Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologik yang dewasa ini paling
banyak mendapat perhatian para ahli dinegara-negara maju maupun dinegara
berkembang, telah banyak penelitian yang dilakukan terhadap endometriosis, namun
hingga kini penyebab dan patogenesisnya belum diketahui juga secara pasti. Namun
dalam satu hal para ahli sepakat, bahwa pertumbuhan endometriosis sangat dipengaruhi
oleh hormon steroid, terutama estrogen. Sebagian ahli sepakat bahwa nyeri pelvik, nyeri
haid ataupun infertilitas erat kaitannya dengan endometriosis. Pada infertilitas primer
kejadianya sebesar 25%, sedangkan pada infertilitas sekunder kejadianya sebanyak
15%. Pada wanita yang infertilitas yang disertai dengan nyeri pelvik, nyeri haid,
dijumpai endometriosis sebanyak 80% 1.
Hampir setiap dokter pernah mendengar tentang Endometriosis, namun masih banyak
dokter yang belum mengetahui secara pasti apakah sebenarnya endometriosis itu, oleh
karena endometriosis sampai saat ini masih merupakan suatu hal yang misterius baik
dari aspek teori, klinik, dan pengobatannya 8.
Menurut Badziad dan Jacob, banyak para ahli membicarakan tentang endometriosis,
namun masih banyak yang masih belum mengetahui secara pasti apakah sebenarnya
endometriosis itu 7.
Diagnosis pada Endometriosis pada umumnya sulit ditentukan bila hanya didasarkan
pada riwayat penyakit atau gejalanya saja. Disamping itu juga belum ada satupun uji
laboratorik yang dapat menetapkan diagnosis Endometriosis secara pasti 7.
Endometriosis dapat merusak organ dalam dan organ genitalia interna, sebagai akibat
dari proliferasi progestif endometrium ektopik. Dan untuk mengatasi masalah ini telah
banyak cara pengobatan yang telah dilakukan, namun sampai saat ini masih saja
merupakan kontroversi. Beberapa penulis mengatakan bahwa pengobatan operatif lebih
baik dari pada pengobatan medisional maupun pengobatan dengan obat hormonal, atau
sebaliknya 8. Namun di dalam suatu hal para ahli percaya bahwa endometriosis didalam
pertumbuhannya dipicu oleh hormon estrogen, sehingga di dalam pengobatannya pun
selalu diberikan hormon anti estrogen. Banyak juga para ahli yang mempunyai pendapat
lain yaitu pengobatan hormonal dengan pembedahan lebih baik lagi, terutama dalam hal
peningkatan angka kehamilan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa endometriosis
minimal dan ringan tidak perlu diberikan apapun, oleh karena akan hilang dengan
sendirinya 2.
Penyebab infertilitas endometriosis adalah multifaktorial, disebabkan: gangguan
ovulasi, konsepsi, nidasi dan gangguan tumbuh kembang. Hal ini didukung dari datadata yang ada bahwa infertilitas pada endometriosis tidak tergantung dari stadium
endometriosis. Data menunjukkan bahwa pada stadium ringan bisa terjadi infertilitas
dan pada stadium lanjut dapat terjadi kehamilan 5.
A.Epidemiologi
Endometriosis paling sering terjadi pada usia reproduksi. Insidensi yang pasti belum
diketahui, namun prevalensinya pada kelompok tertentu cukup tinggi. Misalnya, pada
wanita yang dilakukan laparaskopi diagnostik, ditemukan endometriosis sebanyak 053%; pada kelompok wanita dengan infertilitas yang belum diketahui penyebabnya
ditemukan endometriosis sebanyak 70-80%; sedangkan pada wanita dengan infertilitas
sekunder ditemukan endometriosis sebanyak 25%. Diperkirakan prevalensi
endometriosis akan terus meningkat dari tahun ketahun. Meskipun endometriosis
dikatakan penyakit wanita usia reproduksi, namun telah ditemukan pula endometriosis
pada usia remaja dan pasca menopause. Oleh karena itu, untuk setiap nyeri haid baik
pada usia remaja, maupun pada usia menopause perlu dipikirkan adanya endometriosis
1.
