Anda di halaman 1dari 27

PENGEMBANGAN INSTITUSI KEPEMILIKAN LAHAN MELALUI

REVITALISASI FUNGSIONARIS ADAT


DALAM BIDANG PERTANAHAN DI KABUPATEN NGADA
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Realitas masyarakat hukum adat (pertanahan) dan eksistensi hak
ulayat (tanah suku) pada umumnya dan khususnya masyarakat Ngada,
antara lain merupakan dasar argumentasi untuk melakukan penelitian ini:
a.1. Keraguan akademis
Berbagai hasil penelitian menunjukan bahwa pengelompokan
lingkungan hukum adat didasarkan pada beberapa kriteria: bahasa (Van
Vollenhoven, 1925); teritorial dan genealogis (Jaspan, 1959; sosiografi
indonesia, 1959; Ter Haar, 1987) dan kombinasi dari berbagai keriteria
bahasa, geneologis dan teritorial yang banyak dilakukan oleh para
psikolog. Kriteria tersebut kemudian dipandang mengandung karakteristik
universal dan dijadikan dasar penilaian bagi eksistensi sistem hukum adat
yang ada diberbagai tempat yang berbeda-beda. Identifikasi tersebut,
kemudian menghasilkan Hipotesa tentang 19 lingkungan masyarakat
hukum adat.
Di beberapa daerah, usaha verifikasi (membenarkan) dan falsifikasi
(menggugurkan) terhadap hipotesis tentatif tersebut diatas sudah ada,
meskipun jumlahnya masih sangat kurang (seminar hukum adat, BPHN,
1976; R. Subekti, 1991). Usaha verifikasi dan falsifikasi itu dilakukan
melalui berbagai penelitian ilmiah yang diperkuat dengan Putusan
Mahkamah Agung (jurisprudensi). Untuk lingkungan hukum adat wilayah
Nusa Tenggara Timur termasuk kabupaten Ngada, penelitian tentang
hukum adat dan eksistensi hak ulayat (tanah suku) jarang dilakukan.
Langkanya penelitian hukum adat; masyarakat adat; hubungan
antara masyarakat hukum adat dengan tanah (eksistensi tanah suku);
menyulitkan

praktisi

hukum

termasuk

lembaga

pengadilan

untuk

menyelesaikan setiap sengketa yang dihadapkan kepadanya secara adil


dengan memperhatikan hukum yang hidup pada masyarakat adat. Akibat
selanjutnya

ialah

bahwa,

Jurisprudensi

Mahkamah

Agung

yang

mengukuhkan (verifikasi) atau menggugurkan (falsifikasi) terhadap hukum


adat di daerah ini jarang ditemukan, bahkan belum ada sama sekali.
Apakah ini semua berarti hukum adat pertanahan di wilayah ini masih
eksis termasuk tanah suku atau sebaliknya ? kalau eksis, apa yang
menyebabkan hukum adat dan wilayah persekutuan (tanah suku) itu eksis
dan sebaliknya kalau falsifikasi, apa alasan, kapan dilakukan, siapa yang
melakukan dan bagaimana dari teori tersebut yang difalsifikasi?. Suatu
realita, bahwa hukum adat dan wilayah persekutuan (tanah suku) di
wilayah ini masih ada, minimal seperti yang ditunjukan oleh para peneliti
sebelumnya, tetapi bagaimana rupanya belum terkompilasi.
a.2 Pendirian Hukum Positif Terhadap Hukum Adat Pertanahan
Ambiguitas hukum positif terhadap hukum adat pertanahan tampak
dalam tiga hal. Pertama, secara eksplisit mengakui eksistensi hak
komunal (beshickkingsrecht) masyarakat hukum adat atas tanah antara
lain diatur dalam pasal 2 ayat ( 4) ; pasal 3; pasal 5 UUPA; UU No.6 tahun
1976; pasal 6 PP No. 21 tahun 1970; Kepres No. 54 Tahun 1980; pasal
34. 37 UU No. 41 tahun 1999; Kepmen Agraria No. 5 tahun 1999. Kedua,
pengakuan terhadap hak-hak individu (inlands bezitsrecht) tentang
terjadinya hak milik, jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan
wasiat dan perbuatan lain yang bermaksud memindahkan hak milik
(antara lain pasal 22 ayat 1 dan pasal 56 UUPA). Ketiga, antara
mengakui dan tidak mengakui hak-hak komunal masyarakat adat (antara
lain Permen Agraria No. 5 Tahun 1999 dan Perda Propinsi NTT No. 8
Tahun 1974).

Ambiguitas tersebut di atas, memerlukan keputusan tentang posisi


dan eksistensi hukum adat pertanahan, menyangkut: hak-hak komunal
(beschikkingrecht); hak-hak perorangan (inlands bezitrecht), terjadinya
hak milik, jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat
dan perbuatan lain yang bermaksud memindahkan hak milik. Penelitian
sangat perlu untuk mendukung suatu pilihan atau keputusan.
a.3 Praktis
Tanah memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Berbagai kegiatan manusia senantiasa berkaitan dengan tanah, baik
kegiatan sosial, ekonomi, budaya, agama dan sebagainya. Bahkan tanah
sering diulang-ulang dan cenderung menjadi mitos tanpa melihat konteks
sosial politik, bahkan dikatakan memiliki makna tinggi yang dapat
dipadankan dengan nyawa (Judiantara dan Wijaya dalam Hariardi dan
Masruchah, (1995:75).
Penilaian semacam itu bukanlah suatu isapan jempol belaka,
karena dalam kenyataannya penilaian seperti yang disebutkan di atas
memiliki dasar pembenarannya. Bagi penduduk Kabupaten Ngada
umumnya yang sebagian besar hidup dari hasil pertanian, tanah selain
sebagai sumber daya ekonomi, diperlukan untuk kegiatan sosial, budaya
dan agama, juga melambangkan status sosial seseorang dalam
masyarakat.
Manyadari akan pentingnya tanah bagi kehidupan umat manusia,
tidak luput dari perhatian kaum penjajah waktu itu dimana tanah yang
dikuasai rakyat berdasarkan hukum adat (tanah suku maupun tanah
perorangan) tidak diberi ruang untuk memperoleh kepastian hukum,
karena disamping perangkat hukumnya tidak tersedia, pendaftaran yang
dilakukan pada waktu itu hanya mengenai tanah yang bersumberkan

