3. Landasan sosiologis
Pembentukan UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD pada dasarnya
tidak hanya bermakna filosofis dan politik, tetapi juga memiliki makna sosiologis. Kehadiran lembagalembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah, serta
lembaga perwakilan rakyat daerah, yang memiliki kemampuan dalam memainkan peran secara
maksimal dalam tata pengelolaan negara dan pemerintahan merupakan sebuah kebutuhan. Realitas
sosial mengisyaratkan bahwa berbagai persoalan dan kebutuhan publik senantiasa mengandaikan
pentingnya kehadiran lembaga-lembaga permusyawaratan dan perwakilan politik dalam
penanganannya. Sistem penyelenggaraan pemerintahan negara dan daerah yang bertumpu pada
eksekutif, secara faktual tidak selalu dapat dijadikan andalan dalam penyelesaian persoalan dan
pemenuhan kebutuhan masyarakat. Bahkan, secara sosiologis, ketidakadilan justeru sering terjadi
dalam sistem sosial yang dikelola tanpa perwakilan politik.
4. Landasan hukum
Pembentukan UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD didasarkan pada
mandat konstitusi sebagai hukum dasar, baik sebagai hukum dasar dalam kaitan dengan
kewenangan pembentukan undang-undang maupun sebagai hukum dasar dalam kaitan dengan
materi muatan undang-undang. Khusus yang terkait dengan materi muatan undang-undang,
pembentukan UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD didasarkan pada
pasal-pasal dalam UUD 1945 (Hasil Amandemen), khususnya Pasal 2 ayat (1) yang mengatur
tentang MPR, Pasal 18 ayat (3) yangmengatur tentang DPRD sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah, Pasal 19 ayat (2) yang mengatur tentang susunan DPR, Pasal 22C ayat (4)
yang mengatur tentang susunan dan kedudukan DPD, dan Pasal 22E yang menegaskan tentang
pemilihan umum sebagai proses pengisian keanggotaan DPR, DPD, dan DPRD.
Sementara itu, UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Tahun 2005-2025 dan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional Tahun 2005-2009 menggariskan bahwa salah satu misi pembangunan
nasional jangka panjang adalah mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum, yang
akan diwujudkan melalui pencapaian sasaran pokok berupa ”pemantapan pelembagaan
demokrasi yang kokoh”. Pemantapan kelembagaan demokrasi yang kokoh dicapai melalui
penyempurnaan struktur politik yang dititikberatkan pada proses pelembagaan demokrasi, yang
dilakukan dengan, antara lain:
a. mempromosikan dan menyosialisasikan pentingnya keberadaan sebuah konstitusi yang kuat dan
memiliki kredibilitas tinggi sebagai pedoman dasar bagi seluruh proses demokratisasi berkelanjutan;
b. menata hubungan antara kelembagaan politik, dalam kehidupan bernegara;
c. meningkatkan kinerja lembaga-lembaga penyelenggara negara dalam menjalankan kewenangan
dan fungsi-fungsi yang diberikan oleh konstitusi dan peraturan perundangan-undangan; dan
d. menciptakan kelembagaan demokrasi lebih lanjut untuk mendukung berlangsungnya konsolidasi
demokrasi secara berkelanjutan,
yang dicapai melalui pelaksanaan program, antara lain:
a. penyempurnaan dan penguatan kelembagaan demokrasi, yang bertujuan untuk
mewujudkan pelembagaan fungsi-fungsi dan hubungan antara lembaga eksekutif, legislatif,
yudikatif, lembaga politik lainnya, serta lembaga-lembaga kemasyarakatan yang kokoh dan
optimal;
b. perbaikan proses politik, yang bertujuan untukmeningkatkan kualitas dan efektivitas
penyelenggaraan pemilihan umum dan uji kelayakan publik, serta pelembagaan perumusan
kebijakan publik.
D. Metode
Pembentukan UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD dilakukan dengan
metode kerja sebagai berikut:
a. Evaluasi atas pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, DPD, dan DPRD;
b. Pengkajian terhadap pasal-pasal dalam UU Nomor 22 Tahun 2003 yang dinilai mengandung
kelemahan dan/atau bermasalah;
c. Pengkajian terhadap konsep teoritis tentang sistem perwakilan yang ideal;
d. Penyesuaian dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan
e. Analisis komprehensif dan penyusunan konsep pengaturan yang baru.
