Anda di halaman 1dari 23

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Hati dan Empedu


Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar 1.400 garam atau 3%
berat badan orang dewasa normal. Hati merupakan organ lunak yang lentur dan
tercetak oleh struktur sekitarnya.
Hati sangat penting dalam metabolisme bahan makanan antara lain :
1. Hati berperan dalam mempertahankan kadar gula darah dengan jalan
membentuk dan menyimpan glikogen. Glikogen dibentuk dari glukosa,
levulosa, galaktosa dan laktosa. Hati dapat juga merubah asam amino
glikogenik dan gliserol menjadi dekstrosa, yang kemudian dirubah menjadi
glikogen (glikogenesis). Sedangkan glokogen dapat dirubah oleh hati menjadi
glukosa sesuai dengan kebutuhan (glikogenolisis).
2. Tempat sintesis dan oksidasi lemak. Hampir semua lemak dimetabolisir di
dalam hati. Zat lemak yang dipadukan dengan lesitin akan membentuk
posfolipid yang mudah diangkut dan dalam keadaan siap pakai. Kolesterol
dibuat di hati dari asam asetat, sedangkan esternya merupakan gabungan
kolesterol dengan asam lemak. Lipoprotein plasma yang mengangkut
trigliserida juga dibuat di hati. Hati bersama-sama dengan ginjal memecahkan
asam lemak berantai panjang menjadi benda-benda keton. Benda keton ini
akan banyak dihasilkan oleh tubuh pada masa kelaparan. Benda keton akan
dikeluarkan bersama air kemih.
3. Ureum dibuat di hati dan merupakan deaminasi protein. Zat protein seperti
fibrinogen, globulin dan protrombin dibuat di hati.
4. Vitamin A, C dan D disimpan di hati. Hati juga mengolah bahan baku vitamin
A (provitamin A) menjadi vitamin A. Riboflavin, vitamin E dan K juga
disimpan di hati.
5. Hati berfungsi juga sebagai pembentuk darah terutama pada masa neonatus
dan hati juga merupakan cadangan penyimpanan zat besi.
6. Hati berfungsi sebagai penawar racun yang membahayakan tubuh serta
berupaya agar bahan tersebut dapat dikeluarkan dengan segera.1

2
2.2 Metabolisme Bilirubin
Bilirubin berasal dari pemecahan hemoglobin di sistem retikuloendotelial.
Hemoglobin akan dipecah menjadi heme dan globin yang mana. Globin akan
digedrasi menjadi asam amino dan akan kembali ke sirkulasi, sedangkan heme akan
dioksidasi oleh heme oksigenase menjadi biliverdin, Fe dan karbon monoksida.
Kemudian biliverdin akan direduksi menjadi bilirubin indirek / tak terkonjugasi oleh
enzim biliverdin reduktase. Semua proses tersebut terjadi di limpa. Bilirubin indirek
kemudian dibawa ke hati melalui aliran darah. Karena sifatnya yang tidak larut dalam
air maka dibutuhkan ikatan dengan albumin.2
Bilirubin ini mempunyai daya larut yang tinggi terhadap lemak dan kecil sekali
terhadap air, sehingga pada reaksi van den Bergh, zat ini harus dilarutkan dahulu
dalam akselerator seperti methanol atau etanol, oleh karena itu disebut bilirubin
indirek. Zat ini sangat toksik terutama untuk otak. Pengikatan dengan albumin
merupakan upaya tubuh untuk menyingkirkan bilirubin indirek dari tubuh dengan
segera. Daya ikat albumin-bilirubin (kapasitas ikat total) berkisar 3-4 mg/dl. Obat
seperti asetil salisilat, tiroksin dan sulfonamid dapat mengadakan kompetisi terhadap
ikatan ini. Bilirubin indirek mudah memasuki hepatosit berkat adanya protein
akseptor sitoplasmik Y dan Z hepatosit. Proses tersebut dapat dihambat oleh anion
organic seperti asam flavasidik, beberapa bahan kolestogarafik.4
Dalam hepatosit bilirubin akan diikat oleh asam glukoronat yang berasal dari
asam uridin diposfoglukoronat dengan bantuan enzim glukoronil transferase. Hasil
gabungan ini larut dalam air, sehingga disebut bilirubin direk atau bilirubin terikat
(conjugated bilirubin). Selain dalam bentuk diglukoronida dapat juga dalam bentu
ikatan monglukoronida atau ikatan dengan glukosa, xylosa dan sulfat. Bilirubin
konjugasi dikeluarkan melalui proses yang tergantung dari energi ke dalam system
bilier. Bilirubin yang diekskresikan ke dalam usus akan dirubah menjadi sterkobilin.
Enzim glukoronil transferase diinduksi oleh fenobarbital. Fenobarbital juga menabah
protein akseptor Y. Estrogen dan progestin yang berasal dari ibu dan steroid dapat
menghambat konjugasi bilirubin dalam hati. Bilirubin direk atau bilirubin konjugasi
dikeluarkan melalui membran kanalikuli ke saluran empedu. Proses ini terbatas (rate
limiting process). Obat seperti klopromazin dapat memblokade proses ini demikian
juga adanya bendungan ekstrahepatal dan kerusakan sel hati. Bila terjadi blokade,
maka bilirubin direk akan mengalami regurgitasi sehingga kembali ke dalam plasma.4

3
Bilirubin direk ditampung dalam kantong empedu yang kemudian dikeluarkan
ke dalam saluran pencernaan. Dalam saluran ini bilirubin direk akan direduksi oleh
bakteri menjadi urobilinogen. Sebagian urobilinogen akan diserap oleh usus, masuk
ke dalam darah dan selanjutnya akan dikeluarkan oleh ginjal bersama air kemih.
Bilirubin direk sebagian besar diserap oleh ileum terminal secara aktif, sebagian kecil
yang tidak diserap masuk ke dalam kolon, dirusak oleh bakteri usus manjadi bilirubin
indirek. Sebagian dari bilirubin ini diserap secara pasif oleh kolon melalui vena porta
bilirubin ini memasuki hati dan dikeluarkan lagi ke dalam system bilier (sirkulasi
enterohepatik).4

