ditaati atau dipatuhi. Semua
nilai yang ada diIndonesia terakumulasi dalam Pancasila, karena Pancasila adalah pandangan
hidup, cita-cita bangsa, falsafah atau jalan kehidupan (way of life), dan berbagai sebutan lainnya.
Apapun jenisnya filsafat hidup bangsa, harus menjadi rujukan dalam membentuk hukum yang
akan dipergunakan dalam kehidupan bangsa tersebut.
Oleh karena itu kaidah hukum yang dibentuk (yang termuat dalam peraturan perundangundangan) harus mencerminkan filsafat hidup bangsa itu. Sekurangkurangnya tidak
bertentangan dengan nilai-nilai moral bangsa, dan mencerminkan nilai-nilai keadilan masyarakat.
2. Landasan Sosiologis (Sociologische grondslag)
Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis apabila
ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat.
Hal ini penting agar perundang-undangan yang dibuat ditaati oleh masyarakat, tidak menjadi
kalimat-kalimat mati belaka1. Hal ini berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang dibuat
harus dipahami oleh masyarakat, sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat ybs. Membuat
suatu aturan yang tidak sesuai dengan tata nilai, keyakinan dan kesadaran masyarakat tidak
akan ada artinya, tidak mungkin dapat diterapkan karena tidak dipatuhi dan ditaati. Hukum yang
dibentuk harus sesuai dengan "hukum yang hidup" (living law) dalam masyarakat. Dengan
demikian perlu dipahami juga bahwa tidak berarti apa yang ada pada saat ini dalam suatu
masyarakat, akan menjadi nilai kehidupan pada masyarakat selanjutnya. Produk perundangundangan tidak sekedar merekam keadaan seketika (moment opname).2 Masyarakat berubah,
nilai-nilaipun berubah, kecenderungan dan harapan masyarakat harus dapat diprediksi dan
terakumulasi dalam peraturan perundang-undangan yang berorientasi masa depan.
3. Landasan Yuridis (Juridische grondslag)
Landasan yuridis adalah landasan hukum (yuridische gelding) yang menjadi dasar kewenangan
(bevoegdheid atau competentie) pembuatan peraturan perundang-undangan. Apakah

kewenangan seseorang pejabat atau lembaga/badan tertentu mempunyai dasar hukum yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau tidak. Dasar hukum kewenangan
membentuk peraturan perundang-undangan sangat diperlukan. Tanpa disebutkan dalam
peraturan perundangan sebagai landasan yuridis formal, seorang pejabat atau suatu
lembaga/badan adalah tidak berwenang (onbevoegdheid) mengeluarkan peraturan. Sebagai
landasan yuridis formal tersebut misalnya, Pasal 20 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 memberikan
kewenangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk membentuk Undang-undang. Demikian
pula ketentuan
Pasal 5 ayat (2) memberikan dasar hukum kewenangan kepada Presiden dalam menetapkan
Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-undang. Di dalam landasan yuridis formal
selain menetapkan lembaga/badan yang berwenang membentuk, juga secara garis besar
ditetapkan proses dan prosedur penetapannya. Misalnya, suatu Undang-undang sebelum
disahkan (istilah UUDNRI Tahun 1945) menjadi Undang-undang harus mendapat persetujuan
bersama terlebih dahulu dari Presiden. Selain itu, walaupun RUU telah disetujui oleh Presiden
tetapi dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak persetujuan tidak disahkan oleh Presiden, maka
RUU tersebut sah menjadi Undang-undang dan wajib diundangkan (Pasal 20 ayat (5) UUDNRI
Tahun 1945). Demikian pula misalnya Peraturan Daerah, ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah
mendapat persetujuan bersama DPRD (Pasal 136 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah). Kalau suatu Peraturan Daerah dibuat oleh Kepala Daerah tanpa disetujui oleh DPRD
maka Peraturan Daerah tersebut batal demi
hukum (van rechtwegenietig).
Dengan demikian jenis peraturan perundang-undangan serta lembaga/badan yang berwenang
membentuknya harus mempunyai landasan formal secara tegas dalam peraturan perundangundangan. Tanpa landasan formaldemikian, maka prinsip negara berdasar atas hukum akan
menjadi goyah. Oleh karena itu dasar yuridis sangat penting dalam pemuatan peraturan
perundangundangan yang ditandai dengan:
1. adanya kewenangan untuk pembuat peraturan perundang-undangan, karena setiap
peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/badan atau pejabat yang
berwenang;
2. adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi
yang diatu, terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perundangundangan tingkat
lebih tinggi atau sederajat;

1 Bagir Manan, dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit Indhill, Co, Jakarta, 1992.
2 Amiroeddin Syarif, Perundang-undangan, Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya, Penerbit Bina
Aksara, Jakarta,
1987
3. mengikuti tata cara atau prosedur tertentu, apabila tidak diikuti maka peraturan
perundang-undangan tersebut dimungkinkan batal demi hukum atau tidak/belum
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi
tingkatannya. Suatu Undang-undang tidak boleh mengandung kaidah yang bertentangan
dengan UUD. Demikian pula seterusnya sampai pada peraturan perundang-undangan
tingkat lebih bawah.
Selain menentukan dasar kewenangan landasan hukum juga merupakan dasar keberadaan atau
pengakuan dari suatu jenis peraturan perundangundangan adalah landasan yuridis material.
Landasan yuridis material menunjuk kepada materi muatan tertentu yang harus dimuat dalam
suatu peraturan perundang-undangan tertentu. Pembentuk peraturan menghendaki bahwa
sesuatu materi tertentu hendaknya diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan tertentu
pula. Dalam UUD 1945 disebutkan adanya materi-materi tertentu yang harus diatur dengan
Undang-undang. Isi atau substansi suatu peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan
"wadahnya" atau jenis peraturan perundang-undangan. Selain itu, isi suatu peraturan perundang-

undangan tidak boleh bertentangan dengan isi peraturan perundang-undangan yang derajatnya
lebih tinggi.
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa, selain ketiga landasan (filosofis, sosiologis dan
yuridis) masih terdapat landasan teknik perancangan dan landasan politis.
a. Landasan teknik perancangan
Unsur teknik perancangan merupakan unsur yang tidak boleh diabaikan dalam upaya membuat
peraturan perundang-undangan yang baik. Peraturan perundangundanganyang kurang baik
dapat juga terjadi karena tidak jelas perumusannya sehingga tidak jelas arti, maksud dan
tujuannya (ambiguous) atau rumusannya dapat ditafsirkan dalam berbagai arti (interpretatif) atau
terjadi inkonsistensi dalam menggunakan peristilahan atau sistematika yang tidak baik, bahasa
yang berbelitbelit sehingga sukar dimengerti dan lain sebagainya.
b. Landasan politis
Landasan politis ialah garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijakankebijakan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan negara. Misalnya garis politik di
bidang otonomi yang tercantum dalam TAP MPR-RI No IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi
Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, menjadi landasan politis dalam pembuatan
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah disempurnakan
dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tegasnya, garis
politik dalam TAP MPR-RI itu, memberi pengarahan dalam pembuatan undang-undang itu.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa hal itu termasuk dalam landasan yuridis karena indikasi
mengenai otonomi yang tertuang dalam Ketetapan MPR yang nota bene merupakan landasan
yuridis. Di pihak lain, keberadaan Pemerintahan Daerah baik secara yuridis maupun politis diatur
dalam Pasal 18, Pasal 18 A, Pasal 18 B UUDNRI Tahun 1945 dan secara tegas telah
ditindaklanjuti pengaturannya dalam Undangundang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah
B. ASAS-ASAS
Secara garis besar peraturan perundang-undangan itu dibedakan menjadi dua, pertama adalah
peraturan perundang-undangan yang dibentuk karena prakarsa oleh Presiden/KDH dengan
Persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah (Pasal 5 ayat (1) UUDN-RI Tahun 1945),
atau yang dibentuk karena inisiatif oleh Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah dan disahkan oleh
Presiden/KDH (Pasal 20 UUDN-RI Tahun 1945), dan kedua adalah peraturan perundangundangan yang tidak memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam
peraturanperundang-undangan
dibutuhkan
pemahaman
terhadap
asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan dan asas-asas materi muatan peraturan
perundang-undangan sesuai dengan jenis dan hierarkinya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundangundangan telah dirumuskan adanya asas-asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan; yaitu setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; yaitu setiap jenis peraturanperundangundangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturanperundang-undangan
yang berwenang. Apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yangtidak berwenang, peraturan
perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan ataubatal demi hukum.
c. kesesuaian anatara jenis dan materi muatan; yaitu dalam pembentukan
peraturanperundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang
tepatdengan jenis peraturan perundang-undangannya.

d. dapat dilaksanakan; yaitu setiap pembentukan peraturan perundang-undanganharus


diperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalammasyarakat,
baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; yaitu setiap peraturan perundang-undangandibuat
karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengaturkehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
f. kejelasan
rumusan;
yaitu
setiap
peraturan
perundang-undangan
harus
memenuhipersyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika,
danpilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah
dimengerti,sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
g. keterbukaan; yaitu dalam proses pembentukan peraturan perundang-undanganmulai dari
perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifattransparan dan terbuka.
Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyaikesempatan yang seluasluasnya untuk memberikan masukan dalam prosespembuatan peraturan perundangundangan.
Di samping itu, dalam ketentuan Pasal 6 dirumuskan pula tentang asas materi
muatan yang harus terkandung dalam suatu peraturan Peru ndang-undangan, yaitu:
a. pengayoman; yaitu setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harusberfungsi
memberikan
perlindungan
dalam
rangka
menciptakan
ketentramanmasyarakat;
b. kemanusiaan; yaitu setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harusmencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta
harkatdan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
c. kebangsaan; yaitu setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harusmencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik
(kebhinekaan)dengan tetap menjaga prinsip NKRI.
d. kekeluargaan; yaitu setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harusmencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap
pengambilankeputusan.
e. kenusantaraan; yaitu setiap materi muatan peraturan perundang-undangansenantiasa
memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia, termasuk materimuatan
peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagiandari sistem
hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
f.
bhineka tunggal ika; yaitu setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan golongan, kondisi khusus
daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitifdalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
g. keadilan;
yaitu
setiap
materi
muatan
peraturan
perundang-undangan
harusmencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga tanpa kecuali.
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; yaitu setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan
berdasarkan agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
i.
ketertiban dan kepastian hukum; yaitu setiap materi muatan peraturan
perundangundangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan adanya kepastian hukum.
j.
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; yaitu setiap materi muatan
peraturanperundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa
dan negara.
Selain asas-asas sebagaimana tersebut di atas, dimungkinkan asas lain yang disesuaikan
dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan, antara lain:

a. dalam hukum pidana, terdapat asas legalitas, asas tiada hukum tanpa kesalahan, asas
pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b. dalam hukum perdata, terutama dalam hukum perjanjian, terdapat asaskesepakatan,
asas kebebasan berkontrak, dan asas itikad baik.
Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan peraturan
Perundang-undangan, secara teoritis beberapa ahli telah memperkenalkan asas perundangundangan yaitu:
1. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam Peraturan dan Yurisprudensi (1979)
menyebutkan ada enam asas peraturan perundangundangan yang meliputi:
a. Undang-undang tidak berlaku surut,
b. Undang-undang yang dibuat oleh Penguasa yang lebih tinggi, mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi pula,
c. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undangundang yang
bersifat umum (Lex specialis derogat lex generali),
d. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undangundang yang
berlaku terdahulu (Lex posteriore derogat lex priori), Undang-undang tidak dapat
diganggu-gugat.
e. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai
kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupunindividu, melalui
pembaharuan atau pelestarian (Welvaarstaat).
2. Amiroeddin Syarif dalam Peraturan Perundang-undangan: Dasar, Jenis dan Teknis
membuatnya (1987) juga telah menawarkan lima asas perundangundangan, yang
meliputi:
a. Asas tingkatan hirarki
b. Undang-undang tak dapat diganggu gugat
c. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang
bersifat umum (Lex specialis derogat lex generalis)
d. Undang-undang tidak berlaku surut,
e. Undang-undang yang baru menyampingkan undang-undang yang lama (Lex
posteriori derogat lex priori).
Jika kedua pendapat tersebut dibandingkan maka terdapat persamaan dan perbedaan.
Persamaannya bahwa lima asas adalah sama, dan perbedaannya bahwa Purnadi dan Soerjono
Soekanto menarnbahkan satu asas lagi yaitu asas welvaarstaat. Dalam hal ini mungkin lebih
cenderung menyetujui pendapat Amiroeddin Syarif, karena asas welvaarstaat bukanlah asas
tetapi lebih cenderung berkaitan dengan fungsi hukum (perundang-undangan) dalam konteks
negara kesejahteraan. Peraturan perundang-undangan dibuat untuk dipergunakan bagi
peristiwaperistiwa yang akan datang (terjadi setelah peraturan perundang-undangan tersebut
dinyatakan berlaku), tidak diberlakukan terhadap peristiwa yang terjadi sebelumnya. Pada
dasarnya peraturan perundang-undangan akan mengikat sejak saat dinyatakan berlaku dan
diundangkan. Dengan demikian maka peraturan perundana-undangan dibentuk dengan maksud
untuk mengantisipasi fenomena di masa mendatang.
Peraturan perundang-undangan hanya berlaku bagi peristiwa atau perbuatan yang dilakukan
sejak peraturan perundangundangan tersebut dinyatakan berlaku, tidak boleh berlaku surut.
Seandainya akan diberlakukan terhadap peristiwa-peristiwa sebelumnya, maka harus diambil
ketentuan yang menguntungkan pihak yang terkena. Hal seperti itu diatur dalam Pasal 1 ayat (1)
KUH Pidana yang menyatakan "Tiada peristiwa dapat dipidana, kecuali atas dasar kekuatan
suatu aturanperundang-undangan pidana yang mendahulukan" (Geen feit is strafbaar dan uit
kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling)3.
Asas bahwa peraturan perundang-undangan tidak boleh berlaku surut sangat relevan dengan
fungsi hukum untuk mencapai keadilan dan berkaitan dengan asas legalitas. Pada sisi lain
keberadaan asas bahwa peraturan perundang-undangan tidak boleh berlaku surut tidak lepas

dari pemeo yang menyatakan "tiada hukum tanpa pengecualian" (geen recht zonder uit
zondering). Artinya bahwa kepastian dan keadilan hukum harus diperhatikan, tetapi pengecualian
dapat dilakukan sepanjang tidak merugikan pihak-pihak yang terkena aturan tersebut, karena
hukum ditujukan untuk mengayomi dan mensejahterakan masyarakat. Hukum bukan untuk
menindas masyarakat.
3 Ranggawijaya Rosidi, Pengantar Ilmu perundang-Undangan Indonesia, Penerbit, Mandar Maju,
Bandung, 1998
Asas perundang-undangan berkaitan dengan lingkungan kuasa waktu atau "tijdsgebied" atau
"temporal sphere", yang dikemukakan oleh JHA Logemann, yang dikenal dengan teori tentang
lingkup atau lingkungan berlakunya hukum (geldingsgebied van het recht).
Menurut Logetmann lingkungan kuasa hukum meliputi empat hal, yaitu:
a. Lingkungan kuasa tempat (ruimtegebied atau territorial sphere).
b. Lingkungan kuasa persoalan (zakengebied atau material sphere).
c. Lingkungan kuasa orang (personengebied).
d. Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied atau temporal sphere).
a. Lingkungan kuasa tempat (ruimtegebied atau territorial sphere).
Berlakunya aturan hukum (peraturan perundang-undangan) dibatasi oleh ruang atau tempat.
Apakah sesuatu aturan hukum itu berlaku untuk suatu wilayah negara atau hanya berlaku untuk
suatu bagian dari wilayah negara. Seperti diketahui, "daerah kekuasaan" berlakunya suatu
Undang-undang dapat meliputi seluruh wilayah negara, tetapi untuk suatu keadaan tertentu atau
suatu materi tertentu hanya diberlakukan untuk suatu wilayah tertentu pula. Suatu peraturan
daerah hanya berlaku untuk suatu daerah tertentu (Provinsi, dan Kabupaten/Kota) saja.
b. Lingkungan kuasa persoalan (zakengebied atau material sphere)
Suatu materi atau persoalan tertentu yang diatur dalam suatu peraturan perudangundangan
mengidentifikasi masalah tertentu. Dengan demikian maka persoalan yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan menunjukkan lingkup materi yang diatur, apakah persoalannya
adalah persoalan publik atau privat, persoalan
perdata atau pidana dsb. Materi tersebut menunjukkan lingkup masalah atau persoalan yang
diatur.
c.

Lingkungan kuasa orang (personengebied)

Sesuatu aturan mungkin hanya diberlakukan bagi sekelompok atau segolongan orang atau
penduduk tertentu. Dengan ditetapkannya subyek atau orang (orang) tertentu dalam peraturan
perundangundangan tersebut maka memperlihatkan adanya pembatasan mengenai orangnya.
Undang-undang tentang Pegawai Negeri, Undang-undang tentang Tenaga Kerja. Undangundang
tentang Pidana Militer, Undang-undang tentang Pajak Orang Asing, dsb; menunjukkan bahwa
peraturan perundang-undangan tersebut hanya diberlakukan bagi kelompak orang yang
diidenrifikasi dalam peraturan
perundang-undangan tersebut.
d. Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied atau temporal sphere)
Lingkungan waktu menunjukkan kapan suatu peraturan perundana-undangan berlaku, apakah
beriaku untuk suatu masa tertentu atau untuk masa tidak tertentu. Apakah mulai berlaku sejak
ditetapkan atau berlaku surut sebelum ditetapkan. Berlakunya suatu peraturan hukum ditentukan
oleh waktu.

Dalam teori tata urutan atau hirarki peraturan perundang-undangan sebagairnana dikemukakan
oleh Hans Kelsen, terdapat asas-asas atau prinsip-prinsip tata urutan, yaitu bahwa:
a. Perundang-undangan yang rendah derajatnya tidak dapat mengubah atau
mengenyampingkan ketentuan-ketentuan perundangundangan yang lebih tinggi;
b. Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau ditambah oleh ataudengan
perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi tingkatannya.
c. Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak
mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila bertentangandengan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Sebaliknya ketentuan-ketentuan
perundang-undangan yang lebih tinggi, tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum
serta mengikat, walaupun diubah, ditambah,diganti atau dicabut oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah.
d. Materi yang seharusnya diatur oleh perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya
tidak dapat diatur oleh perundng-undangan yang lebih rendah;
Pengertian dari asas bahwa undang-undang tidak dapat diganggu gugat, dalam politik hukum
Indonesia menjadi tidak bermakna, karena Pasal 24 C UUDNRI
Tahun 1945, menyatakan bahwa mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap UUD,
....dts. Ini menunjukkan bahwa materi muatan undang-undang dapat diuji oleh badan peradilan
(M.K). Bukan lagi paradigma bahwa hanya pembentuk undang-undang sendiri yang dapat
menilai substansi undang-undang, sehingga perubahan, pencabutan atau pembatalan suatu
undang-undang hanya dapat dilakukan dengan undang-undang sendiri.
Kalau kita perhatikan pada paradigma lama (dalam sejarah perundangundangan Republik
Indonesia) yaitu Asas undang-undang tidak dapat diganggu gugat tersebut dianut dalam
Konstitusi RIS 1949 dan UUD 1950, sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 130 ayat
(2) Konstitusi RIS, bahwa Undangundang Federal tidak dapat diganggu gugat, dan Pasal 95 (2)
UUDS 1950 bahwa Undang-undang tidak dapat diganggu gugat. Sesungguhnya adanya
ketentuan tesebut berkaitan dengan kewenangan pembentuk undang-undang. Menurut
Konstitusi RIS 1949 Pasal 127, pembentuk undang-undang adalah Pemerintah, DPR dan Senat
(untuk materi tertentu dibentuk oleh Pemerintah dan DPR); sedangkan menurut UUDS 1950
Pasal 89, pembentuk undang-undang adalah Pemerintah dan DPR. Sementara itu, Pemerintah
dan DPR sendiri adalah pelaksana kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2) Konstitusi RIS 1949 dan
UUDS 1950). Sebagai badan pelaksana kedaulatan rakyat maka produk hukumnya adalah
"superior", dan tidak dapat diuji oleh badan lain. Itulah sebabnya baik Konstitusi RIS 1949
maupun UUDS 1950 menetapkan dalam Undang-undang Dasarnya asas bahwa Undang-undang
tidak dapat diganggu gugat.
Asas lain adalah bahwa peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengesampingkan
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Hal ini berkaitan dengan kepastian hukum.
Apabila ada beberapa atau sekurang-kurangnya dua peraturan perundang undangan yang sama
jenisnya, maka peraturan perundang-undangan yang mengatur materi yang khusus yang harus
dipergunakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur materi yang umum harus
dikesampingkan. Peraturan perundang-undangan yang mengatur materi yang lebih khusus yang
berlaku. Misalnya KUH Dagang mengesampingkan KUH Perdata. KUH Pidana Militer
mengesampingkan KUH Pidana. Jika seorang anggota ABRI melakukan pencurian maka
ketentuan yang dipakai adalah Pasal 140 KUH Pidana Militer bukan Pasal 362 KUH Pidana.
Bila ada dua atau lebih peraturan perundang-undangan yang sejenis (sederajat) mengatur materi
yang sama dan peraturan perundang-undangan yang baru tidak dengan secara eksplisit
menyatakan bahwa peraturan perundangundangan yang lama itu dicabut atau dinyatakan tidak
berlaku lagi, maka berlaku asas lex posteriori derogat lex priori. Peraturan perundang-undangan
yang lama dikesampingkan oleh peraturan perundang-undangan yang baru. Hal ini pun harus

dipenuhi persyaratan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut sejenis (sederajat) atau


peraturan perundang-undangan yang baru tersebut derajatnya lebih tinggi dari peraturan
perundang-undangan yang lama. Asas ini digunakan dalam rangka mencapai kepartian dan
ketertiban hukum.
C. MATERI MUATAN
Berkaitan dengan meteri muatan peraturan perundang-undangan dapat dipilah menjadi 3 (tiga)
kelompok, yaitu Undang-Undang, Peraturan Pernerintah, dan Peraturan lainnya. Dimana materi
muatannya mempunyai ciri khas yang harus diletakkan dan selalu berada di dalam jenjang atau
hierarkinya. Dalam Bab Materi Muatan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang
pembentukan Peraturan Perundang-undangan dirumuskan materi muatan peraturan perundangundangan sebagai berikut.
1. Undang-Undang
Materi muatan Undang-Undang:
a. engatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negeri Republik Indonesia Tahun
1945 yang meliputi:
1) hak-hak asasi manusia;
2) hak dan kewajiban warga Negara;
3) pelaksanaan dan penegakan kedaulatan Negara serta pembagiankekuasaan
Negara;
4) wilayah Negara dan pembagian daerah;
5) kewarganegaraan dan kependudukan-,
6) keuangan Negara;
b. diperintahkan oieh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan UndangUndang.
2. Peraturan Pemerintah
Sesuai dengan sifat dan hakekat dari suatu Peraturan Pemerintah yang merupakan peraturan
delegasi dari Undang-Undang, atau peraturan yang melaksanakan suatu Undang-Undang, maka
materi muatan Peraturan Pemerintah adalah seluruh materi muatan Undang-Undang tetapi
sebatas yang dilimpahkan. Artinya sebatas yang perlu dijalankan atau diselenggarakan
pengaturan lebih lanjut sebagaimana mestinya oleh Peraturan pemerintah seperti dimaksud
dalam Pasal 10 Undang-Undang tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan.
3. Peraturan lainnya
Setelah mengetahui materi muatan Undang-Undang dan materi muatan Peraturan Pemerintah,
maka meteri muatan "sisanya" adalah materi muatan dari Peraturan Presiden. Sedangkan materi
muatan Peraturan Perundang-undangan lainya (seiain UU, PP dan Perpres) adalah merupakan
materi muatan yang bersifat limpahan dari peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, baik
bersifat delegatif atau atributif.
Dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan materi muatan
peraturan perundang-undangan lainnya adalah sebagai berikut:
a. materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang
atau materi untuk melaksakan Peraturan Pemerintah baik secara tegas maupun tidak
tegas diperintahkan pembentukannya. Akan tetapi sesuai dengan kedudukan Presiden
yang memegang kekuasaan pemerintahan, maka Peraturan Presiden dibuat oleh
Presiden untuk menyelenggarakan pemerintahan negara sebagai atribusi dari Pasal 4
ayat (1) berdasarkan UUDNRI Tahun 1945.
b. Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam
rangkapenyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung

c.

kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundanganyang


lebih tinggi.
Materi muatan Peraturan Desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalamrangka
penyeienggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih ianjut
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Demikianlah beberapa hal yang berkaitan dengan dasar-dasar penyusunan


peraturan perundangan-undangan.

Semoga bermanfaat
Jakarta, September 2006

Harmonisasi
Rancangan
Undang-Undang
Tentang
Administrasi
Pemerintahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

Harmonisasi Rancangan Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan Berdasarkan


Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
Oleh: Wicipto Setiadi
1.

Pendahuluan
Berbicara tentang pengharmonisasian, dasar hukum yang digunakan adalah Pasal 18

ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, yang menentukan Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh Menteri yang
tugas dan tanggungjawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. Ketentuan dalam pasal
ini memang membatasi hanya rancangan undang-undang saja yang perlu diharmoniskan, dan
RUU-nya pun dibatasi hanya yang berasal dari Presiden. RUU yang datang dari DPR tidak
melalui prosedur pengharmonisasian berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004.
Selanjutnya, pasal ini juga menyebutkan bahwa yang diberikan kewenangan untuk
melakukan koordinasi pengharmonisasian adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang peraturan perundang-undangan. Rumusan pasal ini tidak bisa ditafsirkan lain selain
Menteri Hukum dan HAM yang berwenang melakukan koordinasi pengharmonisasian RUU yang
datang dari Presiden. Bagaimana dengan rancangan peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang, apakah berlaku prosedur pengharmonisasian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2004? Saya berpendapat bahwa tidak ada salahnya

apabila prosedur pengharmonisasian juga diberlakukan terhadap rancangan peraturan


perundang-undangan di bawah undang-undang dan hal ini dalam praktik sudah dilakukan. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini saya mengemukakan bahwa prosedur pengharmonisasian
mestinya berlaku juga untuk semua jenis rancangan peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang.
Namun, mengingat keterbatasan tenaga, kemampuan dan daya jangkau Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan, maka pengharmonisaisan dilakukan untuk rancangan
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang di tingkat pusat saja, yaitu Peraturan
Pemerintah (PP), dan Peraturan Presiden (Perpres). Untuk Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu), karena materi muatan Perpu sama dengan materi muatan undangundang maka secara mutatis mutandis berlaku prosedur pengharmonisasian. Sedangkan untuk
Peraturan Daerah tidak mungkin dilakukan pengharmonisasian oleh Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan mengingat begitu banyaknya daerah dan peraturan daerah.
Yang paling mungkin dilakukan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan adalah
bimbingan dan konsultasi sebelum disahkannya peraturan daerah. Fungsi seperti ini sudah
dilakukan oleh Direktorat Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah dan sifatnya juga tidak wajib.
Sehubungan dengan topik yang diberikan oleh penyelenggara terkait dengan
pengharmonisasian Rancangan Undang-Undangan tentang Administrasi Pemerintahan, ada
beberapa hal yang perlu dikemukakan terlebih dahulu sebelum membahas pengharmonisasian
RUU tentang Administrasi Pemerintahan, yaitu: 1) mengapa perlu dilakukan pengharmonisasian?
2) aspek-aspek apa yang diharmoniskan?
2.

Mengapa perlu pengharmonisasian?


Secara singkat dapat dikemukakan bahwa pengharmonisasian adalah upaya untuk

menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan dan membulatkan konsepsi suatu rancangan


peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih
tinggi, sederajat, maupun yang lebih rendah, dan hal-hal lain selain peraturan perundangundangan, sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih
(overlaping). Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya hierarki peraturan perundangundangan. Dengan dilakukan pengharmonisasian maka akan tergambar dengan jelas dalam

10

pemikiran atau pengertian bahwa suatu peraturan perundang-undangan merupakan bagian


integral yang utuh dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan.
Upaya pengharmonisasian dilakukan, selain untuk memenuhi ketentuan Pasal 18 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
paling tidak ada 3 alasan lain yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
a.

Peraturan perundang-undangan merupakan bagian integral dari sistem hukum.


Peraturan perundang-undangan sebagai suatu sistem atau sub sistem dari sistem yang
lebih besar tentu harus memenuhi ciri-ciri antara lain ada saling keterkaitan dan saling
tergantung dan merupakan satu kebulatan yang utuh, di samping ciri-ciri lainnya. Dalam
sistem peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis, ciri-ciri tersebut
dapat diketahui dari ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004.
Pasal 2 menentukan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum
negara. Penjelasan pasal tersebut menentukan bahwa penempatan Pancasila sebagai
sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila
sebagai dasar ideologi negara serta sekaligus dasar filosofi bangsa dan negara,
sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Kemudian Pasal 3 ayat (1) menentukan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar peraturan perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 3 ayat (1) menentukan bahwa Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hukum dasar negara merupakan sumber
hukum bagi pembentukan peraturan perudang-undangan di bawah Undang-Undang
Dasar.
Selanjutnya Pasal 7 ayat (5) menentukan kekuatan hukum peraturan perundangundangan adalah sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan.

11

Penjelasan Pasal 7 ayat (5) menentukan bahwa yang dimaksud dengan hierarki adalah
penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas
bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dari ketentuan di atas jelas bagaimana saling keterkaitan dan saling ketergantungan
satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain yang
merupakan satu kebulatan yang utuh.
Nilai-nilai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara harus mengalir
dalam materi muatan peraturan perundang-undangan. Demikian pula Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan sumber hukum bagi
pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar.
Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pengharmonisasian dilakukan untuk menjaga keselarasan, kemantapan, dan kebulatan
konsepsi peraturan perundang-undangan sebagai sistem agar peraturan perundangundangan berfungsi secara efektif.
b.

Peraturan perundang-undangan dapat diuji (judicial review) baik secara materiel


maupun formal.
Pasal 24 A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan antara lain bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.
Kemudian Pasal 24 C ayat (1) antara lain menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Berhubung
dengan itu, pengharmonisasian peraturan perundang-undangan sangat strategis
fungsinya sebagai uapaya preventif untuk mencegah diajukannya permohonan

12

pengujian

peraturan

perundang-undangan

kepada

kekuasaan

kehakiman

yang

berkompeten.
Putusan kekuasaan kehakiman dapat menyatakan bahwa suatu materi muatan pasal,
ayat, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat atau tidak mempunyai dampak yuridis, sosial dan politis yang luas.
Karena itu pengharmonisasian perlu dilakukan secara cermat.
c.

Menjamin proses pembentukan peraturan perundang-undangan dilakukan secara taat


asas demi kepastian hukum. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan perlu
dilakukan secara taat asas dalam rangka membentuk peraturan perundang-undangan
yang baik yang memenuhi berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas,
tata cara penyampaian dan pembahasan, teknis penyusunan serta pemberlakuannya
dengan membuka akses kepada masyarakat untuk berpartisipasi.
Peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis yang sangat penting dalam
sistem hukum kita dan mengikat publik haruslah mengandung kepastian, sehingga
akibat dari tindakan tertentu yang sesuai atau yang bertentangan dengan hukum dapat
diprediksi. Dengan demikian peraturan perundang-undangan dapat menjadi sarana yang
penting untuk menjaga hubungan yang sinergis antar warga masyarakat dan antara
warga masyarakat dengan pemerintah untuk mewujudkan tujuan bersama secara
dinamis, tetapi tertib dan teratur.

3.

Aspek-aspek yang diharmonisasikan


Setidak-tidaknya ada 2 aspek yang perlu diharmonisasikan pada waktu menyusun

peraturan perundang-undangan, yaitu yang berkaitan dengan aspek konsepsi materi muatan dan
aspek teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.
a.

yang berkenaan dengan konsepsi materi muatan peraturan perundang-undangan


mencakup:

13

1)

Pengharmonisasian konsepsi materi muatan rancangan peraturan perundangundangan dengan Pancasila. Nilai-nilai Pancasila harus menjadi sumber dalam
setiap peraturan perundang-undangan sehingga nilai-nilai tersebut menjadi aktual
dan memberikan batas kepada peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Setiap peraturan perundang-undangan secara substansial mesti menjabarkan nilainilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial.
Pancasila merupakan cita hukum (rechtsidee). Cita hukum tidak hanya berfungsi
sebagai tolok ukur yang bersifat regulatif, yaitu yang menguji apakah suatu hukum
positif adil atau tidak, melainkan juga sekaligus sebagai dasar yang bersifat
konstitutif, yaitu yang menentukan bahwa tanpa cita hukum, hukum akan kehilangan
maknanya sebagai hukum.

2)

Pengharmonisan konsepsi materi muatan rancangan peraturan perundangundangan dengan Undang-Undang Dasar.

Materi muatan peraturan perundang-undangan harus diselaraskan


dengan ketentuan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar
negara. Pengharmonisasian peraturan perundang-undangan dengan
Undang-Undang Dasar selain berkaitan dengan pasal-pasal tertentu
yang dijadikan dasar pembentukannya dan pasal-pasal yang terkait
juga dengan prinsip-prinsip negara hukum dan negara demokrasi baik
di bidang sosial politik maupun ekonomi. Dalam pengharmonisasian
peraturan perundang-undangan dengan Undang-Undang Dasar,
yurisprudensi yang diciptakan oleh Mahkamah Konstitusi yang
dijadikan acuan, sebab putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat
final dan mengikat sangat penting untuk dipahami dalam menafsirkan
secara juridis aturan-aturan dasar bernegara yang tercantum dalam
Undang-Undang Dasar.
Undang-undang yang bertentangan dengan pasal-pasal dan
semangat Undang-Undang Dasar sebagaimana termaktub dalam
pembukaan dapat diuji keabsahannya oleh Mahkamah Konstitusi
karena Undang-undang yang demikian kehilangan dasar
konstitusionalnya.
3)

Pengharmonisasian

rancangan peraturan perundang-undangan dengan asas

pembentukan dan asas materi muatan peraturan perundang-undangan.

14

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 menggolongkan asas peraturan perundangundangan menjadi 3 (tiga) golongan yaitu : asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik (Pasal 5) asas materi muatan (Pasal 6 ayat (1) dan
asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan (Pasal 6 ayat (2).
Pasal 5 menentukan bahwa asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik adalah sebagai berikut: kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ
pembentukan yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat
dilaksanakan kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan
keterbukaan.

Pasal 6 ayat (1) menentukan bahwa asas materi muatan peraturan


perundang-undangan adalah sebagai berikut: kemanusiaan,
kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhineka tunggal ika,
keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan,
ketertiban kepastiana hukum dan/atau keseimbangan keserasian dan
kesejahteraan. Di samping itu masih ada asas lain sesuai dengan
bidang hukum yang diatur, misalnya asas legalitas dalam hukum
pidana, asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata. Aasas
hukum adalah penting untuk dapat melihat jalur benang merah dari
sistem hukum positif yang ditelusuri dan diteliti. Melaluai asas-asas
tersebut dapat dicari apa yang menjadi tujuan umum aturan tersebut.
Asas peraturan perundang-undangan sangat bermanfaat bagi
penyiapan, penyusunan dan pembentukan peraturan perundangundangan yang baik. Asas tersebut berfungsi untuk memberi
pedoman dan bimbingan dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan.
4)

Pengharmonisasian materi muatan rancangan peraturan perundang-undangan


secara horizontal agar tidak tumpang tindih dan saling bertentangan, karena hal
tersebut

akan

menimbulkan

ketidakpastian

hukum

dan

ambiguitas

dalam

penerapannya.

Dalam pelaksanaan pengharmonisasian secara horizontal sudah tentu


berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait perlu dipelajari
secara cermat agar konsepsi materi muatan peraturan perundangundangan yang erat berhubungan satu sama lain selaras. Pembentuk
peraturan perundang-undangan tentu perlu melakukan koordinasi
dengan instansi yang terkait, yang secara substansial menguasai
materi muatan suatu peraturan perundang-undangan dan
keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lain.
5) Pengharmonisasian materi muatan rancangan peraturan perundangundangan dengan konvensi/perjanjian internasional.

15

Konvensi/perjanjian internasional juga harus diperhatikan agar


peraturan perundang-undangan nasional tidak bertentangan dengan
konvensi/perjanjian internasional, terutama yang telah diratifikasi oleh
negara Indonesia.
6) Pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan
dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan putusan Mahkamah Agung
atas pengujian terhadap peraturan perundang-undangan. Putusan
Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung atas pengujian terhadap
peraturan perundang-undangan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap harus dipertimbangkan oleh perancang peraturan
perundang-undangan dalam menyusun rancangan peraturan
perundang-undangan.
7) Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pengharmonisasian
rancangan peraturan perundang-undangan dengan teori hukum,
pendapat para ahli (dogma), yurisprudensi, hukum adat, norma-norma
tidak tertulis, rancangan peraturan perundang-undangan, dan
kebijakan-kebijakan yang terkait dengan peraturan perundangundangan yang akan disusun.
b.

Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan

baik menyangkut kerangka

peraturan perundang-undangan, hal-hal khusus, ragam bahasa dan bentuk peraturan


perundang-undangan. Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan tertuang
dalam lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Pengabaian terhadap teknik
penyusunan

peraturan

perundang-undangan

akibatnya

memang

tidak

sefatal

pengabaian keharusan harmonisaisi atas susbtansi peraturan perundang-undangan.


Pengabaikan terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, tidak dapat
menjadi alasan batalnya peraturan perundang-undangan atau alasan untuk melakukan
yudicial review. Apabila kita mengabaikan teknik penyusunan peraturan perundangundangan, paling-paling kita hanya dapat mengatakan bahwa peraturan perundangundangan tersebut jelek.
4.

Proses Pengharmonisasian dan permasalahannya


Kemudian bagaimana dan di tingkat mana pengharmonisasian dilakukan serta apa saja

permasalahan yang dihadapi dalam praktik? Pengharmonisan rancangan peraturan perundangundangan dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM, dalam hal ini oleh Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan atas permintaan tertulis dari Menteri atau Pimpinan LPND yang

16

memprakarsai penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.


Berdasarkan

permintaan

tersebut,

Direktorat

Jenderal

Peraturan

Perundang-undangan

mengundang wakil-wakil dari instansi terkait untuk melakukan pengharmonisasian rancangan


peraturan perundang-undangan dalam rangka pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan
peraturan perundang-undangan.
Wakil dari Menteri atau Pimpinan LPND pemrakarsa diberikan kesempatan untuk
memaparkan pokok-pokok pikiran yang melatarbelakangi pembentukan rancangan peraturan
perundang-undangan dan garis besar materi muatannya. Selanjutnya wakil-wakil dari instansi
yang terkait diberi kesempatan untuk menyampaikan tanggapan, pendapat atau usul perubahan.
Umumnya tanggapan, pendapat atau usul perubahan sering disampaikan secara spontan pada
saat rapat pengharmonisasian. Hal yang krusial biasanya yang menyangkut materi muatan yang
terkait dengan ruang lingkup tugas instansi yang diwakili.
Selanjutnya dilakukan pembahasan secara mendalam terhadap tanggapan, pendapat
atau usul perubahan yang diajukan dalam rapat. Pengambilan keputusan dilakukan apabila telah
dicapai kesepakatan tentang materi muatan rancangan peraturan perundang-undangan yang
diharmoniskan. Seringkali pembahasan berjalan alot karena adanya tarik menarik kepentingan
antarinstansi. Pembahasan yang alot pada umumnya menyangkut kewenangan, kelembagaan,
pengelolaan keuangan, pengaturan prosedur, penetapan hak dan kewajiban serta sanksi.
Apabila suatu isu yang menjadi pokok masalah tidak dapat dicarikan solusinya atau tidak
dapat disepakati, maka diberikan kesempatan untuk melakukan konsultasi dengan Pimpinan
instansinya atau untuk meminta pendapat tertulis dari instansi yang dipandang lebih
berkompeten. Pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan tidak jarang
memakan waktu yang cukup lama dan menguras tenaga dan pikiran. Sesudah tercapai
kesepakatan atau kebulatan konsepsi dan dituangkan ke dalam rumusan akhir, maka Menteri
Hukum dan HAM atau Menteri/Pimpinan LPND pemrakarsa setelah mendapat rekomendasi dari
Menteri Hukum dan HAM mengajukan rancangan peraturan perundang-undangan tersebut
kepada Presiden untuk mendapat persetujuan.
Permasalahan yang dihadapi dalam proses pengharmonisasian antara lain adalah:

17

a)

Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 hanya mengatur


mengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan UndangUndang yang berasal dari Presiden, dan tidak mengatur Rancangan Undang-Undang
yang berasal dari DPR. Siapa yang diberikan kewenangan untuk melakukan
pengharmonisasian RUU yang berasal dari DPR?

b)

Masih adanya semangat egoisme sektoral dari masing-masing instansi terkait, karena
belum adanya persamaan persepsi tentang rancangan peraturan perundang-undangan
sebagai suatu sistem sehingga pembahasan oleh wakil-wakil instansi terkait tidak
bersifat menyeluruh tetapi bersifat fragmentaris menurut kepentingan masing-masing
instansi.

c)

Wakil-wakil yang diutus oleh instansi terkait sering berganti-ganti dan tidak berwenang
untuk mengambil keputusan sehingga pendapat yang diajukan tidak konsisten,
tergantung kepada individu yang ditugasi mewakili, sehingga menghambat pembahasan.

d)

Rancangan peraturan perundang-undangan yang akan diharmoniskan sering baru


dibagikan pada saat rapat atau baru dipelajari pada saat rapat sehingga pendapat yang
diajukan bersifat spontan dan belum tentu mewakili pendapat instansi yang diwakili.

e)

Tenaga fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan masih terbatas dan


belum memiliki spesialisasi untuk menguasai bidang hukum tertentu, karena jabatan
fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan dianggap jabatan yang tidak
cukup menarik.

5.

Pengharmonisasian RUU tentang Administrasi Pemerintahan


Proses pengharmonisasian atas RUU tentang Administrasi Pemerintahan selain harus

mempertimbangkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, secara khusus harus merpertimbangkan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Kemudian, Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan

18

Nepotisme dan undang-undang lainnya serta dengan RUU lain yang diprakarsai oleh
Kementerian PAN.