E. Sistematika penulisan
Naskah Akademik ini ditulis dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I PENDAHULUAN, berisi uraian tentang latar
belakang, maksud dan tujuan, landasan penyempurnaan, metode, dan
sistematika penulisan;
Bab II ARAH DAN TUJUAN SERTA CAKUPAN PENYEMPURNAAN UU
NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MPR, DPR, DPD, DAN
DPRD, yang berisi uraian tentang arah dan tujuan serta cakupan
penyempurnaan UU Nomor 22 Tahun 2003;
Bab III PROBLEMATIKA UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN
2003 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MPR, DPR, DPD, DAN DPRD, berisi
uraian tentang kondisi objektif lembaga permusyawaratan dan lembaga
perwakilan, dan identifikasi aspek-aspek yang memerlukan penyempurnaan;
Bab IV MATERI RANCANGAN UNDANG-UNDANG, berisi uraian
tentang materi penyempurnaan dan susunan rancangan undang-undang; dan
Bab V PENUTUP.
BAB II
ARAH DAN TUJUAN SERTA CAKUPAN PENYEMPURNAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 22
TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MPR, DPR, DPD, DAN DPRD
kerjasama dan sinergitas antara DPR dan DPD. Bentuknya dapat berupa
penguatan fungsi MPR.
B. Cakupan penyempurnaan UU Nomor 22 Tahun 2003
Salah satu ciri sistem presidensial adalah berlaku dan tegaknya prinsip
pemisahan kekuasaan di antara tiga cabang kekuasaan utama yakni
eksekutif-legislatif-yudikatif dan terutama antara lembaga eksekutif
dan legislatif . Melalui pemisahan kekuasaan tersebut diharapkan dapat
ditegakkan prinsip check and balances di antara cabang-cabang kekuasaan
pemerintahan.. Problematik sistem presidensial hasil amandemen atas
konstitusi kita dewasa ini adalah bahwa prinsip checks and balances itu
sulit ditegakkan karena presiden yang memperoleh mandat dan legitimasi
langsung dari rakyat tidak memiliki semacam hak veto untuk menolak UU
yang telah disepakati oleh DPR. Di sisi lain, UU yang telah disepakati
oleh pemerintah dan DPR tetap bisa berlaku sebagai hukum positif
meskipun tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari. Selain itu,
konstitusi semestinya pula mengakomodasi prinsip checks and balances
yang sama dalam relasi intra-parlemen, yaitu antara DPR dan DPD. Jelas
sekali bahwa penataan relasi presiden dan parlemen (dalam hal ini DPR
dan DPD), dan relasi DPR-DPD seperti diamanatkan oleh konstitusi hasil
amandemen, cenderung tidak akan menghasilkan sistem presidensiil yang
kuat, stabil, dan efektif. Sebaliknya, yang muncul adalah praktik tata
kelola pemerintahan yang cenderung parlementer dan atau campur-aduk
antara obsesi presidensialisme di satu pihak dan praktik
parlementarianisme di pihak lain. Oleh karena itu, pembentukan sistem
pemerintahan presidensial yang kuat dan efektif pada dasarnya tak bisa
dipisahkan dari kontribusi sistem legislatif atau keparlemenan yang
sinergis dan efektif pula.
Paling tidak ada empat argumen kesaling-keterkaitan antara sistem
pemerintahan di satu pihak dan sistem perwakilan di pihak lain.