2.3 Definisi

Kolestasis adalah hambatan aliran empedu dan bahan-bahan yang harus diekskresi
hati, yang mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar bilirubin direk dan
penumpukan garam empedu.1,2,3,4 Dari segi klinis didefinisikan sebagai akumulasi zat-
zat yang diekskresi ke dalam empedu seperti bilirubin, asam empedu, dan kolesterol
di dalam darah dan jaringan tubuh. Secara patologi-anatomi kolestasis adalah
terdapatnya timbunan trombus empedu pada sel hati dan sistem bilier. Kolestasis
bukan merupakan suatu penyakit, melainkan gejala dari berbagai penyakit.4
2.4 Epidemiologi

Kolestasis pada bayi terjadi pada 1:25000 kelahiran hidup. Insiden hepatitis
neonatal 1:5000 kelahiran hidup, atresia bilier 1:10000-1:13000, defisiensi -1
antitripsin 1:20000. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki
adalah 2:1, sedang pada hepatitis neonatal, rasionya terbalik. 4
Di Kings College Hospital England antara tahun 1970-1990, atresia bilier 377
(34,7%), hepatitis neonatal 331 (30,5%), -1 antitripsin defisiensi 189 (17,4%),
hepatitis lain 94 (8,7%), sindroma Alagille 61 (5,6%), kista duktus koledokus 34
(3,1%).4
Di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya antara tahun 1999-2004
dari 19270 penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan neonatal kolestasis.
Neonatal hepatitis 68 (70,8%), atresia bilier 9 (9,4%), kista duktus koledukus 5
(5,2%), kista hati 1 (1,04%), dan sindroma inspissated-bile 1 (1,04%).4
DI Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak, FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar selama
periode Januari 1992 - November 1993 tercatat 33 kasus kolestasis, terdiri dari 26

4
(76,5%) kasus kolestasis intrahepatik dan 8 (23,5%) kasus kolestasis ekstrahepatik.
Laki-laki 22 kasus (64,7%) dan perempuan 12 kasus (35,2%). Usia < 3 bulan 28 kasus
(82,4%), usia 3-6 bulan 4 kasus (11,8%) dan usia > 6 bulan 2 kasus (5,8%). Usia
termuda 9 hari dan tertua 8 bulan.1

2.5 Klasifikasi

Penyebab kolestasis pada bayi sangat bervariasi, tetapi umumnya memberikan


manifestasi klinis yang serupa.2 Secara garis besar, kolestasis terbagi atas 2
kelompok2,4 : 1) kolestasis intrahepatal, kelainan terdapat di hepatosit dan elemen
duktus bilier intrahepatik, 2) kolestastis ekstrahepatik, obstruksi saluran empedu
ekstrahepatik.

2.5.1 Kolestasis intrahepatal1,2,4

a. Saluran Empedu
Digolongkan dalam 2 bentuk, yaitu: (a) Paucity saluran empedu, dan (b) Disgenesis
saluran empedu. Oleh karena secara embriologis saluran empedu intrahepatik
(hepatoblas) berbeda asalnya dari saluran empedu ekstrahepatik (foregut) maka
kelainan saluran empedu dapat mengenai hanya saluran intrahepatik atau hanya
saluran ekstrahepatik saja. Beberapa kelainan intrahepatik seperti ekstasia bilier dan
hepatik fibrosis kongenital, tidak mengenai saluran ekstrahepatik. Kelainan yang
disebabkan oleh infeksi virus CMV, sklerosing kolangitis, Carolis disease mengenai
kedua bagian saluran intra dan ekstra-hepatik. Karena primer tidak menyerang sel hati
maka secara umum tidak disertai dengan gangguan fungsi hepatoseluler. Serum
transaminase, albumin, faal koagulasi masih dalam batas normal. Serum alkali
fosfatase dan GGT akan meningkat. Apabila proses berlanjut terus dan mengenai
saluran empedu yang besar dapat timbul ikterus, hepatomegali, hepatosplenomegali,
dan tanda-tanda hipertensi portal.
Paucity saluran empedu intrahepatik lebih sering ditemukan pada saat neonatal
dibanding disgenesis, dibagi menjadi sindromik dan nonsindromik. Dinamakan
paucity apabila didapatkan < 0,5 saluran empedu per portal tract. Contoh dari
sindromik adalah sindrom Alagille, suatu kelainan autosomal dominan disebabkan
haploinsufisiensi pada gene JAGGED 1. Sindroma ini ditemukan pada tahun 1975
merupakan penyakit multiorgan pada mata (posterior embryotoxin), tulang belakang
(butterfly vertebrae), kardiovaskuler (stenosis katup pulmonal), dan muka yang

5
spesifik (triangular facial yaitu frontal yang dominan, mata yang dalam, dan dagu
yang sempit). Nonsindromik adalah paucity saluran empedu tanpa disertai gejala
organ lain. Kelainan saluran empedu intrahepatik lainnya adalah sklerosing kolangitis
neonatal, sindroma hiper IgM, sindroma imunodefisiensi yang menyebabkan
kerusakan pada saluran empedu.
b. Kelainan hepatosit
Kelainan primer terjadi pada hepatosit menyebabkan gangguan pembentukan dan
aliran empedu. Hepatosit neonatus mempunyai cadangan asam empedu yang sedikit,
fungsi transport masih prematur, dan kemampuan sintesa asam empedu yang rendah
sehingga mudah terjadi kolestasis. Infeksi merupakan penyebab utama yakni virus,
bakteri, dan parasit. Pada sepsis misalnya kolestasis merupakan akibat dari respon
hepatosit terhadap sitokin yang dihasilkan pada sepsis.
Hepatitis neonatal adalah suatu deskripsi dari variasi yang luas dari neonatal
hepatopati, suatu inflamasi nonspesifik yang disebabkan oleh kelainan genetik,
endokrin, metabolik, dan infeksi intra-uterin. Mempunyai gambaran histologis yang
serupa yaitu adanya pembentukan multinucleated giant cell dengan gangguan lobuler
dan serbukan sel radang, disertai timbunan trombus empedu pada hepatosit dan
kanalikuli. Diagnosa hepatitis neonatal sebaiknya tidak dipakai sebagai diagnosa
akhir, hanya dipakai apabila penyebab virus, bakteri, parasit, gangguan metabolik
tidak dapat ditemukan.