Endometriosis selama kurang lebih 30 tahun terakhir ini menunjukkan angka kejadian
yang meningkat. Angka kejadian antara 5-15% dapat ditemukan di semua operasi
pelvik. Endometriosis jarang didapatkan pada orang-orang negro, dan lebih sering
didapatkan pada wanita-wanita yang berasal dari golongan sosio-ekonomi yang kuat.
Yang menarik perhatian adalah bahwa endometriosis lebih sering ditemukan pada
wanita yang tidak kawin pada umur muda, dan yang tidak mempunyai banyak anak.
Ternyata fungsi ovarium secara siklis yang terus menerus tanpa diselingi kehamilan,
memegang peranan penting di dalam terjadinya endometriosis 2.
Angka kejadian endometriosis yang terjadi pada infertilitas menurut Ali Badziad, 1992,
adalah sebesar antara 20-60 %. Pada infertilitas primer angka kejadian endometriosis
yang terjadi sebesar 25%, sedangkan pada infertilitas sekunder angka kejadiannya
sebesar 15%. Sedangkan angka kejadian endometriosis yang dilaporkan oleh Speroff
adalah 3-10% terjadi pada wanita usia produktif, dan antara 25-35 terjadi pada wanita
infertil. Sedangkan di Indonesia endometriosis ditemukan kurang lebih 30% pada
wanita infertil. Menurut William dan Pratt kejadian Endometriosis pada seluruh
laparatomi dari berbagai indikasi ditemukan sebesar 11,87% 7.
A.Definisi
Endometriosis adalah jaringan ektopik (tidak pada permukaan dalam uterus) yang
memiliki susunan histologik/kelenjar, stroma endometrium, atau kedua-duanya dengan
atau tanpa makrofag yang termuati hemosiderin dan fungsinya mirip dengan
endometrium karena berhubungan dengan haid dan bersifat jinak, tetapi dapat menyebar
ke organ-organ dan susunan lainnya 5.
Endometriosis merupakan suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih
berfungsi terdapat diluar endometrium kavum uteri, baik itu kelenjar maupun
stromanya. Sebagian besar susunan endometriosis terdapat dipelvis yaitu ovarium,
peritoneum, ligamentum utero sakral, kavum douglasi dan septum rekto vaginal 4,9.
Lokasi yang paling sering adalah para organ dalam pelvik dan peritoneum. Dimana
endometriosis dipengaruhi oleh hormon estrogen dan progesteron yang secara periodik
mengalami perdarahan dan jaringan sekitarnya mengalami inflamasi dan pelekatan.
Endometriosis sering ditemukan pada wanita usia produktif, namun terdapat juga pada
remaja dan wanita pasca menopause yang mendapat terapi hormonal 6.
Menurut Moeloek; 1992, endometriosis merupakan jaringan endometrium yang terdapat
diluar cavum uteri, bersifat jinak, dan infiltratif terhadap jaringan sekitarnya, dan
dipengaruhi oleh hormon ovarium. Pada endometriosis jaringan endometrium dapat
ditemukan di luar cavum uteri dan diluar miometrium, menurut urutan yang paling
tersering endometriosis dapat ditemukan pada tempat-tempat sebagai berikut:
1.Ovarium.
2.Peritonium dan ligamentum sakrouterium, cavum Douglasi; dinding belakang uterus,
tuba falopii, plika vesiko uterina, lidamentum rotundum, dan sigmoid.
3.Septo retro vaginal.
4.Kanalis inguinalis.
5.Appendiks.
6.Umbilikus.
7.Serviks uteri, vagina, kandung kencing, vulva, perineum.
8.Parut laparotomi.
9.Kelenjar limfe, dan
10.Walaupun sangat jarang, endometriosis dapat ditemukan di lengan, paha, pleura, dan
perikardium 8.