Pada kesempatan ini, akan disoroti RUU tentang Administrasi Pemerintahan


kaitannya dengan RUU lain yang diprakarsai oleh Kementerian PAN.
Kementerian PAN sekarang sedang memprakarsai penyusunan RUU yang
terkait dengan reformasi birokrasi, antara lain RUU tentang Pelayanan Publik,
RUU tentang Etika Pemerintahan, dan RUU lainnya. Mengapa Kementrian PAN
tidak mempersiapkan satu RUU saja terkait dengan reformasi birokrasi? Apabila
mau dapat dicarikan judul yang dapat mencakup hal-hal yang terkait dengan
reformasi birokrasi. Pengaturan reformasi birokarasi dalam satu undang-undang
akan memudahkan pengharmonisasian.
Kecenderungan yang terjadi saat ini, semua instansi berlomba-lomba untuk
mengajukan usulan RUU karena segala masalah akan diatur dengan undangundang. Padahal belum tentu dengan diatur dalam undang-undang segalanya
selesai, bahkan bisa jadi dengan diaturnya dalam undang-undang justru
menimbulkan masalah baru. Apabila dicermati, banyak penyusunan RUU
ternyata dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan instansi yang
bersangkutan. Selain itu, sejujurnya banyak substansi yang tidak perlu diatur
dengan undang-undang, tetapi cukup dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah atau malah cukup dengan kebijakan saja.
Dalam rangka pengharmonisasian RUU tentang Administrasi Pemerintahan akan
dikemukakan beberapa hal, antara lain:
a) Pasal 1 angka 4
Ketentuan ini memuat pengertian Pejabat Administrasi Pemerintahan.
Apbila dikaitkan dengan penjelasan Pasal 1 angka 1 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, maka
pengertian ini akan mempersempit pengertian pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan, karena penjelasan tersebut
menyatakan bahwa urusan pemerintahan adalah kegiatan yang bersifat
eksekutif. Bagaimana dengan jabatan lain yang tidak disebutkan dalam
Pasal 1 angka 4 tetapi melaksanakan kegiatan yang bersifat eksekutif?
b) Pasal 1 angka 7
Ketentuan ini mengatur mengenai sifat Keputusan Administrasi
Pemerintahan, yaitu konkret, individual, dan final. Bagaimana dengan
Keputusan Administrasi Negara yang berlaku umum, karena keputusan
ini tidak termasuk peraturan perundang-undangan. Apabila tidak diatur di

19

sini, Keputusan Administrasi Negara yang berlaku umum tidak termasuk


kedua-duanya.
c) Pasal 1 angka 8
Ketentuan ini mengatur mengenai diskresi. Dengan pengertian ini seolaholah kapan pun dan dalam kondisi apa pun dapat dikeluarkan diskresi.
Memang, dalam hal-hal tertentu pejabat administrasi negara diberi
kebebasan bergerak manakala peraturan perundang-undangan tidak
mengatur atau mengatur tetapi sangat sumir. Oleh karena itu, perlu ada
kriteria kapan boleh dikeluarkan diskresi.
d) RUU ini mencampuradukan antara asas-asas umum pemerintahan yang
baik dengan tujuan dan ruang limgkup undang-undang ini (Pasal 2 s.d.
Pasal 4). Sebaiknya asas-asas umum pemerintahan yang baik dipisahkan
dari tujuan dan ruang lingkup undang-undang.
e) Pasal 5
Idem dengan komentar nomor 1).
f)

Pasal 44
Ketentuan ini merupakan Ketentuan Peralihan. Ayat (1) dan ayat (2) pasal
ini bertentangan dengan kompetensi absolut PTUN berdasarkan Undangundang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004. Kompetensi absolut PTUN adalah menyelesaikan dan mengadili
sengketa Keputusan TUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka
3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004.

g) Hal-hal lain yang belum diberikan tanggapan akan diberikan tanggapan


pada saat pembahasan RUU ini secara lebih mendalam.

Penulis adalah Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, Ditjen. Peraturan


Perundang-undangan, Departemen Hukum dan HAM. Penulis menyelesaikan S1 dari Fakultas
Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta, S2 dari Program Pascasarjana Universitas

20

Pajajaran Bandung, dan S3 dari Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Jakarta.

Menguji Undang-Undang

Oleh: Hadi Herdiansyah dan Bivitri Susanti

Mungkinkah undang-undang mengandung kesalahan dalam materinya? Mungkinkah


suatu undang-undang yang bermasalah dibatalkan? Pertanyaan ini akan muncul di
benak para pemerhati undang-undang. Masalahnya, dalam kenyataannya memang
ada undang-undang yang bermasalah. Sebut saja misalnya undang-undang
tentang pemilihan presiden yang di dalamnya pengaturan mengenai syarat calon
presiden yang dapat ditafsirkan berbeda-beda. Akibatnya, ketika itu Abdurrahman
Wahid, yang bermaksud menjadi kandidat presiden dan merasa dirugikan karena
ketentuan ini, mengangkat kasus ini dan melakukan upaya-upaya hukum.

Namun di sisi lainnya, undang-undang merupakan suatu instrumen pengatur yang


mengikat dan punya legitimasi. Apabila undang-undang dapat dengan mudah
diubah-ubah begitu saja, kepastian hukum tidak akan terjadi.

Oleh karena itu, ada suatu mekanisme hukum tata negara yang lazim diterapkan di
berbagai negara di dunia. Mekanisme ini lazim disebut uji materil undang-undang
atau judicial review. Untuk menjaga agar pembuat undang-undang tidak semenamena, konstitusi dijadikan dasar untuk menguji undang-undang. Sebab di dalam
konstitusilah diatur prinsip-prinsip dasar bernegara. Mulai dari hak asasi manusia,
sampai bagaimana perekonomian negara seharusnya diatur.

Sejarah Singkat Uji Materil Peraturan di Indonesia

Di Indonesia, pengujian terhadap peraturan perundang-undangan merupakan


diskursus hukum yang sudah lama berlangsung. Mulai dari saat pembentukan

21

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada tahun 1945 sampai dengan amandemen
UUD yang dimulai pada tahun 1999, soal uji materil ini selalu menjadi salah satu
topik yang menarik. Persoalan utamanya berkisar pada siapa yang diberi
kewenangan menguji suatu peraturan?

Melalui perdebatan panjang, pada tahun 1970 secara resmi akhirnya wewenang
menguji peraturan diberikan kepada Mahkamah Agung melalui Undang-Undang No.
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (saat ini
sudah digantikan oleh UU No. 4 Tahun 2004). Namun, wewenang yang diberikan
kepada Mahkamah Agung hanyalah untuk menguji peraturan di bawah undangundang, seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan lain-lain. Sementara
itu, undang-undang tidaklah dapat diuji. Padahal hakekat dari judicial review yang
dikenal dalam praktek hukum tata negara secara universal adalah untuk memberikan
wewenang pengawasan oleh lembaga yudikatif kepada pembuat undang-undang. Di
sinilah salah satu inti dari apa yang disebut checks and balances.

Selagi amandemen terhadap UUD pada tahun 1999 dilakukan, topik ini menghangat
kembali. Akhirnya pada tahun 2001 (amandemen ketiga), muncul ketentuan baru
dalam UUD yang diamandemen. Ketentuan inilah yang berlaku pada saat ini.

Di dalam UUD hasil amandemen diatur bahwa wewenang menguji undang-undang


berdasarkan UUD diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Sedangkan wewenang
untuk menguji peraturan di bawah undang-undang berdasarkan undang-undang,
diberikan kepada Mahkamah Agung. Untuk mengetahui tata urutan peraturan
perundang-undangan, klik Hierarki Peraturan Perundang-Undangan.

Melalui mekanisme ini, masyarakat luas mempunyai saluran untuk menguji suatu
undang-undang ataupun peraturan di bawah undang-undang apabila dirasakan
bertentangan dengan hak asasi manusia serta prinsip-prinsip konstitusional lainnya.
Memang, perlu dicatat bahwa wewenang Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah
Agung tidaklah bersifat pro-aktif. Mereka hanya dapat menguji peraturan sesuai
dengan wewenangnya, apabila ada permohonan dari masyarakat yang
berkepentingan.

Uji Materil Undang-Undang Terhadap UUD

22

Dalam UUD setelah diamandemen, disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi


merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir untuk menguji undang-undang
terhadap UUD dan putusannya akan bersifat final dan tetap.

Rincian mekanisme uji materil oleh Mahkamah Konstitusi diatur berdasarkan


Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagai berikut.
1.

Pengujian UU terhadap UUD 1945 dilakukan setelah adanya permohonan yang


diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Mahkamah Konstitusi.

Perlu dicatat bahwa Pasal 50 UU 24/2003 memang mengatur bahwa


undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang
yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945 (tahun 1999). Namun,
Mahkamah Konstitusi sendiri kemudian menganggap ketentuan ini tidak
berlaku lagi dengan mengabulkan permohonan untuk melakukan pengujian
atas UU No. 15 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung pada bulan Februari
2004. Perkembangan ini sangat baik karena menjadi dasar yang baik agar
selanjutnya setiap pihak yang berkepentingan dapat mengajukan undangundang manapun, baik berlaku sesudah maupun sebelum 1999.

Pemohon dalam hal ini adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang,
yaitu:
a.
b.

2.

Perorangan warga negara Indonesia;


Kesatuan masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c.

Badan hukum publik atau privat; atau

d.

Lembaga negara.

Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang


hak atau kewenangan konstitusionalnya bahwa:
a.

Pembentukan
undang-undang
berdasarkan UUD 1945; dan/atau

tidak

memenuhi

ketentuan

b.

Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang


dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Permohonan yang masuk kemudian diperiksa oleh Panitera Mahkamah


Konstitusi untuk mengetahui kelengkapan administrasi dari permohonan
tersebut.

23

3.

Apabila ternyata belum lengkap maka Pemohon akan diminta untuk


melengkapi kekurangannya dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
sejak pemberitahuan kekuranglengkapan tersebut diterima pemohon.

Sedangkan untuk permohonan yang telah memenuhi kelengkapan


adminstrasi maka akan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

Dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan
tersebut dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, Mahkamah Konstitusi
akan menyampaikan permohonan tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan presiden untuk diketahui.

Dalam jangka waktu yang sama tersebut Mahkamah Konstitusi akan


memberitahukan Mahkamah Agung mengenai adanya permohonan pengujian
terhadap suatu undang-undang.

4.

Dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan
dicatat dalam Buku Registrasi Perkara, Mahkamah Konstitusi akan menetapkan
hari sidang pertama. Penetapan hari sidang tersebut diumumkan kepada para
pihak dan masyarakat.

5.

Sebelum memulai pokok perkara, Mahkamah Konstitusi mengadakan


pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Dalam
pemeriksaan tersebut, Mahkamah Konstitusi wajib memberikan nasihat kepada
Pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari.

6.

Dalam persidangan, hakim Mahkamah Konstitusi memeriksa permohonan


beserta alat bukti yang diajukan.

Yang termasuk ke dalam alat bukti dalam persidangan di Mahkamah


Konstitusi ini adalah:
a.

surat atau tulisan yang perolehannya dapat dipertanggungjawabkan


secara hukum;

b.

keterangan saksi;

c.

keterangan ahli;

d.

keterangan para pihak;

24

e.
f.

7.

alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,


diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang
serupa dengan itu.

Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat


yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR,
DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan/atau presiden.

Putusan Mahkamah Konstitusi diambil dalam sidang pleno Hakim Konstitusi


berdasarkan hasil musyawarah untuk mencapai mufakat bulat. Dalam hal tidak
tidak tercapai mufakat bulat maka keputusan diambil berdasarkan suara
terbanyak. Apabila tidak dimungkinkan juga, maka suara terakhir ketua sidang
pleno Hakim Konstitusi yang akan menentukan.

8.

9.

petunjuk; dan

Amar putusan Mahkamah Konstitusi:

Amar putusan akan menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima


apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pemohon dan/atau
permohonannya tidak memenuhi syarat pengajuan permohonan.

Amar putusan akan mengabulkan permohonan


Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan.

Amar putusan akan menyatakan permohonan dikabulkan dalam hal


pembentukan undang-undang yang dimaksud tidak sesuai dengan ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945.

Amar putusan akan menyatakan permohonan ditolak apabila undangundang tersebut baik pembentukan maupun materinya tidak bertentangan
dengan UUD 1945.

apabila

Mahkamah

Putusan yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada sekurangkurangnya 2 (dua) alat bukti.

10. Dalam permohonan yang dikabulkan, Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan


tegas, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang
bertentangan dengan UUD 1945 dan secara otomatis maka materi muatan ayat,
pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan tersebut tidak
akan mempunyai kekuatan hukum mengikat.

25

Sedangkan untuk putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa


pembentukan suatu undang-undang tidak sesuai dengan ketentuan UUD
1945 maka undang-undang tersebut secara otomatis tidak mempunyai
kekuatan mengikat.

11. Putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai kekuatan hukum tetap sejak selesai
diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Mahkamah Konstitusi wajib
untuk mengirimkan salinannya kepada para pihak dalam waktu paling lambat 7
(tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan dan putusan tersebut wajib dimuat
dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak putusan diucapkan.

Putusan tersebut disampaikan juga kepada DPR, DPD, Presiden, dan


Mahkamah Agung.

Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali untuk permusyawaratan


hakim. Setiap perkara selalu dilakukan oleh seluruh hakim konstitusi yang berjumlah
sembilan orang, sehingga tidak ada pembagian perkara kepada majelis-majelis
hakim. Sistem ini disebut full bench. Walau putusan diambil bersama-sama oleh
kesembilan hakim, setiap hakim diberi hak untuk menyatakan pernyataan keberatan
(dissenting opinion) atas suatu putusan yang sudah diputuskan bersama-sama.
Pernyataan ini dijadikan bagian tak terpisahkan dari putusan.

Perlu untuk diketahui juga, bahwa pengujian peraturan perundang-undangan di


bawah undang-undang yang sedang dilakukan oleh Mahkamah Agung wajib
dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut
sedang berada dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan
Mahkamah Konstitusi. Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap
berlaku selama belum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang
tersebut bertentangan dengan UUD. Terhadap materi muatan ayat, pasal, atau
bagian undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan kembali.

Untuk mengetahui lebih rinci mengenai prosedur uji materil dan lembaga Mahkamah
Konstitusi, klik http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/.

Uji Materil Atas Peraturan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang

26

Seperti diungkapkan di atas, wewenang uji materil atas peraturan perundangundangan yang lebih rendah dari undang-undang diberikan kepada Mahkamah
Agung. Kewewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian tersebut pada
awalnya lahir dari UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman dan juga UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Kedua undang-undang tersebut pada pokoknya mengatakan bahwa Mahkamah
Agung berwenang untuk melakukan pengujian materiil terhadap peraturan
perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang dan menyatakan tidak
sah peraturan tersebut apabila ternyata bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berada di atasnya.

Selanjutnya, MPR melalui Ketetapan MPR No. III Tahun 2000 (Pasal 5 ayat (2), (3),
dan (4)) juga mengatur kewenangan Mahkamah Agung tersebut. Begitu pula halnya
dengan UUD. Sebagaimana tercantum dalam amandemen ketiga UUD 1945 yang
disahkan pada November 2001, Mahkamah Agung berwenang untuk menguji
peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang terhadap
undang-undang di atasnya.

Baik UU No. 14 Tahun 1970, TAP MPR No. 3 Tahun 1978 maupun UU No. 14 Tahun
1985 menyatakan bahwa kewenangan pengujian yang dimiliki oleh Mahkamah Agung
hanya dapat dilakukan apabila berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat
kasasi. Dalam perkembangannya, mengingat umumnya sifat pengaturan yang
terdapat dalam peraturan-peraturan tersebut, maka dalam rangka memberikan
panduan dalam pelaksanan uji materil ini, pada tahun 1993 Mahkamah Agung
mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang kemudian pada tahun
1999 diubah dengan PERMA No. 1 tahun 1999.

Berbeda dengan UU 14 Tahun 1970 dan UU No. 14 Tahun 1985, PERMA mengatur
bahwa Mahkamah Agung memeriksa dan memutus pengujian atas peraturan
perundang-undang yang berada di bawah undang-undang berdasarkan gugatan atau
permohonan. Ketentuan tersebut dipertegas lagi dalam Ketetapan MPR No. III Tahun
2000, di mana Mahkamah Agung dapat secara aktif melakukan pengujian atas
peraturan perundang-undangan tanpa harus ada suatu peradilan kasasi terlebih
dahulu dan keputusannya bersifat mengikat.

Adapun pelaksanaan pengujian atas peraturan perundang-undangan di bawah


undang-undang berdasarkan Perma No. 1 Tahun 1999 Tentang Hak Uji Materiil
adalah sebagai berikut:

27

1.

Pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang berada di bawah


undang-undang dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung sehubungan dengan
adanya gugatan atau permohonan keberatan.

2.

Gugatan atau permohonan keberatan hanya dapat diajukan terhadap satu


peraturan perundang-undangan, kecuali terhadap peraturan perundangundangan yang berkaitan secara langsung.

Gugatan atau permohonan keberatan diajukan kepada Mahkamah Agung


dengan cara:
a.

Langsung ke Mahkamah Agung;

b.

Melalui Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat kedudukan tergugat.

3.

Gugatan atau permohonan keberatan diajukan dalam tenggat waktu 180


(seratus delapan puluh) hari sejak berlakunya peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan.

4.

Dalam hal gugatan atau permohonan keberatan diajukan secara langsung


kepada Mahkamah Agung, maka Kepaniteraan Mahkamah Agung akan
memeriksa kelengkapan berkas dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta
langsung kepada penggugat/pemohon keberatan atau kuasanya yang sah.

5.

Setelah berkas gugatan/permohonan keberatan tersebut lengkap, Panitera


Mahkamah Agung menyampaikannya kepada Ketua Mahkamah Agung untuk
ditetapkan Majelis Hakim Agung yang akan menangani gugatan/permohonan
keberatan tersebut.

Untuk pengujian peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada


gugatan yang diajukan kepada Mahkamah Agung, setelah berkas gugatan
diterima, diperiksa dan dinyatakan lengkap oleh Panitera Mahkamah Agung
maka Panitera Mahkamah Agung juga wajib mengirimkan salinan gugatan
tersebut kepada pihak tergugat setelah terpenuhinya kelengkapan berkasnya.

Tergugat wajib mengirimkan atau menyerahkan jawabannya kepada


Panitera Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya salinan gugatan tersebut.

Dalam hal gugatan/permohonan keberatan diajukan melalui Pengadilan Negeri


setempat maka Panitera Pengadilan Negeri akan memeriksa kelengkapan
gugatan/permohonan keberatan yang telah didaftarkan dan apabila terdapat

28

kekurangan dapat meminta langsung kepada penggugat/pemohon keberatan


atau kuasanya yang sah.

Untuk pengujian peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada


gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Negeri, setelah berkas gugatan
diterima, diperiksa dan dinyatakan lengkap oleh Panitera Pengadilan Negeri
maka Panitera Pengadilan Negeri mengirimkan salinan gugatan tersebut
kepada pihak tergugat setelah terpenuhinya kelengkapan berkasnya.

Tergugat wajib mengirimkan atau menyerahkan jawabannya kepada


Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya salinan gugatan tersebut.

Hari berikutnya setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari di atas, Panitera
Pengadilan Negeri yang bersangkutan segera meneruskan meneruskan
gugatan dan jawaban penggugat kepada Mahkamah Agung untuk kemudian
disampaikan oleh Panitera Mahkamah Agung kepada Ketua Mahkamah Agung
agar dapat ditetapkan Majelis Hakim Agung yang akan menanganinya.

6.

Gugatan/permohonan keberatan diperiksa dan diputus oleh Majelis Hakim


Agung
dengan
menerapkan
ketentuan
yang
berlaku
bagi
perkara
gugatan/permohonan keberatan dalam waktu sesingkat-singkatnya sesuai
dengan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

7.

Dalam pemeriksaan untuk pengujian yang didasarkan atas gugatan maka


tergugat (pihak pembuat peraturan perundang-undangan) harus didengar
keterangannya. Sedangkan untuk pemeriksaan sehubungan dengan pengujian
yang didasarkan pada permohonan maka pihak pembuat perundang-undangan
tidak perlu didengar pendapatnya.

8.

Dalam hal gugatan/permohonan keberatan itu beralasan karena peraturan


perundang-undangan tersebut bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Mahkamah Agung akan
mengabulkan gugatan tersebut. Mahkamah Agung akan menyatakan bahwa
peraturan perundang-undangan tersebut tidak sah dan tidak berlaku untuk
umum serta memerintahkan pencabutannya kepada instansi yang bersangkutan.

9.

Dalam hal gugatan dinilai tidak beralasan maka Majelis Hakim yang
menangani perkara tersebut akan menolak gugatan/permohonan keberatan
tersebut.

Pemberitahuan
salinan
putusan
Mahkamah
Agung
terhadap
gugatan/permohonan keberatan disampaikan dengan surat tercatat kepada para

29

pihak dan dalam hal diajukan melalui Pengadilan Negeri setempat,


pemberitahuan salinannya disampaikan juga kepada Pengadilan Negeri tersebut.

10.

Dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung


dikirim kepada tergugat (dalam hal pengujian diajukan berdasarkan gugatan)
atau badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan
tersebut (dalam hal pengujian diajukan berdasarkan permohona keberatan) tidak
melaksanakan kewajiban untuk mencabut peraturan yang bersangkutan maka
demi hukum peraturan perundang-undangan tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum.

11. Putusan Majelis Hakim Agung atas gugatan/permohonan keberatan atas suatu
peraturan perundangan-undangan tidak dapat diajukan peninjauan kembali.

Dari hasil studi mengenai Mahkamah Agung yang dilakukan oleh Lembaga Kajian dan
Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) pada tahun 2003, terdapat beberapa
pertanyaan yang muncul sehubungan dengan hukum acara judicial review yang
diatur dalam PERMA tersebut. Beberapa pertanyaan tersebut antara lain:

Apakah tepat bahwa dalam pemeriksaan judicial review yang dilakukan atas dasar
permohonan maka pihak termohon (pembuat peraturan perundang-undangan
tersebut) tidak perlu didengar keterangannya?