2.5.2 Kolestasis ekstrahepatal1,2,4

Secara umum kelainan ini disebabkan lesi kongenital atau didapat. Merupakan
kelainan nekroinflamatori yang menyebabkan kerusakan dan akhirnya pembuntuan
saluran empedu ekstrahepatik, diikuti kerusakan saluran empedu intrahepatik.
Penyebab utama yang pernah dilaporkan adalah proses imunologis, infeksi virus
terutama CMVdan Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik, iskemia dan kelainan
genetik. Biasanya penderita terkesan sehat saat lahir dengan berat badan lahir,
aktifitas dan minum normal. Ikterus baru terlihat setelah berumur lebih dari 1 minggu.
10-20% penderita disertai kelainan kongenital yang lain seperti asplenia, malrotasi
dan gangguan kardiovaskuler. Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier
sangat penting sebab efikasi pembedahan hepatik-portoenterostomi (Kasai) akan
menurun apabila dilakukan setelah umur 2 bulan. Pada pemeriksaan ultrasound

6
terlihat kandung empedu kecil dan atretik disebabkan adanya proses obliterasi, tidak
jelas adanya pelebaran saluran empedu intrahepatik. Gambaran ini tidak spesifik,
kandung empedu yang normal mungkin dijumpai pada penderita obstruksi saluran
empedu ekstrahepatal sehingga tidak menyingkirkan kemungkinan adanya atresi
bilier..Gambaran histopatologis ditemukan adanya portal tract yang edematus dengan
proliferasi saluran empedu, kerusakan saluran dan adanya trombus empedu didalam
duktuli. Pemeriksaan kolangiogram intraoperatif dilakukan dengan visualisasi
langsung untuk mengetahui patensi saluran bilier sebelum dilakukan operasi Kasai.

Tabel 2.1. Etiologi Kolestasis Pada Bayi 1,2

1. Kolestasis Intrahepatik
A. Idiopatik
1. Hepatitis neonatal idiopatik
2. Kolestasis intrahepatik persisten, antara lain
a. Displasia intrahepatik (sindrom Alagille)
b. Sindroma Zellwegwr (Sindroma serebrohepatorenal)
c. Intrahepatic bile duct paucity
B. Anatomik
1. Hepatik fibrosis kongenital atau penyakit polikistik infantil (pada hati dan
ginjal
2. Penyakit Caroli (pelebaran kistik pada duktus intrahepatik)
C. Kelainan metabolisme
1. Kelainan metabolisme asam amino : tyrosinemia
2. Kelainan metabolisme lipid : penyakit wolman, Nieman-Pick dan penyakit
Gaucher
3. Kelainan metabolisme karbohidrat : galaktosemia, fruktosemia, glikogenosis
4. Kelainan metabolisme asam empedu
5. Penyakit metabolik tidak khas, antara lain : defisiensi 1-antitripsin, fibrosis
kistik, hipopituitarisme idiopatik, hipotiroidisme.
D. Hepatitis
1. Infeksi (hepatitis pada neonatus) antara lain TORCH, virus hepatitis B, virus
hepatitis C, Reovirus tipe 3
2. Toksik : kolestasis akibat nutrisi parenteral, sepsis dengan kemungkinan
endotoksemia
E. Genetik atau kromosomal : Trisomi E, sindroma Down, sindroma Donahue
(Leprechaunisme)
F. Lain lain : Histiositosis X, renjatan atau hiperperfusi, obstruksi intestinal,
sindroma polisplenia, lupus neonatal.

II Kelainan Ekstrahepatik
A. Atresia bilier
B. Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier
C. Perforasi spontan duktus bilier
D. Massa (neoplasma, batu)
E. Inspissated bile syndrome

7
2.6 Patofisiologi

Pembentukan empedu merupakan fungsi sekresi dari hepar. Sel-sel hepatosit


mensekresikan empedu sebanyak 500-1500 ml/hari, dengan komposisi terbanyak (90%)
terdiri dari garam empedu, lesitin dan kolesterol, sisanya mengandung sedikit bilirubin,
asam lemak dan garam anorganik (10%). Khusus bilirubin merupakan pigmen yang
berasal dari buangan atau sisa sel-sel darah merah yang sudah rusak atau mati, yang
dalam kondisi normal akan memberikan warna atau pigmen pada feses.3,5
Bagian utama dari aliran empedu adalah sirkulasi enterohepatik dari asam empedu.
Hepatosit adalah sel epetelial dimana permukaan basolateralnya berhubungan dengan
darah portal sedang permukaan apikal (kanalikuler) berbatasan dengan empedu.
Hepatosit adalah epitel terpolarisasi berfungsi sebagai filter dan pompa bioaktif
memisahkan racun dari darah dengan cara metabolisme dan detoksifikasi intraseluler,
mengeluarkan hasil proses tersebut kedalam empedu. Salah satu contoh adalah
penanganan dan detoksifikasi dari bilirubin tidak terkonyugasi (bilirubin indirek).
Bilirubin tidak terkonyugasi yang larut dalam lemak diambil dari darah oleh transporter
pada membran basolateral, dikonyugasi intraseluler oleh enzim UDPGTa yang
mengandung P450 menjadi bilirubin terkonyugasi yang larut air dan dikeluarkan ke
dalam empedu oleh transporter mrp2. mrp2 merupakan bagian yang bertanggungjawab
terhadap aliran bebas asam empedu. Walaupun asam empedu dikeluarkan dari hepatosit
ke dalam empedu oleh transporter lain, yaitu pompa aktif asam empedu. Pada keadaan
dimana aliran asam empedu menurun, sekresi dari bilirubin terkonyugasi juga terganggu
menyebabkan hiperbilirubinemia terkonyugasi.4
Proses yang terjadi di hati seperti inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan
iskemia menimbulkan gangguan pada transporter hepatobilier menyebabkan penurunan
aliran empedu dan hiperbilirubinemi terkonyugasi. 3,4
Penumpukan bilirubin beserta produk empedu lainnya pada kulit dan mukosa akan
menyebabkan warna kulit dan mukosa (seperti sclera mata) menjadi kuning (kuning
muda pada tipe metabolik dan kuning kehijauan pada tipe obstruktif) dan terasa gatal,
sehingga tidak jarang ditemukan pula bekas luka garukan pada kulit penderita
kolestasis. Penumpukan bilirubin di ginjal akan diekskresikan melalui urine sehingga
warna kencing penderita kolestasis tampak gelap atau kemerahan seprti air teh.