hukum barat. Terhadap tanah adat hanya dilakukan registrasi untuk


penarikan pajak (landrente).
Tanah suku adalah tanah yang dikuasai oleh persekutuan
masyarakat adat yang terbentuk berdasarkan kesamaan tempat tinggal
(teritorial) maupun berdasarkan kesamaan keturunan (geneologis). Tanah
tersebut mempunyai nilai religius magis karena ada hubungan yang erat
dengan sistem nilai, kepercayaan dan struktur kekerabatan maupun
teritorial masyarakat setempat. Penguasaannyapun telah turun-temurun,
diakui oleh masyarakat setempat sekalipun hanya didasarkan pada
kebiasaan dan adat- istiadat yang berlaku di wilayah tersebut. Pemilikan
dan penguasaan yang didasarkan pada hukum adat dan tidak didukung
oleh bukti tertulis dinyatakan sebagai tanah milik negara (penjajah) (pasal
1 Agrarish Besluit) yang dikenal dengan sebutan Domein Verklaring. Hal
ini tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang
mengutamakan kepentingan (kesejahteraan) rakyat indonesia seluruhnya.
Setelah bangsa Indonesia merdeka, negara hanya diberikan hak
menguasai atas bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya

untuk

mengatur

dan

menyelenggarakan

penggunaan,

peruntukan, persediaan, dan pemeliharaannya untuk sebesar-besarnya


kemakmuran seluruh rakyat Indonesia (pasal 33 ayat (3) UUD 1945).
Sebagai penjabaran dari ketentuan pasal 33 ayat (3) UUD 45
ditetapkan undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria (UUPA). Pembentukan UUPA didasarkan pada
hukum adat (pasal 5) dan pasal 3 UUPA mengakui keberadaan tanah
ulayat (tanah suku) dan semacamnya sepanjang kenyataannya masih
ada. Itu artinya tidak diperkenankan untuk membentuk tanah suku baru.
Pada tahun 1974 Pemerintah Daerah Tingkat I NTT mengeluarkan
Peraturan Daerah No. 8 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Hak Atas
Tanah yang melemahkan eksistensi hak ulayat (tanah suku). Pasal 2 ayat

(1) Peraturan Daerah ini menentukan bahwa tanah bekas penguasaan


masyarakat hukum adat (maksudnya tanah suku) dinyatakan sebagai
tanah-tanah dibawah penguasaan pemerintah daerah cq Gubernur
Kepala

Daerah.

Penegasan

Pemerintah

Daerah

ini

atas

dasar

pertimbangan bahwa suku tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai


persekutuan hukum geneologis, sehingga tidak ada lagi tanah suku. Yang
ada adalah tanah bekas penguasaan masyarakat hukum adat dan tanahtanah seperti inilah yang oleh pemerintah daerah dinyatakan sebagai
tanah negara. Berdasarkan penjelasan dari ketentuan pasal 2 peraturan
daerah tersebut, pernyataan yang tertuang dalam pasal 2 sebagai tindak
lanjut hasil kesimpulan Simposium Terbatas Persoalan Tanah Suku di
Daerah Propinsi NTT yang diselenggarakan pada bulan Mei 1972.
Simposium itu sendiri dalam kesimpulannya antara lain menyatakan,
bahwa telah terjadi proses individualisasi dan disintegrasi suku, sehingga
suku tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai suatu persekutuan hukum
geneologis. Karena itu dikatakan bahwa di NTT tidak ada lagi tanah suku.
Yang ada adalah tanah bekas penguasaan masyarakat hukum adat
(suku)
Penegasan seperti tersebut diatas belum tentu mencerminkan
keadaan

sesungguhnya,

karena

belum

tentu

melalui

pengkajian

(penelitian) yang mendalam tentang keberadaan tanah suku dengan


berbagai komponen yang terkait didalamnya. Lagi pula dikalangan
pemerintah sendiri dalam hal ini Kanwil Badan Pertanahan Nasional
masih belum yakin dengan pernyataan kesimpulan simposium 1972 itu.
Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi NTT, dalam suratnya kepada
Gubernur tanggal 20 Nopember 1993 No. 500-224 menyampaikan suatu
telahaan yang antara lain isinya menyatakan bahwa di NTT, baik ditingkat
propinsi maupun kabupaten perlu dibentuk lembaga yang bersifat
permanen sebagai peneliti untuk melihat sejauh mana keberadaan

(eksitensi) tanah suku/hak ulayat di NTT dengan tugas antara lain untuk
meneliti tentang:
1. Keberadaan wilayah masyarakat hukum adat dengan batas-batas
yang jelas dan diakui oleh masyarakat hukum adat yang berbatasan.
2. Adanya masyarakat hukum adat.
3. Adanya hukum adat termasuk hukum pertanahan.
4. Adanya perangkat hukum adat yang diakui oleh anggotanya dan
masih operasional (tidak hanya nama).
5. Adanya sanksi terhadap pelanggar yang ditaati oleh warga masyarakat
hukum adat.
6. Adanya hak atas tanah yang bersifat komunal yang tidak dapat
diperjual-belikan.
Perlu dilakukan penelitian tentang keberadaan tanah suku ini
diperkuat dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian
masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Dalam ketentuan pasal 5
dari peraturan menteri tersebut ditentukan bahwa penelitian dan
penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam pasal
2 dilakukan oleh pemerintah daerah dengan mengikut sertakan para
pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang
bersangkutan,

lembaga

swadaya

masyarakat

dan

instansi

yang

mengelola sumber daya alam.


Dengan demikian penelitian tentang eksistensi tanah suku dewasa
ini

sudah

pelaksanaan

sangat

tepat

otonomi

dilakukan

daerah.

dalam

hubungannya

Masing-masing

pihak

dengan

(persekutuan

masyarakat adat, pemerintah dan investor) akan memperoleh keuntungan


apabila semua kepentingan terakomodir dalam memanfaatkan tanah
persekutuan (tanah suku) untuk menunjang pelaksanaan pembangunan
demi kesejahteraan seluruh rakyat. Saat ini yang memperoleh keuntungan

adalah pemanfaat tanah pesekutuan adat seperti pemegang HPH, kuasa


pertambangan,

pemegang

HGU

dll,

hal

ini

terjadi

disebabkan

penyelesaian secara tuntas mengenai eksistensi tanah suku tidak final.


