Anda di halaman 1dari 15

ABORTUS SEPTIK

Referat Stase Ginekologi I


Oleh: dr. Mahindria Vici Virahaju
Pembimbing: dr. H. Saribin Hasibuan, SpOG

______________________________________________________________________________
Abstrak
Pendahuluan: Kematian maternal akibat abortus terjadi pada lebih kurang 15% dari seluruh wanita hamil.
Abortus yang menimbulkan masalah paling komplek adalah abortus septik, karena kondisi tersebut
memerlukan perhatian khusus, secara medis maupun sosial. Abortus septik dapat terjadi pada abortus
provokatus, akibat adanya retensi sisa produk kehamilan atau pemaparan cavum uteri oleh mikroorganisme
penyebab infeksi. Perubahan respon sistem imunitas maternal selama kehamilan, dapat mempermudah
terjadinya sepsi, akibat anergi sistem imunitas seluler. Terdapat 3 tahap yang dapat dilakukan untuk
mencegah mortalitas akibat abortus septik. Wanita yang pernah mengalami abortus septik, memerlukan
perhatian khusus, akibat adanya berbagai macam faktor yang melatarbelakangi kejadian tersebut, serta
adanya kebutuhan pelayanan kontrasepsi untuk mencegah atau menunda kehamilan berikutnya.
Metode: Studi kepustakaan
Rangkuman: Abortus septik merupakan kondisi yang harus diwaspadai, karena menimbulkan kematian
pada ibu hamil. Patofisiologi abortus septik dipengaruhi oleh perubahan sistem imunitas maternal selama
masa kehamilan. Wanita yang pernah mengalami abortus septik memerlukan perhatian khusus dan
pelayanan kontrasepsi yang sesuai dengan karakteristik individu dan rencana reproduksi.
Kata kunci: Abortus septik, sistem imunitas, kematian maternal, kontrasepsi pasca abortus.

Pendahuluan
Abortus merupakan salah satu penyulit pada awal kehamilan, Akibat yang
ditimbulkan tidak hanya berkaitan dengan aspek psikologis, melainkan juga timbul
dampak biologis bagi wanita yang mengalami peristiwa tersebut. Abortus yang terjadi
secara spontan, walaupun jarang menimbulkan gangguan kesehatan yang berat, tetapi
apabila dialami oleh pasangan yang sangat menginginkan anak, dapat menimbulkan
dampak psikologis yang berat. Pada abortus provokatus kriminalis, yang terjadi justru
sebaliknya. Komplikasi psikologis lebih ringan daripada komplikasi klinis, karena upaya
aborsi yang ditempuh umumnya tidak aman, sehingga dapat terjadi cacat menetap atau
gangguan keselamatan jiwa penderita.
WHO memperkirakan, angka kematian akibat abortus terutama abortus yang tidak
aman cukup tinggi, yaitu berkisar antara 20 juta kasus per tahun. Hal tersebut setara
dengan 1 diantara 10 kehamilan atau 1 diantara 7 kelahiran. Data pasti tentang kematian

akibat abortus dengan risiko sangat sulit diperoleh, karena kejadian tersebut dilakukan
atas dasar kesepakatan korban dan pelaku. Akibat yang fatal merupakan pilihan risiko
bagi korban. Hampir 90% abortus dengan risiko terjadi di negara berkembang. Kematian
akibat abortus dengan risiko di negara berkembang 15 kali lebih banyak daripada di
negara industri. Tingginya angka kematian tersebut

dapat terjadi akibat

tidak

tersedianya fasilitasaborsi yang legal, kemiskinan, keterbelakangan, dan sikap kurang


peduli.

Pada referat ini akan dibahas mengenai abortus septik, yang merupakan salah satu
komplikasi abortus dengan risiko. Pembahasan akan meliputi: pengertian dan faktor
risiko abortus, pengertian dan faktor risiko abortus septik, patofisiologi sepsis,
penatalaksanaan abortus septik, serta kontrasepsi pasca abortus.