8
Sedangkan feses penderita tampak berwarna pucat keputihan seperti dempul (disebut
dengan steatorrhea) oleh karena pigmen bilirubin yang memberi warna pada feses tidak
bisa diekskresikan ke usus halus, feses banyak mengandung lemak dan berbau busuk
oleh karena lemak yang berada di dalam makanan/usus halus tidak dapat dicerna oleh
bantuan empedu.3,4,5
Kekurangan empedu di dalam usus halus juga menyebabkan terganggunya
penyerapan nutrient yang larut dalam lemak, antara lain kalsium serta vitamin A, D, E
dan K. Jika terjadi kolestasis yang persisten, maka penderita akan mengalami defisiensi
nutrient tersebut di atas, dengan manifestasi klinis berupa osteoporotik pada jaringan
tulang (kekurangan kalsium dan vitamin D), mudah terjadi pendarahan akibat
terganggunya proses pembekuan darah (kekurangan vitamin K), dan gangguan
penglihatan serta kulit menjadi kering bersisik (kekurangan vitamin A dan E).5
Gejala-gejala penyerta yang kadang timbul selain gejala utama di atas antara lain,
nyeri perut terutama pada regio hipokondrium kanan, mual dan muntah serta kehilangan
nafsu makan, atau demam, tergantung penyebab dan penyakit yang mendasarinya.5

2.7 Manifestasi Klinis

Tanpa memandang etiologinya, gejala klinik utama pada kolestatis neonatal adalah
ikterus, tinja akolik, dan urin yang berwarna gelap. Selanjutnya akan muncul
manifestasi klinis lainnya, sebagai akibat terganggunya aliran empedu dan bilirubin.2,5
Pada sebagian besar kasus ikterus pada sklera lebih dahulu dijumpai dibandingkan
dengan gejala klinis lainnya, kondisi ini bisa terjadi pada level bilirubin terkonjugasi
sedikitnya 2 mg/dL. Pada level bilirubin terkonjugasi yang lebih tinggi, urine berwarna
gelap dapat dijumpai akibat adanya filtrasi bilirubin ke dalam urin. Cutaneus jaundice
tidak akan nampak sebelum level bilirubin mencapai 5 mg/dL atau lebih.6
Pada pasien dengan kolestasis, gejala lain yang sering muncul adalah timbulnya
rasa gatal yang hebat akibat peningkatan asam empedu. Pada konsentrasi yang tinggi (5
kali lipat dari reference range), timbunan asam empedu ini akan menyebabkan rasa gatal
yang amat mengganggu hingga pasien sulit tidur atau berkonsentrasi. Bayi yang belum
bisa menggaruk akan menjadi sangat rewel (iritabel) sebagai respon terhadap gatal yang
dirasakan.1,2,6

9
Pada kronik kolestasis, deposit kolesterol yang disebut xantoma dapat terbentuk
pada kulit. Ini merupakan gejala klinis yang menunjukkan telah terjadi kolestasis yang
berat. Karena rendahnya aliran empedu pada pasien dengan kolestasis, pasien ini
mungkin juga akan mengalami defisiensi pemecahan dan menyerapan lemak. Pasien ini
akan menunjukkan hambatan pertumbuhan dan akan mengalami defisiensi vitamin larut
lemak dan steatorrhea. 6

KOLESTASIS

Retensi/Regurgitasi Konsentrasi asam empedu


intraluminal sedikit

Asam empedu Malabsorpsi


Pruritus
Hepatotoksik
Bilirubin Lemak
Ikterus Malnutrisi
Kolesterol Retardasi pertumbuhan
Xantelasma Vitamin larut dalam lemak
Hiperkolesterolemia A : kulit tebal, rabun senja
Penumpukan trace elements D : Osteopenia
(tembaga dll) E : Degenerasi neuromuskuler
K : Hipoprotrombinemia
Diare/steatorea

Penyakit hati progresif (sirosis bilier)

Hipertensi porta Gagal Hati

Hipersplenisme Ascites Perdarahan (varises)

Gambar 2.1. Manifestasi Umum kolestasis1,2,4

10
2.8 Diagnosis

Kolestasis dapat ditegakkan dengan memeriksa kadar bilirubin direk dan bilirubin total.
Apabila bilirubin total <5 mg/dl namun bilirubin direk >1 mg/dl maka atau bila bilirubin
total >5 mg/dl dengan bilirubin direk lebih dari 20% dari bilirubin total maka dapat
ditegakkan sebagai kolestasis. Tujuan utama evaluasi bayi dengan kolestasis adalah
membedakan antara kolestasis intrahepatik dengan ekstrahepatik sedini mungkin, dan
untuk mengetahui sekuelenya. Diagnosis dini obstruksi bilier ekstrahepatik akan
meningkatkan keberhasilan operasi. Kolestasis intrahepatik seperti sepsis, galaktosemia
atau endrokinopati dapat diatasi dengan medikamentosa. Selain itu kita dapat segera
mengatasi komplikasi umum kolestasis seperti koagulopati (hipoprotrombinemia atau
defisiensi vitamin K) dan malabsorpsi lemak. 2,4

2.8.1 Anamnesis 2,4


1. Riwayat keluarga : Bila ada saudara kandung pasien yang menderita kolestasis,
maka kemungkinan besar merupakan suatu kelainan genetik metabolik (fibrosis
kistik atau defisiensi l-antitripsin). Atresia bilier jarang mengenai saudara pasien
yang lain. Harus diketahui pula ada tidaknya hubungan keluarga antara ayah dan
ibu.
2. Riwayat kehamilan dan kelahiran : riwayat obstetri ibu (infeksi TORCH, hepatitis
B, dan infeksi lain), berat badan lahir, infeksi intrapartum, morbiditas perinatal, dan
riwayat pemberian nutrisi parentera. Bayi atresia bilier biasanya lahir dengan berat
badan normal, sedangkan bayi dengan kolestasis intrahepatik biasanya lahir dengan
berat badan rendah.