Pertama, berbeda dengan sistem parlementer di mana fokus segenap proses
politik berpusat pada parlemen, maka di dalam sistem presidensial
lembaga eksekutif berbagi peranan dan fungsi secara relatif tegas dan
jelas dengan lembaga legislatif. Kedua, konsisten dengan argumen
pertama, presiden dan parlemen masing-masing memiliki tanggung jawab
secara terpisah sekaligus secara bersama-sama dalam penguatan dan
efektifitas sistem pemerintahan presidensial. Ketiga, konsisten dengan
dua argumen sebelumnya, tanggung jawab secara terpisah – dalam
fungsinya masing-masing —sekaligus bersama-sama tersebut hanya dapat
ditegakkan apabila relasi antara presiden dan parlemen dibangun di atas
prinsip checks and balances. Keempat, sistem legislatif yang dapat
melembagakan tanggung jawab secara bersama-sama, sinergis dan efektif
hanya dapat diwujudkan apabila terbangun pola relasi dan kerjasama yang
sinergis di antara bagian-bagian parlemen.
Dalam kaitan ini, penguatan sistem perwakilan dimaksudkan sebagai upaya
membangun sistem perwakilan yang tidak hanya koheren dan konsisten
dengan pilihan sistem pemerintahan presidensiil, melainkan juga
mendukung dan memperkuatnya. Tampak di sini bahwa terdapat empat konsep
utama yang saling terkait satu satu lain untuk membangun sistem
perwakilan demikian, yaitu sinergitas, efektifitas, akuntabilitas, dan
produktifitas. Sistem perwakilan yang sinergis diperlukan bukan saja
dalam rangka efektifitas fungsi setiap lembaga parlemen (DPR dan DPD),
melainkan juga untuk meningkatkan kualitas akuntabilitas di satu pihak
dan produktifitas di pihak lain.
Akuntabilitas adalah konsep yang tak terpisahkan dari keberadaan setiap
lembaga perwakilan. DPR sebagai parlemen yang mewakili rakyat, DPD yang
mewakili wilayah (propinsi), dan para anggotanya yang memperoleh mandat
tersebut dapat dikatakan akuntabel apabila dalam melaksanakan fungsi,
kewenangan, dan hak-haknya berorientasi kepada kepentingan rakyat
selaku pemberi mandat melalui melalui pemilihan umum. Sedangkan
produktifitas berhubungan dengan tingkat pencapaian kinerja
keparlemenan dalam hitungan produk kebijakan yang dihasilkan selama
masa kerja parlemen.
Dewasa ini sinergitas parlemen belum terbangun karena DPR dan DPD
cenderung bekerja sendiri-sendiri. Konstitusi memang membatasi
kewenangan DPD, namun peran dan kontribusi DPD sebenarnya dapat
dioptimalkan melalui mekanisme relasi dan kerjasama yang lebih baik
antara DPR dan DPD. Efektifitas DPR dan DPD sebagai bagian dari lembaga
parlemen nasional relatif belum optimal karena struktur alat
kelengkapan kedua Dewan belum mendukung efektifitas kerja keparlemenan.
Berkaitan dengan kebutuhan penyempurnaan sistem perwakilan, maka dalam
jangka pendek paling kurang ada empat arah sekaligus tujuan yang hendak
dicapai untuk memperkuat sistem perwakilan yang masih bersifat
“semi-bikameral” yang berlaku dewasa ini, yaitu: (1) peningkatan
efektifitas keparlemenan DPR; (2) penguatan akuntabilitas lembaga dan
anggota parlemen; (3) penataan hubungan kerja DPR dan DPD; dan (4)
peningkatan efektifitas fungsi MPR.
Dalam konteks substansi hasil amandemen, di satu pihak hendak dibangun
sistem pemerintahan presidensiil yang kuat, stabil, dan efektif, namun
di sisi lain obsesi besar tersebut tidak didukung oleh struktur
perwakilan bicameral yang kuat pula. Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) yang semestinya merupakan salah satu “kamar” dari sistem
perwakilan dua-kamar, bahkan tak jelas karena kekuasaan dan hak-haknya
yang sangat terbatas. Tidak mengherankan jika para anggota DPD dewasa
ini mempertanyakan relevansi keberadaan mereka dalam sistem yang
berlaku jika tidak ada komitmen politik untuk mengubahnya secara
mendasar (DPD RI, 2006). Sebaliknya, para politisi di Panitia Ad-Hoc I
MPR selaku penyusun konstitusi justru makin memperkuat posisi,
kedudukan, kekuasaan, dan hak-hak DPR melebihi yang seharusnya dimiliki
oleh DPR dalam konteks sistem presidensial.