B.Etiologi
Sampai saat ini belum ada yang dapat memastikan penyebab endometriosis. Secara
umum, endometriosis adalah munculnya jaringan endometrium pada tempat-tempat
diluar habitatnya, dikavum uteri. Sayangnya penyakit yang kerap hinggap pada wanita
infertil belum jelas sebab musababnya. Para ahli masih mengemukakan beberapa
postulat, mulai dari yang sederhana hingga yang komplek sebagai berikut; jaringan
endometrium bermigrasi dari uterus hingga ketuba uterina. Namun teori ini
terbantahkan lantaran tidak bisa menjelaskan kejadian yang muncul paska
hosterektomiatau pada tuba yang diikat. Teori lain mengatakan, abnormalitas pada
sistem imun membuat sel endometrium mampu melekat pada jaringan selain diuterus
dan berkembang pesat. Ada pula yang mengungkapkan akibat inflamasi yang
berulangpun diprediksikan membuat jaringan-jaringan abdomen akhirnya berubah
menjadi jaringan endometrium (sangat spekulatif). Pendapat lain mengatakan jaringan
endometrium menyebar dari uterus menuju rongga abdomen menuju kesistem limfe
atau aliran darah dan muncul kecurigaan genetis. Penderita endometriosis akut 61%
berasal dari ibu atau sepupunya yang juga mengalami hal yang serupa. Hanya 23% yang
berasal dari keluaga biasa-biasa saja 12.
Ada beberapa teori yang menerangkan terjadinya endometriosis, seperti ;
1.Teori implantasi, yaitu implantasi sel endometrium akibat regurgitasi trans tuba pada
saat menstruasi.
2.Teori metaplasi, yaitu metaplasi sel multipotensial menjadi endometrium, namun teori
3.Berat
a.Endometriosis pada satu atau dua ovarium dengan ukuran lebih dari 2 x 2 cm2.
b.Perlekatan satu atau dua ovarium, tuba, atau cavum Douglasi karena endometriosis.
c.Keterlibatan usus dan traktus urinarius yang nyata.
Selain itu ada pula klasifikasi lain yang dibuat oleh Acosta dkk yang kemudian
dimodifikasi oleh Hammond dan Hanney. Klasifikasi ini lebih mudah, sederhana, cukup
lengkap, dan spesifik (lihat tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi derajat endometriosis menurut Acosta dkk yang dimodifikasi oleh
Hammond dan Hanney.
Ringan
Sedang
Berat
Apabila bintik-bintik en dometriosis yang terse-bar tanpa menghinggapi uterus, tuba
atau ova-rium; tidak ada jaringan parut atau ada bintik-bintik endometriosis pa-da
permukaan ovarium yang sangat ringan se-kali; atau tidak tampak bintik-bintik endometriosis, akan tetapi rigai pada proses endometri-osis
Apabila satu atau kedua ovarium dihinggapi oleh proses endometriosis; atau ada
endometrioma dengan ukuran kurang dari 2 cm; atau ada perlekatan perituba atau peri
ovarium ringan; atau proses menyebar membuat jaringan parut pada organ lain
Apabila endometrioma lebih dari 2 cm; atau ada perlekatan tuba, dan ovarium cukup luas; atau ada okulasi tu-ba; atau ada kerusakan parah pada cavum Do-uglasi, ligamentum
sa-krouterina dan atau u-sus, serta kandung ken-cing ikut dihinggapi proses
endometriosis
Ada pula klasifikasi yang terbaru dan yang sering dipakai pada saat ini, yaitu teori
tentang endometriosis yang dibuat oleh The American Fertility Society (AFS),
dimana endometriosis dapat dibagi-bagi menjadi empat kelompok, yaitu antara lain
sebagai berikut :
1.Stadium I (minimal) : 1 5
2.Stadium II (ringan) : 6 15
3.Stadium III (sedang) : 16 40
4.Stadium IV (berat) : > 40
Penentuan klasifikasi endometriosis merupakan syarat mutlak untuk membandingkan
berbagai hasil dalam pengobatan kelainan ini. Tanpa adanya sistem klasifikasi yang
baik, efektivitas pengobatan sulit ditentukan. Sayangnya, meskipun telah berbagai
ragam klasifikasi diajukan, namun belum ada yang dapat digunakan secara universal 8.
D. Patofisiologi
Teori histogenesis dari endometriosis yang paling banyak penganutnya adalah teori
Sampson. Menurut teori ini, endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali
(regurgitasi melalui tuba ke dalam rongga pelvis. Sudah dibuktikan bahwa dalam darah
haid didapati sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel endometrium yang masih
hidup ini kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis 2.