Masyarakat persekutuan adat (suku) menjadi penonton dan tidak lagi
menjadi tuan dinegerinya sendiri. Namun untuk masa depan hak-haknya
merekapun (pemegang HPH dsb) akan terancam akibat penyerobotan
yang dilakukan oleh anggota atau persekutuan masyarakat hukum adat
dalam bentuk klaim sepihak bahwa tanah-tanah tersebut merupakan milik
persekutuan adat tanpa mempedulikan nilai investasi atas tanah tersebut.
Klaim tersebut seringkali disertai dengan tindak kekerasan seperti
perusakan fasilitas pendukung usaha, kantor, peralatan usaha, kendaraan
dsb.

2. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan pokok penelitian
adalah bagaimanakah eksistensi tanah suku di Kabupaten Ngada.
Permasalahan pokok tersebut dijabarkan dalam 4 (empat) pertanyaan
penelitian:
1. Apakah

persekutuan

masyarakat

hukum

adat

(kepala

persekutuan/fungsionaris adat) masih memiliki kewenangan untuk


mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah, persediaan dan
pemeliharaan tanah persekutuan yang dikuasai, mengatur dan
menentukan hubungan hukum antara anggota persekutuan dengan
tanah, mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara anggota
persekutuan dan perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan dengan
tanah?
2. Apakah masih ada wilayah persekutuan dengan batas-batas tertentu
sebagai lebenstraum yang merupakan obyek hak ulayat (tanah suku)
dan diakui oleh masyarakat hukum yang berbatasan?

3. Apakah masih ada masyarakat hukum adat (anggota persekutuan)


yang

merasa

terikat

dan

mentaati

kewenangan

persekutuan

masyarakat hukum adat di bawah pimpinan fungsionaris adat dan


memiliki

tanggung

jawab

yang

sama

untuk

memelihara

dan

mempertahankan wilayah persekutuan yang dikuasai dari gangguan


pihak lain?
4. Apakah ada hukum adat termasuk hukum pertanahan yang berlaku
dan mengikat semua anggota persekutuan?
5. Bagaimana mekanisme solusi konflik yang berhubungan dengan
penguasaan dan pemanfaatan tanah persekutuan (hak ulayat/tanah
suku)?
6. Bagaimana mekanisme pengalihan hak ulayat kepada pihak ketiga?

3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN


Tujuan yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kewenangan yang dimiliki persekutuan masyarakat
hukum adat dibawah pimpinan fungsionaris adat dalam mengatur dan
menyelenggarakan penggunaan tanah, persediaan dan pemeliharaan
tanah persekutuan yang

dikuasai; mengatur dan menentukan

hubungan hukum antara anggota persekutuan dengan tanah;


mengatur

dan

menetapkan

hubungan

hukum

antara

anggota

persekutuan dan perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah.


2. Untuk mengetahui keberadaan wilayah persekutuan dengan batasbatas yang jelas sebagai lebenstraum yang merupakan obyek hak
ulayat/tanah suku.
3. Untuk mengetahui keberadaan masyarakat hukum adat (anggota
persekutuan)

yang

merasa

terikat

dan

mentaati

kewenangan

persekutuan masyarakat hukum adat di bawah pimpinan fungsionaris


adat dan memiliki tanggung jawab yang sama untuk memelihara dan

mempertahankan wilayah persekutuan yang dikuasai dari gangguan


pihak lain.
4. Untuk mengetahui keberadaan hukum adat termasuk hukum adat
pertanahan yang berlaku dan mengikat semua anggota persekutuan.
5. Untuk mengetahui mekanisme solusi konflik yang berhubungan
dengan penguasaan dan pemanfaatan tanah persekutuan (hak
ulayat/tanah suku).
6. Untuk mengetahui mekanisme pengalihan hak ulayat (tanah suku)
kepada pihak ketiga
Sedangkan manfaat dari hasil penelitian ini adalah:
1. Sebagai referensi ilmiah bagi proses pengambilan keputusan politik
dan hukum (penyusunan perda tentang kecamatan dan desa) pada
umumnya khususnya yang berhubungan dengan pemberdayaan
lembaga adat, pengelolaan tanah suku di Kabupetan Ngada.
2. Sebagai bahan yang dapat dipertimbangkan semua pihak dalam
rangka untuk menyelesaikan sengketa tanah suku pada umumnya dan
khususnya tanah suku di Kabupaten Ngada.

4. STUDI PUSTAKA
Hak ulayat (tanah suku) merupakan nama yang diberikan para ahli
hukum dan hubungan hukum konkrit antara masyarakat hukum adat
dengan tanah dalam wilayahnya yang disebut tanah ulayat (Boedi
Harsono, 1994:215).
Pengertian hak ulayat (tanah suku) secara resmi tidak dijumpai
didalam UUPA. Dalam pasal 3 dan penjelasannya hanya dinyatakan
bahwa yang dimaksudkan dengan istilah hak ulayat dan hak-hak yang
serupa itu ialah apa yang dalam kepustakaan hukum adat disebut
beschikkingrecht.

10

C.C.J. Massen dan A.p.G. Hens sebagai dikutip oleh Eddy Ruchijat
(1986:31) merumuskan hak ulayat (beschikkingrecht) sebagai hak desa
menurut adat dan kemauannya untuk menguasai tanah dalam lingkungan
daerahnya buat kepentingan anggota-anggotanya atau untuk kepentingan
orang lain (orang asing) dengan membayar kerugian kepada desa, dalam
hal mana desa itu adalah banyak turut campur dengan pembukaan tanah
itu dan turut bertanggung jawab terhadap perkara-perkara yang terjadi
disitu yang belum dapat diselesaikan. Sedangkan Sudikno Mertokusumo
mengartikan hak menguasai (maksudkannya hak ulayat) sebagai hak dari
desa untuk dalam batas wilayah tersebut menguasai tanah menurut
kemauannya, guna kepentingan anggota-anggota desa atau guna
kepentingan orang-orang diluar desa itu dengan pembayaran ganti
kerugian (Sukdikno 1988:11,12).
Lebih lanjut Iman Sudiyat yang menyebut hak ulayat dengan istilah
hak

purba

sebagaimana

Djojodigoeno,

menyatakan

bahwa

yang

dimaksudkan dengan hak purba ialah : hak yang dipunyai suatu suku
(clan/gens/stam), sebuah serikat desa (dorpenbond) atau biasanya oleh
sebuah desa saja untuk menguasai seluruh tanah seisinya dalam
lingkungan

wilayahnya

(Sudiyat,

1981:2).