Selain itu, UUD 1945 hasil amandemen tidak melembagakan berlakunya
mekanisme checks and balances di antara cabang-cabang kekuasaan
pemerintahan utama, yakni lembaga eksekutif-legislatif pada khususnya
dan eksekutif-legislatif-yudikatif pada umumnya. Di satu pihak, suatu
UU dapat tetap berlaku apabila dalam waktu 30 hari tidak disahkan oleh
Presiden, namun di pihak lain Presiden tidak memiliki semacam hak veto
untuk menolak UU yang telah disetujui DPR. Padahal tegaknya prinsip
checks and balances bersifat mutlak karena menjadi salah satu fondasi
utama bagi stabilitas dan efektifitas sistem pemerintahan presidensial.
Urgensi prinsip saling mengawasi secara seimbang itu diabaikan pula
oleh konstitusi hasil amandemen dalam hal relasi DPR sebagai
representasi rakyat dan DPD sebagai representasi wilayah.
Sistem pemerintahan yang terkonstruksi dalam UUD 1945 adalah sistem
pemerintahan presidensiil, yang bercirikan keberlakuan dan penegakan
prinsip pemisahan kekuasaan di antara tiga cabang kekuasaan utama yakni
legislatif, eksekutif, dan yudikatif, dan secara khusus antara lembaga
eksekutif dan legislatif . Melalui pemisahan kekuasaan tersebut
diharapkan dapat ditegakkan prinsip check and balances di antara
22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD,
terdapat paling sedikit enam arah sekaligus tujuan yang hendak dicapai
untuk memperkuat sistem perwakilan yang berlaku dewasa ini, yaitu:
1. peningkatan efektifitas persidangan MPR;
2. peningkatan efektifitas pelaksanaan tugas, wewenang, dan kewajiban DPR;
3. penguatan fungsi dan hak, serta efektifitas pelaksanaan tugas, wewenang, dan kewajiban DPD;
4. penataan hubungan kerja DPR dan DPD;
5. peningkatan akuntabilitas dan kinerja anggota DPR dan DPD;
6. pemantapan kedudukan dan fungsi DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah;
dan
7. peningkatan akuntabilitas dan kinerja anggota DPRD.
Sesuai dengan Pasal 2 UUD 1945, MPR sebagai institusi negara yang
terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD memiliki tugas dan wewenang
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 dan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3)
UUD 1945. Dari sudut kelembagaan, MPR mempunyai kedudukan dan
kewenangan tersendiri, yang berbeda sama sekali dengan kedudukan dan
kewenangan DPR dan DPD. MPR bukan hanya merupakan persidangan gabungan
anggota DPR dan anggota DPD, tetapi juga adalah lembaga sendiri.
Oleh karena itu, keberadaan MPR sebagai lembaga negara yang oleh
konstitutisi diberi tugas dan wewenang kenegaraan yang secara tegas
berbeda dengan tugas dan wewenang DPD dan DPD tetap perlu ditingkatkan
efektititasnya, terutama efektifitas persidangan MPR.
Efektifitas lembaga perwakilan menunjuk pada kapasitas lembaga tersebut
dalam mengoptimalkan peranan fraksi, komisi dan alat kelengkapan
lainnya dalam mendukung kinerja parlemen sebagai lembaga perwakilan
rakyat/daerah dan mitra eksekutif. Dalam konteks sistem pemerintahan
presidensiil, prinsip checks and balances tidak akan tegak apabila
kinerja keparlemenan tidak efektif.
Agenda penguatan akuntabilitas parlemen, baik secara institusi maupun
anggota secara individual, perlu dilakukan dalam rangka mendukung
penguatan sistem presidensiil. Akuntabilitas institusi makin kuat
apabila pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan DPR
berorientasi pada penguatan sistem presidensiil. Di sisi lain,
akuntabilitas anggota secara individual makin kuat apabila kinerja para
anggota DPR berorientasi pada penguatan akuntabilitas Dewan secara
institusi.
