Anda di halaman 1dari 8

Tugas Terstruktur

Sejarah Islam Asia Tenggara

Dosen Pengampu
M. Fahli Zatra Hadi

PERKEMBANGAN ISLAM DI FILIPINA

Disusun Oleh :
Asra Huda
Maini Riza
Mulya Candra Deva

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filipina adalah sebuah Negara kepulauan yang terletak dibarat Samudra Pasifik.
Penduduknya berjumlah 90 juta jiwa. 12 juta di antaranya adalah muslim. Antara tahun 1450 dan
1515, dua basis wilayah muslim berdiri, yaitu di pulau Sulu dan Mindano.

Minoritas muslim di Filipina menghadapi masalah yang sama dengan minoritas muslim
di Muangthai. Problem yang di hadapi muslim Filipina dan Muangthai adalah problem kelompok
minoritas, yang harus hidup berdampingan secara damai dengan non Muslim dalam Negara yang
sama. Mereka berada dalam dilemma bagaimana melakukan rekonsiliasi antara keyakinan islam
fundamental mereka dengan perlunya menjadi warganegara yang baik di Negara-negara yang
didominasi oleh non muslim.
Secara geografis wilayah Filipina terbagi dalam dua wilayah kepulauan besar, yaitu
gugusan kepulauan Luzon di sebelah utara dan kepulauan Mindano di sebelah selatan. Minoritas
muslim Filipina, atau lebih dikenal dengan Muslim Moro, atau bangsa Moro, adalah komunitas
muslim yang mendiami kepulauan Mindano Sulu beserta gugusannya di Filipina bagian Selatan.
B. Rumusan Masalah
Untuk penjelasan dari makalah ini kami akan membuat rumusan masalahnya terlebih
dahulu, diantara rumusan masalah itu ialah :
A. Bagaimanakah perkembangan islam di Filipina ?
B. Negara mana sajakah yang menjajah Filipina?
C. Mengapa islam bisa tetap ada di Filipina?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah supaya pembaca dapat memahami beberapa
hal diantaranya adalah :
A. Memahami perkembangan islam di Filipina.
B. Mengetahui Negara-negara yang pernah menjajah Filipina.
C. Memahami sebab dan akibat islam itu bisa tetap ada di Filipina.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Islam Di Philifina
1. Sejarah Masuknya Islam di Philifina
Islam masuk ke wilayah Philifina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Minando pada
tahun 1380. Orang pertama yang memprkenalkan islam ke Sulu adalah Tuan Mushaika yang
diduga telah sampai di Sulu pada abad ke-13. Berikutnya yang datang menyebarkan agama islam
di Sulu adalah ulama Arab bernama Karimul Makhdum pada abad ke-14. Ia diterima dengan
