Anda di halaman 1dari 6

39

Sekarang ini berbagai cara dilakukan oleh masyarakat untuk


mengurangi bakteri yang berkembang biak pada organ kewanitaan, salah
satunya adalah pemakaian sabun pembersih kewanitaan. Dalam dunia
industri, banyak produk yang menawarkan berbagai macam merk sabun
pembersih kewanitaan. Dari sekian banyak merk yang beredar, rata-rata
memiliki bahan dasar ekstrak daun sirih, kombinasi laktoserum dan asam
laktat, serta Provide Iodine. Pemahaman umum di masyarakat
menganggap bahwa menggunakan sabun pembersih kewanitaan dapat
dilakukan untuk membunuh bakteri dan jamur yang terdapat pada vagina.
Pada dasarnya membersihkan vagina dengan air bersih saja sudah
cukup, karena vagina memiliki mekanisme sendiri untuk pembersihan.
Hal ini juga dilakukan untuk mencegah iritasi dan alergi oleh karena
penggunaan benda asing.
Sikap untuk menjaga kebersihkan tubuh khususnya daerah genetalia
memang perlu untuk diperhatikan, terutama untuk para remaja yang
sedang mengalami masa pubertas. Karena remaja dengan sikap yang
kurang memperhatikan kebersihan genetalia cenderung dapat mengalami
ketidaknyamanan pada organ genetalia dan penyakit kandungan yang
dapat menyertainya.
Pada penelitian ini, seluruh siswi kelas XI di SMA Negeri 1
Dukupuntang

yang

menggunakan

sabun

pembersih

kewanitaan,

menggunakan sabun tersebut lebih dari 1 kali dalam setiap bulannya.

2. Kejadian Keputihan
Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 3,dapat diketahui bahwa dari
98 responden, 38 orang (38,8%) mengalami keputihan patologis dan 60
39

40

orang (61,2%) lainnya mengalami keputihan fisiologis. Sehingga dapat


diketahui mayoritas kejadian keputihan pada siswi kelas XI di SMA
Negeri 1 Dukupuntang mengalami keputihan fisiologis.
Keputihan adalah nama gejala yang diberikan kepada cairan yang
dikeluarkan dari alatalat genital yang tidak berupa darah (Sarwono,
2005,p.271).

Keputihan

sendiri

bukanlah

penyakit,

melainkan

manifestasi dari penyakit kandungan. Keputihan diklasifikasikan menjadi


dua bagian, yaitu keputihan fisiologis dengan ciri berwarna kuning, atau
putih kental, tidak berbau tanpa disertai keluhan (misalnya gatal, nyeri,
rasa terbakar, dan sebagainya). Keputihan fisiologis sering ditemukan
pada saat menjelang dan sesudah menstruasi atau pada saat stres dan
kelelahan. Selanjutnya keputihan patologis dengan ciri jumlahnya
banyak, timbul terus menerus, berwarna kuning, hijau, abu-abu,
menyerupai susu atau yoghurt disertai adanya keluhan seperti gatal,
panas,nyeri, serta berbau (apek, amis, dan sebagainya) (Wijayanti, 2009).
Menurut Mamafia (2009), beberapa pemicu keputihan diantaranya,
personal hygiene yang kurang; pemakaian pembersih yang tidak sehat;
bakteri, kasus keputihan karena bakteri biasanya terjadi pada keadaan
seperti kehamilan, penggunaan IUD, dan hubungan seksual dengan
berganti pasangan; jamur, jenis jamur yang dapat menimbulkan
keputihan yaitu jamur Candida albican. Umumnya diicu oleh faktor dari
luar tubuh seperti kehamilan, kegemukan, pemakaian pil KB, daya tahan
tubuh rendah dan sebagainya; parasit, infeksi parasit Trichomonas
vaginalis termasuk kedallam golongan Penyakit Menular Seks (PMS)

41

karena penularannya terjadi lewat hubungan seksual, virus, keputihan


yang karena virus dapat disebabkan oleh penyakit kelamin seprti herpes,
HIV/AIDS, dan condyloma.
Berdasarkan hasil penelitian Kumalasari (2005), kejadian keputihan
di Indonesia semakin meningkat. Pada tahun 2002 terdapat 50% wanita
Indonesia pernah mengalami keputihan, sedangkan tahun 2003 terdapat
60% wanita Indonesia yang pernah mengalami keputihan, dan pada tahun
2004 hampir 70% wanita Indonesia pernah mengalami keputihan
setidaknya satu kali dalam seumur hidup.
Perilaku yang dapat dilakukan untuk mencegah keputihan adalah
dengan menjaga kebersihan organ kewanitaan. Diantaranya menghindari
pemakaian bedak pada organ kewanitaan, mengeringkan vagina setelah
buang air kecil atau besar, penggunaan celana dalam dengan bahan yang
menyerap keringat, tidak menggunakan sabun pembersih kewanitaan,
dan tidak menggunakan celana ketat.
Berdasarkan hasil penelitian ini, terdapat siswi kelas XI di SMA
Negeri

Dukupuntang

yang

mengalami

keputihan

patologis.