Penguatan kapasitas parlemen dalam fungsi legislasi juga perlu
dilakukan melalui pengadaan staf ahli yang profesional dan bersifat
permanen. Beban kerja DPR yang sangat berat sebagai akibat
tekanan fungsi legislasi yang berada di pundaknya, mengharuskan Dewan
memiliki staf ahli permanen yang dibiayai oleh negara. Penataan ulang
pengaturan hak recall bagi Pimpinan dan anggota DPR dengan perluasan
kewenangan dan optimalisasi fungsi Badan Kehormatan adalah juga
penting. Satu hal yang dapat dijadikan pertimbangan adalah bahwa
perubahan sistem pemilu legislatif menuju sistem proporsional terbuka
penuh meniscayakan dikuranginya peranan partai dalam recalling terhadap
anggota Dewan. Hal yang sama secara proporsional juga berlaku bagi
lembaga dan anggota DPD dan DPRD sesuai dengan kedudukan dan fungsi
masing-masing.
Penataan kembali kunjungan anggota parlemen (DPR, DPD, dan DPRD) pada
waktu reses supaya berkunjung langsung ke daerah pemilihannya dan
berkomunikasi intensif dengan konstituennya juga sangat penting.
Terkait dengan keberadaan DPD, masih terdapat ruang yang memadai bagi
pengaturan dan penataan relasi kerja antara DPR dan DPD. Arahnya adalah
penguatan DPD sebagai mitra DPR dalam kerangka sistem perwakilan.
Melalui penataan kembali hubungan kerja DPR-DPD diharapkan kinerja
kedua Dewan secara sinergis di satu pihak dan efektifitas sistem
pemerintahan presidensiil di pihak lain dapat meningkat.
BAB IV
MATERI RANCANGAN UNDANG-UNDANG
A. Materi Penyempurnaan
1. Persidangan dan pengambilan keputusan MPR
Seiring dengan perkembangan dan dinamika politik bangsa dan negara
dewasa ini, maka patut diperkirakan bahwa persidangan dan pengambilan
keputusan di MPR tidak selalu akan berlangsung dengan mulus.
Kemungkinan terjadinya kebuntuan (deadlock) dalam pengambilan keputusan
sangatlah besar. Oleh karena itu, pengaturan tentang persidangan dan
pengambilan keputusan MPR disempurnakan dengan memberi kemungkinan
dilakukannya pengambilan keputusan dengan pemungutan suara ulang.
Apabila karena sifat masalah yang dihadapi tidak mungkin dicapai
keputusan dengan mempergunakan pemungutan suara sekali jalan, dilakukan
pemungutan suara ulang. Apabila dalam pemungutan suara ulang diperoleh
hasil sama dengan hasil pemungutan suara sebelumnya, maka pengambilan
keputusan ditangguhkan sampai rapat berikutnya, atau usul yang
bersangkutan ditolak.
2. Susunan DPR
Sesuai dengan sistem pemilihan yang akan digunakan dalam pemilihan umum
anggota DPR dan DPRD, yaitu sistem proporsional dengan daftar terbuka
penuh dengan penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara
terbanyak, maka berbeda dengan rumusan UU 22/2003 yang menyatakan bahwa
“DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang
dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum”, RUU ini menegaskan bahwa
“DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang
dipilih melalui pemilihan umum”.
3. Fungsi DPR
Dalam rangka
pemantapan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara berdasarkan UUD
1945, khususnya dalam relasi kenegaraan antara DPR dan Presiden, perlu penegasan makna fungsi
DPR dalam kerangka kebersamaan penyelenggaraan
pemerintahan negara dengan Presiden. Sehingga, dalam RUU ini dirumuskan
pengaturan tentang fungsi DPR sebagai berikut:
a. fungsi legislasi dilaksanakan dalam pembentukan undang-undang dengan persetujuan bersama
Presiden;
b. fungsi anggaran dilaksanakan dalam bentuk
pemberian persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas
undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dengan
persetujuan bersama Presiden;
c. fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan
atas pelaksanaan undang-undang dan anggaran pendapatan dan belanja
negara.