2.8.2 Pemeriksaan fisik

Empat gejala utama yang sering ditemukan pada penderita kolestasis adalah
ikterus/jaundice, urine yang berwarna gelap/kemerahan, gatal pada seluruh tubuh dan
feses yang berwarna pucat keputihan seperti dempul.5
Gejala-gejala tersebut di atas disebabkan oleh karena pigmen bilirubin yang
seharusnya dikeluarkan ke usus halus mengalami sumbatan, yang mengakibatkan
bilirubin masuk ke aliran darah sistemik dan terakumulasi pada target organ.5,6

11
Warna kehijauan bila kadar bilirubin tinggi karena oksidasi bilirubin menjadi
biliverdin. Jaringan sklera mengandung banyak elastin yang mempunyai afinitas tinggi
terhadap bilirubin, sehingga pemeriksaan sklera lebih sensitif.5,6
Pada kolestasis intrahepatik umumnya bayi tampak sakit berat dan dapat disertai
dengan kelainan non hepatik seperti katarak, wajah dismorfik, kalsifikasi intrakranial,
stenosis pulmonal, tonus lemah, atau gejala infeksi perinatal lain.2
Pada atresia bilier, ikterus muncul sejak lahir atau tampak jelas pada minggu ke 3-5.
Tinja akolik timbul lebih awal daripada timbulnya tinja akolik pada kolestasis
intrahepatik.Tetapi pada atresia bilierpun, kadang-kadang ditemukan tinja yang
berpigmen. Di lain pihak, kolestasis intrahepatik yang berat juga dapat menyebabkan
tinja yang akolik.2
Pada atresia bilier biasanya terdapat hepatomegali dengan konsistensi keras, dapat
disertai splenomegali. Dikatakan pembesaran hati apabila tepi hati lebih dari 3,5 cm
dibawah arkus kota pada garis midklavikula kanan. Pada perabaan hati yang keras, tepi
yang tajam dan permukaan noduler diperkirakan adanya fibrosis atau sirosis. Hati yang
teraba pada epigastrium mencerminkan sirosis atau lobus Riedel (pemanjangan lobus
kanan yang normal). Nyeri tekan pada palpasi hati diperkirakan adanya distensi kapsul
Glisson karena edema. Bila limpa membesar, satu dari beberapa penyebab seperti
hipertensi portal, penyakit storage, atau keganasan harus dicurigai. Hepatomegali yang
besar tanpa pembesaran organ lain dengan gangguan fungsi hati yang minimal mungkin
suatu fibrosis hepar kongenital. Asites menandakan adanya peningkatan tekanan vena
portal dan fungsi hati yang memburuk. Pada keadaan lanjut, terjadi sirosis bilier dan
bayi akan mengalami gagal tumbuh, defisiensi nutrisi, dan hipertensi porta. Perlu
diperiksa adanya penyakit ginjal polikistik. Pada 25% penderita atresia bilier ditemukan
malformasi kongenital lainnya seperti polisplenia, malrotasi, penyakit jantung
kongenital, dan situs inversus visera. Pada atresia bilier juga dapat ditemukan kelainan
duktus pankreatikobilier yang dianggap turut berperan terhadap terjadinya kolestasis.2,4
Alagille mengemukakan 4 keadaan klinis yang dapat menjadi patokan untuk
membedakan antara kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik. Dengan kriteria tersebut
kolestasis intrahepatik dapat dibedakan dengan kolestasis ekstrahepatik 82% dari 133
penderita. Moyer menambah satu kriteria lagi gambaran histopatologi hati. 1,2,4

12
Tabel 2.2. Kriteria klinis untuk membedakan intrahepatik dan ekstrahepatik 1,2,4
Data klinis Kolestasis Ekstrahepatik Kolestasis Kemaknaan
Intrahepatik (P)
Warna tinja selama dirawat
- Pucat 79% 26% 0.001
- Kuning 21% 74%
Berat lahir (gr) 3226 45* 2678 55* 0.001
Usia tinja akolik (hari) 16 1.5* 30 2* 0.001
Gambaran klinis hati
1Normal 13 47
2Hepatomegali**:
12 35 0.001
Konsistensi normal 63 47
Konsistensi padat 24 6
Konsistensi keras
Biopsi hati***
1Fibrosis porta 94% 47%
2Proliferasi duktuler 86% 30%
3Trombus empedu 63% 1%
intraportal

*MeanSD; **Jumlah pasien; ***Modifikasi Moyer

Kolestasis ekstrahepatik hampir selalu menyebabkan tinja yang akolik, maka


sebagai upaya penjaring kasar tahap pertama, dianjurkan untuk melakukan
pengumpulan tinja 3 porsi dalam wadah berwarna gelap. Porsi pertama antara jam 06 -
14, porsi kedua jam 14 - 22, dan porsi ketiga jam 22 - 06. Pada saat tinja dikumpulkan,
pemberian kolestiramin dihentikan. Bila selama beberapa hari ketiga porsi tinja tetap
dempul, maka kemungkinan besar diagnosisnya adalah kolestasis ekstrahepatik. Pada
kolestasis intrahepatik, umumnya warna dempul pada pemeriksaan tinja 3 porsi akan
berfluktuasi.1,2
2.8.3 Pemeriksaan penunjang2,6,7
Sampai saat ini tidak ada pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya diandalkan
untuk membedakan antara kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik. Secara garis besar,
pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan
1. Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan mengetahui fungsi
hati (darah, urin, tinja, dan keringat)
2. Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai parenkim hati

13
3. Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang diagnosis atresia
bilier.

Kolestasis
Anamnesis : Riwayat penyakit dalam keluarga tidak ada, berat lahir normal
Klinis : keadaan umum baik, tidak dismorfik
Tinja 3 porsi : dempul, tidak berfluktuasi
Laboratorium rutin : bilirubin direk > 6 mg/ml, SGOT/SGPT < 10x, GGT > 10x

TIDAK YA

Kolestasis Intrahepatik?
Infeksi, kelainan metabolisme, genetik Kolestasis ekstrahepatik?

Pemeriksaan penyaring USG


Metabolik (Patensi duktus biliaris)
Analisis kromosom
Infeksi serologis TIDAK YA
Kultur
Petanda hepatitis
Atresia bilier?

Ikuti sampai sembuh


Scintigrafi Kolestasis intrahepatik
(patensi duktus biliaris?) Lakukan Pemeriksaan dan
(usia > 1 bulan) ikuti sampai sembuh

Tidak Paten Paten

Biopsi Hati Kolestasis Intrahepatik

Gambaran atresia bilier Lakukan Pemeriksaan dan


ikuti sampai sembuh
TIDAK YA

Kolestasis Intrahepatik Sirosis Bilier

Gambar.2.2 Algoritmik diagnosis kolestasis pada bayi, terutama atresia bilier

14
2.9 Pemeriksaan Penunjang

2.9.1 Laboratorium

a. Pemeriksaan rutin :2,6


Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen bilirubin
untuk membedakannya dari hiperbiliruhinemia fisiologis. Selain itu dilakukan
pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati termasuk transaminase serum (SGOT,
SGPT, gamma glutamil transferase), alkali fosfatase, waktu protrombin dan
tromboplastin, ureum, kreatinin, elektroforesis protein, bilirubin urin, asam empedu
serum, empedu dalam tinja. Kadar bilirubin direk < 4 mg/dl tidak sesuai dengan
obstruksi total. Peningkatan kadar SGOT/SGPT >10x dengan peningkatan GGT <5x,
lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, bila peningkatan SGOT
<5x dengan peningkatan GGT >5x, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik (tabel 4)
Tetapi kadar GGT yang rendah, tidak mennyingkirkan kemungkinan atresia bilier.
Tabel 2.3. Data Laboratorium awal pada bayi kolestasis1,2

