akan
tetapi
perlu
dipahami
juga
suasana
kebathinan
(geistlichen
hintergrund) dari berbagai peristiwa yang terjadi ketika UU D atau perubahan itu
terjadi, yang meliputi segenap latar belakang lahirnya pasal-pasal, serta ruang
lingkup perdebatan ketika sebuah pasal dirumuskan. Ini menjadi sangat penting
ketika melakukan penafsiran konstitusi agar konstitusi itu menjadi konstitusi
yang hidup (living constitution) dan berkembang dalam masyarakat
dengan
tetap terjaga makna, maksud, dan tujuan setiap pasal dan ayatnya (original
intent). Dengan demikian orientasi dan penafsiran atas pasal-pasal dalam UUD
1945 mampu mewadahi dinamika masyarakat yang akan selalu tetap dalam
koridor original intent-nya.
Perubahan
Pasal 18
tentang
Pemerintah Daerah, telah muncul sejak proses perubahan UUD 1945 Pertama
pada Rapat Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (BP-MPR) ke-2, yang
salah satu agendanya yakni pembandangan umum fraksi-fraksi tentang materi
Sidang Umum (SU) MPR. Rapat tersebut diselenggarakan 6 Oktober 1999 yang
dipimpin oleh Ketua MPR, M. Amien Rais. Akan tetapi tidak semua fraksi
menyinggung mengenai pemerintahan daerah khususnya lagi tentang konsep
pemilihan umum di tingkat daerah dalam pemandangan umumnya. Berikut ini
berbagai pernyataan baik yang disampaikan oleh anggota legislatif maupun para
ahli
ditekankan pada Risalah Sidang yang berkaitan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD
1945 namun demikian tetap akan menyinggung ayat-ayat dalam Pasal 18 UUD
1945
keinginan untuk
pembangunan
demokrasi
politik
untuk
kedaulatan
rakyat,
1999,
bahwa
disentralisasi
adalah
otonomi,
sedangkan
kesatuan. Sementara ahli Hukum Tata Negara yang lainnya, yaitu Philipus
M.Hadjon menggaris bawahi supaya dalam pembahasan
mengenai
mengakomodasi
tuntutan
pengubahan
satu
pihak
dan
sosial bagi seluruh rakyat . dengan kata lain otonomi daerah belum
menjajikan
keadilan
dan
kesejahteraan
yang
lebih
baik
bagi