Apakah pemberlakuan jangka waktu 180 hari sejak suatu peraturan perundangundangan dinyatakan berlaku merupakan jangka waktu yang cukup untuk
membatasi pengajuan judicial review atas peraturan perundang-undangan tersebut?
Pertanyaan tersebut diajukan sehubungan dengan kondisi nyata. Seringkali suatu
perundang-undangan sulit untuk diakses oleh masyarakat atau tidak bisa segera
diakses setelah dinyatakan berlaku. Apalagi biasanya masyarakat baru membaca dan
merasakan adanya kesalahan dalam suatu peraturan perundang-undangan pada saat
mereka menghadapi masalah yang berhubungan dengan peraturan tersebut.
Meskipun demikian, perlu juga dicatat bahwa pembatasan jangka waktu tersebut
diadakan dengan alasan memberikan kepastian hukum.

Apabila Mahkamah Agung dalam melakukan pengujian tersebut berpendapat


bahwa terdapat beberapa pasal saja dari suatu peraturan perundang-undangan yang
menurutnya bertentangan dengan peraturan di atasnya, apakah Mahkamah Agung
dapat memutuskan bahwa hanya pasal-pasal tertentu saja yang tidak berlaku atau
Mahkamah Agung harus memutuskan bahwa peraturan tersebut seluruhnya tidak
berlaku?

Bagaimana dengan penyelesaian dari akibat atas tindakan yang telah dilakukan
oleh pemerintah atau pihak lain yang diberi wewenang tertentu dalam peraturan
yang dinyatakan tidak berlaku tersebut? Apakah tindakan-tindakannya tetap
dinyatakan sah atau batal demi hukum atau dapat dibatalkan? Kemudian apabila

30

telah ada suatu kerugian yang muncul akibat peraturan yang dinyatakan tidak
berlaku tersebut, apakah mereka yang dirugikan dapat meminta ganti kerugian?

PENGANTAR MEMAHAMI
UNDANG-UNDANG TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Oleh : Prof.Dr. Abdul Gani Abdullah, SH

1.

Pendahuluan

Pada tanggal 24 Mei2004, Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Pemerintah


telah menyetujuibersama Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan
PeraturanPerundang-undangan menjadi Undang-Undang. Undang-undang tersebut
merupakanundang-undang organik, karena melaksanakan secara tegas perintah UndangUndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22A yang menyatakan
bahwaketentuan mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur denganundangundang.
UUD 1945, Pasal20 ayat (5): Dalam hal rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersamatersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari
semenjakrancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang
tersebutsah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Dalam halPresiden tidak menandatanganinya sampai dengan batas waktu yang
ditetapkanUndang-Undang Dasar 1945, dan Menteri Sekretaris Negara tidak pula
menjalankankewajiban konstitusional untuk mengundangkannya dalam Lembaran
Negara RepublikIndonesia, telah mendorong timbulnya perbincangan publik yang
melahirkanberbagai tanggapan.[1]
Sebagianberpendapat bahwa berdasarkan konstitusi suatu rancangan undangundang yangtelah memperoleh persetujuan bersama DPR dan Presiden namun Presiden
tidakmenandatanganinya setelah melampaui batas waktu 30 hari, maka rancangantersebut
sah menjadi undang-undang, hanya tidak memiliki kekuatan hukummengikat orang
banyak (legally binding force) jika belum dimuat dalamLembaran Negara Republik
Indonesia dan tidak ada nomornya.[2] Pendapat lain mengatakan bahwa hak veto
Presiden berdasarkan konstitusi untuktidak mengesahkan undang-undang berarti Presiden
31

sebagai kepala pemerintahantidak bertanggung jawab terhadap pelaksanaan undangundang tersebut. Pandanganlain menyebutkan Sekretaris Negara dianggap tidak
menjalankan kewajibankonstitusi jika tidak mengundangkan suatu undang-undang yang
telah mendapatkanpersetujuan bersama walaupun Presiden tidak menandatangani
(mengesahkan)nya.Ada pula pendapat lain yang menganggap undang-undang belum ada,
karenapersetujuan bersama DPR dan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat(2) UUD 1945 persetujuan tadi oleh Presiden diwujudkan dengan pembubuhan
tandatangan Presiden atas undang-undang sebelum dimuat dalam lembaran negara.

2.

PembentukanUndang-Undang dalam Konstitusi

Sebagai telaahsejarah perundang-undangan (wetshistorie), dapat dikemukakan


bahwa sejakproklamasi 17 Agustus 1945, Republik Indonesia telah melewati 4 kali
berlakunyaUndang-Undang Dasar, yaitu: (1) Undang-Undang Dasar 1945; [3](2)
Konstitusi Republik Indonesia Serikat[4];(3) Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Indonesia;[5]dan (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang diubah(diamendemen) dengan empat kali perubahan.[6]
UUD 1945(sebelum perubahan) tidak menjelaskan tentang pembentukan undangundang denganlengkap, melainkan hanya menegaskan bahwa Presiden memegang
kekuasaanmembentuk undang-undang dengan persetujuan DPR[7]Mengenai proses
pembentukan undang-undang hanya menyebutkan bahwa rancanganundang-undang yang
tidak mendapat persetujuan DPR tidak boleh diajukan lagidalam persidangan berikutnya.
[8]Selain itu pada bagian lain, yaitu mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja, UUD
1945 menyatakan bahwa hal itu ditetapkan dengan undang-undang, dan apabilaDPR
tidak menyetujui yang diusulkan Pemerintah, maka Pemerintah menjalankananggaran
tahun yang lalu. (Pasal 23 ayat (1).[9]
Konstitusi RIS(1950) yang terdiri dari 197 pasal dan UUDS (1950) yang terdiri
dari 146 pasalmengatur tentang pembentukan undang-undang. Pasal 127 Pasal 143
KonstitusiRIS memuat Bagian II tentang Perundang-undangan yang mengatur
tentangkekuasaan perundang-undangan federal.[10]Bagian II UUDS (1950) yang terdiri
dari 146 pasal juga memuat pengaturantentang Perundang-undangan (Pasal 89 Pasal
100).[11]
UUD 1945mengalami empat kali perubahan fundamental dalam waktu relatif
sangat pendek.Majelis Permusyawaratan Rakyat yang diberi wewenang untuk mengubah
danmenetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3 ayat (1), sebagai perwujudan
keinginanrakyat untuk melakukan reformasi di bidang hukum.
Perubahan UUD1945 sangat mempengaruhi mekanisme penyelenggaraan negara
dan urusanpemerintahan, sehingga berbagai lembaga negara diwajibkan untuk
melakukanpembenahan yang menyangkut fungsinya untuk disesuaikan dengan
perubahantersebut.

32

Berkaitan denganpembentukan undang-undang yang melibatkan fungsi DPR dan


Presiden, terdapatberbagai landasan pengaturan baru dalam UUD 1945 (setelah
perubahan) antaralain sebagai berikut:
a.

beralihnya kekuasaan membentuk undang-undang dariPresiden kepada DPR


(Pasal 20 ayat (1) walaupun setiap rancangan undang-undangdibahas oleh DPR
dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat(2);

b.

kewajiban Presiden mengesahkan rancangan undang-undangmenjadi undangundang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.(Pasal 20
ayat (4);

c.

sahnya undang-undang setelah lewat waktu 30 hari sejakpersetujuan bersama atas


rancangan undang-undang dalam hal RUU tersebut tidakdisahkan oleh Presiden
(Pasal20 ayat 5);

d.

kewajiban mengundangkan undang-undang (Pasal 20 ayat (5).

e.

adanya undang-undang organik yang mengatur tentang tatacara pembentukan


undang-undang (Pasal 22A); dan

f.

tugas pengundangan peraturan perundang-undangandiserahkan kepada menteri


yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturanperundang-undangan.
(Pasal 48).

3.

Undang-undang tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan

Memenuhi amanatPasal 22A UUD 1945 dan Pasal 6 TAP MPR No. III/MPR/2000
tentang Sumber HukumdanTata Urutan Peraturan Perundang-undangan, DPR bersama
dengan Presiden telahmembentuk Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan
PeraturanPerundang-undangan yang telah mendapat persetujuan bersama pada tanggal 24
Mei2004. Pada dasarnya UU P3 dimaksudkan untuk membentuk suatu ketentuan yang
bakumengenai tata cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.[12]
Substansi UU P3terdiri 13 bab dan 58 pasal disertai penjelasan umum dan pasal
perpasal danlampiran yang berisi teknik penyusunan peraturan perundang-undangan
yangdahulunya dimuat dalam Keppres No. 44/1999 setelah diadakan modifikasi
danpenyempurnaan.
Secara umumdapat dikatakan bahwa UU P3 memuat ketentuan mengenai asas
peraturanperundang-undangan (asas pembentukan, materi muatan, jenis dan
hierarki ),materi muatan, pembentukan peraturan perundang-undangan, pembahasan
danpengesahan, teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, pengundangan

33

danpenyebarluasan,
dan
partisipasi
masyarakat
dalam
penyiapan
pembahasanrancangan undang-undangan rancangan peraturan daerah.

atau

UU P3meningkatkan status berbagai pengaturan yang terdapat dalam Keputusan


PresidenNomor 188 tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undangundang,dan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan
PeraturanPerundang-undangan (dimuat dalam lampiran UU P3), dan Keputusan Menteri
DalamNegeri dan Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2001 mengenai mekanisme
penyusunanrancangan peraturan perundang-undangan di daerah dan berbagai produk lain
yangpernah ada yang sifatnya mengatur tentang teknik penyusunan peraturanperundangundangan. Ini berarti bahwa sudah ada undang-undang yang mengaturtentang
pembentukan peraturan perundang-undangan, dan berdasarkan Pasal 54 UUP3, semua
teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang pernah ada harusberpedoman
pada teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam UU P3.
UU P3 mengikatPemerintah, Pemerintah Daerah, DPR, MPR, Mahkamah Agung,
BPK, Bank Indonesia,Mahkamah Konstitusi, menteri, kepala badan, lembaga dan komisi
yang setingkatdan yang lainnya dalam tata cara pembentukan peraturan perundangundangan untukmenaatinya. Ketentuan UU P3 yang mengatur tentang asas, jenis dan
hierarki,materi muatan, pembentukan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan
danpenyebarluasan
peraturan
perundang-undangan
menjadi
landasan
bagi
kebijakanunifikasi pembentukan peraturan perundang-undangan di seluruh
Indonesia,sehingga proses penyusunan dan pembahasan RUU dan Raperda makin lebih
sederhanakarena sudah ada pedoman mengenai proses dan teknik yang harus ditaati.

4.

Asas, Jenis, danMateri

Ada 7 asaspembentukan peraturan perundang-undangan yang dicantumkan


dalam dalam Pasal 5huruf a s/d g. Di samping itu ada 10 asas materi muatan
peraturanperundang-undangan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a s/d j. Asas
pembentukanperturan perundang-undangan lahir dari asas negara berdasar hukum,
[13]yang berarti suatu penetapan penggunaaan kekuasaan yang secara formal
dibatasidalam dan berdasarkan UUD 1945, yang kemudian ditegaskan kembali di
bidangpembentukan peraturan perundang-undangan.[14]Asas P3 dibedakan pada asas
formal dan asas material. 7 Asas tersebut diseleksidari berbagai asas yang dikembangkan
oleh para ahli perundang-undangan dandisesuaikan dengan P3 di negara kita. Menurut
Hamid Attamimi, asas formaladalah tentang bagaimananya (het hoe) suatu peraturan,
dan asasmaterial yang berhubungan dengan apanya (het wat) suatu peraturan.[15]
Van der Vliesmembahas asas P3 dan menyebutnya sebagai beginselen van
behooorlijkeregelgeving (asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yangbaik). Asas berkaitan dengan norma yang harus terwujud dalam
perbuatanpemerintahan dan yang dapat dipaksakan berlakunya oleh hakim. Misalnya
asastentang perlakuan yang sama terhadap semua warganegara (gelijkheidsbeginsel).[16]

34

Dikaitkan denganhukum administrasi, asas P3 dibedakan pada asas yang


berkaitan dengan:
a.

proses persiapan dan pembentukan keputusan (hetprocess van voorbereiding en


besluitvorming);

b.

asas yang berkaitan dengan motivasi dan pembentukankeputusan (de motivering


en inrichting van het besluitvorming); dan

c.

asas isi keputusan (de inhoud van het besluit).

Ketiga asas diatas lebih dititiberatkan pada asas formal P3 yang dapat dirumuskan
lagisebagai berikut:
a.

asas terwujudnya suatu peraturan (de totstandkomingvan een regel);

b.

asas sistematika dan pengundangan (pengumuman) suatuperaturan (de


systematiek en bekendmaking van een regel);

c.

asas kemendesakan dan tujuan dari peraturan (denoodzaak en de doelstelling van


een regel); dan

d.

asas isi (muatan) suatu peraturan (de inhoud van eenregel).[17]

Tidak dicantumkannyaasas alasan (motivasi) pembentukan peraturan perundangundangan secaraeksplisit dalam UUP mungkin dimaksudkan karena asas tersebut sudah
inklusifdalam asas tentang kejelasan tujuan dalam Pasal 5 huruf a yang
dalampenjelasannya disebutkan bahwa setiap P3 harus mempunyai tujuan yang jelas
yanghendak dicapai. Asas motivasi lebih mencerminkan tentang kehendak
yangsebenarnya dari P3 yang sangat mungkin ditumpangi atau disusupi olehkepentingan
kelompok tertentu atau berlatar belakang KKN seperti yang banyakdisinyalir akhir-akhir
ini.
Dalam UU P3,apakah asas undang-undang harus tercantum secara eksplisit dalam
batang tubuh?Pembentuk undang-undang mungkin memerlukan pencantuman asas, dan
jika demikianasas dapat dimasukkan dalam bab ketentuan umum dan bukan dalam
tersendiri.Namun ketentuan umum sebaiknya hanya mencerminkan asas, maksud dan
tujuan.[18]
UU P3 telahmenyelesaikan perbincangan sekitar masalah jenis peraturan
perundang-undangansecara cukup memuaskan. Selama ini masih dipersoalkan tentang
kedudukankeputusan menteri yang secara eksplisit tidak tercantum sebagai
jenisperaturan perundang-undangan menurut TAP MPR No. III Tahun 2000 tentang
SumberTertib Hukum. Jenis Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) UU

35

P3ditetapkan 5 jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang tidakdicantumkan


peraturan menteri di dalamnya. Namun dalam Pasal 7 ayat (4)dinyatakan:
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
padaayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjangdiperintahkan oleh Peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Penjelasan ayat 4) menyebutkan secara luas tentang jenis peraturanperundangundangan, sehingga meliputi semua peraturan perundang-undangan yang dikeluarkanoleh
MPR, DPR, DPRD, MA, MK, BPK, BI, Menteri, kepala badan, lembaga, ataukomisi
yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau Pemerintah atasperintah undangundang, DPRD, Gubernur, BupatiWalikota, Kepala Desa atau yangsetingkat.
Dengan demikian, selain UUD, UU/Perpu, PP, Peraturan Presiden, dan
Perda,terdapat banyak jenis peraturan perundang-undangan yang lain dengan
kualifikasisebagai berikut:
a.

diakuikeberadaannya;

b.

mempunyaikekuatan hukum mengikat;

c.

dibentukatas perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ; dan

d.

dibentukoleh badan yang diberi kewenangan.

Dalamjenis dan hierarki tersebut terdapat instrumen hukum yang disebut


peraturanpresiden (yang digunakan dalam masa orde lama) pengganti dari
keputusanpresiden yang bersifat mengatur. Penggantian instrumen hukum tersebut
tentudimaksudkan untuk menyederhanakan penyebutan jenis peraturan perundangundangandan untuk menghindari peran ganda keputusan presiden, baik yang
bersifatmengatur (regeling) maupun yang bersifat penetapan (beschikking).Disadari
bahwa penggantian itu dikritik oleh sejumlah ahli perundang-undangankarena pengaturan
yang lama (keputusan presiden yang bersifat mengatur) masihcukup valid.[19]
UUP3 memberikan pedoman pasti tentang materi muatan bagi Undang-Undang,
PeraturanPemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, Peraturan Daerah, Peraturan Desa/yang setingkat, dan materi muatan
ketentuanpidana. Hal ini perlu dipertimbangkan dengan teliti oleh pembentuk
rancanganundang-undang. Khusus untuk materi Peraturan Presiden, disebutkan bahwa
materiPeraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang
ataumateri untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Sepintas lalu terlihat bahwa
PeraturanPresiden tidak bersumber dari Pasal 4 ayat (1) yaitu peraturan yang
dikeluarkanPresiden untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut UndangUndang Dasar,melainkan adalah materi muatan delegasian dari Undang-Undang atau
materimelaksanakan Peraturan Pemerintah. Jika demikian, pemikiran mengenai

36

materimuatan
Peraturan
Presiden
memang
berbeda
dengan
paradigma
konsepsionalKeputusan Presiden yang bersumber dari Pasal 4 ayat (1).[20]Jika demikian,
bagaimana penjabaran kekuasaan pengaturan oleh Presidenberdasarkan Pasal 4 ayat (1)?
[21]

5.

Pengharmonisasian,Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi RUU

SubstansiPasal 18 ayat (2) tentang pengharmonisasian, pembulatan dan


pemantapan konsepsiRUU mirip dengan substansi Keppres No. 188/1998. Tugas
koordinasi masih tetapdibebankan kepada menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang peraturanperundang-undangan.
Pasal18 mengandung konsekuensi bahwa rancangan undang-undang harus
melewatimekanisme tertentu, yaitu pembahasan bersama Panitia Antar Departemen
(PAD)agar tidak terjadi tumpang tindih pengaturan dalam sebuah RUU. Menteri dibidang
perundang-undangan diserahi tugas koordinasi sesuai dengan tugas pokokdan fungsinya
sebagai pembantu Presiden dalam penyelenggaraan urusanpemerintahan di bidang hukum
pembinaan hukum nasional.
Bagaimanajika instansi pemerintah yang memprakarsai RUU tidak menempuh
prosedurtersebut? Bagaimana pula dengan prosedur yang harus ditempuh dalam
rangkamempersiapkan rancangan peraturan daerah? Memang tidak ada pengaturan
yangtegas memberikan semacam sanksi. Sebab hal itu sepenuhnya tergantung
kepadakewenangan Presiden, apakah masih akan menerima sebuah rancangan undangundangyang akan disampaikan kepada DPR tanpa memenuhi ketentuan Pasal 18
ataumenolaknya?
Menteri dan pimpinan lembaga pemerintah non-departemen yang berfungsisebgai
pembantu Presiden seharusnya menyadari bahwa kewajiban Pasal 18dimaksudkan
sebagai upaya pengawasan bersama oleh Panitia Antar Departemen yangbersifat
mencegah terhadap kemungkinan sebuah rancangan mengandung cacathukum(preventief
toezicht), yang tidak terlihat dengan jeli olehdepartemen pemrakarsa. UUD 1945 memang
memberikan peluang bahwa rancangan yangtidak disetujui oleh Panitia Antar
Departemen dapat diteruskan ke DPR sebagaiusul hak inisiatif, namun produk awal
(initial draft) yang dikirimkantersebut mungkin akan mengandung berbagai norma yang
berbenturan denganperaturan perundang-undangan dari departemen lain (conflicting
norms),sehingga akan menyulitkan Presiden atau menteri yang bersangkutan
dalampelaksanaannya. Sangat terbuka kemungkinan bagi para pihak yang
merasadirugikan untuk mengajukan gugatan terhadap sebuah undang-undang
yangbermasalah (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi, seperti yangbanyak
terjadi akhir-akhir ini.

37

6.

Pengesahan,Pengundangan dan Penyebarluasan

Pasal 37 s/d Pasal 39 memberi dua kemungkinan tentangpengesahan, yaitu


(1) pengesahan dengan pembubuhan tanda tangan oleh Presiden terhadaprancangan
undang-undang yang disampaikan oleh DPR; atau
(2) pengesahan tanpa pembubuhan tanda tangan oleh Presiden, jikatelah melewati waktu
paling lambat 30 hari sejak rancangan undang-undangdisetujui bersama.
Untuk kasus kedua tanda pengesahan berbunyi: Undang-Undang inidinyatakan sah
berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang DasarNegara Republik
Indonesia Tahun 1945.
UU P3 tidak menjelaskan tentang langkah-langkah yang seyogyanyadilakukan
Presiden dalam hal dia tidak setuju atau menolak sebuah rancanganundang-undang yang
telah disetujui bersama. Sebagai perbandingan dalam mekanisperundang-undangan
menurut Konstitusi RIS (Pasal 138) dan UUDS, walaupun dalamsistem pemerintahan
yang berbeda, Presiden berkewajiban memberitahukan kepadaDPR jika dia merasa masih
ada keberatan terhadap rancangan undang-undang yangdisampaikan oleh DPR.
Pengundangan (bekendmaking) peraturan perundang-undangandilakukan dengan
menempatkan peraturan perundang-undangan pada: Lembaran NegaraRI, Berita Negara
RI, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. (Pasal 45). Pengundanganperaturan
perundang-undangan yang ditempatkan dalam Lembaran Negara atau dalamBerita
Negara dilakukan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidangperundangundangan. (Pasal 48)
Ketentuan mengenai pengundangan tidak secara tegas menyebutkan statusTambahan
Lembaran Negara yang selama ini berlaku sebagai tempat pengundanganbagi penjelasan
peraturan perundang-undangan. Apakah ini berarti bahwa untukmasa akan datang tidak
dikenal lagi Tambahan Lembaran Negara?
Penyebarluasan (afkondiging) peraturan perundang-undangan yangdiundangkan
dalam Lembaran Negara dan Berita Negara dibebankan kepadaPemerintah, sedangkan
penyebarluasan Peraturan Daerah dan peraturan di bawahnyayang dimuat dalam Berita
Daerah dibebankan kepada Pemerintah Daerah.
Fungsi penyebarluasan sebenarnya tidak termasuk dalam prosespembentukan
peraturan perundang-undangan, walaupun terkait dengan teori fictieleer yang masih
dianut dalam frasa penutup sebuah undang-undang agar setiaporang mengetahuinya,
karena pada umumnya masyarakat mengetahui adanyaundang-undang bukan dari
Lembaran Negara atau Lembaran Daerah melainkan daripemberitaan mass-media atau
publikasi khusus perundang-undangan.