Pengetahuan siswi mengenai keputihan sudah dirasa cukup untuk


membedakan antara keputihan fisiologis dan kepuihan patologis, tetapi
mereka belum memehami tindak lanjut yang harus dilakukan apabila
mengalami hal tersebut. Banyak diantara mereka yang mengalami
keputihan patologis yang belum pernah sama sekali melakukan
pemeriksaan lanjut kepada tenaga kesehatan. Mayoritas alasannya adalah
karena segan atau malu untuk memeriksakan diri ke tenaga kesehatan.
SMA Negeri 1 Dukupuntang berada di wilayah kerja Puskesmas

42

Dukupuntang. Program KKR yang dilaksanakan oleh UPT Puskesmas


Dukupuntang belum merata dilakukan ke seluruh sekolah-sekolah,
termasuk SMA Negeri 1 Dukupuntang yang belum terpapar oleh
Puskesmas.

B. Analisis Bivariat
Hubungan Penggunaan Sabun Pembersih Kewanitaan Dengan Kejadian
Keputihan Pada Siswi Kelas XI Di SMA Negeri 1 Dukupuntang Tahun
2016
Berdasarkan hasil uji statistik yang dilakukan dengan menggunakan uji
Chi-Square diperoleh P value sebesar 0,026 sedangkan = 0,05. Karena P
value < sehingga keputusannya hipotesis penelitian diterima, artinya
terdapat hubungan antara penggunaan sabun pembersih kewanitaan denga
kejadian keputihan pada siswi kelas XI di SMA Negeri 1 Dukupntang tahun
2016.
Secara ilmiah di dalam vagina terdapat berbagai macam bakteri, yaitu
95% laktobasillus dan 5% bakteri pathogen. Pemakaian sabun pembersih
kewanitaan memang dapat membunuh bakteri namun, bukan hanya bakteri
yang bersifat pathogen tetapi juga bakteri baik dapat mati karena pemakaian
sabun pembersih kewanitaan. Jika keseimbangan bakteri baik dan bakteri
yang bersifat pathogen ini terganggu, akan terdapat efek negatif yang dapat
dirasakan.
Selain itu, jika dipakai terlalu sering zat-zat kimianya lama-lama akan
menggerus mukosa vagina. Apabila mukosa vagina menipis akan

43

menimbulkan luka, sehingga kuman akan lebih mudah untuk menginfeksi.


Menurut Chandra (2013) salah satu penyebab terjadinya keputihan adalah
sering menggunaan sabun pembersih kewanitaan.
Hal tersebut dijelaskan juga oleh Baird, dkk (1996) dalam American
Journal of Public health menyebutkan penggunaan cairan pembersih organ
kewanitaan dapat memperbesar risiko terjadi infeksi pada vagina, karena
cairan

tersebut

akan

mengakibatkan

bakteri

alami

yang

berguna

membersihkan area vagina menjadi mati dan pH keseimbangan pada vagina


terganggu (Anissa,2011). Walaupun sabun pembersih kewanitaan yang
beredar dimasyarakat telah menyeimbangkan pH vagina, namun tidak baik
apabila digunakan secara terus menerus.
Vagina merupakan organ sensitif yang memerlukan perhatian khusus
karena retan terinfeksi jamur. Tidak jarang wanita menggunakan sabun untuk
membersihkan daerah vagina. Namun ternyata pemakaian sabun secara
berlebihan untuk vagina justru akan memberikan dampak yang kurang baik.
Menurut Febriansyah (2010) terlalu sering menggunakan sabun pembersih
justru merangsang timbulnya keputihan, terutama sabun kosmetik yang
memilliki PH yang tidak sesuai dengan PH vagina. Perubahan lingkungan
dalam organ ini menyebabkan kuman yang seharusnya normal namun
menjadi lebih banyak pertumbuhannya, sehingga menimbulkan keputihan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Suryandari (2013) dengan
judul Hubungan Pemakaian Sabun Pembersih Kewanitaan Dengan
Terjadinya keputihan Pada Wanita Usia Subur (WUS) Di Desa Karang Jeruk

44

Kecamatan Jatirejo Kabupaten Mojokerto. Dari penelitian tersebut diketahui


bahwa 60 responden (39,0%) yang memakai sabun pembersih kewanitaan
mengalami keputihan patologis 33 responden (21,5 %) dan hampir seluruh
responden yang tidak memakai sabun pembersih kewanitaan mengalami
keputihan fisiologis 92 responden (60 %).

Anda mungkin juga menyukai