Selanjutnya

Roestandi

Ardiwilaga (1962:23) menjelaskan secara lebih rinci pengertian hak ulayat


sebagai hak persekutuan hukum untuk menggunakan dengan bebas
tanah-tanah yang masih merupakan hutan belukar didalam lingkungan
wilayahnya, guna kepentingan persekutuan hukum itu sendiri dan
anggota-anggotanya atau guna kepentingan orang-orang luar (orang
asing) dengan isin kepala persekutuan dengan pembayaran recognisi.
Dari uraian diatas diketahui bahwa subyek hak ulayat adalah
masyarakat hukum adat, baik tunggal maupun persekutuan daerah, tetapi
tidak merupakan hak individu dan merupakan pula hak dari suatu famili
(Sumardjono, 1982:5).

10

11

Masyarakat hukum merupakan gerombolan yang teratur bersifat


tetap, mempunyai kekuasaan sendiri dan kekayaan sendiri berupa benda
yang kelihatan dan yang tidak kelihatan (Ter Harr 1976:4). Dengan
demikian maka hak ulayat menunjukan adanya hubungan hukum antara
masyarakat hukum itu dengan tanah wilayahnya. Hubungan hukum
dimaksud menurut Maria S.W. Sumardjono, adalah hubungan menguasai,
bukan hubungan milik sebagaimana halnya dalam konsep hubungan
antara negara dengan tanah menurut pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Hak
menguasai yang melekat pada masyarakat hukum adat terhadap tanah
ulayat (tanah suku) tersebut berisi wewenang untuk :
1. Mengatur

dan

menyelenggarakan

penggunaan

tanah

(untuk

pemukiman, bercocok tanam dan lain-lain) dan pemeliharaan tanah.


2. Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan
tanah (memberikan hak tertentu kepada subyek tertentu).
3. Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah seperti :
jual-beli, warisan dan lain-lain (Sumardjono, Kompas 13 Mei 1993).
Kewenangan yang disebutkan di atas, jika masih ada mencerminkan
masih eksisnya hak ulayat (tanah suku) dan hak-hak semacamnya dalam
masyarakat

hukum

adat.

Dikatakan

hak

ulayat

bila

didalamnya

terkandung hal-hal sebagai berikut:


1. Masyarakat yang bertempat tinggal dalam daerah, kawasan, wilayah
tersendiri, yang selanjutnya disebut masyarakat hukum (persekutuan
hukum/rechts gemeenschap).
2. Tanah yang terletak atau berada didaerah kekuasaan masyarakat
hukum tersebut diatas yang disebut tanah ulayat (tanah pertuanan,
tanah suku, penyempeto, meru, prabumian dan sebagainya).
3. Kekuasaan yang berada didalam tangan masyarakat hukum serta
wewenang untuk mengatur segala sesuatu mengenai tanah ulayat

11

12

tersebut di atas yang ada sangkut pautnya dengan tanah ulayat, baik
secara langsung maupun tidak langsung, yang selanjutnya disebut hak
ulayat (Kertawidjaja, 1978:27-28).
Selanjutnya Cornelis Van Volenhoven menyebut 6 tanda hak ulayat, yaitu:
1. Masyarakat hukum yang bersangkutan dan anggota-anggotanya dapat
dengan bebas mempergunakan tanah liar yang terdapat dalam
wilayahnya, seperti membuka tanah, mendirikan perkampungan.
2. Orang luar masyarakat hukum hanya boleh mempergunakan tanah
tersebut dengan isin dari masyarakat hukum, tanpa isin dipandang
sebagai suatu delik.
3. Dalam mempergunakan tanah tersebut bagi masyarakat hukum yang
bersangkutan kadang-kadang juga dipungut recognisi, tetapi orang
luar masyarakat hukum selalu dipungut recognisi.
4. Masyarakat hukum adat bertanggung jawab terhadap kejahatankejahatan tertentu yang terjadi didalam wilayah yang pelakunya tidak
dapat dituntut atau dikenal.
5. Masyarakat hukum adat tidak boleh mengalihkan hak ulayat secara
menetap.
6. Masyarakat hukum adat masih mempunyai kewenangan untuk campur
tangan terhadap tanah yang telah digarap (Van Vollenhoven dalam
Sumardjono, 1982:6).
Disamping tanda-tanda/ciri yang disebut para ahli hukum sebagai
petunjuk eksistensi hak ulayat dan hak-hak semacamnya, secara
konstitusional telah ditetapkan dalam pasal 3 UUPA yang berbunyi
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak
ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat, sepanjang
kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan

12

13

bangsa serta tidak boleh bertantangan dengan undang-undang dan


peraturan-peraturan yang lebih tinggi.
Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa ekstensi hak ulayat (tanah
suku) dan hak-hak semacamnya dalam hukum tanah nasional tetap
diakui, jika kenyataannya masih ada, artinya, bila dalam kenyataannya
tidak ada, maka hak ulayat (tanah suku) dan hak-hak semacamnya tidak
akan dihidupkan lagi dan tidak akan diciptakan hak ulayat baru.
Meskipun eksistensi hak ulayat diakui, namun dalam pelaksanaanya
dibatasi agar sesuai dengan kepentingan nasional dan negara serta tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang lebih
tinggi. Namun kriteria penentu tentang keeksistensiannya tidak diberikan
batasan yang jelas. Dalam hubungan dengan ini, Maria Sumardjono
mengatakan bahwa kriteria penentu ada atau tidaknya hak ulayat dilihat
pada 3 (tiga) hal, yaitu:
1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu
sebagai subyek hak ulayat.
2. Adanya

tanah

(wilayah

dengan

batas-batas

tertentu

sebagai

lebestraum yang merupakan obyek hak ulayat).