4. Tugas dan Wewenang DPR
Dalam rangka pemantapan sistem perwakilan berdasarkan UUD 1945 Hasil
Amandemen, khususnya dengan keberadaan DPD sebagai lembaga perwakilan
daerah, maka perlu dilakukan penyesuaian tugas dan wewenang DPR,
terutama yang terkait langsung dengan DPD. Dalam RUU ini,
direkomendasikan rumusan tambahan tugas dan wewenang DPR sebagai
berikut:
a. menerima rancangan undang-undang yang diusulkan
oleh DPD yang berkaitan dengan otonomi daerah, pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah;
b. membahas rancangan undang-undang sebagaimana
dimaksud pada huruf c bersama DPD sebelum dimulainya pembahasan
oleh DPR bersama Presiden sesuai tata tertib DPR;
c. membahas pertimbangan DPD atas rancangan
undang-undang mengenai anggaran pendapatan dan belanja negara dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
agama;
d. membahas bersama DPD rancangan undang-undang yang
diusulkan oleh Presiden dan/atau DPR, berkaitan dengan otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sebelum dimulainya
pembahasan oleh DPR dengan Presiden sesuai tata tertib DPR.
5. Hak DPR
DPR sebagai lembaga perwakilan yang berkedudukan sebagai lembaga negara
memiliki hak konstitusional berupa hak interpelasi, angket, dan
menyatakan pendapat. Penggunaan hak tersebut penting diatur dalam
undang-undang dengan pertimbangan perlunya dasar legitimasi yang kuat
bagi DPR dalam menggunakan haknya, sehingga di dalam RUU dirumuskan
sebagai berikut:
luar biasa yang terjadi di tanah air atau situasi dunia internasional
disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut
pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.
2) Hak menyatakan pendapat
diajukan oleh paling sedikit 15 (lima belas) orang anggota DPR kepada
pimpinan DPR dan mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPR
yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah
anggota DPR dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari
jumlah anggota DPR yang hadir.
6. Kewajiban Anggota DPR
Dalam rangka peningkatan akuntabilitas dan kinerja lembaga dan anggota
DPR, dipandang perlu merumuskan aturan yang menyangkut kewajiban
anggota DPR untuk dapat memenuhi kewajibannya dalam menegaskan
"menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat”. Sehingga, di dalam RUU dirumuskan bahwa disamping
kewajiban-kewajiban yang lain, anggota DPR juga mempunyai kewajiban:
a. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala;
b. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat.
7. Pimpinan DPR
Sejalan dengan penerapan sistem pemilihan proporsional yang telah
dikemukakan sebelumnya, RUU ini juga menganut prinsip perlunya
memberikan reward secara politik bagi partai politik yang berhasil
memperoleh hasil pemilihan umum yang lebih baik dari partai politik
lainnya. Sehingga, berbeda dengan ketentuan dalam UU Nomor 22 Tahun
2003, di dalam RUU ini dirumuskan ketentuan bahwa:
a. Pimpinan DPR terdiri atas seorang Ketua dan tiga
orang wakil ketua yang berasal dari partai politik berdasarkan urutan
perolehan kursi terbanyak di DPR;
b. Dalam hal terdapat lebih dari satu partai
politik yang memperoleh kursi sama, Ketua dan wakil ketua
ditentukan berdasarkan urutan hasil perolehan suara terbanyak dalam
pemilu;
c. Dalam hal terdapat lebih dari satu partai
politik yang memperoleh suara sama, Ketua dan wakil ketua
ditentukan berdasarkan persebaran perolehan suara.