baik oleh komunitas muslim Buansa. Aktivitas keagamaan pada masa Tuan Mashaika
memperkuat pertumbuhan komunitas islam yang dibentuk sebelumnya.
Pada awal abad ke-15, penyebar islam lainnya datang ke Sulu yaitu Raja Baginda, ia
adalah seorang pangeran dari Minang Kabau. Menurut cerita pada awal Raja Baginda datang ke
kepulauan Sulu, masyarakat setempat ingin menenggelamkan kapalnya, namun setelah
masyarakat tahu bahwasanya dia seorang muslim, masyarakat menyambut kedatangannya
dengan senang hati dan ramah. Raja Baginda sampai di kepulauan Sulu sepuluh tahun setelah
berhasil menyebarkan islam di Kepulauan Zamboanga dan Barsilan. Atas hasil kerja kerasnya,
kebungsuwan Mangin Danao raja terkenal dari Mangin Danao memeluk islam. Islam kemudian
tersebar kepulau Lanao dan bagian utara Zamboanga serta daerah pantai lainnya. Sepanjang garis
pantai kepulauan philifina semuanya berada dibawah kekuasaan pemimpin-pemimpin islam yang
bergelar Datu atau Raja. Dari sinilah awal peradaban islam di wilayah ini. Pada masa ini, sudah
dikenal sistem pemerintahan dan kodifikasi hukum yaitu Manguindanao Code of Law atau
Luwaran yang didasarkan atas Minhaj dan Fath Al-Qarrib al Intifa dan Mirat At-Thullab. Raja
Bagindo yang mengembara bersama dengan pengikutnya berhasil memperkenalkan unsur politik
ke dalam proses Islamisasi. Ia bahkan menunjuk menantunya, Syarif Abu bakar seorang ulama
arab untuk melanjutkan misinya dalam penyebaran islam.
Syarif Abu Bakar merupakan orang arab kedua yang menyebarkan islam ke Sulu pada
tahun 1450. Ia mencapai Sulu melalui Palembang dari Brunei. Ia diangkat oleh Raja Baginda
sebagai Kadi dan Imam. Ia memperkuat kekuasaan politik dengan memperkenalkan sistem
politik kesultanan, dimana ia sendiri bertindak selaku sultan pertama dikesultanan itu. Pada tiga
puluh tahun pertama pemerintahannya ia berhasil membangun sejumlah masjid dan madrasah. Ia
juga berhasil mengislamkan orang Buranun, satu suku masyarakat pegunungan di Sulu.
Penyebaran islam di Mangindanao dan Lanao pada umumnya dikaitkan dengan Syarif
kebungsuwan, ia diduga sampai di Mindano pada awal abad ke-16. Sama halnya dengan Raja
Baginda, ia juga seorang pangeran yang datang bersama para pengawal dan pengikutnya. Ketika
itu ia berlabuh di sungai Pulangi, ia sudah menemukan komunitas muslim diwilayah ini.
Kemudian mereka membangun kota Cotabato dan Manguindanao.