Teori lain mengenai histogenesis endometriosis dilontarkan oleh Robert Meyer. Pada
teori dikemukakan bahwa endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel
yang berasal dari selom yang dapat mempertahankan hidupnya di dalam pelvis.
Rangsangan ini akan menyebabkan metaplasi dari sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk
jaringan endometrium. Teori dari Robert Meyer ini semakin banyak penantangnya.
Disamping itu masih terbuka kemungkinan timbulnya endometriosis dengan jalan
penyebaran melalui jalan darah atau limfe, dan dengan implantasi langsung dari
endometrium pada saat operasi.
Gambaran mikroskopik dari endometriosis sangat variabel. Lokasi yang sering terdapat
ialah pada ovarium, dan pada biasanya disini didapati pada kedua ovarium. Pada
ovarium tampak kista-kista biru kecil sampai kista besar (kadang-kadang sebesar tinju)
berisi darah tua menyerupai coklat (kista coklat atau endometrioma).
Darah tua dapat keluar sedikit-sedikit karena luka pada dinding kista, dan dapat
menyebabkan perlekatan antara permukaan ovarium dengan uterus, sigmoid dan
dinding pelvis. Kista coklat kadang-kadang mengalir dalam jumlah banyak kedalam
rongga peritonium karena robekan dinding kista, dan menyebabkan abdomen. Tuba
pada endometriosis biasanya normal. Pada salah satu atau kedua ligamentum
sakrouterium, pada cavum douglasi, dan pada permukaan uterus sebelah belakang dapat
ditemukan satu atau beberapa bintik sampai benjolan kecil yang berwarna kebirubiruan. Juga pada permukaan sigmoid atau rektum seingkali ditemukan benjolan yang
berwarna kebiru-biruan ini. Sebagai akibat dari timbulnya perdarahan pada waktu haid
dari jaringan endometriosis, mudah sekali timbul perlekatan antara alat-alat disekitar
cavum Douglasi itu.
Pada pemeriksaan mikroskopi ditemukan ciri-ciri khas bagi endometriosis, yakni
kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium, dan perdarahan bekas dan baru berupa
eritrosit, pigmen hemosiderin, dan sel-sel makrofag berisi hemosiderin. Disekitarnya
tampak sel-sel radang dan jaringan ikut sebagai reaksi dari jaringan normal
disekelilingnya (jaringan endometrium). Jaringan endometriosis seperti juga jaringan
endometrium didalam uterus, dapat dipengaruhi oleh hormon progensteron dan
estrogen. Akan tetapi besarnya pengaruh tidak selalu sama, dan tergantun dari beberapa
faktor, antara lain dari komposisi endometriosis yang bersangkutan (apakah jaringan
kelenjar atau stroma yang lebih banyak), dari reaksi jaringan normal disekitarnya, dan
sebagainya. Sebagai akibat dari pengaruh hormon-hormon tersebut, sebagian besar
sarang-sarang endometriosis berdarah secara periodik. Dan perdarahan yang periodik ini
menyebabkan reaksi jaringan sekelilingnya berupa radang dan perlekatan.
E. Manifestasi Klinik
Gejala-gejala yang sering ditemukan pada endometriosis antara lain sebagai berikut :
a.Nyeri perut bagian bawah yang progresif dan dekat paha yang terjadi pada saat dan
Menurut Kistner terdapat hubungan yang jelas antara endometriosis dan infertilitias.
Dimana kejadian infertilitas yang disebabkan oleh endometriosis berkisar antara 30-40
%. Penyebab terjadinya infertilitas pada endometriosis masih belum diketahui secara
jelas. Menurut Kistner ada hubungan antara endometriosis dan motilitas tuba serta
ovarium. Apabila hubungan ini tidak adekuat akibat fibrosis dan jaringan parut karena
sekuele maka endometriosis merupakan penyebab infertilitas.
Endometriosis dapat menyebabkan infertilitas melalui beberapa mekanisme, yaitu :
1.Produksi prostaglandin sehingga mempengaruhi motilitas tuba atau folikulogenesis
dan fungsi korpus luteum. Pada pasien dengan endometriosis didapatkan peningkatan
cairan peritonium dan peningkatan konsentrasi tromboxan B2 dan 6-keto-prostaglandin,
N-keto-13, 14-dihydroprostaglandin.