Kolestasis Intrahepatik Kolestasis Ekstrahepatik


Bilirubin Total (mg/dL) 12.1 9.6 10.2 4.5
Bilirubin Direk (mg/dL) 8.0 6.8 6.2 2.6
SGOT ( peningkatan dari N ) > 10 x <5x
SGPT (peningkatan dari N ) > 10 x <5x
g GT (peningkatan dari N ) <5x >5x

b. Pemeriksaan khusus1,2,7
Sebagian ahli menganggap pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya
diagnostik yang cukup sensitif, tetapi sebagian lain menyatakan bahwa pemeriksaan ini
tidak lebih baik dari pemeriksaan tinja, 3 porsi. Oleh karena itu, saat ini, DAT tidak
terlalu sering dikerjakan. Tetapi ada yang menyatakan bahwa kepekaannya dapat
ditingkatkan dengan mengumpulkan cairan duodenum selama 24 jam. Pasien minum
seperti biasa dan cairan duodenum diambil setiap jam. Spesimen terakhir diambil
setclah pemberian (minyak jagung untuk merangsang kontraksi kandung empedu). Bila
setelah 24 jam, tidak diperoleh empedu, maka kemungkinan atresia bilier sebesar 78%.
Ahli lain mengkombinasi pemeriksaan DAT dengan pemeriksaan sintigrafi.
Pemeriksaan penunjang awal pada kolestasis intrahepatik adalah pemeriksaan serologis
TORCH, petanda hepatitis B (bayi dan ibu), serta kadar l-antitripsin dan fenotipenya.

15
Sedangkan pemeriksaan lainnya dilakukan atas indikasi seperti pemeriksaan hormon
tiroid, asam amino serum dan urin, kultur darah dan urin, zat reduktor di urin,
galaktosa-l-fosfat uridil transferase. uji klorida keringat, dan pemeriksaan kromosom.

KOLESTASIS INTRAHEPATIK

INFEKSI METABOLIK IDIOPATIK

Titer serologis 1. Kelainan yang diturunkan Sindrom hepatitis neonatal


TORCH ibu dan - Galaktosemia Pastikan dengan biopsi
bayi Riwayat keluarga hati perkutaneus
Petanda hepatitis B, Substansi reduksi di urin Fibrosis hati kongenital
C, ibu dan bayi UDPG 1-transferase di eritrosit Pastikan dengan biopsi
Kultur darah - Defisisensi alfa 1 antitripsin hati
Tes VDRL yang rendah atau (-) dengan Kolestasis intrahepatik
fenotif yang mneyokong familial
- Cystic fibrosis Kadar kolesterol serum
Riwayat keluarga normal atau rendah
Uji keringat Pastikan dengan biopsi
- Kelianan endokrinologi hati
Atas indikasi
2. Didapat
- Kolestasis akibat nutrisis
parenteral total
Hentikan pemberian TPN

Gambar 2.3 Algoritmik diagnosis kolestasis intrahepatik

16
2.9.2 Pencitraan

a. Pemeriksaan ultrasonografi2,6,7
Pemeriksaan dilakukan setelah pasien dipuasakan selama 4 jam. Tidak ditemukannva
kandung empcdu, atau kandung empedu yang kecil mendukung diagnosis atresia bilier.
Namun demikian, adanya kandung empedu tidak menyingkirkan kemungkinan atresia
bilier, yaitu atresia bilier tipe I/distal.
Thoeni (1990) mengemukakan bahwa akurasi diagnostik USG 77%, dan dapat
ditingkatkan bila pemeriksaan dilakukan dalam tiga fase yaitu pada keadaan puasa, saat
minum, dan sesudah minum. Bila pada saat atau sesudah minum, kandung empedu
berkontraksi, maka kemungkinan besar (90%), atresia bilier dapat disingkirkan. Selain
itu, pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi adanya kista duktus koledokus, batu
kandung empedu, tumor.
Dengan demikian, pemeriksaan ultrasonografi merupakan prosedur yang sederhana
dan noninvasif, yang sedapat mungkin dikerjakan terhadap semua bayi kolestasis.
b. Sintigrafi hati2,6,7
Dalam beberapa tahun terakhir ini, pemeriksaan sintigrafi dengan isotop 99Tc-DISIDA
dianggap sebagai baku emas upaya diagnosis dini atresia bilier.
Sebelum pemeriksaan dilakukan, diberikan fenobarbital 5 mg/kg/hari (peroral,
dibagi dalam 2 dosis), selama 5 hari. Fenobarbital akan meningkatkan ekskresi isotop
sehingga diharapkan akurasi pemeriksaan juga meningkat.
Pada hepatitis, pengambilan isotop oleh hepatosit berlangsung lambat tetapi dengan
ekskresinya ke usus normal. Pada atresia bilier, proses pengambilan isotop normal tetapi
dalam waktu >6 jam, tidak ditemukan ekskresi ke usus. Dilain pihak, pada kolestasis
intrahepatik yang berat juga tidak akan ditemukan ekskresi isotop ke duodenum dan
menyebabkan angka positif palsu sebesar 20%.
Untuk meningkatkan sensitifitas dan spesifisitasnya pemeriksaan sintigrafi,
dilakukan penghitungan indeks hepatik (penyebaran isotop di hati dan jantung), pada
menit ke 10. Indeks hepatik >5, dapat menyingkirkan kemungkinan atresia bilier,
sedangkan indeks hepatik <4,3 merupakan petunjuk kuat atresia bilier12.
Tehnik sintigrafi dapat digabung dengan pemeriksaan DAT, dengan akurasi
diagnosis sebesar 98,4%. Pada atresia bilier, jumlah isotop dalam cairan duodenum <