Abortus
Menurut WHO, abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan oleh akibat-akibat
tertentu, sebelum

hasil konsepsi mampu hidup di luar kandungan1. Beberapa

kepustakaan menyebutkan batasan yang berbeda, yaitu sebelum usia kehamilan 20


minggu2. Berdasarkan etiologinya, abortus dibagi 2, yaitu abortus spontan dan abortus
provokatus. Abortus spontan adalah abortus yang terjadi tanpa adanya upaya untuk
mengakhiri kehamilan. Jenis abortus ini terjadi pada hampir 10% dari seluruh kehamilan.
Peneliti lain menyebutkan angka kejadian abortus spontan berkisar antara 15% sampai
20%2. Angka kejadian abortus spontan bervariasi pada beberapa penelitian, karena
beberapa sumber data tidak bersedia menyebutkan secara jelas tentang gambaran abortus
yang terjadi.Di beberapa wilayah, kejadian abortus merupakan hal yang tabu untuk
dibicarakan, sehingga terjadi kecenderungan untuk menyembunyikan data tentang
abortus. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan 80% abortus spontan terjadi pada
trimester pertama kehamilan dan insidensinya menurun sesuai dengan bertambahnya usia
kehamilan. Pada penelitian yang dilakukan terhadap 347 ibu hamil trimester pertama,
didapatkan kejadian abortus spontan 4,2% sampai 6,1% pada ibu hamil tanpa keluhan
perdarahan, dan 12,4% ibu hamil dengan keluhan perdarahan2.

Pada masa awal kehamilan, ekspulsi spontan produk kehamilan umumnya terjadi
akibat berhentinya proses proses biologis pada embrio. Penyebab abortus spontan
sebagian besar berkaitan dengan abnormalitas ovum atau kelainan pada traktus genitalis.
Penelitian yang dilakukan terhadap 1000 kasus abortus spontan menunjukkan bahwa
pada 49% kasus terjadi degenerasi embrio2. Hal tersebut dapat disebabkan oleh cacat
kromosom dari salah satu orang tua yang bertindak sebagai pembawa kromosom cacat.
Abnormalitas akibat cacat kromosom dapat dimulai pada saat meiosis gamet, fertilisai,
atau pembelahan dini mitosis. Anomali dapat juga terjadi lebih dini, bila pembawa
kromosom cacat adalah pihak maternal, sehingga mungkin terjadi pengeluaran konsepsi
abnormal tanpa didahului periode amenorea.

Berdasarkan hasil penelitian lain, didapatkan bahwa usia gamet berkaitan dengan
kejadian abortus spontan. Hal tersebut terjadi akibat berkurangnya kualitas spermatozoa,
daya tangkap ovum, dan sistem hormonal yang mendukung terjadinya fertilisasi. Kondisi
endometrium dan faktor hormonal yang mengatur peristaltik tuba dan kontraksi uterus,
maturasi endometrium dan pembentukan desidua, reaksi dan umpan balik proses nidasi
blastokis, serta hubungan seluler trofoblas dengan endometrium sangat menentukan
kualitas dan kelangsungan hidup embrio. Dengan demikian, semua faktor yang
diperlukan untuk kelangsungan hidup embrio harus berada pada kondisi yang optimal.

Infeksi dan beberapa penyakit sistemik pada ibu hamil telah diketahui sebagai
penyebab abortus spontan. Beberapa mikroorganisme yang berkaitan dengan abortus
spontan diantaranya: Listeria monositogenus, Toxoplasma gondii, Mycoplasma hominis,
dan ureaplasma urealiticum

. Penyakit sistemik yang dapat menyebabkan abortus

spontan diantaranya adalah TBC paru, penyakit ginjal, penyakit hati kronis, dan diabetes
melitus. Penyakit tersebut menyebabkan kegagalan pertumbuhan embrio akibat gangguan
pemenuhan nutrisi. Abnormalitas organ reproduksi dapat menimbulkan abortus spontan,
antara lain akibat gangguan langsung pada permukaan endometrium (misalnya akibat
pertumbuhan mioma submukosa) ataupun akibat ketidakmampuan menahan dan
melindungi isi kavum uteri (misalnya pada inkompetensia cervix uteri).