2.Melalui makrofag peritonium, ditemukan peningkatan aktifitas makrofag yang akan
memfagosist sperma. Disamping itu makrofag memproduksi interleukin-1 yang bersifat
toksik terhadap embrio tikus. Selain itu makrofag menyebabkan reaksi radang.
3.Endometriosis sebagai salahsatu faktor yang menyebabkan kelainan petumbuhan
foliker, disfungsi ovarium dan kegagalan perkembangan embrio Luteinized unruptured
follicle syndrome adalah keadaan dimana oosit tidak dapat dilepaskan pada saat folikel
pecah yang menyebabkan infertilitas.
Selain hal tersebut diatas endometriosis dapat menyebabkan perlekatan genetalia interna
sehingga menyebabkan okulasi tuba 5.
Soules dkk, menemukan 17 % pasien endometriosis dengan siklus haid yang tidak
berovulasi. Riva, Moeloek, dan Jacob menemukan beberapa perubahan struktur organ
genetalia interna, yaitu antara lain :
a.Di ovarium terjadi degenerasi dan kelemahan folikek untuk membentuk ovum matang.
Perlekatan mengakibatkan ovum terjebak didalam jala-jala perlekatan.
b.Dituba terjadi pendekatan fimbriae atau perisalping, distorsi, aklusi sebagian atau
seluruh lumen tuba dengan akibat transfortasi ovum terhambat.
c.Terejadi perubahan cairan interaperitoneal yang akan menghalagi perjalanan ovum
menuju tuba. Ovum akan terjerat didalam daerah lembab atau perdarahan dan akan
berdegenerasi sebelum dibuahi.
d.Pada uterus akan terjadi retroposisis karena obliterasi cul-desac, prolaps atau
perlekatan ovarium, dan serviks akan lebih kedepan sehingga inseminasi terhambat.
F. Diagnosis
Bila berdasarkan riwayat penyakit, gejala, dan tanda-tanda serta pemeriksaan bimanual
saja, diagnosis endometriosis sukar dibuat. Hal ini disebabkan karena endometriosis
sering menyerupai penyakit lain seperti dismenorea primer, radang pelvis, perlekatan
pelvis, uterus miomatus, sindroma kongesti pelvis, salfingitis ismika nodosa, penyakit
gastro intestinal, penyakit traktus urinarius dan neoplasma.
Diagnosis biasanya dibuat atas dasar anamnesa dan pemeriksaan fisik, dan dipastikan
dengan pemeriksaan laparaskopi. Kuldoskopi kurang bermanfaat terutama jika cavum
Douglasi ikut serta dalam endometriosis. Pada endometriosis yang ditemukan pada
lokasi seperti forniks vaginae post perineum, parut laparatomi, dan sebagainya, biopsis
dapat memberi kepastian mengenai diagnosis.
Untuk membuat diagnosis yang akurat diperlukan pemeriksaan langsung ke dalam
rongga abdomen (endoskopi), laparoskopi. Moeloek, 1983, mengemukakan bahwa
pemeriksaan laparaskopi memungkinkan untuk menghindari diagnosis yang salah dan
dapat digunakan sebagai evaluasi pengobatan. Pemeriksaan laparaskopi diperlukan
untuk menyingkirkan diagnosis diferensial seperti radang pelvis, keganasan didaerahh
pelvis. Cohen pernah melakukan laparoskopi pada 1380 penderita dan mendapatkan
diantaranya 320 (23%) penderita dengan endometriosis, 240 penderita diantaranya
menderita endometriosis derajat ringan tanpa gejala. Corson dan Garcia, dkk dalam
kesempatan yang berbeda, memastikan diagnosis endometriosis dengan laparoskopi
yaitu sebesar 61% dan 77% dari penderita yang dicurigai dengan pemeriksaan dalam,
ternyata dengan laparoskopi kekeliruan diagnosisnya adalah 54%. Sedangkan terhadap
penderita yang dicurigai adanya endometriosis, kesesuaian diagnosis dengan
pemeriksaan laparoskopi adalah 70,8%. Pemeriksaan laparoskopi yang paling baik
dikerjakan, yaitu pada siklus haid hari ke-15 sampai dengan hari ke 21 dari siklus yang
teratur, atau setiap saat pada pasien dengan siklus haid yang tidak teratur.