3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan
tindakan-tindakan tertentu (Sumardjono, Kompas 13 Mei 1993).
Dari berlakunya hak ulayat dengan tanda dan kriteria penentu yang
digambarkan diatas, dapat disimpulkan bahwa hak ulayat merupakan
serangkaian wewenang dan kewajiban masyarakat hukum adat, yang
berhubungan dengan tanah yang terletak dalam wilayahnya. Hak ulayat
mengandung 2 (dua) unsur, yaitu unsur kepunyaan yang termasuk bidang
hukum perdata dan unsur kewenangan untuk mengatur penguasaan dan
memimpin penguasaan tanah bersama yang termasuk bidang hukum
publik. Pelaksanaan kewenangan yang bersifat publik ini dilimpahkan

13

14

kepada kepala adat sendiri atau bersama-sama dengan para tetua adat
masyarakat hukum adat yang bersangkutan (Boedi Harsono, 1994:216).
Di Nusa Tenggara Timur, istilah hak ulayat tidak dikenal, tetapi
istilah-istilah seperti tanah Kabisu di Sumba, tanah Wungu di Flores Timur,
tanah Lingko di Manggarai, tanah Leo di Rote, tanah Kanaf di Timor
bagian dawan, tanah Fukun di Timor bagian Tetun, Udu di Sabu, Bapang
di Alor, dan Ngeng Ngerang di Sikka (Patty, 1984:18) mengandung arti
dan isi yang identik dengan tanah hak ulayat. Namun demikian istilah
yang populer adalah tanah suku (hak ulayat).
Kuatnya eksistensi hak ulayat tergantung dari kuatnya persekutuan
masyarakat hukum dan anggota persekutuan mempertahankannya dan
tercermin

dari

sikap

masyarakat

mempertahankan

dan

mentaati

kewenangan dan kewajiban yang diemban. Semakin kuatnya hak


persekutuan masyarakat hukum yang bersangkutan, maka hak-hak
perorangan

akan

melemah.

Sebaliknya

bila

hak-hak

perorangan

mengalami peningkatan dari segi kualitas maupun kuantitasnya, maka


kewenangan masyarakat hukum adat melemah. Kenyataan tersebut oleh
Maria Sumardjono (1982:9) disebut sebagai sifat istimewa dari hak ulayat,
yaitu adanya hubungan timbal balik antara hak ulayat dengan hak-hak
perorangan. Semakin intensif penggarapan tanah secara perorangan oleh
warga masyarakat hukum akan menimbulkan hak yang kuat antar
penggarap dengan tanah dan oleh karenanya hak ulayat menjadi lemah.
Namun apabila tanah garapan tersebut kemudian ditinggalkan oleh yang
bersangkutan dan tidak dipeliharanya lagi, maka hak ulayat menjadi kuat
kembali.
Ditetapkannya Peraturan Daerah Tingkat I Propinsi NTT No. 8
Tahun

1974

tentang

Pelaksanaan

Penegasan

Hak

Atas

Tanah

melemahkan eksistensi tanah suku yang dikuasai rakyat berdasarkan


hukum adat. Pasal 2 ayat (1) Peraturan Daerah ini menentukan bahwa

14

15

tanah bekas penguasaan masyarakat hukum adat dinyatakan sebagai


tanah-tanah dibawah penguasaan Pemerintah Daerah c.q Gubernur
Kepala Daerah, sedangkan dalam ayat (2) ditentukan bahwa, setiap orang
atau badan hukum yang menguasai tanah-tanah sebagai dimaksud pada
ayat (1) pasal ini perlu memiliki bukti penegasan hak.
Pernyataan penguasaan tersebut diatas, menurut penjelasan dari
ketentuan pasal (2) peraturan daerah tersebut, menindak lanjuti hasil
kesimpulan Simposium terbatas persoalan tanah suku di daerah Propinsi
NTT yang diselenggarakan bulan Mei 1972. Simposium itu sendiri dalam
kesimpulannya antara lain menyatakan, bahwa telah terjadi proses
individualisasi dan disintegrasi suku, sehingga suku tidak lagi memenuhi
persyaratan sebagai suatu persekutuan hukum geneologis.
Jadi oleh karena suku tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai
persekutuan hukum geneologis, maka tidak ada lagi tanah suku. Yang
ada adalah tanah bekas penguasaan masyarakat hukum adat (suku) dan
tanah-tanah seperti inilah yang oleh Peraturan Daerah dinyatakan sebagai
tanah negara.
Peraturan daerah diatas kemudian pada tahun 1984 diperkuat
dengan produk hukum lain dari Pemerintah Daerah berupa Instruksi
Gubernur Kepala Daerah Tkt I NTT No. 3/Pem um/1984 yang antara lain
berisi ketentuan sebagai berikut:
1. Melarang setiap orang, badan hukum, instansi pemerintah dan
lembaga kemasyarakatan untuk membagi tanah negara dan tanahtanah bekas tanah suku, selama kewenangan tersebut tidak diatur
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Menginventarisasi tanah-tanah kosong yang ditelantarkan dan diatur
penggunaannya oleh pemerintah sesuai dengan rencana induk
pembangunan daerah.

15

16

Tidak jelas apakah kesimpulan simposium tahun 1972 tersebut


diatas menjadi landasan pemikiran dikeluarkannya peraturan daerah No.
8 Tahun 1974 dan kemudian Instruksi Gubernur No.3/Pem-Um-1984
benar-benar

mencerminkan

kenyataan

sesungguhnya

tentang

keberadaan persekutuan masyarakat hukum adat (suku) selaku subyek


hak ulayat di NTT. Sebab, apabila tidak, hal itu secara yuridis
menegaskan keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayat yang
dimilikinya.
Pemerintah daerah sendiri, setidak-tidaknya kantor wilayah BPN
NTT belum belum begitu yakin dengan pernyataan kesimpulan simposium
tahun 1972 itu. Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi NTT, dalam suratnya
kepada Gubernur Kepala Daerah Tkt I NTT tanggal 20 Nopember 1993
No. 500-224 menyampaikan suatu telahaan yang antara lain isinya
menyatakan bahwa di NTT, baik ditingkat Propinsi maupun Kabupaten,
perlu dibentuk lembaga yang bersifat permanen sebagai peneliti
sejauhmana keberadaan (eksistensi) tanah suku/hak ulayat di NTT
dengan tugas antara lain untuk meneliti tentang:
1. Keberadaan wilayah masyarakat hukum dengan batas-batasnya yang
jelas dan diakui oleh masyarakat hukum adat yang berbatasan.
2. Adanya masyarakat hukum adat.
3. Adanya hukum adat termasuk hukum pertanahan.
4. Adanya perangkat hukum adat yang diakui oleh anggotanya dan
masih operasional (tidak hanya nama).
5. Adanya sanksi terhadap pelanggaran yang ditaati oleh warga
masyarakat hukum adat.
6. Adanya hak atas tanah yang bersifat komunal yang tidak dapat
diperjual belikan.
Keberadaan (eksistensi) hak ulayat (tanah suku) ditegaskan lebih lanjut
dalam ketentuan pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria

16

17

Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang pedoman


penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat dimana
disebutkan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih
ada apabila:
a. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan
hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum
tertentu, yang

mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan

persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,


b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para
warga persekutuan tersebut dan tempatnya mengambil keperluan
hidupnya sehari-hari, dan
c. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan
penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan diatati oleh warga
persekutuan hukum tersebut.
Untuk mengetahui eksistensi hak ulayat (tanah suku) dalam
ketentuan pasal 5 diisaratkan untuk dilakukan penelitian. Namun
penelitian dimaksud belum pernah dilakukan.