Proses islamisasi dilakikan oleh para ulama dan pedagang yang menikah dengan wanita
local, melahirkan generasi muslim yang pada gilirannya membentuk komunitas muslim. Sosok
pemimpin poloitik muslim datang belakangan dan memperkenalkan sistem politik islam,
pendidikan, hukum, dan institusi islam. Karena itu proses islamisasi tidak hanya terbatas pada
aspek idiologi dan hukum semata tetapi sekaligus meliputi bidang pendidikan dan politik. Juga
terlihat aliansi antara keluarga kerajaan Sulu, Manguindanao, Lanao, Borneo dan Maluku dalam
memperkuat Syiar dan kesadaran islam dalam masyarakat Philifina selatan.
B. Islam Pada Masa Kolonial
1. Masa Kolonial Spanyol
Negara Philifina berasal dari daerah-daerah yang telah dipersatukan Spanyol
sebagai daerah jajahannya pada abad ke-16. Bangsa Spanyol datang menjajah Philifina pada
tanggal 16 Maret 1521. Kesultanan Sulu yang berdiri tahu 1450, saat itu telah berusia 71 tahun.
Ketika Legafzi sampai ditahun 1565, kesultanan ini sudah berumur 115 tahun. Islam menjadi
sandaran dan acuan sekaligus menjadi identitas mereka dalam melawan pihak kolonial.
Penduduk daerah selatan memperlihatkan suatu budaya yang khas dari kawasan tersebut.
Dipandang dari suku bangsa, maka mereka pada umunya adalah orang melayu baik budaya
maupun bahasanya. Orang spanyol menanamkan mereka yang beragama islam itu sebagai
bangsa Moro. Istilah Moro memperlihatkan suatu persaan persaingan dan permusuhan.
Hubungan orang Spanyol dengan Islam berlansung kira-kira tiga abad, dari tahun 1571
sampai 1898 tidak pernah menyenangkan karena orang Spanyol berusaha untuk memaksakan
agama Kristen kepada mereka, disamping ketidak mampuan Spanyol sendiri dari segi militer.
Selama dua abad berikutnya yang dilakukan Spanyol adalah menyerang saja akan tetapi tidak
pernah mendudukinya secara permanen.
Dalam usahanya untuk menguasai Philifina selatan kolonial Spanyol menerapkan
politik devide and rule (politik pecah belah dan kuasai). Tahun 1578 terjadi perang besar yang
melibatkan orang Philifina sendiri. Penduduk pribumi wilayah utara yang telah dikristenkan
dilibatkan dalam ketentaraan kolonial Spanyol, kemudian diadu domba dan disuruh berperang
melawan orang islam di selatan. Sehingga terjadi peperangan antara orang Philifina sendiri
dengan mengatas namakan misi suci. Dari itu timbul rasa benci dan curiga orang Kristen
Philifina terhadap bangsa Moro islam hingga sekarang.
Sekalipun gagal menduduki Mindano dan Sulu, Spanyol tetap menganggap kedua
wilayah itu merupakan bagian dari territorial. Secara tidak sah dan tak bermoral Spanyol menjual
menjual Philifina kepada Amerika Serikat seharga 20 juta dolar pada tahun 1898 melalui
perjanjian Traktat Paris.
2. Masa Kolonial Amerika Serikat
1898 kemenangan Amerika Serikat atas Spanyol menandai perpindahan
kekuasaan atas Philifina ketangan Amerika. Amerika datang ke Mindano dengan menampilkan
diri mereka sebagai seorang sahabat baik dan dapat dipercaya. Hal ini dibuktikan dengan
ditandatanganinya Traktat bates pada 20 agustus 1898. Amerika mengakui pemerintahan
sultanatas penduduk setempat, juga menjanjikan kebebasan beragama, kebebasan
mengungkapkan pendapat, dan kebebasan mendapatkan pendidikan bagi bangsa Moro, namun
itu semua hanya taktik agar orang islam tidak memberontak, karena pada saat itu Amerika tengah
disibukkan dengan pemberontakan kaum revolusioner Philifina Utara pimpinan Emilio
Aguinaldo.