Pemeriksaan laboratorium pada endometriosis tidak memberi tanda yang khas, hanya
apabila ada darah dalam tinja atau air kencing pada waktu haid, dapat menjadi petunjuk
tentang adanya endometriosis pada rektosigmoid atau pada kandung kencing.
Sigmoidoskopi dan sitoskopi dapat memperlihatkan tempat perdarahan pada waktu
haid.
Differensial diagnosis
Adenomiosis uteri, radang pelvis dengan tumor adneksa dapat menimbulkan kesukaran
dalam mendiagnosis. Kombinasi adenomiosis uteri atau mioma uteri dengan
endometriosis, kista ovarium, karsinoma 2.
G. Penatalaksanaan
Pengobatan pada endometriosis pada dasarnya hanyalah untuk mengurangi atau
menghilangkan dampak klinik yang ada, hanya secara simptomatis. Pada dasarnya ada
tiga macam pengobatan endometriosis. Pembedahan yang bertujuan menghilangkan
atau mengurangi jaringan endometriosis yang tampak/ terdiagnosis. Kedua adalah
medikamentosa dengan obat anti estrogen, karena diyakini bahwa pertumbuhan jaringan
endomertriosis ini dipacu oleh hormon estrogen. Pada umumnya pengobatan
mediksamentosa ini tidak bisa berdiri sendiri. Ketiga adalah kombinasi dari keduanaya,
pembedahan dan medikamentosa; pengobatan kombinasi ini merupoakan pengobatan
yang paling sering dilakukan.
Pengobatan yang bersifat simptomatis inilah yang menyebabkan endometriosis
mempunyai angka kekambuhan yang tinggi. Pengobatan endometriosis belum bias
tuntas menghilangkan penyebabnya, ditambah lagi belum tentu jaringan atau sel
Atas dasar tersebut diatas, prinsip pertama pengobatan hormonal endometriosis adalah
menciptakan lingkungan hormon rendah estrogen dan asiklik Kadar estrogen yang
rendah menyebabkan atropi jaringan endometriosis. Keadaan yang siklik mencegah
terjadinya haid, yang berarti tidak terjadi pelepasan jaringan endometrium yang normal
maupun jaringan endometriosis 3.
Prinsip kedua adalah menciptakan lingkungan hormon tinggi androgen atau tinggi
progesteron (progesteron sintetik) yang secara langsung menyebabkan atropi pada
jaringan endometriosis 3.
b. Pengobatan estrogen
Dengan pemberian estrogen dosis besar terus menerus akan menekan ovulasi sehingga
daerah endometrium menjadi lunak, timbul hiperplasi dalam sarang endometriosis dan
akhirnya jaringan endometriosis terlepas. Pada penelitian terdahulu dilaporkan bahwa
pengobatan ini memberi hasil yang baik terhadap gejala endometriosis, namun setelah
pemberian jangka lama efek yang timbul tidak sebaik yang diduga 3.
Laporan lain menyatakan terjadinya hiperplasi adenomatus dan kistik, serta perdarahan
yang berakibat kematian. Beberapa efek samping lain yang serius adalah edema perifer,
nausea, mastodinia, perdarahan lewat vagina yang hebat, tromboflebitis, sehingga
pengobatan endometriosis dengan cara ini tidak disukai lagi 3,11.
c. Pengobatan progesteron.
Progesteron atau progestin adalah nama umum semua senyawa progesteron sintetik.
Progesteron dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan, yaitu : (i) Pregnan; (ii) Estran;
(iii) Gonan
Tabel 2. Kelompok progesteron
Progesteron
Estrogenik
Progestonik
Androgenik
1.Pregnan
MPA (provera)
++
Didrogesteron (duphaston)
++
2.Estran
Linestrenol (endometril
+
++
+
Norelisteron (primolut N)
++
+
3.Gonan :
Norgestrel
+++
++
Desogestrel
+++
- (?)
Mekanisme progesteron adalah pada poros hipofisis ovarium, dengan cara menekan
pelepasan gonadotropin dan steroidogenesis ovarium, dengan akibat atropi
endometrium. Komplikasi yang dikhawatirkan pada pengobatan ini adalah abdomen
akut sebagai akibat pecahnya jaringan endometriosis sehingga terjadi hemoperitoneum.