7.

Penutupdan Saran

38

UUP3 merupakan master piece di bidang perundang-undangan dan


diharapkansebagai handboek wetgeving bagi para perancang peraturanperundangundangan. Tentu terdapat beberapa titik kelemahan dalam UU P3 yangmungkin akan
menimbulkan perbedaan tafsir di kalangan penggunanya. Berbagaipermasalahan yang
muncul dalam rangka pemahaman UU P3 seperti diuraikan dalammakalah ini sama sekali
bukan merupakan alasan untuk tidak menaati ketentuanyang terdapat di dalamnya.
Justeru berbagai titik-titik lemah itu membukapeluang bagi para analis ilmu perundangundangan untuk melahirkan berbagaikarya akademis guna menggantikan berbagai tulisan
sebelumnya.
UUP3 melahirkan berbagai paradigma konsepsional baru yang harus dijelaskan
kepadamasyarakat luas, dan untuk itu memerlukan masa transisi yang cukup
lama.Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (atau nama lain dalam kabinet
baru)dibebankan tugas yang cukup berat. Tidak hanya tugas mensosialisasikan UU
P3melainkan juga kewajiban mempersiapkan berbagai infrastruktur dan sarana
yangdiperlukan untuk menunjang pelaksanaannya.

[1]UUD

1945, Pasal 20 ayat (5): Dalam hal rancangan undang-undang yang


telahdisetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluhhari
semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancanganundang-undang tersebut
sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.Presiden pada beberapa tahun lalu
mengembalikan RUU tentang Penyiaran yangtelah disetujui DPR, karena terdapat
beberapa substansi yang tidak sesuaidengan kebijakan Presiden. Pengembalian ini
dianggap sebagai sikap menolakmengesahkan RUU yang menyebabkan MPR mengubah
dan menambah ketentuan baru dalamPasal 20 ayat (5) yang mewajibkan Presiden
mengesahkan RUU.
[2]Pemberitaan

di sebuah koran ibukota beberapa waktu lalu mengutip


pernyataanseorang anggota DPR bahwa RUU P3 telah menjadi UU No. 10 Tahun 2004
tentang P3,namun setelah dikonfirmasi ke Sekretariat Kabinet, tidak ada penegasan
tentangkebenaran berita tersebut.
[3]Dimuat

dalam Berita Republik Indonesia, II, t, hal. 45 48, dan Penjelasanhal. 51

56.

39

[4]Lihat

Keputusan Presiden RIS 31 Januari 1950 Nr. 48; LN 50 3, d.u. 6Pebruari

1950.
[5]Lihat

Undang-undang 15 Agustus 1950 No. 7; LN 50 56, d.u. 15 Agustus


1950,Penjelasan dalam TLN 37.
[6]Perubahan

pertama pada tanggal 19 Oktober 1999; perubahan kedua tanggal


18Agustus 2000; perubahan ketiga 10 November 2001; dan perubahan keempat
10Agustus 2002.
[7]Pasal

5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1)

[8]Pasal

20 ayat (2)

[9]Menurut

Hamid At Tamimi, mempersamakan Undang-undang yang lahir dari Pasal


5ayat (1) UUD 1945) dengan Undang-undang yang lahir dari Pasal 23 ayat (1) UUD1945
tidak tepat sama sekali. UUD 1945 dan penjelasannya dengan sengajamembedakan
secara terpisah antara Presiden harus mendapat persetujuan DPR untukmembentuk
Undang-Undang (Gesetzgebung) dan Presiden harus mendapatpersetujuan DPR untuk
menetapkan angaran Pendapatan dan Belanja Negara (Staatsbegroting).Menurut Hamid,
Undang-undang yang lahir dari Gesetzgebung selalumengandung ketentuan-ketentuan
yang regelgevend atau mengatursedangkan Undang-undang yang lahir dari
Staatsbegroting tidakregelgevend atau tidak mengatur, dalam hal APBN hanyalah
consentDPR. (lihat Hamid Attamimi, Beberapa Catatan untuk Sdr. Yusuf
Indradewa,S.H. Sehubungan dengan Tulisan Sanggahannya dalam Majalah Hukum dan
PembangunanNo. 5 Tahun XI September 1981, dalam Arifin P. Soeria Atmadja,
KapitaSelekta Keuangan Negara(Universitas Tarumanagara, UPT Penerbitan, 1996), 71.)
[10]Di

antara yang menarik dari Konstitusi RIS adalah ketentuan Pasal 127
yangmenganut politik hukum konstitusi dengan membagi kekuasaanperundang-undangan
federal menjadi dua bagian, yaitu kekuasaan yang dipegangoleh Pemerintah bersamasama dengan DPR dan Senat jika berkaitan denganpengaturan mengenai daerah bagian
atau perhubungan antara RIS dengandaerah-daerah tersebut, dan kekuasaan yang
dipegang oleh Pemerintahbersama-sama dengan DPR dalam seluruh lapangan pengaturan
selebihnya. JadiKonstitusi RIS menekankan kekuasaan bersama (joint authority)
yangbersifat berimbang antara Presiden dan DPR. Ini berbeda dengan UUD
1945(sebelum perubahan) yang menerapkan politik hukum dengan konsentrase
kekuasaan(concentrated
authority)
dengan
menegaskan
Presiden
sebagai
pemegangkekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR (Pasal 5 ayat
(1). UUD 1945 (setelah perubahan) diubah secara dramatis yaitu Dewan
PerwakilanRakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20 ayat (1)
dankewajiban suatu rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden
untukmendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (2). Demikian pula pengaturan
Pasal138 ayat (2) yang menyatakan bahwa Pemerintah harus mensahkan usulundangundang yang sudah diterima, kecuali jika Pemerintah dalam satu bulansesudah usul itu
disampaikan kepadanya untuk disahkan menyatakan keberatannyayang tak dapat

40

dihindarkan. Selanjutnya ayat (2) menyatakan bahwa pensahan olehPemerintah ataupun


keberatan Pemerintah diberitahukan kepada DPR dan kepadaSenat dengan amanat
Presiden. Ini lebih jelas dibanding dengan perubahan UUD1945 Pasal 20 ayat (5) yang
seolah-olah membiarkan masalah keberatan Presidentidak mensahkan undang-undang
tanpa ada kewajiban memberitahukan kepada DPRtentang hal itu. Sekretaris Negara
tentu mengalami hal dilematis. Di satupihak, sebagai pembantu Presiden (Pasal 17 ayat
(1) dia harus bekerja atasdasar perintah Presiden (hubungan mandatoris), sedangkan di
pihak lain diawajib menjalankan perintah UUD 1945 untuk mengundangkan UU dalam
LembaranNegara walaupun Presiden tidak mensahkannya (Pasal 20 ayat (5).
[11]Seperti

juga pada Konstitusi RIS, dalam UUDS juga ditegaskan bahwa


kekuasaanperundang-undangan dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR.
(Pasal89). Demikian pula tentang kewajiban Pemerintah memberitahukan kepada
DPR,dengan amanat Presiden, jika Pemerintah menyatakan keberatan yang tak
dapatdihindarkan untuk mengesahkan usul undang-undang. (Pasal 94 ayat (2) dan
ayat(3).
[12]Penjelasan
[13]Pasal

Umum Alinea 6 UU P3.

1 ayat (3) UUD 1945: Negara ndonesia adalah negara hukum.

[14]Hamid

Attamimi,
Peranan
Keputusan
Presiden
RI
dalam
PenyelenggaraanPemerintahan Negara, (disertasi Fakultas Pascasarjana UI, 1990), hal.
334 335.
[15]Ibid,

hal. 335 336.

[16]Van

der Vlies, Handboek Wetgeving, (Zwolle: Tjeenk Willink, 1987), hal.175.


Bandingkan dengan UU P3, Pasal 6 ayat (1) huruf h kesamaan kedudukandalam hukum
dan pemerintahan.
[17]Van

der Vlies, Op cit, hal. 181

[18]Lihat

Lampiran UU P3 C1 Ketentuan Umum angka 74 huruf c.

[19]Hamid

Attamimi menguraikan secara luas luas tentang peranan keputusanpresiden


dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemikiran untuk mempertahankankeputusan
presiden yang bersifat mengatur bertitik tolak dari pemahaman UUD1945 (sebelum
perubahan) tentang kekuasaan pengaturan oleh Presiden berdasarkanPasal 5 ayat (1),
Pasal 22 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 4 ayat 1),Hamid membedakan kekuasaan
pengaturan presiden pada: (1) kekuasaan legislatifoleh Presiden dengan persetujuan DPR;
(2) kekuasaan reglementer yang dijalankanPresiden tanpa persetujuan DPR; dan (3)
kekuasaan eksekutif Presiden yangmengandung kekuasaan pengaturan. Dengan
mengutip berbagai teori yang ada, dapatdipahami bahwa pemerintahan berdasarkan Pasal
4 ayat (1) mengandung arti formalyaitu mengandung kekuasaan mengatur
(verordenungsgewalt) danpemerintahan dalam arti material yang berisi dua unsur yang

41

terkait menjadistu, yaitu unsur memerintah dan unsur melaksanakan (das Element
derRegierung und der vollziehung). Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang tidak
mengalamiperubahan mengatakan dengan jelas bahwa Presiden memegang
kekuasaanpemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Kekuasaan pemerintahan
mengandungkekuasaan memutuskan (beslissende bevoegdheid) dan kekuasaan
mengatur(regelende bevoegdheid) Di zaman Orde Lama, peraturan presiden
dapatdijadikan lembaga pengaturan yang bersumber kepada kewenangan Presiden
selakupenyelenggara tertinggi pemerintahan menurut Pasal 4 ayat (1) UUD 1945
namundapat pula bersumber pada penetapan presiden (PENPRES) yang digunakan
sebagaiperaturan pelaksanannya. Perpres adakalanya memuat ketentuan pidana
(PerpresNo. 14 tahun 1964) yang pada hakekatnya adalah ketentuan bagi
tindakanadministratif, dan diundangkan dalam lembaran negara agar setiap
orangmengetahuinya. Hamid menyebutkan tiga keuntungan memakai nama Perpres
yaitulebih mudah disebut, langsung menunjuk kepada peraturan, dan diundnagkan
dalamlembaran negara. Sedangkan unsur negatifnya, Perpres berkedudukan lebih
tinggidari keputusan presiden lainnya, dapat bersumber pada penetapan presiden
yangtidak mempunyai dasar dalam UUD 1945, dan memasuki materi muatan
peraturanperundang-undangan yang lebih tinggi seperti materi muatan undang-undang.
Unsurpositif keputusan presiden adalah berfungsi pengaturan yang mandiri
mandiri berpegang kepada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. (lihat Hamid Attamimi, Op cit,
hal.75 276).
[20]Menurut

Hamid, paradigma konsepsional tentang keputusan presiden yang


berfungsipengaturan
yang
mandiri
adalah:
(a)
dari
segi
kewenangan
membentuknya,didasarkan pada kekuasaan pemerintahan dimaksud Pasal 4 ayat (1); (b)
dari segisifat normanya melakukan pengaturan yang berlaku ke luar dan berlaku umum
dalamarti luas; (c) dari segi materi muatannya mengandung materi muatan yang
mandiri(bukan materi muatan delegasian UU melalui PP); dan (d) dari segi
kepentinganmasyarakat hukum, perlu diketahui secara luas oleh rakyat atau masyarakat
hukumyang bersangkutan. (lihat Hamid Attamimi, Op cit, hal. 272 273)
[21]Dalam

penjelasan UUD 1945 yang lama, Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) dan
telahdihapus dari UUD 1945 (setelah perubahan), Presiden ialah kepala
kekuasaaneksekutif dalam negara. Untuk menjalankan undang-undang, ia mempunyai
kekuasaanuntuk menetapkan peraturan pemerintah. (pouvoir reglementaire).
HamidAttamimi mengartikan bahwa di dalam kekuasaan eksekutif terdapat
kekuasaanpengaturan, yaitu pengaturan dengan Keputusan Presiden. (Hamid Attamimi,
Opcit, hal. 144).
Politik Perundang-undangan
Dikirim/ditulis pada 30 April 2007 oleh aliamsyah

Artikel Peraturan Perundang-undangan

42

Politik Peraturan Perundang-undangan


Oleh : M. Aliamsyah

A.

Pendahuluan
Peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari
sistem hukum. Oleh karena itu, bila kita membahas mengenai politik peraturan
perundang-undangan pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari membahas
mengenai politik hukum. Istilah politik hukum atau politik perundang-undangan
didasarkan pada prinsip bahwa hukum atau peraturan perundang-undangan
merupakan bagian dari suatu produk politik karena peraturan perundang-undangan
pada dasarnya merupakan rancangan atau hasil desain lembaga politik (body
politic).[2] Sedangkan pemahaman atau definisi dari politik hukum secara sederhana
dapat diartikan sebagai arah kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan
secara nasional oleh pemerintah.[3] M. Mahfud MD mengemukakan bahwa politik
hukum meliputi:
Pertama; pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan
terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan;
Kedua; pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi
lembaga dan pembinaan para penegak hukum.[4]
Sebagaimana telah disebutkan bahwa politik peraturan perundangundangan merupakan bagian atau subsistem dari politik hukum, dengan demikian
dapat dikatakan bahwa mempelajari atau memahami politik hukum pada dasarnya
sama dengan memahami atau mempelajari politik perundang-undangan demikian
pula sebaliknya, karena pemahaman dari politik hukum termasuk pula di dalamnya
mencakup proses pembentukan dan pelaksanaan/penerapan hukum (salah satunya
peraturan perundang-undangan) yang dapat menunjukkan sifat ke arah mana
hukum akan dibangun dan ditegakkan.[5] Bagir Manan mengartikan istilah politik
perundang-undangan secara sederhana yaitu sebagai kebijaksanaan mengenai
penentuan isi atau obyek pembentukan peraturan perundang-undangan. Sedangkan
pembentukan peraturan perundang-undangan itu sendiri diartikan sebagai tindakan
melahirkan suatu peraturan perundang-undangan.[6] Sedangkan Abdul Wahid
Masru mengartikan politik peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan

43

(beleids/policy) yang diterjemahkan sebagai tindakan pemerintahan/negara dalam


membentuk peraturan perundang-undangan sejak tahap perencanaannya sampai
dengan penegakannya (implementasinya).[7] Sehingga dapat disimpulkan bahwa
politik perundang-undangan merupakan arah kebijakan pemerintah atau negara
mengenai pengaturan (substansi) hukum yang dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan (hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Dimana dapat kita melihat gambaran mengenai politik perundang-undangan
yang sedang dijalankan oleh pemerintah/negara? Untuk melihat perkembangan
politik perundang-undangan yang berlaku pada masa tertentu secara substansial
dan sederhana sebenarnya dapat dilihat dari:
1.

produk peraturan perundang-undangan yang dibentuk pada masa itu yang


secara mudah dan spesifik lagi biasanya tergambar pada konsiderans
menimbang dan penjelasan umum (bila ada) dari suatu peraturan
perundang-undangan yang dibentuk; dan

2.

kebijakan yang dibuat oleh pemerintah/negara pada saat itu yang merupakan
garis pokok arah pembentukan hukum, seperti GBHN pada masa
pemerintahan orde baru atau Prolegnas dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional yang berlaku pada saat ini.

B.

Kebijakan Politik Hukum Nasional


Sebelum lebih jauh membahas politik perundang-undangan, maka terlebih
dahulu perlu kita memahami politik hukum sebagai induk dari politik perundangundangan. Oleh karena itu, perlu disinggung secara garis besar mengenai arah
kebijakan politik hukum nasional yang sedang dilaksanakan pada saat ini.
Arah kebijakan politik hukum nasional khususnya setelah (pasca) reformasi
dilandaskan pada keinginan untuk melakukan pembenahan sistem dan politik hukum
yang dilandasikan pada 3 (tiga) prinsip dasar yang wajib dijunjung oleh setiap warga
negara yaitu:
1.

supremasi hukum;

2.

kesetaraan di hadapan hukum; dan

44

3.

penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan


hukum.
Ketiga prinsip dasar tersebut merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan cita-

cita terwujudnya negara Indonesia yang damai dan sejahtera. Apabila hukum
ditegakkan dan ketertiban diwujudkan, maka diharapkan kepastian, rasa aman,
tenteram, ataupun kehidupan yang rukun akan dapat terwujud. Untuk itu politik
hukum nasional harus senantiasa diarahan pada upaya mengatasi berbagai
permasalahan dalam penyelenggaraan sistem dan politik hukum yang meliputi
permasalahan yang berkaitan dengan substansi hukum, struktur hukum, dan budaya
hukum.
1.

Substansi Hukum (Legal Substance)


Pembenahan substansi hukum merupakan upaya menata kembali materi
hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundangundangan

untuk

memperhatikan

mewujudkan

asas

umum

tertib
dan

perundang-undangan

hirarki

dengan

perundang-undangan

dan

menghormati serta memperkuat kearifan lokal dan hukum adat untuk


memperkaya

sistem

hukum

dan

peraturan

melalui

pemberdayaan

yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan materi hukum nasional.


Hal ini yang akan dibahas selanjutnya karena materi ini merupakan bagian
dari politik perundang-undangan.
2

Struktur Hukum (Legal Structure)


Pembenahan terhadap struktur hukum lebih difokuskan pada penguatan
kelembagaan dengan meningkatkan profesionalisme hakim dan staf
peradilan serta kualitas sistem peradilan yang terbuka dan transparan;
menyederhanakan sistem peradilan, meningkatkan transparansi agar
peradilan dapat diakses oleh masyarakat dan memastikan bahwa hukum
diterapkan dengan adil dan memihak pada kebenaran; memperkuat kearifan
lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan
melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan
materi hukum nasional. Dalam kaitannya dengan pembenahan struktur
hukum ini, langkah-langkah yang diterapkan adalah:
a.

Menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat pada sistem hukum


dan kepastian hukum.

45

Kurangnya independensi lembaga penegak hukum yang terjadi selama


kurun waktu silam membawa dampak besar dalam sistem hukum.
Intervensi berbagai kekuasaan lain terhadap kekuasaan yudikatif telah
mengakibatkan terjadinya partialitas dalam berbagai putusan, walaupun
hal seperti ini menyalahi prinsip-prinsip impartialitas dalam sistem
peradilan telah mengakibatkan degradasi kepercayaan masyarakat
kepada sistem hukum maupun hilangnya kepastian hukum.
b.

Penyelenggaraan proses hukum secara transparan dan dapat


dipertanggungjawabkan (akuntabilitas).
Akuntabilitas lembaga hukum tidak dilakukan dengan jelas, baik kepada
siapa atau lembaga mana lembaga tersebut harus bertanggung jawab
maupun tata cara bagaimana yang harus dilakukan untuk memberikan
pertanggungjawabannya, sehingga memberikan kesan proses hukum
tidak transparan. Hal ini juga berkaitan dengan budaya para penegak
hukum dan masyarakatnya, sebagai contoh kurangnya informasi
mengenai alur atau proses beracara di pengadilan sehingga hal tersebut
sering dipakai oleh oknum yang memanfaatkan hal tersebut untuk
menguntungkan dirinya sendiri. Kurangnya bahkan sulitnya akses
masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
peradilan membuka kesempatan terjadinya penyimpangan kolektif di
dalam proses peradilan sebagaimana dikenal dengan istilah mafia
peradilan yang sampai saat ini tiada kunjung dapat teratasi, oleh kerena
itu sangat diperlukan penetapan langkah-langkah prioritas dalam
pembenahan lembaga peradilan.

c. Pembenahan dan peningkatan sumber daya manusia di bidang hukum.


Secara umum, kualitas sumber daya manusia di bidang hukum, dari
mulai para peneliti hukum, perancang peraturan perundang-undangan
sampai tingkat pelaksana dan penegak hukum masih perlu peningkatan,
termasuk dalam hal memahami dan berperilaku responsif gender.
Rendahnya kualitas sumber daya manusia di bidang hukum juga tidak
terlepas dari belum mantapnya sistem pendidikan hukum yang ada.
Selain itu telah menjadi rahasia umum bahwa proses seleksi maupun
kebijakan pengembangan sumber daya manusia di bidang hukum yang
diterapkan banyak menyimpang yang akhirnya tidak menghasilkan SDM

46

yang berkualitas. Hal ini pula yang memberikan berpengaruh besar


terhadap memudarnya supremasi hukum serta semakin menambah
ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang ada.
3.

Budaya Hukum (Legal Culture)


Unsur yang ketiga dalam arah kebijakan politik hukum nasional adalah
meningkatkan budaya hukum antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi
berbagai

peraturan

perundang-undangan.