Setelah kaum revolusioner kalah pada 1902, kebijakan Amerika Serikat di Mindano dan
Sulu bergeser kepada sikap campur tangan lansung dan penjajahan terbuka. Setahun kemudian
Mindano dan Sulu disatukan menjadi wilayah provinsi Moroland dan berada dibawah
pengawasan Amerika di Manila.
3. Masa Transisi (Peralihan)
1935 pemerintah persemakmuran Philifina terbentuk sebagai hasil kesepakatan
perjanjian antara Amerika Serikat dan pejuang nasionalis Philifina. Manuel Quezon (presiden
terpilih 1935-1944) menyatakan pada masyarakat Moro bahwa mereka para sultan dan datuk
tidak lagi memiliki tempat pada pemerintahan baru ini dan hukum nasional akan diberlakukan
pada setiap warga Negara tanpa melihat agamanya.
Pernyataan itu menimbulkan reaksi keras di masyarakat Moro, hingga sekitar seratus
lebih datuk dari suku Mindano mengirim surat kepada presiden AmerikaFranklin Delano
Rooseveli, mereka menyatakan ingin dipisahkan dari pemerintah persemakmuran dan memilih di
bawah perlindungan Amerika hingga mampu membentuk pemerintah sendiri. Hingga Philifina
merdeka pada 4 juli 1946 tuntutan bangsa Moro belum terwujud. Bahkan sikap pemerintah
Philifina yang mendeskriminasikan bangsa Moro semakin nyata.
Dibawah kepemimpinan seorang lulusan perguruan tinggi yang bernama Nurmisuri,
mereka membentuk Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF, Moro National Libration Front)
tujuan utamanya adalah memperjuangkan kemerdekaan penuh bagi bangsa Moro. MNLF
mendapatkan dukungan khusus dari orang-orang muslim Philifina yang menganggap gerakan ini
jihad untuk melawan rezim Marcos dan juga memiliki sayap militer yaitu BMA (Bangsa Moro
Army) yang anggotanya pemuda muslim Militan dan sering terlibat bentrokan senjata dengan
tentara Philifina.
Disamping mendapat dukungan domestic mereka juga dapat dukungan internasional
diantaranya dari Libya yaitu sumber dana dan latihan di Libya. Juga mendapat dukungan dari
Sabah, yang mana mentri besar Sabah Tun Mustapha, dari etnis Tausug yang keluarganya berasal
dari Sulu memberkan bantuan berupa dukungan longistik, selama perang sebagian besar MNLF
berasal dari Sabah dan markas militer MNLF yang terbesar juga berada di Sabah.
Perjuangan MNLF mulai menonjol setelah presiden Marcos memberlakukan hukum
darurat pada 21 september 1972 yang diikuti dengan upaya militer melucuti persenjataan kaum
Moro. Akibatnya konflik antara Moro dengan pemerintah meningkat antara 1973-1976. Pada
1974 MNLF mengeluarkan manifesto yang menuntut berdirinya Republik Bangsa Moro
Independen yang wilayahnya terdiri dari pulau Mindano, Basilan, Kepulauan Sulu dan Pulau
Palawan.
Sebuah delegasi yang terdiri dari 4 menteri luar negeri dari Negara Libya, Saudi Arabia,
Senegal dan Somalia mengunjungi Philifina untuk membahas situasi muslim dengan pemerintah
Markos. Keterlibatan Negara Islam dalam kasus Moro membuahkan perjanjian Tripoli pada 23
Desember 1976 empat hal yang di sepakati dalam perjanjian tersebut:
1. Adanya otonomi muslim diwilayah Philifina Selatan yang terintegrasi dengan wilayah Republik
Philifina.
2. Wilayah otonomi muslim meliputi Basilan, Sulu, Tawi-tawi, Zamboaga Delsur, Zamboaga
Delnorte, Nort Cota Bato, Manguin Danao, Sultan Kudurat Lanao Del Norte, Lanao Del Sure,
Davao Del Sure, South Cota Bato dan Palawan.
3. Menyepakati berbagai hal yang berhubungan dengan pelaksanaan otonomi mencakup masalah
politik luar negeri, pertahanan, politik, ekonomi, syariat Islam dan sebagainya.