17
3000 sedangkan pada kolestasis intrahepatik, jumlahnya > 3000 bahkan dapat mencapai
> 7000.
c.Pemeriksaan kolangiografi2,6,7
Pemeriksaan ERCP ( Endoscopic Retrograde Cholangiography Pancreatography )
merupakan upaya diagnostik dini yang berguna untuk membedakan antara atresia bilier
dengan kolestasis non surgikal (seperti hepatitis neonatal dan sindrom Alagille). Tetapi
prosedur ini jarang dilakukan karena memerlukan anestesi umum dengan instrumen
yang canggih, dan teknis pelaksanaan yang sulit.
Setelah dilakukan berbagai uji diagnostik, tidak jarang, diagnosis atresia bilier
masih tetap meragukan. Dalam hal ini, dapat dilakukan kolangiografi operatif dengan
anestesi lokal. Bila terbukti atresia bilier, dilakukan eksplorasi lebih lanjut dengan
anestesi umum. Pemeriksaan ini terutama efektif untuk menilai atresia bilier tipe I'.
2.9.3. Biopsi hati2,6,7
Gambaran histopatologis hati dapat membantu menentukan perlu tidaknya laparatorni
eksplorasi. Bahkan beberapa penulis beranggapan bahwa ganibaran histopatologis hati
merupakan upaya diagnostik atresia bilier yang paling dapat diandalkan. Seorang ahli
patologi yang berpengalaman. dapat meningkatkan akurasi diagnosis menjadi 90-95%.
Pada hepatitis neonatal umumnya ditemukan infiltrat inflamasi di lobulus yang disertai
dengan nekrosis hepatoseluler, sehingga terlihat gambaran lobuler yang kacau. Selain
itu ditemukan sel raksasa, fibrosis porta, dan proliferasi duktus ringan. Gambaran
histopatologis yang menunjang diagnosis atresia bilier adalah proliferasi duktus bilier
dan sumbatan empedu, fibrosis porta dan edema, tetapi arsitektur lobulernya masih
normal. Histopatologis hati pada atresia bilier dapat dibagi menjadi 5 stadium :
I. Stadium I : proliferasi duktus bilier, granula pigmen empedu di hepatosit, dan
sumbatan empedu interseluler;
II. Stadium II : daerah porta tampak membulat dan membengkak, disertai dilatasi
pembuluh limfe, dan proliferasi duktuler di daerah marginal porta (usia 4-7
minggu).
III. Stadium III : mulai terjadi fibrosis di daerah porta dan periporta disertai dengan
meluasnya proliferasi duktuler ke periporta. Infiltrat inflamasi berkurang;
IV. Stadium IV : Terjadi pada usia > 10 minggu. Fibrosis periporta meluas ke parenkim
sekitarnya, struktur duktuler berkurang. sedangkan lumen duktus yang masih ada

18
tampak melebar dan tersumbat empedu. Duktus interlobuler mengalami kolangitis
fibrosa dengan penyempitan lumen yang tidak beraturan;
V. Stadium V : terjadi pada usia > 12 minggu. Menunjukkan suatu proses progresif
sirosis bilier sekunder yang ditandai dengan regenerasi noduler di parenkim dan
fibrosis septal perinoduler. Bila gambaran histopatologis hati telah menunjukkan
adanya sirosis, maka keadaan ini merupakan indikasi kontra operasi korektir.
Gambaran histologik hati yang mengarah ke atresia bilier mengharuskan intervensi dini
Namun, tidak dianjurkan untuk melakukan biopsi pada usia < 6 minggu.

2.10 Penatalaksanaan

Penanganan kolestasis mencakup beberapa aspek yang luas. Dari segi gizi masalah
utama adalah pemberian makanan yang adekuat untuk menunjang penderita tumbuh dan
berkembang seoptimal mungkin, selain menghindari akibat buruk adanya gangguan
metabolisme asam empedu. Pertumbuhan merupakan hal yang sangat penting karena
tidak hanya menggambarkan pengobatan yang berhasil, tetapi juga pertumbuhan yang
baik diperlukan untuk persiapan pencangkokan hati bila nanti diperlukan. Terjadinya
malnutrisi dapat diakibatkan pelbagai faktor. Menurunnya asupan makanan akibat
anoreksia, penyakit yang hilang timbul, rasa sakit, asites dan mungkin defisiensi Zn
akibat terganggunya aliran empedu, tidak saja dapat mengakibatkan kerusakan hepatosit
tetapi juga akan mengganggu penyerapan lemak dan vitamin-vitamin yang larut dalam
lemak.8 Dasar pengobatan kolestasis terdiri atas 3 bagian utama,8
1. Pengobatan yang memperbaiki aliran empedu
2. Pengobatan nutrisi
3. Pengobatan etiologik

2.10.1 Terapi medikamentosa

Terapi medikamentosa bertujuan untuk1,2,8


a. Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu
(asam litokolat), dengan memberikan :
i. Fenobarbital 5 mg/kg/hari dibagi dua dosis, peroral.1,2
Banyak peneliti yang mengatakan bahwa fenobarbital dapat merangsang
pembentukan enzim dan memperbaiki fungsi Na+-K+ ATP-ase. Enzim ini

19
berguna dalam proses pernasukan garam empedu dari sunusoid ke hepatosit
kemudian masuk ke kanalikulus. Fenobarbital mempunyai efek merangsang
sitokrom 450 yang akan mengakibatkan hidroksilasi asam empedu.
Fenobarbital juga merangsang UDP glukoronil transferase yang akan
menyebabkan peningkatan pembentukan glukorinide asam empedu yang
mudah larut sehingga pengeluaran zat tersebut melalui empedu dan urin
meningkat meskipun hal ini tidak berperan penting sekali. Selain itu
fenobarbital berguna mengurangi rasa gatal.1,2,4,8
ii. Kolestiramin 1 g/kg/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian susu.
Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam empedu sekunder.1,2
Kolestiramin adalah zat yang dapat menyerap asam empedu dan anion lain di
dalam lumen usus yang akan menurunkan pemasukan asam empedu dari usus.
Manfaat ini lebih menonjol manakala diberikan setelah makan. Zat ini lebih
rentan terhadap asam empedu yang hidrofobik dan toksis dibandingkan dengan
asam empedu yang hidrofilik yang kurang bahkan tidak toksis. Anti gatal juga
ada pada kolestiramin tapi mekanisme kerjanya tidak jelas oleh karena tidak
ada hubungan antara adanya asam empedu di dalam serum maupun di dalam
kulit dengan gatal-gatalnya. Kolestiramin biasanya diberikan bersama-sama air
buah atau makanan lain. Sebaiknya 2 jam setelah dan sebelum pemberian
kolestiramin tidak diberikan obat apapun. Efek samping kolestiramin yaitu
bertambahnya steatorea akibat menurunnya asam empedu, kontipasi asidosis
metabolik hiperkloremik. Obat ini tidak boleh diberikan kepada penderita
atresia bilier dan penderita yang telah mengalami operasi Roux-en Y
portoenterostomi, karena akan menyebabkan kolangitis mekanik akibat
sumbatan oleh karena adanya penumpukan kolestiramin pada saluran cerna.4,8
b. Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan
i. Asam ursodeoksikolat, 3-10 mg/kg/hari, dibagi 3 dosis, peroral.1,2 Asam
ursodeoksikholat mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokholat
yang hepatotoksik.1,2
Asam ursodeoksikolat (AUDK) adalah 7-Beta-epimer kenodioksikolat
yang bersifat lebih hidrofilik dan kurang begitu toksis dibandingkan dengan
asam empedu lainnya. 8,9