5. METODE PENELITIAN
a. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan diwilayah administrasi Kabupaten Ngada
meliputi 3 wilayah bekas pemerintahan Swapraja yaitu bekas
pemerintahan swapwaja Ngadha, Nagekeo dan Riung. Penentuan 3
wilayah bekas pemerintah Swapraja didasarkan pertimbangan bahwa
besar kemungkinan pembentukan persekutuan masyarakat hukum
adat dan wilayah kekuasaannya didasarkan pada pembagian ke 3
wilayah tersebut.
b. Kerangka Sampling

17

18

Kerangka sampling dilakukan untuk memperoleh data primer tentang


aspirasi masyarakat adat dengan menggunakan purposive sampling
yaitu dengan sengaja menentukan wilayah persekutuan masyarakat
hukum adat. Responden terdiri atas tokoh-tokoh masyarakat sesuai
dengan struktur dan sistem kekerabatan komunal dan peternalistik
yang disebut dengan tua-tua adat.
c. Data dan Sumber Data
Data sekunder diperoleh dari dokumentasi formal dan informal, data
hasil penelitian sejenis, dan data primer diperoleh langsung dari
responden atau informen.
d. Teknik Pengumpulan data
Studi berbagai dokumen, pengamatan partisipatif, fokus grup diskusi,
seminar dan interview terstruktur.
e. Analisis Data
Menggunakan teknik analisis normatif dari Antony Allot (1980:26) dan
domain analisis dari James B. Spradley (1979:107). Analisis normatif,
untuk menjelaskan hubungan komponen sistem norma hukum adat
pertanahan yang meliputi: bentuk (form); otoritas pengembangan
(emitted by); isi (content); tujuan (aim); kelompok sasaran (adressed);
bentuk-bentuk ketaatan (form of complience); otoritas restorator dan
pengendali pelanggaran norma hukum dengan norma lainnya (conflict
of the normative system with law or other normative). Sedangkan
domain analisis untuk menjelaskan hubungan antara komponen
(spesis) dari suatu term hukum sebagai genusnya serta induksi
analitik, tematis dan berkelanjutan selama penelitian berlangsung.
f. Siklus pengumpulan keterangan dan penyimpulan hasil analisis dari
tahap demi tahap, digambarkan pada halaman berikut:

18

19

Seminar
(VII)

I
Data sekunder
Data primer informan
Kepustakaan

Lokakarya

Generalisasi dan
pengembangan
institusi
kepemilikan lahan

Seleksi lingkaran
hukum adat

(II)
Masyarakat hukum adat
Data sekunder
Data primer responden
Kepustakaan

KABUPATEN
Wawancara ulang
Seminar (VI)

Aras makro

Generalisasi aras
kabupaten

Generalisasi aras
kecamatan

Pemilihan desa

Kecamatan, desa,
lingkaran hukum adat,
- wawancara ulang
(V)

(III)

MASYARAKAT HUKUM
ADAT
(RECHTSGEBIET)
Data sekunder
Data primer informan
Kepustakaan

Generalisasi aras
Desa

DESA
Data sekunder
Data primer responden
Kepustakaan

Aras mikro

Tahap konfirmasi
Dan penyimpulan
Keterangan
: Angka Romawi (I-VII) Menunjukan Tahapan Studi
Gambar
: Bagan Metodologi Penelitian

19

pengumpulan
data

20

6. ASPEK YANG DITELITI


Aspek yang diteliti meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Susunan persekutuan masyarakat hukum adat yang meliputi dasar
pembentukannya (geneologis), afinitas dan teritorial dan bentuknya
(tunggal, bertingkat, berangkai) (Soejono Soekanto dan Soleman B.
Taneko, 1986:106 dst).
2. Wilayah masyarakat hukum adat dalam arti suatu kesatuan teritorial
berlakunya

sistem

norma

(rechtgebeid) dan

hubungan

antara

masyarakat hukum adat dengan wilayah sebagai labenstraum yang


merupakan obyek hak-hak ulayat (tanah suku).
3. Masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai
subyek hak ulayat (tanah suku).
4. Kewenangan

masyarakat

hukum

adat

(kepala

persekutuan/fungsionaris adat maupun anggotanya) untuk melakukan


tindakan-tindakan tertentu dalam wilayah persekutuan.
5. Konsepsi tentang norma hukum adat yang meliputi pembentukannya,
terminasi

norma, bentuknya,

isinya,

kekuatannya

(rechtsracht),

wilayah berlakunya (rechtsgebeid).


6. Konsepsi subyek hukum, sebagai konsepsi, maka subyek hukum
dapat diklasifikasi berdasarkan kategori-kategori tertentu seperti
subyek individual, subyek komunal, kapasitas, kewarganegaraan,
status geneologis, usia, jenis kelamin, dan klasifikasi lain tentang
subyek hukum menurut hukum adat setempat.
7. Konsepsi obyek hukum berdasarkan metode klasifikasi maka obyek
hukum berupa tanah, benda-benda yang berada diatas tanah, bendabenda yang ada dibawah tanah, air, laut, sungai, danau, hutan, jalan,
bangunan dan sebagainya.
8. Konsepsi hak yang meliputi dasar filsafatnya, jenis dan definisi hak,
komunal,

perorangan,

jangka

20

waktu

berlakunya,

cara-cara

21

memperolehnya dan hapusnya hak tersebut, pengadministrasian dan


sebagainya.
7. ALOKASI WAKTU

Kegiatan

1.

2.
3.

4.
5.
6.