Abortus provokatus adalah abortus yang terjadi akibat adanya upaya tertentu
untuk mengakhiri proses kehamilan. Jenis abortus ini digolongkan menjadi 2 yaitu:
bortus provokatus medisinalis dan abortus provokatus kriminalis. Abortus provokatus
medisinalis adalah abortus yang dilakukan pada seorang ibu hamil atas indikasi medis.
Indikasi tersebut pada umumnya berkaitan dengan keselamatan jiwa ibu, gangguan
kesehatan yang berat, dan adanya kecacatan

berat pada janin. Abortus provokatus

kriminalis adalah abortus yang dilakukan secara sengaja melalui kesepakatan antara ibu
hamil dan pelaku aborsi, tanpa adanya indikasi medis tertentu. Abortus provokatus
kriminalis disebut juga abortus dengan risiko, karena tindakan tersebut paling banyak
menimbulkan komplikasi. Data pasti tentang abortus dengan risiko sangat sulit diperoleh,
diperkirakan 70.000 ibu hamil meninggal

setiap tahun akibat tindakan tersebut1.

Komplikasi akibat tindakan tersebut dapat menjadi lebih berat apabila tidak tersedia
fasilitas pelayanan aborsi yang legal.

Abortus septik
Abortus septik adalah abortus disertai komplikasi berupa infeksi pelvis dan
sepsis3. Abortus septik merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu hamil. Risiko
kematian meningkat sesuai dengan bertambahnya usia kehamilan. Sepsi pasca abortus
dapat terjadi setelah abortus spontan dan abortus provokatus.

Faktor penyebab abortus septik adalah adanya sisa produk kehamilan dalam
uterus dan terpaparnya cavum uteri oleh mikroorganisme akibat tidak dilaksanakannya
prosedur pencegahan infeksi dengan benar. Sisa produk kehamilan merupakan media
yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Kondisi tersebut pada umumnya terjadi akibat
kelalaian petugas, yang tidak melakukan pengecekan ulang kondisi cavum uteri pasca
kuretase, atau karena penderita tidak menjalani kuretase pada tenaga yang kompeten
untuk melakukan hal tersebut. Terpaparnya cavum uteri oleh mikroorganisme dapat
terjadi akibat kelalaian petugas dalam menerapkan prosedur pencegahan infeksi, atau
karena penderita menjalani kuretase oleh tenaga yang tidak kompeten. Mikroorganisme
penyebab penyakit pada umumnya bersifat multibakterial, berasal dari flora normal

vagina atau bakteri yang ditularkan melalui hubungan seksual (sexually transmitted
bacteria). Beberapa mikroorganisme yang diketahui merupakan penyebab abortus septik
antara lain: Escherichia coli, streptococcus hemolitikus grup B, grup staphilococcus,
Bacteroides sp, Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, Clostridium perfringens,
dan Mycoplasma hominis.

Sepsis
Sepsis didefinisikan sebagai Sindroma Respon Inflamasi Sistemik (Systemic
Inflammatory Response Syndrome) yang disertai adanya bukti infeksi6. Patofisiologi
sepsis belum dapat diketahui dengan pasti. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
sepsis terjadi akibat kegagalan sistem imunitas tubuh5. Penderita yang mengalami sepsis
menunjukkan gambaran klinis yang berkaitan dengan penekanan sistem imunitas, yaitu
tidak terjadi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, ketidakmampuan sistem imun
menghambat perkembangan infeksi, dan peningkatan risiko terkena infeksi nosokomial6.
Mekanisme terjadinya sepsis meliputi: terjadinya perubahan respon inflamasi oleh
sel T helper tipe 1 menjadi respon antiinflamasi oleh

sel T helper tipe 2, anergi,

hilangnya sel T CD4, sel B dan sel dendritik dari sirkulasi akibat apoptosis, tidak terjadi
ekspresi molekul MHC klas II dan ko-stimulatornya, serta adanya efek penekanan sistem
imun akibat sel mengalami apoptosis6.
1. Perubahan respon inflamasi menjadi antiinflamasi
Makrofag dan sel dendritik-keduanya merupakan lapisan pertama sistem imunitas
seluler, menjadi aktif akibat masuknya mikroorganisme, adanya sel nekrotik, atau
terjadinya apoptosis. Kedua jenis sel tersebut akan mengaktifkan sel T CD4. sel
Sel T CD4 teraktivasi mensekresikan 2 macam sitokin yang berbeda sifatnya,
yaitu