4. Kesepakatan ini berlaku sejak tanggal ditandatangani perjanjian tersebut.


1977 dikeluar kan dekrit presiden Philifina untuk mendeklarasi kan adanya otonomi. 13
provinsi dan 9 kota digolongkan sebagai wilayah otonom dalam perjanjian Tripoli. Dan diadakan
referendum sepihak tentang otonomi di Philifina Selatan. Referendum hanya menghasilkan 10
dari 13 provinsi yang mau otonomi. Dengan adanya referendum sepihak tersebut, MNLF
mengartikan bahwasanya pemerintah telah melanggar dan membatalkan perjanjian Tripoli.
Akhirnya pertempuran kembali berlanjut dan membuat pimpinan MNLF Nurmisuari melarikan
diri ke Timur Tengah.
Gagalnya perjanjian Tripoli merusak kredibilitas Nurmisuari sebagai pimpinan MNLF, ia
ditantang oleh ketua MNLF untuk urusan luar negeri yaitu Hasim Salamat yang menuduhnya
tidak memperjuangkan kepentingan umat Islam. Setelah Nurmisuari diasingkan, Hasim Salamat
memisahkan diri dari LMNF dan mendirikan Moro Islamic Liberation Front (MILF). Pada tahun
1980 kedua organisasi tersebut sama-sama mendukung Corazon Aquino ketika dia menggalang
dukungan masa menuntut pemerintahan yang demokratis dan dia menjanjikan otonomi penuh
bagi wilayah Mindano bila dia terpilih jadi presiden. Namun Moro pada saat itu menuntut
otonomi sesuai perjanjian Tripoli setelah Cora Zon Aquino resmi menjadi presiden pada 1986 ia
mengeluarkan UU baru yang mendeklarasikan berdirinya wilayah otonom bagi muslim
Mindano.
Ketika Philifina dipimpin oleh Fidel Ramos pada 9192 dialok MNLF kembali
dilaksanakan pada saat itu Negara Indonesia berperan sebagai mediator. Dalam dialog tersebut
berhasil diambil kesepakatan yang isinya :
1. Digalakkan proyek pembanguna ekonomi diseluruh provinsi selama 3 tahun.
2. Dibentuk dewan Philipina Selatan untuk perdamaian dan pembangunan.
3. Nurmisuari yang kembali lagi ke Philifina dari tempat pengungsian diangkat menjadi gubernur
wilayah yang langsung bertanggung jawab kepada presiden.
Perjanjian ini ditandatangani pada 1996 dan diikuti denga kesepakatan antara pemerintah
dengan MILF pada 28 Juli 1977 yang isinya seluruh ukuran hukum diorentasikan dan
diprioritaskan untuk memperbaiki dan meningkatkan sosial, ekonomi kaum muslim sebagai
penghuni asli Philifina Selatan. Akan tetapi perjanjian perdamaian antara warga Moro dengan
pemerintah Philifina pada 1996 gagal total dan pada 2006 kaum muslim Moro yang diwakili oleh
MILF kembali melakukan perundingan damai dengan pemerintah Philifina dan mediatornya
adalah Malaysia.
C. Masa Pasca Kemerdekaan Hingga Sekarang
Kemerdekaan Philifina yang didapat dari Amerika Serikat pada 1946 tidak memiliki arti
bagi bangsa Moro. Tekanan terasa hebat dan berat ketika Ferdinand Marcos berkuasa (19651986). Masa pemerintahannya merupakan masa pemerintahan paling represif bagi bangsa Moro
pembentukan Muslim Independent Movemen (MIM). Pada 1968 dan Moro Liberation Front
(MLF) pada 1971 tidak bisa dilepaskan dari sikap politik Marcos yang dikenal dengan
presidensial Proclamation No. 1081. Pada masa ini perjuangan bangsa Moro memasuki babak
baru dengan dibentuknya Front perlawanan yang lebih terorganisir dan maju seperti MIM,
Anshar-el-Islam, MNLF, MILF, MNLF-Reformis, BMIF. Pada saat itu juga sebagai masa
terpecahnya kekuatan bangsa Moro.
Kebijakan umum pemerintah Philifina terhadap kaum muslim pada dasarnya todak
berubah. Pemerintah Manila mempunyai empat titik pandangan terhadap kaum Muslim.