Persiapan
(penyusunan
proposal,
asistensi dengan
Pemda,
negosiasi
Kontrak,
Peyusunan
instrumen
penelitian,
pelatihan
pengumpul data)
Pengumpulan
data
Pengolahan,
analisis
dan
penulisan
draff
laporan
Seminar
draff
laporan
sementara
Penulisan
laporan akhir
Ketik, gandakan,
jilid laporan

Alokasi Waktu
Januari s/d Juli 2007
Januari
Minggu ke
1234

Pebruari
Minggu ke
1234

Maret
Minggu ke
1234

April
Minggu ke
1234

Mei
Minggu ke
1234

Juni
Minggu
ke 1234

Juli
Minggu ke
1234

xxxx

xxxx

...

...

...

...

...

..

..

Xxxx

Xxxx

..

..

..

..

..

..

..

xxxx

xx

..

..

..

..

..

..

..

..

..

..

..

..

xx

..

..

..

..

..

..

...xx

H. RENCANA BIAYA
No.

Komponen

1.

Persiapan
a. pembuatan
proposal
instrumen penelitian
b. konsolidasi dan konsultasi
c. penggandaan
proposal
instrumen penelitian.

Item

Jum
lah

Harga (Rp)

Sub total
(Rp)

dan

Set

2.000.000

2.000.000

dan

Hari
Set

2
1

2.000.000
1.000.000

2.000.000
1.000.000

Total (Rp)

5.000.000
2.

Pengumpulan data lapangan


a. Prasurvey
1. Transport Kupang-Ngada PP
untuk 3 orang @ Rp 150.000
2. Transportasi lokal, akomodasi
dan konsumsi untuk 3 peneliti
selama
6
hari
a
Rp.
100.000,-/orang/hari/orang
b. Survey

Org

300.000

900.000

Org

600.000

1.800.000

21

22

1.
2.

3.
4.
5.
6.
7.

8.

Transportasi Kupang-Ngada
PP untuk 10 orang peneliti @
Rp. 150.000,Transportasi lokal, akomodasi
dan konsumsi untuk 10 orang
peneliti selama 30 hari @ Rp.
500.000,-/orang/hari.

Pengolahan dan analisis data


Penulisan Laporan Penelitian
Pengetikan, penjilitan dan
pendistribusian laporan penelitian
Foto copy bahan-bahan
Workshop
a. Rapat intern antar tim peneliti
b. Konsumsi untuk 50 orang peserta
seminar
c. Penggandaan draff laporan/bahan
workshop
Bahan dan alat
a. Bahan dan alat habis terpakai
b. Sewa alat

Org

10

300.000

3.000.000

Org

10

15.000.000

150.000.000

Ls
Ls

Set
Set

1
1

2.000.000
1.000.000

org

50

Ls
30.000

5.000.000
1.500.000

set

2.000.000

2.000.000

2.000.000
1.000.000

155.700.000
15.000.000
5.000.000
2.000.000
1.000.000

8.500.000
Set
Set

1
1

3.000.000
3.000.000

3.500.000
4.000.000
7.500.000

9.

Honor
a. Penanggung jawab (rektor dan
dekan) a. Rp. 1.500.000,-/bulan
b. Ketua peneliti : 1 orang @ Rp.
2.500.000/bulan
c. Anggota peneliti : 4 orang @ Rp.
1.500.000,-/orang/bulan
d. Enomerator : 6 orang @ Rp
500.000/orang/bulan
e. Staf administrasi : 1 orang a Rp.
250.000,-/bulan

Bln

3.000.000

18.000.000

Bln

15.000.000

15.000.000

Bln

6.000.000

36.000.000

Bln

3.000.000

18.000.000

Bln

250.000

1500.000
78.500.000

Jumlah 1 s/d 9
Fee lembaga 6%

273.200.000
16.392
.000
.289.592.000
40..980.000
330.572.000
331.000.000

Jumlah
Pajak 15%
Jumlah
Dibulatkan
Terbilang : tiga ratus tiga puluh satu juta
rupiah

9. ORGANISASI PENELITIAN
1.

Penanggungjawab
Nama
: Michael J. Djawa, SH.,MH.
NIP
: 131287 258.
Alamat : FH Undana Kupang.

22

23

2.

Ketua Peneliti
Nama
: Dr. K. Y. Stefanus, SH., MHum.
NIP
: 131 660 513.
Alamat : FH Undana Kupang.

3.

Anggota Peneliti
a. Nama : Umbu Lily Pekuwali, SH, M.Hum
NIP : 131 574 164.
Alamat: FH Undana Kupang.
b. Nama : D. A. Patty, SH., MA.
NIP : 130 604 536.
Alamat: FH Undana Kupang.
c. Nama : D. W. Thadeus, SH., MHum.
NIP : 131 813 980.
Alamat: Alamat: FH Undana Kupang.
d. Nama : Ebu Kosmas, SH., MHum.
NIP : 131 697 529.
Alamat: FH Undana Kupang.
e. Nama : Bhia V. Wilhelmus, SH., MHum.
NIP : 131 813 982.
Alamat: FH Undana Kupang.
f. Nama : Rafael R. Tupen, SH., MHum.
NIP : 132 005 626.
Alamat: FH Undana Kupang.
g. Nama : Deddy R. Ch. Manafe, SH., MHum.
NIP : 132 205 422.
Alamat: FH Undana Kupang.
h. Nama : Yules L. Lede, SH.
NIP : 132 312 653.

23

24

DAFTAR PUSTAKA
Ali Chidir, 1980, Jurisprudensi Indonesia Tentang Hukum Adat Bina Cipta,
Bandung.
Biasane, Soleman Taneho, 1981, dasar-dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum
Adat, Alumni, Bandung.
Bushar Muhammad, 1984, Asas-asas Hukum Adat (Suatu Pengantar),
Pradnya Paramita, Jakarta.
--------------------------, 1985, Pokok-pokok Hukum Adat, Pradya Paramita,
Jakarta.
Djojodihoeno, M.M, 1986, Asas Hukum Adat dan Kumpulan Kuliah Hukum
Adat, Pustaka Tinta Mas, Surabaya.
Engel, David, N., 1987, Law, Time and Community, dalam Law and Society
Review, Vol. 21 no.4 1987. Fox, J.J, 1982, The Paradox of
Powerlessness in European Timorese Realtions, Canberra
Anthropology, No. 5/2 : 22-23.
Gomang S.R, 1993, The People of Alor and Their Alliances in Eastern
Indonesia: A Study in Political Sociology, Tesis, Wollonggong
University, Australia.
Friedman Lawrence M., 1975, The Legal System A Social Science
Perspective, Russel Sage Foundation, New York.
Hadikusuma Hilman, 1977, Ensikolopedi Hukum Adat dan Budaya Indonesia,
Alumi, Bandung.
-------------,1980, Pokok-Pokok Pengertian Hukum Adat, Alumni, Bandung.
-------------,1981, Hukum Ketatanegaraan Adat, Alumni, Bandung.
-------------,1982, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju,
Bandung.
-------------,1982, Hukum Perjanjian Adat, Alumni, Bandung.
-------------,1983, Hukum Waris Adat, Alumni Bandung.
-------------,1983, Sejarah Hukum Adat Indonesia, Alumni Bandung.
-------------,1985, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung.
-------------,1989, Hukum Perkawinan Adat Indonesia, Alumni, Bandung.
Hartono Soenarjati, 1971, Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat,
Alumni Bandung.