yang mampu menimbulkan respon inflamasi (sel T helper tipe 1,

selanjutnya disingkat Th1) antaralain: Tumor Necroting Factor- (TNF-),


interferon-, interleukin-2, dan sitokin yang menimbulkan respon antiinflamasi
(sel T helper tipe 2, selanjutnya disingkat Th2) antaralain: interleukin-4 dan
interleukin-106. Makrofag dan sel dendritik yang telah memfagositosis sel
nekrotik atau mikroorganisme pathogen menyebabkan sekresi sitokin inflamasi
(sitokin Th1), sedangkan fagositosis terhadap sel yang mengalami apoptosis

menimbulkan sekresi sitokin antiinflamasi (sitokin Th2) dan reaksi anergi5. Faktor
lain yang dapat mempengaruhi jenis sitokin yang disekresi oleh sel T CD4 adalah:
tipe mikroorganisme pathogen, ukuran, dan lokasi infeksi.
2. Anergi
Anergi adalah keadaan tidak responsive terhadap antigen6. Sel T disebut
mengalami anergi apabila terjadi kegagalan proliferasi atau sekresi sitokin,
sebagai respon terhadap antigen spesifik. Beberapa hasil penelitian menunjukkan
kegagalan proliferasi dan sekresi sitokin oleh sel T berhubungan dengan
mortalitas penderita sepsis8. Kondisi tersebut dapat terjadi akibat apoptosis, yaitu
kerusakan sel akibat aktivasi enzim protease dalam sel itu sendiri.
3. Apoptosis
Apoptosis berbeda dengan proses nekrosis sel. Pada apoptosis terdapat gambaran
khas, seperti: fragmentasi DNA, kondensasi kromatin, pengkerutan membran sel,
dan

pengurangan ukuran sel9. Apoptosis dapat disebabkan oleh pelepasan

glukokortikoid endogen akibat stres (stress induced endogenous release of


glucocorticoids)5. Pada penderita sepsis, didapatkan sejumlah besar limfosit dan
epitel gastrointestinal mengalami apoptosis10. Kondisi tersebut menyebabkan sel
T mengalami anergi atau melepaskan sitokin antiinflamasi, yang menghambat
respon sistem imunitas tubuh. Otopsi yang dilakukan terhadap penderita yang
meninggal akibat sepsis menunjukkan adanya pengurangan jumlah sel sel yang
termasuk sistem imunitas seluler, akibat apoptosis progresif5. Sepsis secara nyata
menyebabkan penurunan jumlah sel B, sel T CD4, dan sel dendritik.
Berkurangnya jumlah sel limfosit dan sel dendritik sangat berpengaruh, karena
kondisi tersebut terjadi dalam keadaan infeksi yang mengancam jiwa, dimana
pada saat tersebut sangat diperlukan proliferasi limfosit yang cepat6.

Patofisiologi abortus septik

Mekanisme terjadinya abortus septik, berkaitan dengan kondisi sistem imunitas


maternal pada endometrium. Pada keadaan hamil, sistem imunitas pada endometrium
mengalami anergi. Hal tersebut penting dalam proses implantasi dan perkembangan

embrio selanjutnya. Selama masa kehamilan, respon sistem imunitas maternal telah diatur
sehingga menghasilkan keseimbangan berupa penurunan relatif aktifitas sistem imunitas
seluler yang menghasilkan sitokin Th1dan peningkatan sistem imunitas humoral yang
menghasilkan sitokin Th2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegagalan implantasi
dipengaruhi oleh aktivasi sel K, yang bersama dengan makrofag dan sel T menghasilkan
berbagaimacam sitokinTh1, yaitu :Tumor Necroting Factor alpha (TNFa), interferon
gamma, interleukin (IL) 1 dan 2; serta sitokin Th211. Sitokin Th1diperlukan dalam
pengaturan invasi trofoblas dalam endometrium. Keseimbangan produksi sitokin Th1
dengan Th2 menimbulkan lingkungan endometrium yang sesuai untuk implantasi dan
perkembangan embrio. Peningkatan pelepasan sitokinTh1, terutama TNFa dan interferon
gamma menyebabkan

apoptosis yang tidak terkendali, sehingga

terjadi kegagalan

implantasi. Anergi sistem imunitas seluler mempermudah terjadinya infeksi oleh


mikroorganisme. Infeksi dapat berlanjut dengan cepat dan dapat berakibat fatal, karena
keterlambatan proliferasi sistem imunitas seluler dan pelepasan sitokin Th1.