1. Pemerintah masih memegang pandangan kolonial yaitu Moro yang baik, dalah Moro yang
mati.
2. Kaum Muslim adalah warga kelas 2 di Philifina.
3. Kaum Muslim adalah penghambat pembangunan.
4. Masalah Moron adalah masalah integrasi yaitu bagaimana mengintegrasikan mereka dalam arus
utama (main stream) tubuh politik nasional.
Oleh karena itu strategi umum pemerintah terhadap kaum Muslim adalah
mengintegrasikan kaum Muslim, ke dalam proses demokrasi nasional. Sebagian Muslim
Philifina tidak memiliki rasa identitas nasional disebabkan oleh :
1. Orang-orang Islam merasa sulit untuk menghargai undang-undang nasional, khususnya yanh
mengenai hubungan-hubungan pribadi dan keluarga, karena undang-undang itu jelas berasal dari
nilai-nilai moral Barat dan Katolik.
2. Sistem sekolah umum di bawah Republik tidak berbeda dengan yang diperkenalkan oleh
kolonial Amerika dan yang dikembangkan persemakmuran.
3. Ketidak mampuan orang-orang Islam untuk mengaggap diri mereka sendiri sebagai warganegara
Republik dan yang kemudian menjadi reaksi kekerasan adalah disebabkan oleh kebencian
mereka yang mendalam terhadap gelombang kaum penetap yang terus-menerus ke bagian-bagian
Mindanao.
Dalam menyelesaikan masalah Moro, Manila mengambil kebijakan strategis antara lain:
1.
Militerisasi konstitusional.
2.
Kebijakan pemerintah untuk memindahkan orang-orang Kristen dari Luzon, dan provinsi
Visayan ke daerah Muslim, serta mengubah komposisi dan demografi di wilayah Muslim
tersebut.
3.
Kebijakan pemerintah untuk mencap kegiatan kaum Muslim sebagai Fundamentalis
Muslim. Penangkapan dan penggebrekan yang terjadi terhadap sejumlah warga Timur Tengah
yang didakwa sebagai teroris internasional, dan dituduh terlibat dalam rencana membunuh Paus
Johanes Paulus II dalam kunjungannya ke Philifina pada tahun 1995.
4.
Kebijakan pemusnahan, seperti pembunuhan membabi buta dan pembantaian penduduk
sipil sebagaimana yang terjadi dalam pembantaian Kawit, Jabidah, Masjid Mannili, Pembakaran
Kota Jolo, dan lain sebagainya.
Kebjaka-kebijakan pemerintah ini telah mengundang sejumlah protes dan perlawanan dari kaum
Muslim Ansharel el-Islam, dan Moro Liberation Front (MLF) pada 1971.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ketika Philipina merdeka ditahun 1946, mayoritas warga Islam Moro di pulau Mindanao,
meminta supaya tidak menjadi bagian negara yang baru itu, namun permintaan itu diabaikan.
Sejak itu konflik berkepanjangan pun berlangsung. Dan puncaknya disaat Philipina dipimpin
Ferdinand Marcos yang menerapkan kondisi perang Martial Law. Akibatnya menjadi sangat
luar biasa terjadi konflik besar antara penduduk muslim dan non-muslim di Mindanao Selatan.
Perang itu memusnahkan banyak perkampungan muslim. Banyak tanah dan harta milik kaum

muslim Moro yang berpindah tangan. Agar perjuangan lebih terorganisir terbentuklah MIM
(Muslim Independent Movement) oleh Datuk Udtog Matulam pada tahun 1968 dan MLF (Moro
Liberation Front) pada tahun 1971. MNLF sebagai induk perjuangan bangsa Moro. Lahirnya
MIM dan MNLF adalah sebagai bentuk upaya untuk meraih kemerdekaan bagi wilayah
masyarakat muslim.
Dampak lainya, masyarakat Islam di Filipina tidak memiliki tokoh yang bisa
memanfaatkan berbagai kesempatan baik pada masa penjajahan Spanyol, Amerika Serikat
maupun pada masa kemerdekaan. Akibat logisnya adalah tidak adanya tokoh muslim yang
masuk ke jajaran elit pemerintahan dan elit politik yang memperjuangkan mereka secara politis.
Yang ada hanya tokoh yang dapat mengobarkan mereka untuk perang sabil. Padahal dalam upaya
memperjuangkan apapun di samping upaya perang, harus ada yang memperjuangkannya secara
politis, khususnya dalam negeri.

DAFTAR PUSTAKA
Helmiati, 2011, Sejarah Islam Asia Tenggara, Pekanbaru : Zanafa Publishing.
Dardiri Husni, Dkk, 2006, Sejarah Isalam Asia Tenggara, Riau : Institute For
Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS).
Suhaimi, Dkk, 2009, Sejarah Islam Asia Tenggara (SIAT), Pekanbaru : CV. Witra
Irzani.
Gusrianto, 2012, Diktat Sejarah dan Perkembangan Asia Tenggara, Pekanbaru.
Hitami,Munzir,2006,Sejarah Islam Asia Tenggara,Pekanbaru: Institute For
Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS).

Anda mungkin juga menyukai