24

25

Hart, H.L.A, 1961, The Concept of Law, Oxford University Press, Oxford.
Hakian, S.A, 1967, Hukum Adat Perorangan, Perkawinan dan Pewarisan,
Jakarta.
Hidajat, Z.M, 1976, Hukum Antar Adat, Alumni, Bandung.
Hariadi, Untoro dan Masruchah, 1995, Tanah, Rakyat dan Demokrasi, Forum
LSM LPSM SIY, Yogyakarta.
Harsono, B, 1994, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undangundang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, jilid I. Tanah
Nasional. Djembatan Jakarta.
-------------, 2000, Hukum Agraria Nasional, Himpunan Peraturan Hukum
Tanah, Djembatan Jakarta.
Harsono S, 1996, Konflik Pertanahan dan Upaya-upaya Penyelesaiannya
disampaikan pada stadium Generale Fakultas Hukum Gadjah
Mada, tgl 17 Desember. Yogyakarta.
Kana, L. Nico, 1983, Dunia Orang Sawu, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Kelsen, Hans, 1971, General Theory of Law and State, Ruseel Sage
Foundation, New York.
Kusuma Admadja, Mochtar, 1976, Hubungan Antara Hukum dan Masyarakat.
Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pelaksanaan
Pembaharuan Hukum, BPHN # LIPI, Jakarta.
Lawang Robert, 1989, Stratifikasi Sosial di Cancar, Manggarai Flores Barat,
Disertasi, UI, tidak diterbitkan.
---------------------,1996, Konflik Tanah di Manggarai Flores Barat-Pendekatan
Sosiologistik, Hasil Penelitian, Kerjasama Fisip UI dengan
Pemerintah Dati II Manggarai.
Maribeth, 1987, When Rocks Were Young and Earth Was Soft : Ritual and
Mithology in Notheastern Manggarai, Disertasi. Cuplikannya
berjudul, Cudding The Rice : Myth and Ritual in the Agricultural
Year of The Rembong of Northern Manggarai, Indonesia, dalam
Antony R. Walker (e.d.), 1994 Contributions to Southeast Asian
Ethnography, Doble Six Press Ltd., Singapore.

25

26

Mubyarto, et al, 1991, Etos Kerja dan Kohesi Sosial (Masyarakat Sumba,
Rote, Sabu, dan Timor Propinsi Nusa Tenggara Timur), Aditya
Media, Yogyakarta.
Mertokusumo, S. 1987, Perundang-undangan Agraria. Edisi kedua, cetakan
pertama. Liberty. Yogyakarta.
-------------, 1991. Mengenal Hukum (suatu pengantar). Liberty. Yogyakarta.
Patty, D. 1984. Macam-macam Hak Atas Tanah di Dalam Undang-undang
Pokok Agraria. Kasih Indah. Kupang.
Soekanto Soerjono & Soleman B. Taneko, 1986, Hukum Adat Indonesia, CV.
Rajawali, Jakarta.
Soekanto Soerjono & Soekanto, 1985, Meninjau Hukum Adat Indonesia,
Rajawali, Jakarta.
Ridwan, F.A. 1982. Hukum Tanah Adat, Bagian Pertama. Dewaruci Press.
Jakarta.
Sumardjono, M.S.W, Hak Ulayat dan Pengakuannya oleh Undang-undang
Pokok Agraria. Kompas. Jakarta 13 Mei.
Spradley, James, B., 1979, The Etnographic Interview, Holt, Rinehart &
Winston, New York-London-Sydney.
Subekti, R., 1983, Hukum Adat Indonesia Dalam Jurisprudensi Mahkamah
Agung, Alumni Bandung.
Sudiyat Iman, 1985, Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
SAWI, 1991, Sarana Karya Perutusan Gereja, Perkawinan Suku Dawan,
Perkawinan Adat di Ende, Manggarai, Toraja, Karya Kepausan
KWI, Jakarta.
Soelatro, B, 1979, Budaya Sumba, Jilid I, II dan III, Direktorat Jenderal
Kebudayaan, Depdikbud, Jakarta.
Tartib, 1997, Permasalahan Tanah Suku (Tanah Ulayat), Perda No. 8 Tahun
1974 dan Perda-Perda Lain di Nusa Tenggara Timur, Makalah
(tidak) diterbitkan, Pengadilan Tinggi Kupang, Kupang.
Ter Haar BZN, 1979, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradya Paramita,
Jakarta.

26

27

Van Dijk, R., 1971, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Sumur, Bandung.
Van Vollenhoven, 1925, Het Adatrecht van Nederlandsch Indie, Jilid I,
Groningen, Jakarta.
------------------------, 1933, Het Adatrecht van Nederlandsch Indie 1931-1933,
jilid II, Groningen, Jakarta.
------------------------(terjemahan), 1981, Penemuan Hukum Adat, Djambatan,
Jakarta.
------------------------(terjemahan), 1981, Orientasi Dalam Hukum Adat
Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Verheijen, Jilis A.J., 1967, Kamus Manggarai I : Manggarai Indonesia,
Martinus Nijhoff, Gravenhage.
---------------, 1991, Manggarai dan Wujud Tertinggi, terjemahan Alex Beding
dan Marcel Beding, LIPI, Jakarta.
Wiknjodipoero, 1988, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Haji Masagung,
Jakarta.
---------------, 1983, Kedudukan serta Perkembangan Hukum Adat Setelah
Kemerdekaan, Gunung Agung, Jakarta.

27

Anda mungkin juga menyukai