Diagnosis dan penatalaksanaan abortus septik

Setiap wanita usia subur yang datang dengan keluhan perdarahan per vaginam,
riwayat terlambat haid, nyeri perut bawah, demam, sekret vagina berbau, disertai
penurunan keadaan umum, harus dicurigai mengalami abortus septik. Pemeriksaan fisik
yang perlu diperhatikan adalah: pemeriksaan abdomen dengan memperhatikan tandatanda lokasi nyeri, adanya nyeri tekan lepas, dan peristaltik usus; pemeriksaan dalam
untuk memperoleh contoh sekret vagina, membuktikan adanya dan asal perdarahan,
mengetahui ada tidaknya nyeri gerak cervix (slinger pain), ada tidaknya nyeri tekan pada
uterus dan adneksa, serta ada tidaknya massa. Pemeriksaan penunjang yang perlu
dilakukan adalah: laboratorium, yaitu pemeriksaan darah rutin, LED, kadar HCG,
elektrolit, gula darah sewaktu, BUN, kreatinin, golongan darah, serta kultur secret vagina.
Disamping itu sebaiknya dilakukan pemeriksaan USG untuk mengidentifikasi adanya
sisa produk kehamilan dalam uterus, massa pada jaringan adneksa, dan cairan bebas
dalam cavum Douglasi.

Penatalaksanaan yang harus dilakukan adalah: memperbaiki keadaan umum


dengan pemberian cairan intravena, oksigenasi, dan pemantauan tanda vital. Dilakukan
pemasangan kateter menetap untuk memantau produksi urin dan balans cairan.
Pemberian antibiotika sebaiknya segera dilakukan dengan menggunakan antibiotika
kombinasi berspektrum luas, misalnya kombinasi Penicillin G 5 juta unit per 6 jam
dengan Gentamisin 7 mg/kg BB per 24 jam dan Clindamycin 900 mg per 8 jam, secara
intavena, sampai penderita bebas panas selama 48 jam. Beberapa kepustakaan
menyebutkan kombinasi antibiotika yang dapat digunakan pada penderita abortus septik
yaitu kombinasi Ceftriaxone atau Ciprofloxacin atau Spektinomicin dengan Gentamisin
atau Metronodazole; Doksisiklin dengan Metronidazole; atau Penicillin dengan
Cloramphenicol4. Pengeluaran sisa produk kehamilan harus segera dilakukan setelah
keadaan umum pasien membaik, dengan cara dilakukan kuretase. Pada kasus tertentumisalnya miometritis clostridial, perforasi uterus, perforasi usus, dan abses pelvis, perlu
dilakukan laparotomi, bahkan mungkin histerektomi.

Pencegahan terhadap abortus septik dapat dikelompokkan menjadi 3 tahap, yaitu


primer, sekunder, dan tersier5. Pencegahan primer meliputi semua upaya yang dilakukan
untuk mencegah terjadinya penyakit. Dalam kaitannya dengan abortus septik, upaya
tersebut meliputi: penyediaan alat kontrasepsi yang murah dan mudah didapat serta
penatalaksanaan kasus abortus dengan prosedur kerja yang benar. Pencegahan sekunder
didefinisikan sebagai deteksi dini dan penatalaksanaan yang tepat untuk menghentikan
proses perkembangan penyakit. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara: pengenalan
awal (initial assessment) untuk menentukan tingkat keparahan penyakit, pemeriksaan
ginekologis yang akurat, serta pemberian antibiotika spectrum luas untuk mencegah
penyebaran penyakit lebih lanjut. Pencegahan tersier merupakan upaya untuk
meminimalkan morbiditas dan gejala sisa akibat penyakit tersebut, meliputi pemilihan
terapi operatif-misalnya laparotomi, histerektomi bila diperlukan sesuai indikasi, dan
terapi suportif selama masa perawatan untuk mendukung kesembuhan penderita.

Kontrasepsi pasca abortus

Pulih subur penderita pasca abortus dapat terjadi sebelum menstruasi berikutnya.
Dengan demikian diperlukan metode kontrasepsi yang tepat untuk mencegah
berulangnya kehamilan yang tidak diinginkan atau untuk memberi kesempatan
pemulihan kondisi fisik dan psikis wanita tersebut. Pelayanan KB pasca abortus diberikan
berdasarkan hasil peniaian individual, yaitu: karakteristik individu, rencana dan tujuan
reproduksi, kondisi kesehatan, kemampuan fasilitas kesehatan, serta kondisi masyarakat
di tempat tinggal penderita2. Komponen-komponen penting yang termasuk dalam
program KB pasca abortus adalah: informasi dan konseling tentang metode, cara kerja,
efektifitas dan efek samping, berbagai pilihan metode kontrasepsi yang tersedia, jaminan
pasokan atau penyediaan alat kontrasepsi, serta konseling tentang rencana reproduksi.