Pemberian progesteron yang terus menerus dapat mengakibatkan kadar estrogen yang
rendah sekali dengan akibat sering terjadi breakthrough bleeding sehingga diperlukan
pemberian preparat estrogen dosis rendah.
Keberhasilan terapi sulit untuk dinyatakan, sebab tidak semua laporan para penelitia
menyebutkan ciri-ciri subyek yang diteliti, misalnya : berat ringannya
endometriosisnya, dan adanya faktor penyebab infertilitas lainnya. Menurut hasil
ringkasan laporan beberapa peneliti, kehamilan setelah terapi dengan progesteron ratarata sebesar 26 % atau berkisar dari 5 73 % 3,11.
d. Pengobaan kombinasi estrogen-progesteron.
Pemberian progesteron ditambah estrogen dosis rendah yang menyerupai profil hormon
pada wanita hamil (pseudo pregnancy) dapat mengakibatkan perubahan sel
endometriosis menjadi desidua yang kemudian menjadi nekrotik dan akhirnya menjadi
jaringan ikat.
Untuk pengobatan ini sering digunakan kontrasepsi oral dengan pemakaian terus
menerus. Dosis dapat dinaikkan sampai 2-3 kali lipat setelah beberapa minggu, untuk
selanjutnya tambahan dosis tergantung dari kepentingan mengontrol perdarahan.
reseptor dikelenjar hipofisis. Dengan kastrasi medisinal yang mana diharapkan lesi dari
endometriosis akan mengecil.
Efek samping dari pengobatan ini adalah dapat terjadi perdarahan (75%), Hot flushes
(68 %), psikis (38 %), sakit kepala (33%), vagina kering (28 %), berat badan naik (25
%), cepat lelah (25 %), rasa tidak enak di mammae (18 %), dan perubahan pada kulit.
Selain itu pengobatan dengan GnRH juga dapat mengurangi nyeri pelvis, dispareunia,
dismenorea, dan rasa tidak enak di pelvis. Pengobatan ini yang bertujuan menghentikan
fungsi ovarium tidak dilakukan lagi, kecuali ada kontraindikasi pembedahan 3,11.
DAFTAR PUSTAKA
1.Badziad Ali., 2003. Endometriosis; Endokrinologi Ginekologi, edisi kedua, hal: 1-25,
Media Aesculapius, FK UI, Jakarta.
2.Badziad Ali., 1999. Endometriosis; Ilmu Kandungan, edisi kedua, cetakan ketiga, hal:
316-326, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
3.Badziad Ali., 1992. Kontroversi Dalam Pengobatan Endometriosis; Majalah
Kedokteran Indonesia, vol. 42 no. 7, edisi Juli, hal: 409-410, Jakarta.
4.David L. Olive, Pritts EA, Treatment of Endometriosis, NEJM, vol: 345, no.4 July
2001.
5.Firmansyah. F., 1997. Hubungan antara Skor AFS dengan Keberhasilan Hamil;
Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia, vol. 21, no. 4, edisi oktober, hal: 234-236,
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo, Jakarta.
6.Mansjoer Arief, et. all., 2001, Endometriosis; Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga,
hal: 381-382, Media Aesculapius, FK UI, Jakarta.
7.Mendrova. C dan Sutoto., 1997. Endometriosis yang Ditemukan Pada Sediaan Bedah
Ginekolog;, Majalah Ginekologi dan Obstetri Indonesia, vol. 21, no. 2, edisi april, hal :
102-103, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
8.Moeloek. F. A., 1992. Teori, Aspek Klinik, dan Pengobatannya Endometriosis;
Majalah Kedokteran Indonesia, vol. 42, no. 7, Hal: 379-388, Jakarta.
9.Prentice A., Endometriosis, Reguler Review,BMJvol: 323, 2001.
10.Rayburn. W. F and Cristopher. J., 2001. Endometriosis; Obstetri dan Ginekologi, hal:
278-282, Jakarta.
11.Samsul H., 2004. Evaluasi Standar Pengobatan Endometriosis; Seksi Fertilitas dan