Hal

ini

bertujuan

untuk

menumbuhkan kembali budaya hukum yang sepertinya semakin hari


semakin memudar (terdegradasi). Apatisme dan menurunnya tingkat
appresiasi

masyarakat

pada

hukum

dewasa

ini

sudah

sangat

mengkhawatirkan, maraknya kasus main hakim sendiri, pembakaran para


pelaku kriminal, pelaksanaan sweeping oleh sebagian anggota masyarakat
bahkan di depan aparat penegak hukum merupakan gambaran nyata
semakin menipisnya budaya hukum masyarakat. Sehingga konsep dan
makna hukum sebagai instrumen untuk melindungi kepentingan individu dan
sosial hampir sudah kehilangan bentuknya yang berdampak pada terjadinya
ketidakpastian hukum yang tercipta melalui proses pembenaran perilaku
salah dan menyimpang bahkan hukum sepetinya hanya merupakan
instrumen pembenar bagi perilaku salah, seperti sweeping yang dilakukan
oleh kelompok masa, oknum aparat yang membacking orang atau kelompok
tertentu, dan lain sebagainya.
Tingkat kesadaran masyarakat terhadap hak, kewajibannya, dan hukum
sangat berkaitan dengan (antara lain) tingkat pendidikan dan proses
sosialisasi

terhadap

hukum

itu

sendiri.

Di

lain

pihak

kualitas,

profesionalisme, dan kesadaran aparat penegak hukum juga merupakan hal


mutlak yang harus dibenahi. Walaupun tingkat pendidikan sebagian
masyarakat masih kurang memadai, namun dengan kemampuan dan
profesionalisme dalam melakukan pendekatan dan penyuluhan hukum oleh
para praktisi dan aparatur ke dalam masyarakat, sehingga pesan yang
disampaikan kepada masyarakat dapat diterima secara baik dan dapat
diterapkan apabila masyarakat menghadapi berbagai persoalan yang terkait
dengan hak dan kewajibannya serta bagaimana menyelesaikan suatu
permasalahan

sesuai dengan

jalur hukum

yang

benar

dan

tidak

menyimpang.

47

Untuk mendukung pembenahan sistem dan politik hukum tersebut, telah


ditetapkan sasaran politik hukum nasional yaitu terciptanya suatu sistem hukum
nasional yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif (termasuk bias gender);
terjaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat
dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang lebih
tinggi, dan kelembagaan peradilan dan penegak hukum yang berwibawa, bersih,
profesional dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan hukum masyarakat
secara keseluruhan.
Untuk mewujudkan sasaran tersebut, maka disusun suatu program pembangunan
politik hukum, antara lain dengan melakukan:
1.

program perencanaan hukum;

2.

Program pembentukan hukum;

program peningkatan kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegakan


hukum lainnya;

C.

4.

program peningkatan kualitas profesi hukum; dan

program peningkatan kesadaran hukum dan hak asasi manusia.

Politik Perundang-undangan
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa politik perundangundangan merupakan arah kebijakan pemerintah atau negara mengenai arah
pengaturan (substansi) hukum yang dituangkan dalam peraturan perundangundangan (hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mengapa hanya menggambarkan keinginan atau kebijakan pemerintah atau
negara? Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
disebutkan bahwa kewenangan atau organ pembentuk peraturan perundangundangan adalah hanya negara atau Pemerintah.[8] Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan bentuk
monopoli negara yang absolut, tunggal, dan tidak dapat dialihkan pada badan yang
bukan badan negara atau bukan badan pemerintah. Sehingga pada prinsipnya tidak
akan ada deregulasi yang memungkinkan penswastaan pembentukan peraturan
perundang-undangan. Namun demikian dalam proses pembentukannya sangat
mungkin mengikutsertakan pihak bukan negara atau Pemerintah.[9] Hal tersebut

48

didasarkan pada kenyataan bahwa peraturan perundang-undangan, baik langsung


maupun tidak langsung akan selalu berkenaan dengan kepentingan umum, oleh
karena itu sangat wajar apabila masyarakat diikutsertakan dalam penyusunannya.
Keikutsertaan tersebut dapat dalam bentuk memberikan kesempatan
kepada

masyarakat

untuk

melakukan

berbagai

prakarsa

dalam

mengusulkan/memberikan masukan untuk mengatur sesuatu atau memberikan


kesempatan pada masyarakat untuk menilai, memberikan pendapat atas berbagai
kebijaksanaan negara atau Pemerintah di bidang perundang-undangan. Dalam
praktek, pengikutsertaan dilakukan melalui kegiatan seperti pengkajian ilmiah,
penelitian, berpartisipasi dalam forum-forum diskusi atau duduk dalam kepanitiaan
untuk mempersiapkan suatu rancangan peraturan perundang-undangan.
Pada forum Dewan Perwakilan Rakyat juga dilakukan pemberian sarana
partisipasi yang dilakukan melalui pranata "dengar pendapat" atau "public hearing".
Berbagai sarana untuk berpartisipasi tersebut akan lebih efektif bila dilakukan dalam
lingkup yang lebih luas bukan saja dari kalangan ilmiah atau kelompok profesi, tetapi
dari berbagai golongan kepentingan (interest groups) atau masyarakat pada
umumnya. Untuk mewujudkan hal tersebut biasanya diperlukan suatu sistem
desiminasi rancangan peraturan perundang-undangan agar masyarakat dapat
mengetahui arah kebijakan atau politik hukum dan perundang-undangan yang
dilaksanakan. Sehingga pembangunan dan pembentukan peraturan perundangundangan dapat mengarah pada terbentuknya suatu sistem hukum nasional
Indonesia yang dapat mengakomodir harapan hukum yang hidup di dalam
masyarakat Indonesia yang berorientasi pada terciptanya hukum yang responsive.
Berkaitan dengan hal tersebut Mahfud MD juga menyatakan:

Hukum yang responsive merupakan produk hukum yang lahir dari strategi
pembangunan hukum yang memberikan peranan besar dan mengundang
partisipasi secara penuh kelompok-kelompok masyarakat sehingga isinya
mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat pada
umumnya.[10]
Dari yang telah diuraikan tersebut, maka seharusnya peraturan perundangundangan

dapat

diformulasikan

sedemikian

rupa

yaitu

sedapat

mungkin

menampung berbagai pemikiran dan partisipasi berbagai lapisan masyarakat,


sehingga hukum yang dihasilkan dapat diterima oleh masyarakat. Pemahaman

49

mengenai hal ini sangat penting karena dapat menghindari benturan pemahaman
antara masyarakat dan pemerintah atau negara yang akan terjebak ke dalam
tindakan yang dijalankan diluar jalur atau landasan hukum. Bila hukum yang
dihasilkan adalah hukum yang responsif, maka tidak akan ada lagi hukum siapa
yang kuat (punya kekuasaan) akan menguasai yang lemah atau anggapan rakyat
selalu menjadi korban, karena lahirnya hukum tersebut sudah melalui proses
pendekatan dan formulasi materi muatannya telah menampung berbagai aspirasi
masyarakat. Pada dasarnya penerimaan (resepsi) dan apresiasi masyarakat
terhadap hukum sangat ditentukan pula oleh nilai, keyakinan, atau sistem sosial
politik yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.[11]
Dalam sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan di Indonesia
pernah terjadi bahwa selama lebih dari 30 tahun sebelum reformasi tahun 1998,
konfigurasi politik yang berkembang di negara Indonesia dibangun secara tidak
demokratis sehingga hukum kita menjadi hukum yang konservatif dan terpuruk
karena selalu dijadikan sub ordinat dari politik. Sedangkan ciri atau karakteristik
yang melekat pada hukum konservatif antara lain:
1.

Proses pembuatannya sentralistik (tidak partisipatif) karena didominasi oleh


lembaga-lembaga negara yang dibentuk secara tidak demokrastis pula oleh
negara. Di sini peran lembaga peradilan dan kekuatan-kekuatan masyarakat
sangat sumir.

2.

Isinya bersifat positivist-instrumentalistik (tidak aspiratif) dalam arti lebih


mencerminkan kehendak penguasa karena sejak semula hukum telah
dijadikan alat (instrumen) pembenar yang akan maupun (terlanjur) dilakukan
oleh pemegang kekuasaan yang dominan.

3.

Lingkup isinya bersifat open responsive (tidak responsif) sehingga mudah


ditafsir secara sepihak dan dipaksakan penerimanya oleh pemegang
kekuasaan negara.

4.

Pelaksanaannya lebih mengutamakan program dan kebijakan sektoral


jangka pendek dari pada menegakkan aturan-aturan hukum yang resmi
berlaku.

5.

Penegakannya lebih mengutamakan perlindungan korp sehingga tidak


jarang pembelokan kasus hukum oleh aparat dengan mengaburkan kasus

50

pelanggaran menjadi kasus prosedur atau menampilkan kambang hitam


sebagai pelaku yang harus dihukum.[12]
Sejalan dengan M. Mahfud MD, mengenai ciri tersebut, Satya Arinanto
memberikan pendapatnya bahwa produk hukum yang konservatif mempunyai
makna:

Produk hukum konservatif/ortodoks/elitis adalah produk hukum yang


isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, keinginan pemerintah, dan
bersifat positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan
program negara. Ia lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompokkelompok

maupun

individu-individu

dalam

masyarakat.

Dalam

pembuatannya, peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil.


Sedangkan produk hukum responsif/populistik adalah produk hukum
yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat.
Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi
penuh kelompok-kelompok sosial atau individu-individu dalam masyarakat.
Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok
sosial atau individu-individu dalam masyarakat.[13]
Dari pengalaman sejarah hukum[14] tersebut seharusnya perlu dirancang
suatu skenario politik perundang-undangan nasional yang berorientasi pada
pemahaman konsep sistem hukum nasional yang diwujudkan dalam bentuk
penyusunan peraturan perundang-undangan secara komprehensif dan aspiratif.
Penyusunan atau pembentukan peraturan perundang-undangan yang aspiratif
tersebut merupakan rangkaian dari langkah-langkah strategis yang dituangkan
dalam

program

pembangunan

hukum

nasional

yang

dilaksanakan

untuk

mewujudkan negara hukum yang adil dan demokratis serta berintikan keadilan dan
kebenaran yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa di dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
D.

Landasan Politik Perundang-undangan


Sebagai bagian dari suatu konsep pembangunan,

politik perundang-

undangan sudah pasti bertumpu pada suatu landasan (yuridis), yaitu antara lain:

51

a.

Pancasila.
Pancasila ladasan awal dari politik hukum dan peraturan perundangundangan hal ini dimaksudkan agar kebijakan dan strategi (politik) hukum
dan peraturan perundang-undangan sejalan sesuai dengan nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat Indonesia dengan tetap membuka diri terhadap
berbagai hal-hal yang baik yang merupakan hasil perubahan yang terjadi
dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara baik di lingkungan pergaulan nasional maupun internasional.

b.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


UUD

NRI

Tahun

1945

merupakan

landasan

formal

dan

materiil

konstitusional dalam politik hukum dan peraturan perundang-undangan


sehingga setiap kebijakan dan strategi di bidang hukum dan peraturan
perundang-undangan mendapatkan legitimasi konstitusional sebagai salah
satu bentuk penjabaran negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan asas
konstitusionalisme.[15]
c.

Peraturan atau Kebijakan implementatif dari politik peraturan perundangundangan.


Yang dimaksud disini adalah peraturan atau kebjikan yang memuat aturanaturan yang berkaitan dengan politik hukum dan peraturan perundangundangan yang bersifat implementatif dari landasan filosofis, konstitusional,
operasional, formal, dan prosedural, misalnya antara lain Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005,
Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005, Program Legislasi Nasional
(Prolegnas),

Rencana

Pembangunan

Jangka

Menengah,

dan

lain

sebagainya.
Di samping landasan tersebut, dalam melaksanakan politik peraturan
perundang-undangan, seharusnya perlu diperhatikan pula mengenai pola pikir
pembentukan peraturan perundang-undangan (hukum) yang harus disesuaikan
dengan prinsip-prinsip:
1)

Segala jenis peraturan perundang-undangan merupakan satu kesatuan


sistem hukum yang bersumbar pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.

52

Oleh sebab itu, tata urutan, kesesuaian isi antara berbagai peraturan
perundang-undangan tidak boleh diabaikan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan.
2)

Tidak semua aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus diatur


dengan peraturan perundang- undangan. Berbagai tatanan yang hidup
dalam masyarakat yang tidak bertentangan dengan cita hukum, asas hukum
umum yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 dapat dibiarkan
dan diakui sebagai subsistem hukum nasional dan karena itu mempunyai
kekuatan hukum seperti peraturan perundang-undangan.

3)

Pembentukan peraturan perundang-undangan, selain mempunyai dasardasar yuridis, harus dengan seksama mempertimbangkan dasar-dasar
filosifis dan kemasyarakatan tempat kaidah tersebut akan berlaku.

4)

Pembentukan peraturan perundang-undangan selain mengatur keadaan


yang ada harus mempunyai jangkauan masa depan.

5)

Pembentukan peraturan perundang-undangan bukan hanya sekedar


menciptakan instrumen kepastian hukum tetapi juga merupakan instrumen
keadilan dan kebenaran.

6)

Pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada


partisipasi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung (peran
serta masyarakat).

7)

Pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan asas dan


materi muatan peraturan perundang-undangan.

E.

Langkah Strategis Politik Perundang-undangan Nasional (Jangka Menengah)


Sehubungan dengan politik pembangunan hukum dan politik peraturan
perundang-undangan nasional, paling tidak pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat telah menetapkan dua langkah strategis, yaitu dengan menetapkan Program
Legislasi Nasional 2005-2009 dan menetapkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun
2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 20042009.
1.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009.

53

Dalam rangka pembenahan sistem dan politik hukum nasional pada tanggal
19 Januari 2005 ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 20042009. Satya Arinanto dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap
Fakultas Hukum Universitas Indonesia tanggal 18 Maret 2006 menyatakan
bahwa Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional ini dapat dikatakan sebagai Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN) yang pernah ada dalam Era Orde Lama dan Orde Baru.[16]
Bila dilihat dari beberapa hal yang berkaitan dengan pembenahan substansi
hukum, maka dapat dikatakan bahwa politik hukum atau politik peraturan
perundang-undangan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional ini diarahkan pada permasalahan terjadinya tumpang tindih dan
inkonsistensi peraturan perundang-undangan dan implementasi undangundang yang terhambat peraturan pelaksanaannya.[17] Berdasarkan
adanya permasalahan tersebut, maka politik hukum nasional akan diarah
pada terciptanya hukum nasional yang adil, konsekuen, dan tidak
diskriminatif serta menjamin terciptanya konsistensi seluruh peraturan
perundang-undangan

pada

tingkat

pusat

dan

daerah

serta

tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi


tingkatannya.[18]
Untuk itu dalam rangka mengimplementasikan politik pembangunan hukum
nasional[19]

maka

dengan

Peraturan

Presiden

tentang

Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional tersebut ditetapkan suatu


landasan politik perundang-undangan nasional yang menetapkan kebijakan
untuk memperbaiki substansi hukum melalui peninjauan dan penataan
kembali peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan asas
umum dan hierarki peraturan perundang-undangan.
Peninjauan dan penataan kembali peraturan pundang-undangan tersebut
adalah merupakan kegiatan yang dilakukan untuk melakukan peninjauan
dan

penataan

peraturan

perundang-undangan

termasuk

didalamnya

melakukan kegiatan pengharmonisasian berbagai rancangan peraturan


perundang-undangan dengan rancangan peraturan perundang-undangan
yang lain maupun terhadap peraturan perundang-undangan yang telah ada,
juga melakukan pengharmonisasi peraturan perundang-undangan yang
sudah ada dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Hal ini

54

dimaksudkan agar peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih,


inkonsistensi, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi (disharmonis) dapat ditinjau kembali untuk dilakukan perubahan
atau revisi.
Politik perundang-undangan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional ditujukan untuk menciptakan persamaan
persepsi dari seluruh pelaku pembangunan khususnya di bidang hukum
dalam menghadapi berbagai isu strategis dan global yang secara cepat
perlu diantipasi agar penegakan dan kepastian hukum tetap berjalan secara
berkesinambungan yang diharapkan akan dihasilkan kebijakan/materi
hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat serta mempunyai daya laku
yang

efektif

dalam

masyarakat

dan

dapat

menjadi

sarana

untuk

mewujudkan perubahan-perubahan di bidang sosial kemasyarakatan[20].


Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional sebagaimana
dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 juga telah
mengarahkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang harus
dilakukan melalui proses yang benar dengan memperhatikan tertib
perundang-undangan serta asas umum peraturan perundang-undangan
yang baik. Adapun pokok-pokok politik perundang-undangan yang akan
dilaksanakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
tersebut, dapat dikelompokkan antara lain meliputi kegiatan:
1. Pelaksanaan berbagai pengkajian hukum dengan mendasarkan baik
dari hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis yang terkait dengan isu
hukum, hak asasi manusia dan peradilan;
2. Pelaksanaan berbagai penelitian hukum untuk dapat lebih memahami
kenyataan yang ada dalam masyarakat;
3. Harmonisasi di bidang hukum (hukum tertulis dan hukum tidak
tertulis/hukum adat) terutama pertentangan antara peraturan perundangundangan pada tingkat pusat dengan peraturan perundang-undangan
pada tingkat daerah yang mempunyai implikasi menghambat pencapaian
kesejahteraan rakyat;
4. Penyusunan naskah akademis rancangan undang-undang berdasarkan
kebutuhan masyarakat;

55

5. Penyelenggaraan berbagai konsultasi publik terhadap hasil pengkajian


dan penelitian sebagai bagian dari proses pelibatan masyarakat dalam
proses penyusunan rekomendasi yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat;
6. Penyempurnaan dan perubahan dan pembaruan berbagai peraturan
perundang-undangan yang tidak sesuai dan tidak sejalan dengan
kebutuhan masyarakat dan pembangunan, serta yang masih berindikasi
diskriminasi dan yang tidak memenuhi prinsip kesetaraan dan keadilan;
7.

Penyusunan dan penetapan berbagai peraturan perundang-undangan


berdasarkan asas hukum umum, taat prosedur serta sesuai dengan
pedoman penyusunan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.

Program Legislasi Nasional (Prolegnas)


Program Legislasi Nasional (Prolegnas) adalah bagian dari manajemen dan
politik pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan
instrument perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang
disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis[21] yang ditetapkan
untuk jangka waktu panjang, menengah, dan tahunan berdasarkan skala
prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang. Prolegnas sangat
diperlukan untuk menata sistem hukum nasional secara menyeluruh dan
terpadu

yang

didasarkan

pada

cita-cita

Proklamasi

dan

landasan

konstitusional negara hukum Indonesia. Dasar hukum penyusunan Program


Legislasi Nasional (Prolegnas) saat ini adalah Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan
dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional.
Prolegnas memuat program pembentukan Undang-Undang dengan pokok
materi yang akan diatur serta keterkaitannya dengan peraturan perundangundangan lainnya yang merupakan penjelasan secara lengkap mengenai
konsep Rancangan Undang-Undang yang meliputi:
a.

latar belakang dan tujuan penyusunan;

b.

sasaran yang akan diwujudkan;

56

c.

pokok-pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur; dan

d.

jangkauan dan arah pengaturan.[22]

Penyusunan

Prolegnas

di

lingkungan

Dewan

Perwakilan

Rakyat

dikoordinasikan oleh Badan Legislasi dan Penyusunan Prolegnas di


lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Hasil penyusunan Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan
Rakyat oleh Badan Legislasi dikoordinasikan dengan Pemerintah melalui
Menteri Hukum dan HAM dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi
Prolegnas.
Di lingkungan pemerintah, Menteri Hukum dan HAM sebagai koordinator
dalam pelaksanaan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi Rancangan Undang-Undang di lingkungan pemerintah. Upaya
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan
Undang-Undang diarahkan pada perwujudan keselarasan dengan falsafah
Negara, tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang lain
yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya dan kebijakan
lainnya yang terkait dengan bidang yang diatur dalam Rancangan UndangUndang tersebut.
Secara garis besar arah kebijakan atau politik hukum yang dituangkan
dalam Prolegnas tahun 2005-2009 adalah:
a.

membentuk peraturan perundang-undangan di bidang hukum,


ekonomi, politik, agama, pendidikan, ilmu pengetahuan dan
teknologi, social budaya, pembangunan daerah, sumber daya alam
dan

lingkungan

hidup,

pertahanan

dan keamanan,

sebagai

pelaksanaan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
b.

mengganti peraturan perundang-undangan peninggalan kolonial


dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang ada
yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman;

57

c.

mempercepat proses penyelesaian rancangan undang-undang


yang sedang dalam proses pembahasan dan membentuk undangundang yang diperintahkan oleh undang-undang;

d.

membentuk peraturan perundang-undangan yang baru untuk


mempercepat proses reformasi, mendukung pemulihan ekonomi,
perlindungan hak asasi manusia dan pemberantasan korupsi, kolusi,
nepotisme, dan kejahatan transnasional;

e.

meratifikasi secara selektif konvensi internasional yang diperlukan


untuk

mendukung

pembangunan

ekonomi,

demokrasi

dan

perlindungan hak asasi manusia serta pelestarian lingkungan hidup;


f.

membentuk peraturan peraturan perundang-undangan baru sesuai


dengan tuntutan masyarakat dan kemajuan jaman;

g.

memberikan landasan yuridis bagi penegakan hukum secara tegas,


profesional, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan prinsipprinsip kesetaraan dan keadilan jender; dan

h.