Pada umumnya semua metode kontrasepsi mutakhir yang ada dapat segera
digunakan pada wanita pasca abortus, dengan memperhatikan beberapa hal berikut ini:
1

Tidak ada komplikasi berat lanjutan yang masih memerlukan pengobatan

Pasien telah mendapatkan konseling yang adekuat dan dapat membuat keputusan
tentang metode kontrasepsi yang dipilih

Petugas kesehatan mengetahui kondisi kesehatan fisik dan mental pasien sebelum
penggunaan metode kontrasepsi tertentu

Beberapa peneliti menganjurkan untuk selalu memperhatikan kondisi pasien dalam


memilih metode kontrasepsi yang sesuai, karena yang dihadapi pasien pada saat datang
mencari pertolongan adalah kegawatdaruratan akibat abortus dan akibat lanjut yang
mungkin timbul. Dengan demikian, bila semua penyulit dan komplikasi telah dapat
diatasi dengan baik, kemudian dilakukan upaya pencegahan kehamilan dengan
memberikan pelayanan kontrasepsi yang berkualitas. Seleksi metode kontrasepsi pasca
abortus dapat dilihat pada table berikut ini.

METODE

Barier bebas
(Kondom, spons dan
supositoria vaginal
tablet, busa, jeli, atau
tissue)

WAKTU
PENGGUNAAN

Segera setelah
kondisi
memungkinkan

KEUNTUNGAN

Barier terikat
(Diafragma atau
selubung cervix
dengan busa atau
jeli)

Pil

(Tunggal/Kombinasi)

Tunda
pengukuran atau
pemasangan
diafragma
sampai
perdarahan
berhenti dan
ukuran uterus
kembali normal

Dapat dimulai
segera

KETERBATASAN

Tidak ada risiko


terhadap
kesehatan
Murah
Metode
alternatif bila
metode lain
belum
memungkinkan
Tidak perlu
supervisi
Melindungi dari
PMS
Segera efektif
Dapat
dihentikan
setiap saat

Tidak ada risiko


terhadap
kesehatan
Murah
Tidak perlu
supervisi
Melindungi dari
PMS
Segera efektif
Dapat
dihentikan
setiap saat
Sangat efektif
Dapat segera
dimulai
Tidak
mengganggu
sanggama
Dapat dilayani
oleh tenaga non
medis

Kurang efektif
Digunakan
setiap akan
bersanggama
Perlu motivasi
berkesinambung
an
Perlu pasokan
ulang

Kurang efektif
Digunakan
setiap akan
bersanggama
Perlu motivasi
berkesinambung
an
Perlu pasokan
ulang

Perlu motivasi
berkesinambung
an
Perlu pasokan
ulang
Potensi
berkurang bila
digunakan
bersamaan
dengan obatobatan tertentu
Tidak
melindungi
10

Suntikan (DMPA,
Net-En)

Dapat dimulai
segera
Cocok untuk
yang
menginginkan
kontrasepsi
jangka
menengah

Implant

Dapat dimulai
segera
Dipasang
setelah
perdarahan
berhenti

AKDR

Tunda sampai
perdarahan,
trauma, atau
infeksi dapat
diatasi dengan
baik
Trimester I:
Dapat dipasang
apabila tidak
terdapat gejala
infeksi dan
konseling yang
adekuat
Trimester II:
Tunggu hingga
involusi uterus
kembali normal
(6 minggu)
kecuali bila
tersedia sarana
yang memadai

Sangat efektif
Dimulai segera
Tidak
mengganggu
sanggama
Dapat dilayani
tenaga non
medis
Pasokan oleh
klinik
Kurangnya
ketergantungan
pengguna
Sangat efektif
Jangka panjang
Pemulihan
kesuburan
relatif cepat
Tidak
mengganggu
sanggama
Pasokan oleh
klinik
Sangat efektif
Pemulihan
kesuburan cepat
Jangka panjang
Tidak
mengganggu
sanggama
Pasokan oleh
klinik
Kontrol mandiri
Tidak perlu
melakukan
kunjungan
ulang terjadwal

terhadap PMS
Gangguan siklus
Pemulihan
kesuburan
terganggu
Injeksi ulangan
setiap tiga bulan
Tidak
melindungi
terhadap PMS