Sementara itu, pengaturan tentang pemberhentian Pimpinan DPR juga
dipandang perlu disempurnakan, khususnya dalam kaitan dengan
akuntabilitas dan kinerjanya, serta dengan mempertimbangkan keberadaan
mereka sebagai kader partai politik. Oleh karena itu, pengaturan
tentang pemberhentian Pimpinan DPR dirumuskan sebagai berikut:
a. Pimpinan DPR berhenti dari jabatannya karena:
1) meninggal dunia;
2) mengundurkan diri; atau
3) diberhentikan.
lembaga perwakilan daerah, maka dalam RUU ini juga dipandang perlu
dilakukan penyesuaian dan tambahan tugas dan wewenang DPD, dengan
rumusan sebagai sebagai berikut:
a. ikut serta dalam penyusunan program legislasi
nasional yang berkaitan dengan otonomi daerah, pembentukan, pemekaran
dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah;
b. ikut membahas bersama DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagaimana
dimaksud pada huruf a;
yang diajukan oleh Presiden dan DPR, yang berkaitan dengan otonomi
daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat
dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
d. bersama DPR membahas pertimbangan DPD atas
rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan, dan agama;
e. menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta pelaksanaan undang-undang
APBN, pajak, pendidikan, dan agama, kepada DPR sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Sedikit berbeda dengan rumusan UU Nomor 22 Tahun 2003 yang menegaskan
keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU pada awal pembicaraan Tingkat I,
maka dalam RUU ini ditegaskan bahwa pelaksanaan tugas dan wewenang di
atas dilakukan sebelum pembahasan RUU dalam rapat kerja antara DPR
dengan Presiden sesuai tata tertib DPR.
10. Hak DPD
Dalam rangka penguatan DPD, dan sesuai dengan pasal 22D UUD 1945, dipandang perlu
menambah hak DPD sebagai
berikut:
a. memberikan pertimbangan kepada DPR dalam
pembahasan rancangan undang-undang mengenai anggaran pendapatan dan
belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama;
b. melakukan pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya
alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak,
pendidikan, dan agama.
11. Kewajiban Anggota DPD
Dalam rangka peningkatan akuntabilitas dan kinerja lembaga dan anggota
DPD, dipandang perlu merumuskan aturan yang menyangkut kewajiban
anggota DPD untuk dapat memenuhi kewajibannya dalam menegaskan
"menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi
Dalam rangka penggantian antarwaktu anggota DPD, dirumuskan ketentuan bahwa calon pengganti
adalah:
a. calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak
urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara calon
anggota DPD dari provinsi yang sama;
b. apabila calon pengganti sebagaimana dimaksud pada
huruf a mengundurkan diri, meninggal dunia, atau diberhentikan,
diajukan calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak urutan
berikutnya dalam peringkat perolehan suara calon anggota DPD dari
provinsi yang sama.
Dalam rangka penggantian antarwaktu anggota DPRD provinsi, dirumuskan ketentuan bahwa calon
pengganti adalah:
a. calon anggota DPRD provinsi yang memperoleh suara
terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari
partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama;
b. apabila calon pengganti sebagaimana dimaksud pada
huruf a mengundurkan diri, meninggal dunia, atau diberhentikan,
diajukan calon pengganti pada urutan peringkat perolehan suara
berikutnya dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang
sama.
Dalam rangka penggantian antarwaktu anggota DPRD kabupaten/kota, dirumuskan ketentuan bahwa
calon pengganti
adalah:
a. calon anggota DPRD kabupaten/kota yang memperoleh
suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan
suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama;
b. apabila calon pengganti sebagaimana dimaksud pada
huruf a mengundurkan diri, meninggal dunia, atau diberhentikan diajukan
calon pengganti pada urutan peringkat perolehan suara berikutnya dari
partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
Tata cara pengajuan penggantian antarwaktu, verifikasi terhadap
persyaratan calon pengganti antarwaktu, dan pengesahan calon pengganti
antarwaktu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
31. Pemberhentian Sementara Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
Untuk mengantisipasi kemungkinan selama masa jabatannya anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota tersangkut masalah hukum,
khususnya sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum berupa perkara
tindak pidana umum dan perkara tindak pidana khusus, maka dipandang
BAB V
PENUTUP
Demikianlah Naskah Akademik ini dibuat untuk dijadikan acuan dalam
perumusan dan pembahasan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
DPD, dan DPRD.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1995.
2. Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multipartism,
and Democracy: The Difficult Combination,” Comparative Political
Studies, 26, 1993.
3. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD, dan
DPRD.
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun
2005-2025.
10. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 tentang
Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
11. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2005 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman
Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
12. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2005-2009.