menjadikan hukum sebagai sarana pembaruan dan pembangunan


di segala bidang yang mengabdi kepada kepentingan rakyat,
bangsa, dan negara guna mewujudkan prinsip keseimbangan antara
ketertiban, legitimasi, dan keadilan. [23]
Untuk Prolegnas tahun 2005 sampai dengan tahun 2009

ditetapkan sebanyak 284 rancangan undang-undang yang direncanakan


untuk bentuk. Dalam prakteknya selain Rancangan Undang-Undang yang
tercantum dalam Prolegnas, juga terdapat Rancangan Undang-Undang
yang tidak masuk dalam Prolegnas tahuan 2005-2009 tetapi juga
dijadwalkan untuk dibahas antara Pemerintah dan DPR untuk disahkan
menjadi Undang-Undang, antara lain RUU tentang Penggunaan Lambang
Palang Merah dan RUU tentang Pemerintahan Aceh. Hal ini dimungkinkan
karena berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 yang menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu, Dewan
Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undangundang di luar Program Legislasi Nasional, yang dimaksud dalam keadaan
tertentu disini antara lain merupakan kondisi yang memerlukan pengaturan
yang tidak tercantum dalam Program Legislasi Nasional.[24]

58

Sebagai implementasi operasional dari Prolegnas yang disusun,


setiap tahunnya ditetapkan skala prioritas penyusunan rancangan undangundang. Untuk tahun 2005 telah ditetapkan sebanyak 55 skala prioritas
pembahasan RUU, namun yang dapat diselesaikan hanya 14 RUU.[25]
Sedangkan

sisa

yang

tidak

dapat

diselesaikan

menjadi

prioritas

pembahasan tahun 2006.[26]


Kriteria untuk menentukan skala prioritas Prolegnas adalah
sebagaimana kesepakatan yang diambil dalam rapat konsultasi antara
Menteri Hukum dan HAM bersama dengan badan legislasi DPR yang
diselenggarakan pada tanggal 31 Januri 2005, yaitu:

a.

merupakan perintah dari Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;

b.

merupakan perintah Ketetatapn Majelis Permusyawaratan Rakyat


Republik Indonesia;

c.

yang terkait dengan pelaksanaan undang-undang lain;

d.

mendorong percepatan reformasi;

e.

yang merupakan warisan Prolegnas 2000-2004 yang disesuaikan


dengan kondisi saat ini;

f.

yang menyangkut revisi atau amandemen terhadap undang-undang


yang bertentangan dengan undang-undang lainnya.

g.
h.

yang merupakan ratifikasi terhadap perjanjian internasional;


yang berorientasi pada pengaturan perlindungan hak-hak asasi
manusia dengan memperhatikan prinsip keadilan dan kesetaraan
jender;

i.

yang mendukung pemulihan dan pembangunan ekonomi kerakyatan


yang berkeadilan;

59

j.

yang secara langsung menyentuh kepentingan rakyat untuk


memulihkan

dan

meningkatkan

kondisi

kesejahteraan

sosial

masyarakat.
F. Penutup
Dari beberapa kebijakan yang menjadi landasan politik hukum dan politik
peraturan perundang-undangan tersebut di atas jelas terlihat betapa pentingnya dan
strategisnya fungsi perencanaan pembangunan dan politik peraturan perundangundangan (hukum) sebagai salah satu wujud pembangunan substansi hukum (legal
substance) untuk mencapai tujuan dan mewujudkan penyusunan peraturan
perundang-undangan yang efektif, responsif, dan demokratif dalam kerangka
pembangunan

sistem

hukum

nasional

secara

keseluruhan

yang

meliputi

pembangunan berbagai subsistem hukum yang saling terkait yaitu pembangunan


substansi hukum, kelembagaan hukum, serta budaya atau kesadaran hukum
masyarakat dan menempatkan supremasi hukum secara strategis sebagai landasan
dan perekat pembangunan di bidang lainnya.

[2] HM. Laica Marzuki, Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap
Undang-Undang, Jurnal Legislasi Vol. 3 Nomor 1, Maret 2006, hal. 2. Lihat juga M. Mahfud MD,
Politik Hukum di Indonesia, cet. II (Jakarta: LP3ES, 2001), hal. 5. Mahfud MD menyebutkan
bahwa hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai formalitas atau
kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersanginan. Lebih
jauh Mahfud MD mengemukakan bahwa hubungan kausalitas antara hukum dan politik yang
berkaitan dengan pertanyaan apakah hukum mempengaruhi politik ataukah politik yang
mempengaruhi hukum, dapat dijawab Pertama; hukum determinan atas politik yaitu kegiatankegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua; politik
determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak
politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan. Ketiga; politik dan hukum sebagai
subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang sederajat determinasinya.
[3] M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. II (Jakarta: LP3ES, 2001), hal. 9.

60

[4] Ibid. Lihat juga Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, makalah
pada Kerja Latihan Bantuan Hukum, Surabaya, September 1985.
[5] Bagir Manan, Politik Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, Mei 1994, hal. 1.
[6] Ibid, hal. 2.
[7] Abdul Wahid Masru, Politik Hukum dan Perundang-undangan, Makalah,
Jakarta, 2004.
[8] Hal ini disebut sebagai asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat yang
terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
[9] Ibid, Psl 53. Pasal 53 merumuskan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan
secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang
dan rancangan peraturan daerah.
[10] M. Mahfud MD, Demokratisasi Dalam Rangka Pembangunan Hukum Yang
Responsif, Makalah, FH UNDIP, Semarang, 1996, hlm 1.
[11] Iskandar Kamil, Peradilan Anak, Makalah, Disampaikan pada Workshop (Round
Table Discussion) mengenai Pedoman Diversi untuk Perlindungan Bagi Anak Yang Berhadapan
dengan Hukum, Jakarta, 1 Juni 2005.
[12] M. Mahfud MD, Langkah Politik dan Bingkai Paradikmatik Dalam Penegakan
Hukum Kita, Makalah, Bahan Kumpulan Perkuliahan Pasca Sarjana FH UI, 2004, hal 3-5.
[13] Satya Arinanto, Kumpulan Materi Pendukung (Transparansi) Politik Hukum dan
Politik Perundang-undangan (Dihimpun dari Berbagai Sumber), Disampaikan pada Pendidikan
dan Pelatihan Perancangan Perundang-undangan Bagi Legislative DrafterSekretariat Jenderal
DPR RI, tanggal 14 April 2003, hal. 8.
[14] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 107.
Satjipto Rahardjo mengutip Paul Scholten yang mengemukakan konsep bahwa hukum
merupakan suatu kesatuan norma-norma yang merupakan rangkaian perjalanan sejarah yang

61

memandang kebelakang kepada peraturan perundang-undangan yang ada dan memandang


kedepan untuk mengatur kembali.
[15] Abdul Wahid Masru, Op. Cit., hal. 4.
[16] Satya Arinanto,

Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca

Reformasi, Pidato Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar tetap pada FH-UI, Jakarta, 18
Maret 2006, hal. 14 16. Alasan menyebut sama dengan GBHN dalam era Orde Lama dan Orde
Baru, karena sebagai akibat proses perubahan UD 1945, dimana salah satu dasar pemikiran
perubahannya adalah tentang kekuasaan tertinggi di tangan MPR, maka semenjak tahun 2004,
MPR hasil pemilihan umum pada tahun tersebut tidak lagi menetapkan produk hukum yang
berupa GBHN.
[17]

Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional, Bab 9. LN Nomor 11 tahun 2005.


[18] Ibid, bagian sasaran.
[19] Satya Arinanto, Op.Cit., hal. 25.
[20]

Mochtar

Kusumaatmadja,

Fungsi

dan

Perkembangan

Hukum

dalam

Pembangunan Nasional, jilid III, No. 4, (Bandung: Padjadjaran), 1970, hal. 5-16, dalam Satjipto
Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (bandung: Penerbit Alumni), 1979, hal. 161.
[21] Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005, Psl. 1 angka 1.
[22] Ibid, Psl. 4.
[23] Dewan Perwakilan Rakyat, Program Legislasi Nasional Tahun 2005 -2006.
[24] Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 , Op. Cit., Psl. 17 ayat
(3).
[25] Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Catatan PSHK Tentang Kinerja
Legislasi DPR 2005, (Jakarta: PSHK, 2006), hal. 59.

62

[26] RUU prioritas yang tidak selesai pada satu tahun anggaran akan secara langsung masuk
dalam prioritas tahun anggaran yang akan datang, hal tersebut biasanya disebut program luncuran atau
carry-over. Lihat Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan
Program Legislasi Nasional, Psl. 27. Pasal 27 berbunyi Dalam keadaan tertentu pelaksanaan program
pembentukan Undang-Undang dalam Prolegnas belum dapat diselesaikan pada tahun berjalan sesuai
dengan skala prioritas yang ditetapkan, program pembentukan Undang-Undang tersebut dijadikan
Prolegnas tahun berikutnya dengan skala prioritas utama.

PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH


(PROLEGDA) DALAM RANGKA MEWUJUDKAN
PRODUK HUKUM DAERAH YANG KOMPREHENSIF
OLEH: DR. WAHIDUDDIN ADAMS, SH., MA.
I. Pendahuluan
Reformasi telah membawa perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pemerintah yang sentralistis digantikan dengan pemerintah yang desentralistis. Artinya sejumlah
wewenang pemerintahan diserahkan oleh Pemerintah kepada daerah otonom, kecuali urusan
pemerintahan yang meliputipolitik luar negeri, pertahanan, keamanan dan yusti yang tetap
menjadi kewenwngan Pemerintah. Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan yang diserahkan menjadi kewenangannya dalam sistem
Negara Kesatuan RI. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan
dibentuk Peraturan Daerah. Dangan kata lain Peraturan Daerah merupakan
sarana yuridis untuk melaksanakan kebijakan otonomi daerah dan tugas-tugas
pembantuan. Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah angka 7, antara lain mengemukakan: Penyelenggaraan
pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban dan
tanggung jawabnya serta atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan antara lain dalam
peraturan daerah.
Peraturan Daerah lazim pula disebut sebagai produk legIslasi daerah.
Meskipun demikian di kalangan akademisi istilah legislasi daerah, masih menjadi
perdebatan. Ada yang berpendapat bahwa istilah tersebut tidak tepat. Karena
secara yuridis Peraturan Daerah lebih cocok disebut regulasi daripada produk
legislasi.
Peraturan Daerah menurut Pasal 136 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004, merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang
undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing
daerah.
Menurut pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan materi muatan peraturan daerah
adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah
dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta
penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
II. Kedudukan Peraturan Daerah dalam hirarki peraturan perundangundangan.
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 mencantumkan jenis
dan hirarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945;
b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;

63

d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
Ayat (2) menentukan bahwa Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e meliputi:
a. Peraturan Daerah Provinsi dimuat oleh DPRD Provinsi bersama dengan
Gubernur;
b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota di buat oleh DPRD Kabupaten/Kota
bersama dengan bupati, walikota;
c. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan
desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Dalam hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut diatas
Peraturan Daerah menempati jenjang rendah, karena itu Peraturan Daerah tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
atau dengan nada yang lebih tegas, menurut Pasal 136 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan bertentangan dengan
kepentingan umum dalam ketentuan diatas ialah kebijakan yang berakibat
terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, tergaggunya pelayanan
umum dan terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang
bersifat diskriminatif.
Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menurut Pasal 145 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
Keputusan pembatalan tersebut ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling
lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Peraturan Daerah tersebut.
Selain itu Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung menetapkan bahwa Mahkamah Agung berwenang
menyatakan ketidaksahan peraturan perundang-undangan dibawah undangundang
atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
Ketentuan tersebut di atas merupakan mekanisme kontrol dalam rangka
menjaga keserasian Peraturan Daerah dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Sebab peraturan daerah merupakan salah satu sub sistem
dalam sistem peraturan perundang-undangan dalam Negara RI. Oleh karena itu
Peraturan Daerah harus ditempatkan sebagai bagian dari keseluruhan sistem
peraturan perundang-undangan. Artinya Peraturan Daerah sebagai instrument
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan selain harus mampu
menampung kondisi khusus atau cirri khas masing-masing daerah juga harus
ditempatkan dalam konteks penjabaran peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi. Dengan kata lain Peraturan Daerah ditempatkan sebagai bagian dari
keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004. Prof. MR. Paul Scholten (Struktur Ilmu Hukum, 2003: 30)
antara lain mengemukakan: Dan dari kesatuan hukum itu muncul, bahwa
aturan-anturan harus memperhatikan homogenitas logical, yang menyebabkan
menata diri ke dalam suatu sistem. Lebih lanjut dikemukakan: Tiap aturan
hukum hanya berlaku dalam konteks interaksi dengan aturan-aturan hukum yang
lain. Kemudian dikatakannya bahwa hal ini hanya mungkin, jika aturan-aturan itu
secara logical berada dalam saling berhubungan antara satu dengan yang
lainnya, mewujudkan satu kesatuan, jadi jika mereka mewujudkan sebuah
sistem.
III. Penyusunan Prolegda
Mengingat peranan Peraturan Daerah yang demikian penting dalam
penyelenggaraan otonomi daerah, maka penyusunannya perlu diprogramkan,
agar berbagai perangkat hukum yang diperlukan dalam rangka
penyelenggarakan otonomi daerah dapat dibentuk secara sistematis, terarah dan

64

terencana berdasarkan skala prioritas yang jelas.


Dasar hukum Prolegda tercantum dalam pasal 15 ayat (2) Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004 yang menentukan sebagai berikut:
Perencanaan Penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu
Program Legislasi Daerah.
Prolegda dimaksudkan untuk menjaga agar produk peraturan perundangundangan
daerah tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional.
Sebelum menguraikan penyusunan Prolegda terlebih dahulu perlu dijelaskan
pengertian Prolegda. Prolegda adalah instrument perencanaan pembentukan
Peraturan Daerah yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis.
Secara operasional, Prolegda memuat daftar Rancangan Peraturan Daerah
yang disusun berdasarkan metode dan parameter tertentu sebagai bagian
integral dari sistem peraturan perundang-undangan yang tersusun sacara
hierarkis, dalam sistem hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undangundang
Dasar Negara RI Tahun 1945.
Prolegda merupakan pedoman dan pengendali penyusunan Peraturan
Daerah yang mengikat lembaga yang berwenang membentuk Peraturan Daerah.
Mengapa Prolegda diperlukan? Ada beberapa alasan obyektif yang dapat
dikemukakan yaitu untuk:
Memberikan gambaran obyektif tentang kondisi umum mengenai
permasalahan pembentukan Peraturan Daerah;
2. menetapkan skala prioritas penyusunan rancangan Peraturan Daerah
untuk jangka panjang, menengah atau jangka pendek sebagai pedoman
bersama dalam pembentukan Peraturan Daerah;
3. menyelenggarakan sinergi antar lembaga yang berwenang membentuk
Peraturan Daerah;
4. mempercepat proses pembentukan Peraturan Daerah dengan
memfokuskan kegiatan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah
menurut skala prioritas yang ditetapkan;
5. menjadi sarana pengendali kegiatan pebentukan Peraturan Daerah.
Mengenai mekanisme penyusunan Prolegda tidak diatur dalam Nomor 10
Tahun 2004 maupun dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Kedua undang-undang tersebut juga tidak memerintahkan sacara tegas untuk
mengatur lebih lanjut tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegda dalam
peraturan pelaksanaan.
Sampai sekaranh ini pedoman penyusunan Prolegda diatur dalam Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 169 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan
Program Legislasi Daerah. Keputusan Menteri Dalam Negeri yang ditetapkan
pada tanggal 26 Agustus 2004, dibuat dengan 2 (dua) pertimbangan yaitu:
1. Karena penyusunan peraturan perundang-undangan daerah belum
diproramkan sesuai dengan kewenangan daerah, sehingga dalam
penerbitan peraturan perundang-undangan daerah tidak sesuai dengan
kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan
dan pelayanan masyarakat;
2. dalam rangka tertib administrasi dan peningkatan kualitas penyusunan
peraturan perundang-undangan di daerah.
Memperhatikan konsiderans mengingat Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 169 Tahun 2004 yang ditetapkan 2 bulan lewat 4 hari dari
ditetapkannya Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004, tampak bahwa Keputusan Menteri Dalam
Negeri tersebut belum mengacu kepada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 169 Tahun 2004 pada intinya
mengatur pedoman penyusunan Prolegda Provinsi, Kabupaten/Kota dan
Program Legislasi Desa atau nama lainnya.
Prolegda Provinsi, Kabupaten/Kota atau Desa meliputi Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi dan Rancangan Keputusan Gubernur, Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota dan Rancangan Keputusan Bupati/Walikota atau

65

Rancangan Peraturan Desa dan Rancangan Keputusan Kepala Desa. Prolegda


sebagaimana dimaksud diatas disusun setiap tahun atau dengan kata lain
Prolegda di susun untuk jangka pendek. Penyusunan Prolegda Jangka Pendek
tampaknya sangat pragmatis untuk memenuhi keperluan pembentukan
Peraturan Daerah dalam satu tahun. Padahal Prolegda yang dimaksudkan untuk
menjaga agar produk peraturan perundang-undangan daerah tetap berada
dalam kasatuan sistem hukum nasional, maka instrument perencanaannya pun
perlu diselaraskan dengan Prolegnas, agar dengan demikian jelas sasaran
jangka panjang atau menengah yang hendak dicapai tahap demi tahap dalam
penyusunan Rancangan Peraturan Daerah berdasarkan Prolegda.
Secara garis besar mekanisme penyusunan Prolegda sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 3 dan Pasal 5 Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut
diatas sebagai berikut:
1. Pimpinan unit kerja menyiapkan Rencana Prolegda Provinsi/ Kabupaten/
Kota setiap tahun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan
pemerintahan berdasarkan tugas dan fungsi masing-masing unit kerja.
2. Pembahasan rencana Prolegda tersebut diatas dikoordinasikan oleh Biro
Hukum Sekretariat Provinsi/ Bagian Hukum Sekretariat Kabupaten/ Kota.
3. Hasil Pembahasan Prolegda tersebut diatas diajukan oleh Biro Hukum
Sekretariat Provinsi kepada Gunernur dan oleh Bagian Hukum Sekretariat
Kabupaten Kota kepada Bupati/ Walikota.
4. Prolegda Provinsi ditetapkan oleh Gubernur dan Prolegda Kabupaten/
Kota ditetapkan oleh Bupati/ Walikota.
Penyusunan, bentuk dan tata cara pengisian Program Legislasi Data atau
nama lainnya, secara mutates menurut Pasal 7 Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 169 Tahun 2004 disusun sesuai dengan Prolegda.
Keputusan Mneteri Dalam Negeri Nomor 169 Tahun 2004 tentang Pedoman
Penyusunan Program Legislasi Daerah perlu segera ditinjau kembali disesuaikan
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004.
Sehubungan dengan itu ada beberapa pokok pikiran yang dapat dijadikan
pedoman dalam mengatur mekanisme atau tata cara penyusunan Prolegda
sebagai berikut:
1. Cakupan Peraturan Daerah mengacu kepada Pasal 7 ayat (2) Undangundang
Nomor 10 Tahun 2004 yang menentukan bahwa: Peraturan
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh DPRD Provinsi bersama
Gubernur;
b. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota dibuat oleh DPRD Kabupaten/
Kota bersama dengan Bupati/ Walikota;
c. Peraturan Desa/ peraturan yang setingkat, dibuat oleh Dewan
Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa
atau nama lainnya.
2. Memperhatikan asas keterbukaan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, artinya dalam proses penyusunan Prolegda
sebagai tahap perencanaan pembentukan Peraturan Daerah harus
bersifat transparan. Masyarakat diberi kesempatan berpartisipasi dalam
penyusunan Prolegda agar Prolegda betul-betul aspiratif.
3. Penyusunan Prolegda dilakukan oleh Gubernur, Bupati/ Walikota bersama
dengan DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/ Kota sebagai lembaga yang
berwenang untuk membentuk Peraturan Daerah.
4. Penyusunan Prolegda di lingkungan Pemerintah Daerah dilakukan secara
terkoordinasi, terarah dan terpadu antar unit-unit kerja dilingkungan
Sekretariat Daerah den dengan instansi-instansi lain yang terkait.
5. Dalam Prolegda ditetapkan skala prioritas jangka panjang, menengah