Gangguan siklus
Dipasang oleh
tenaga terlatih
Penghematan
biaya trgantung
dari lamanya
penggunaan
Tidk melindungi
terhadap PMS
Menoragia dan
kram pada bulan
pertama
penggunaan
Risiko infeksi
panggul bila
pasangannya
risiko tinggi
Dipasang oleh
tenaga terlatih
Tidak
melindungi
terhadap PMS

11

Tubektomi

Metode alamiah

dan tenaga ahli


Trimester I
dilakukan
dengan
minilaparotomi,
pada trimester II
lebih sering
seperti cara
pasca persalinan
Dapat dilkukan
bila tidak ada
komplikasi
Konseling
khusus
Tidak
dianjurkan
hingga siklus
menstruasi
kembali normal

Permanen
Sangat efektif
Cukup sekali
Tidak
mengganggu
sanggama
Tidak
mengganggu
fungsi seksual
Segera efektif
Tidak ada efek
samping jangka
panjang
Tidak perlu
biaya

Sulit diputuskan
pada kondisi
pasca abortus
Risiko operatif
Dilakukan oleh
tenaga terlatih
Tidak
melindungi
terhadap PMS

Tidak efektif
Gunakan
metode lain
sampai siklus
kembali normal
Perlu konseling
dan penjelasan
ekstensif
Sangat
tergantung
motivasi dan
disiplin
Tidak
melindungi
terhadap PMS

Diambil dari:Buku Panduan Asuhan Pascakeguguran, 2001

Rangkuman
1. Abortus septik merupakan salah satu penyebab kematian ibu hamil yang harus
diwaspadai, dapat terjadi akibat terpaparnya cavum uteri oleh mikroorganisme.
2. Sepsis pasca aborsi berkaitan dengan perubahan keseimbangan sistem imunitas
maternal pada masa kehamilan.
3. Penatalaksanaan penderita abortus septik diawali dengan pengenalan gejala dan
kegawatdaruratan.
4. Abortus septik dapat dihindari dengan melakukan upaya pencegahan primer,
sekunder, dan tersier.

12

5. Perlu dilakukan pelayanan kontrasepsi pasca abortus, yang sesuai dengan kondisi
kesehatan, karakteristik individu, dan rencana reproduksi selanjutnya .

Daftar pustaka

1. WHO, Maternal Health and Safe Motherhood Programme, Division of Family


Health, Geneva, 1993.
2. JNPK-KR/POGI, Asuhan Pascakeguguran, 2001.
3. Gaufberg SV, Septic Abortion, http://www.emedicine.com, 2003.
4. WHO, Clinical Management of Abortion Complications: A Practical Guide, Geneva,
1994.
5. Stubblefield PG, Grimes AD, Septic Abortion, New England Journal of Medicine,
1994; 331: 310-314.
6. Hotchkiss RS, Karl EI, The Pathophysiology and Treatment of Sepsis, New England
Journal of Medicine, 2003; 348: 138-150.
7. Bone RC, Balk RA, Cerra FB, et al, Definitions for Sepsis and Organ Failure and
Guidelines for The Use of Innovative Therapies in Sepsis, Chest, 1992; 101: 16441655.
8. Heidecke CD, Hensler T, Weighardt H, et al Selective Defect of T Lymphocyte
Function in Patients with Lethal Intraabdominal Infection, Am J Surg, 1999; 27:12301251.
9. Riedemann NC, Feng Guo R, Ward PA, The Enigma of Sepsis, J Clin Invest, 2003;
460-467.
10. Hotchkiss RS, Tinsley KW, Swanson PE, et al, Depletion of Dendritic Cells, but not
Macrophages, in Patients with Sepsis, J Immunol, 2002; 168: 2493-2500.
11. Sher Institutes for Reproductive Medicine, Immunologic Implantation Failure : Why
it often leads to IVF Failure and the Role of Selective Immunotherapy, 2002 : 1-10 .

13

14

15

Anda mungkin juga menyukai