66

atau tahunan sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum


masyarakat di daerah dan dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah serta tugas pembantuan.
6. Dalam Prolegda perlu ditetapkan pokok materi yang hendak diatur serta
kaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
7. Pelaksanaan Prolegda perlu dievaluasi setiap tahun dalam rangka
melakukan penyesuaian seperlunya dengan dinamika perkembangan
kebutuhan hukum masyarakat.
IV. Pengelolaan Prolegda
Prolegda yang telah ditetapkan bersama oleh lembaga yang berwenang
membentuk Peraturan Daerah harus dilakukan dengan penuh tanggungjawab,
agar sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai. Untuk itu perlu dilakukan
serangkaian kegiatan sebagai berikut:
1. Memikirkan dan menentukan berbagai hal yang bersangkutan dengan
apa-apa yang harus dilakukan;
2. Mengusahakan, mengatur, menggerakan dan memanfaatkan sumbersumber,
baik sumber daya manusia, sumber daya lainnya yang diperlukan
untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan;
3. Menjamin agar tidak terjadi penyimpangan dan kegagalan dalam
pencapaian sasaran.
Proses dari keseluruhan kegiatan itu, sebagaimana dikemukakan Lembaga
Administrasi Negara RI (Manajemen Dalam Pemerintahan 1978:15) dimaksud
sebagai manajemen atau pengelolaan.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa factor sumber daya manusia merupakan
kunci keberhasilan menajemen atau pengelolaan. Atau mengutip penjelasan
Lembaga Administrasi Negara RI (Manajemen Dalam Pemerintahan 1978:15-16)
dikemukakan antara lain sebagai berikut: jadi pada akhirnya factor manusia
itulah yang paling menentukan dan factor yang mutlak mesti harus ada.
Berhubung dengan itu, sebagian tersebar aktivitas menajemen benar-benar
harus ditunjukan kepada masalah-masalah manusianya, agar mereka memiliki
sikap yang tapat, semangat yang baik, mampu menggunakan cara-cara kerja
dan sarana-sarana lainnya dengan baik pula.
Dalam perspektif tersebut diatas maka pengelolaan Prolegda sangat
ditentkan oleh kualitas dan komitmen politis para anggota DPRD dan Gubernur,
Bupati/ Walikota sebagai pihak-pihak yang diberikan kewenangan untuk
membentuk Peraturan Daerah. Kualitas elit politik didaerah ditentukan oleh
proses rekrutmen dilingkungan partai politik. Sampai sekarang ini masih terasa
bahwa proses rekrutmen tersebut lebih diwarnai oleh factor-faktor akseptabilitas
politik ketimbang kapabilitas untuk mengemban fungsi-fungsi kepemimpinan
polotik di daerah. Sudah tentu dukungan pejabat fungsional perancang peraturan
perundang-undangan, tenaga ahli yang menguasai substansi Peraturan Daerah
dan sumber daya manusia pada jajaran birokrasi di daerah turut menentukan
kenerhasilan pengelolaan Prolegda. Masalahnya didaerah tenaga fungsional
perancang peraturan perundang-undangan masih langka. Begitu pula tenagatenaga
ahli yang menguasai substansi suatu Peraturan Daerah masih jarang.
Karena itulah kerjasama dengan perguruan tinggi menjadi sangat penting.
Demikian pula dengan kalangan professional, aktivis dan praktisi hukum di
daerah.
Mengingat pengelolaan Prolegda tidak terlepas dari masalah politik maka
konserelasi politik di daerah memerankan peranan penting dalam pengelolaan
Prolegda. Provinsi kekuatan politik di DPRD akan sangat menentukan relasi
antara DPRD dengan Gubernur, Bupati/ Walikota. Apabila kekuatan politik
dominan di DRPD sehaluan dengan Gubernur, Bupati/ Walikota maka
pengelolaan Prolegda tidak banyak mengalami kendala-kendala politis. Namun
bila kekuatan politik dominan di DPRD berseberangan dengan Gubernur, Bupati/

67

Walikota sangat potensial akan terjadi kendala politis dalam pengelolaan


Prolegda. Dalam hal seperti ini factor kepemimpinan Gubernur, Bpati/ Walikota
memainkan peranan penting dalam pengelolaan Prolegda. Dalam hal seperti ini
kemampuan melakukan persuasi, penyamaan visi, pembentukan opini dan
kemampuan memobilisasi dukungan merupakan batu ujian bagi keberhasilan kepemimpinan di
daerah termasuk dalam pengelolaan Prolegda sebagai
instrumen perencanaan pembentukan Peraturan Daerah.
Disamping itu pengelolaan Prolegda mempersyaratkan pula kemampuan
untuk melakukan fungsi-fungsi manajemen dengan baik yaitu fungsi
perencanaan, penggerakan dan fungsi pengawasan.
Sehubungan dengan fungsi perencanaan setidak-tidaknya ada 3 (tida) hal
yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan Prolegda yaitu:
1. Pemahaman peta permasalahan yang berkaitan dengan prioritas
Prolegda dan sumber daya yang ada, serta cara-cara mengatasinya.
2. Perlunya koordinasi, konsistensi antar berbagai kegiatan, penggunaan
sumber daya dalam pelaksanaan prioritas, penyusunan rancangan
Peraturan Daerah berdasarkan Prolegda.
3. penerjemahan secara cermat dan akurat Prolegda kedalam kegiatan
konkrit yang terjadwal dengan dukungan dana yang memadai.
Kemudian dalam penggerakan setidak-tidaknya ada 4 (empat) hal yang perlu
diperhatikan:
1. Mendapatkan sumber daya manusia yang professional, memiliki integritas
dan komitmen untuk melaksanakan penyusunan rancangan Peraturan
Daerah berdasarkan Prolegda.
2. Menyampaikan kepada yang bersangkutan secara jelas tujuan-tujuan
yang hendak dicapai dengan pengaturan dalam Peraturan Daerah yang
dimaksud.
3. Menberikan kewenangan-kewenangan tertentu dalam melaksanakan
tugas-tugas merancang Peraturan Daerah.
4. Menjelaskan apa yang perlu dilakukan dan cara melakukannya serta
memberi kepercayaan untuk mengemban tugas dan memberi bimbingan
yang diperlukan.
Selanjutnya dibidang pengawasan ada 3 (tiga) langkah yang perlu dilakukan
yaitu:
1. Penetapan standar sebagai tolak ukur keberhasilanatau kegagalan
pelaksanaan Prolegda.
2. Pengukuran pelaksanaan dengan membandingkan antara yang dicapai
dengan yang seharusnya dicapai.
3. Melakuka tindakan perbaikan atau penyesuaian.
Pengawasan pelaksanaan Prolegda dilakukan oleh aparat pengawasan
fungsional, maupun oleh DPRD dan pengawasan oleh masyarakat. Melalui
pengawasan yang dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip pengawasan
diharapkan tujuan pengawasan dapat tercapai yaitu antara lain untuk menjamin
ketetapan pelaksanaan pembentukan Pembentukan Daerah sesuai dengan
prioritas yang ditetapkan dalam Prolegda, meningkatkan koordinasi dan efisiensi
dalam penggunaan sumber daya dan membangun kepercayaan publik terhadap
pembentuk Peraturan Daerah.
V. PRIORITAS LEGISLASI DAERAH
Dan supaya suatu Rancangan Peraturan Daerah atau Rancangan Legislasi
Daerah memperoleh prioritas yang tinggi untuk dapat segera diproses menjadi
suatu Peraturan Daerah atau Legislasi Daerah, maka perlu diperhatikan
beberapa hal penting yaitu:
1. Rancangan Peraturan Daerah atau Legislasi Daerah tersebut diperintah
langsung oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
Seandainya di dalam suatu Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah
atau Peraturan Presiden memerintahkan secara langsung untuk pengaturan

68

suatu masalah dalam suatu Peraturan Daerah, maka tentunya ini merupakan
hal terpenting yang dapat dijadikan alasan agar Rancangan Peraturan
Daerah tersebut dapat diletakkan dalam urutan pertama atau dalam skala
prioritas tertinggi untuk dapat segera disahkan menjadi suatu Peraturan
Daerah.
2. Rancangan Peraturan Daerah atau Rancangan Legislasi Daerah tersebut
terkait dengan pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi lainnya
Suatu Rancangan Peraturan Daerah atau Rancangan Legislasi Daerah
dapat juga diletakkan dalam skala prioritas yang tinggi apabila Rancangan Peraturan Daerah
tersebut dimaksudkan untuk melaksanakan suatu
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi namun tidak diperintahkan
secara langsung oleh Peraturan Perundang-undangan tersebut.
3. Rancangan Peraturan Daerah atau Rancangan Legislasi Daerah tersebut
dimaksudkan untuk mendorong percepatan reformasi
Saat ini reformasi di segala bidang sedang giat-giatnya di galakkan seperti
reformasi yang dimaksudkan untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu, maka suatu Rancangan Peraturan Daerah atau Rancangan
Legislasi yang akan dibuat untuk misalnya mengurangi kemungkinan
seorang aparat melakukan tindak pidana korupsi, perlu mendapat prioritas
tinggi untuk dapat segera disahkan menjadi Peraturan Daerah.
4 Rancangan Peraturan Daerah atau Rancangan Legislasi Daerah tersebut
belum disahkan pada tahun sebelumnya
Untuk Rancangan-rancanga Peraturan Daerah yang belum diproses atau
belum mendapat pengesahan pada tahun sebelumnya misalnya tahun 2005,
maka pada tahun 2006 ini Rancangan Peraturan Daerah tersebut
menempati skala prioritas pertama untuk disahkan menjadi suatu Peraturan
Daerah.
5. Peraturan Daerah atau Legislasi Daerah tersebut memerlukan revisi atau
perbaikan karena bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi
Suatu Peraturan Daerah atau Legislasi Daerah yang isinya bertentangan
dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, maka perlu
disegerakan untuk dilakukan perubahan agar tidak menimbulkan kesulitan di
masa yang akan datang baik di lihat dari sisi penegak hukum maupun dilihat
dari sisi pelaksana Peraturan Daerah itu sendiri dalam hal ini aparat
pelaksana dan masyarakat itu sendiri.
6. Rancangan Peraturan Daerah atau Rancangan Legislasi Daerah tersebut
berorientasi pada pengaturan hak-hak asasi manusia
Masalah hak asasi manusia saat ini merupakan issu nasional terbesar,
khususnya masalah-masalah hak asasi manusia yang memperhatikan prinsip-prinsip kesetaraan
dan keadilan gender. Sehingga apabila ada suatu
Rancangan Peraturan Daerah mengatur masalah tersebut di atas, maka
Rancangan Peraturan Daerah tersebut sebaiknya diletakkan pada skala
prioritas yang tinggi untuk dapat segera disahkan menjadi suatu Peraturan
Daerah.
7. Rancangan Peraturan Daerah atau Rancangan Legislasi Daerah tersebut
dimaksudkan untuk mendukung pemulihan dan pembangunan ekonomi
kerakyatan yang bekeadilan
Apabila suatu Rancangan Peraturan Daerah tersebut dimaksudkan untuk
memulihkan kondisi ekonomi kerakyatan dan melakukan pembangunan
ekonomi kerakyatan agar keadilan semakin terasa di masyarakat, maka
Rancangan Peraturan Daerah tersebut perlu dimasukkan dalam prioritas
utama untuk disahkan menjadi suatu Peraturan Daerah. Karena dengan
menciptakan kondisi masyarakat yang adil dan sejahtera, maka ini berarti
daerah yang bersangkutan telah melakukan reformasi juga khususnya di

69

bidang perekonomian daerah.


8. Rancangan Peraturan Daerah atau Rancangan Legislasi Daerah tersebut
dapat langsung menyentuh kepentingan rakyat
Apabila suatu Rancangan Peraturan Daerah mengatur mengenai suatu hal
yang lengsung berhubungan dengan masyarakat sehingga dapat
memulihkan dan meningkatkan kondisi kesejahteraan social masyarakat,
maka Rancangan peraturan Daerah tersebut sebaiknya di letakkan pada
prioritas yang utama, karena biar bagaimanapaun juga Peraturan Daerah
dibuat oleh rakyat seperti salah satu unsur dalam proses perencanaan
penyusunan suatu Peraturan Perundang-undangan dan untuk rakyat.
Rakyat nantinya yang akan langsung merasakan efek dari berlakuknya
suatu Peraturan Daerah.
Kesimpulan dan Saran
Dari uraian diatas dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Sejak reformasi telah terjadi proses desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
2. Peraturan Daerah merupakan sarana yuridis untuk melaksanakan
kebijakan otonomi daerah dan tugas pembantuan.
3. Peraturan Daerah menempati urutan terbawah dalam hirarki peraturan
perundang-undangan berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun
2004.
4. Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan
menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
5. Dasar hukum Prolegda diatur dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004
6. Prolegda adalah instrument perencanaan pembentukan Peraturan Daerah
yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis untuk jangka
panjang, menengah atau pendek.
7. Mekanisme penyusunan Prolegda tidak diatur secara rinci dalam Undangundang
Nomor 10 Tahun 2004 maupun dalam Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 dan tidak juga ada perintah secara tegas untuk mengaturnya
dalam peraturan pelaksanaan undang-undang.
8. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 169 Tahun 2004 tentang
Pedoman Penyusunan Prolegda sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan.
9. Pengelolaan Prolegda sangat ditentukan oleh kualitas dan komitmen elit
politik di daerah dalam melaksanakan Prolegda secara konsisten dan
konsekuen serta oleh kemampuan mereka dalam melaksanakan fungsi
manajemen dengan baik.
10. Prioritas Legislasi Daerah didasarkan pada :
a. Rancangan Peraturan Daerah atau Legislasi Daerah tersebut
diperintah langsung oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi.
b. Rancangan Peraturan Daerah atau Rancangan Legislasi Daerah
tersebut terkait dengan pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi lainnya
c. Rancangan Peraturan Daerah atau Rancangan Legislasi Daerah
tersebut dimaksudkan untuk mendorong percepatan reformasi.
d. Rancangan Peraturan Daerah atau Rancangan Legislasi Daerah
tersebut belum disahkan pada tahun sebelumnya.
e. Peraturan Daerah atau Legislasi Daerah tersebut memerlukan revisi
atau perbaikan karena bertentangan dengan Peraturan Perundangundangan

70

yang lebih tinggi.


f. Rancangan Peraturan Daerah atau Rancangan Legislasi Daerah
tersebut berorientasi pada pengaturan hak-hak asasi manusia.
g. Rancangan Peraturan Daerah atau Rancangan Legislasi Daerah
tersebut dimaksudkan untuk mendukung pemulihan dan
pembangunan ekonomi kerakyatan yang bekeadilan.
h. Rancangan Peraturan Daerah atau Rancangan Legislasi Daerah
tersebut dapat langsung menyentuh kepentingan rakyat
Selanjutnya dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 169 Tahun 2004 tentang
Pedoman Penyusunan Program Legislasi Daerah perlu ditinjau kembali
disesuaikan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004.
2. Mekanisme penyusunan Prolegda agar diatur dalam Peraturan Presiden
dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Asas keterbukaan dalam penyusunan Prolegda.
b. Prolegda disusun Gubernur, Bupati/ Walikota bersama DPRD.
c. Dalam proses penyusunan Prolegda di lingkungan pemerintah agar
dilakukan secara terkoordinasi, terarah dan terpadu dengan
dilakukan secara terkoordinasi, terarah dan terpadu dengan
melibatkan instansi terkait di daerah.
d. Dalam proses penyusunan Prolegda di lingkungan DPRD,
dilakukan secara terkoordinasi, terarah dan terpadu diantara alatalat
kelengkapan DPRD yang terkait.
e. Pelaksanaan Prolegda dievaluasi setiap tahun.
3. Perlu peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga perancang peraturan
perundang-undangan di daerah.
4. Kepala Divisi Pelayanan Hukum di Kantor Wilayah Departemen Hukum
dan HAM Provinsi agar diikutsertakan dalam penyusunan Prolegda.
5. Perlu ada persamaan visi dan persepsi di kalangan elit politik di daerah
dalam penyusunan dan pengelolaan Prolegda dengan mengutamakan
kepentingan kepentingan bersama dalam rangka meningkatkan
kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan public di daerah.
6. Pengawasan internal maupun pengawasan eksternal dalam pelaksanaan
Prolegda perlu diefektifkan agar sasaran yang ditetapkan dalam Prolegda
secara kuantitatif dan substantif tercapai.
7. Sarana dan dukungan anggaran untuk penyusunan dan pengelolaan
Prolegda agar lebih memadai.
Demikian pokok-pokok pikiran yang dapat saya sampaikan pada kesempatan
ini. Mudah-mudahan bermanfaat untuk kita bersama.

71

72

Visi Unibraw
Menjadi universitas yang terkemuka di bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, berperan aktif dalam peningkatan peradaban, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
mampu memecahkan berbagai masalah kemasyarakatan.
Misi
a. Menyelenggarakan proses pendidikan untuk membantu menjadi manusia yang
berkualitas, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkemampuan akademik
dan/atau profesional sehingga mampu berperanan secara bermakna di segala aspek
kehidupan masyarakat.
b. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan
memperkaya kebudayaan nasional.
Dasar Pendidikan
Pendidikan Tinggi dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Nasional diatur dalam
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 056/U/1994. Sesuai dengan keputusan
tersebut, pendidikan akademik yang terdiri atas program sarjana, program magister dan program
doktor, adalah pendidikan yang diarahkan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan kesenian. Pendidikan profesional adalah program pendidikan diploma yang
diarahkan terutama pada kesiapan penerapan keahlian tertentu, sedangkan pendidikan profesi
adalah pendidikan tambahan setelah program sarjana untuk memperoleh keahlian dan sebutan
profesi dalam bidang tertentu.
Tujuan Pendidikan
Program Sarjana
Program Sarjana diarahkan pada hasil lulusan yang memiliki kualifikasi sebagai berikut :
1. Menguasai dasar-dasar ilmiah dan ketrampilan dalam bidang keahlian tertentu sehingga
mampu menemukan, memahami, menjelaskan, dan merumuskan cara penyelesaian
masalah yang ada di dalam kawasan keahliannya.
2. Mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya sesuai dengan
bidang keahliannya dalam kegiatan produktif dan pelayanan kepada masyarakat dengan
sikap dan perilaku yang sesuai dengan tata kehidupan bersama.
3. Mampu bersikap dan berperilaku dalam membawakan diri berkarya di bidang
keahliannya maupun dalam berkehidupan bersama di masyarakat.
4. Mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian yang
merupakan keahliannya.

73

Program Dokter
Tujuan pendidikan Dokter adalah menghasilkan lulusan yang mempunyai cukup pengetahuan,
ketrampilan dan sikap untuk :
1. Melakukan profesi kedokteran dalam suatu sistem pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebijaksanaan umum pemerintah yang berlandaskan Pancasila, mencakup hal-hal
sebagai berikut :
a. Mengenal, merumuskan dan menyusun prioritas masalah kesehatan masyarakat
sekarang dan yang akan datang serta berusaha bekerja untuk menyelesaikan
masalah-masalah tersebut melalui perencanaan, implementasi dan evaluasi
program-program yang bersifat promotif, preventif, kuratif sera rehabilitatif.
b. Memecahkan masalah-masalah kesehatan penderita dengan menggunakan
pengetahuan, ketrampilan klinik, laboratorium serta observasi, pencatatan yang
baik untuk mengidentifikasi, mendiagnosa, melakukan usaha pencegahan,
meminta konsultasi, mengerjakan usaha rehabilitasi masalah kesehatan
penderita dengan berlandaskan etika kedokteran, mengingat aspek jasmani,
rohani dan sosio-budayanya.
c. Memanfaatkan sebaik-baiknya sumber daya dan tenaga lainnya dalam
meningkatkan kesehatan masyarakat.
d. Bekerja selaku unsur pimpinan dalam suatu tim kesehatan.
e. Menyadari bahwa sistem pelayanan kesehatan yang baik adalah suatu faktor
penting dalam ekosistem yang dapat meningkatkan kesehatan masyarakat.
f. Mendidik dan mengikutsertakan masyarakat untuk meningkatkan taraf
kesehatan.
2. Senantiasa meningkatkan dan mengembangkan diri dalam segi ilmu kedokteran sesuai
dengan bakatnya, dengan berpedoman pada pendidikan sepanjang hayat.
3. Menilai kegiatan profesinya secara berkala, menyadari keperluan untuk menambah
pendidikannya, memilih sumber-sumber pendidikan yang serasi, serta menilai kemajuan
yang telah tercapai secara klinis.
4. Mengembangkan ilmu kesehatan, khususnya ilmu kedokteran dengan ikut serta dalam
pendidikan dan penelitian, mencari penyelesaian masalah kesehatan penderita, sistem
pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan serta usaha medis.
5. Memelihara, mengembangkan kepribadian dan sikap yang diperlukan untuk
kelangsungan profesinya seperti integritas, rasa tanggung jawab, dapat dipercaya,
menaruh perhatian serta penghargaan terhadap sesama manusia sesuai dengan etika
kedokteran.
6. Berfungsi sebagai anggota masyarakat yang kreatif, produktif, bersikap terbuka, dapat
menerima perubahan, berorientasi kemasa depan dan mendidik serta mengajak
masyarakat ke arah sikap yang sama.
Program Magister
Program magister diarahkan pada hasil lulusan yang memiliki ciri-ciri sbb:
1. Mempunyai kemampuan mengembangkan dan memutakhirkan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan/atau kesenian dengan cara menguasai dan memahami, pendekatan,
metode, kaidah ilmiah disertai ketrampilan penerapannya.
2. Mempunyai kemampuan memecahkan permasalahan di bidang keahliannya melalui
kegiatan penelitian dan pengembangan berdasarkan kaidah ilmiah.
3. Mempunyai kemampuan mengembangkan kinerja profesionalnya yang ditunjukkan
dengan ketajaman analisis permasalahan, keserbacakupan tinjauan, kepaduan
pemecahan masalah atau profesi yang serupa.
Program Doktor

74

Program Doktor diarahkan pada hasil lulusan yang memiliki kualifikasi sebagai berikut :
1. Mempunyai kemampuan mengembangkan konsep ilmu, teknologi, dan/atau kesenian
baru di dalam bidang keahliannya melalui penelitian.
2. Mempunyai kemampuan mengelola, memimpin, dan mengembangkan program
penelitian.
3. Mempunyai kemampuan pendekatan interdisipliner dalam berkarya di bidang
keahliannya.
Program Spesialis I (SpI)
Tujuan pendidikan dokter Sp1 adalah setelah melalui proses belajar dengan suatu kurikulum
menghasilkan lulusan yang :
1. Mempunyai rasa tanggung jawab dalam pengamalan ilmu kesehatan sesuai dengan
kebijakan pemerintah berdasarkan Pancasila.
2. Mempunyai pengetahuan yang luas dalam bidangnya serta mempunyai ketrampilan dan
sikap yang baik sehingga sanggup memahami dan memecahkan masalah kesehatan
secara ilmiah serta dapat mengamalkan ilmu kesehatan kepada masyarakat sesuai
dengan bidang keahliannya secara optimal.
Mampu menentukan, merencanakan dan melaksanakan, penelitian secara mandiri serta
mengembangkan ilmu ketingkat

75

Anda mungkin juga menyukai