20
AUDK yang diberikan secara oral menghambat masuknya asam empedu
yang lebih toksis melalui ileum terminal. Hal ini akan menyebabkan
menurunnya ekskresi asam kolat dan kenodeoksikolat, yang berarti bahwa
absorbsi kedua zat itu menurun. Litokolat jauh lebih sulit larut dalam air
dibandingkan dengan AUDK, sehingga AUDK lebih cepat memasuki parenkim
hati daripada litokolat. Oleh karena itu litokolat akan segera didorong keluar
kembali oleh ursodeoksikolat sehingga hati dilindungi dari asam empedu yang
toksik.8,9
Ursodeoksikolat mempunyai sifat detergen lemah oleh karena itu dapat
merangsang aliran empedu tidak saja ke arah kanalikulus (osmotic choleresis)
tetapi juga kehadiran zat itu di dalam sel hati akan memeras air dan elektrolit
ke dalam kanalikulus. Itulah sebabnya ursodeoksikolat disebut zat kloretik
(chloretic agent).8,9
AUDK adalah asam empedu yang juga mempunyai sifat membantu
pencernaan lemak. Pada kolestasis, terjadi penurunan asam empedu, sehingga
ursodeoksikolat dapat menggantikan fungsi empedu terutama dalam proses
absorpsi lemaak. Enzim-enzim pankreas dan pengosongan kantong empedu
dapat dipacu oleh ursodeoksikolat. Upaya ini berfungsi untuk membantu
pencernaan agar berjalan lancar, selain itu ursodeoksikolat dapat merangsang
pengeluaran bikarbonas sehingga suasana di dalam duodenum menjadi basa
yang memungkinkan enzim-enzim pencernaan bekerja optimal. AUDK juga
dapat merangsang sekresi bilirubin, yang menyebabkan metbolisme bilirubin
berjalan lancar. Oleh karena itu ursodeoksikolat dalam memperbaiki aliran
empedu serta membantu pencernaan nutrien dengan baik sehingga proses
tumbuh kembang berjalan dengan mulus. 8,9
Selain itu AUDK mungkin mempengaruhi MHC (Major
Histocompatibility Complex). Sel hati yang sakit akan mengeluarkan APC
(Antigen Presenting Cell) berupa molekul MHC kelas I yang diduga
bermanfaat dalam mengundang sel limfosit T sitotoksis untuk menghancurkan
sel yang tercemar. Kehadiran antigen MHC kelas I pada permukkan hepatosit
dapat membantu menerangkan terjadinya nekrosis pada daerah periportal dan
globuler pada penyakit sirosis bilier primer. Ursodeoksikolat dapat menekan

21
ekspresi antigen MHC kelas I pada hepotasit, oleh karena itu target sel untuk
sitotoksis juga berkurang sehingga kerusakan jaringan hati dapat dihindari. 8,9
c. Mencegah perkembangan menjadi sirosis dengan memberikan
i. Colchicine (antifibrotik) 0,025 mg/kg/hari peroral1,2,8
d. Bila telah terjadi gagal hati akibat sirosis, maka penanganannya sesuai dengan
situasi dan kondisi.1,2
e. Terapi etiologik kolestasis intrahepatik yang dapat diobati dengan terapi
medikamentosa.1,8
Mencari penyebab kolestasis memerlukan sarana dan biaya yang tidak kecil, selain
itu banyak penyebab kolestasis yang belum diketahui. Penyebab kolestasis dibagi
dalam 2 golongan yaitu : golongan pertama yang dapat diobati misalnya
tuberkulosis, toksoplasmosis, herpes dan sepsis, selain penyakit metabolisme Cu
seperti penyakit Wilson. Adapun yang tidak dapat diobati misalnya hepatitis B, C,
defisiensi alfal anti tripsin dan lain-lain.8
Untuk mengobati tuberkulosis hati harus diperhatikan obat-obatan yang tidak
hepatotoksis. Sedangkan pengobatan terhadap toksoplasmosis biasanya diberikan
spiramisin dengan dosis 50 mg/kg /hari dibagi dalam 3 dosis.8
Untuk penyakit herpes diberikan asiklovir, diberikan dosis 1/2 dosis
dewasa/kg/hari untuk anak di bawah 2 tahun.8
Untuk mengatasi sepsis seyogyanya penderita mendapat antibiotika yang
adekuat, sedangkan penderita yang menunjukkan test CMV IgG meningkat, IgM
yang positif sedang dicoba pemberikan isoprinosin dengan dosis 50 mg/kg/hari.8

2.10.2 Terapi nutrisi

Pengobatan nutrisional menjadi hal yang sangat perlu untuk menghindari gejala sisa
yang permanen dan memperbaiki kualitas hidup. Yang paling mencolok yaitu gangguan
pencernaan lemak serta vitamin-vitamin yang larut di dalamnya sebagai akibat
menurunnya produksi asam empedu kreatinin, kadar serum Ca dan P dan juga kadar
serum 25 OHD.1,2,8
Oleh karena itu terapi nutrisi bertujuan untuk memungkinkan anak untuk tumbuh
dan berkembang seoptimal mungkin.1 Maka dilakukan :

22
1. Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglicerides (MCT) untuk
mengatasi malabsorbsi lemak,
2. Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak, dengan memberikan
tambahan 1,2,8:
a. Vitamin A 10.000 U/hari, dengan zinc 1 mg/kg
b. Vitamin D 5000-8000 lU vitamin D2 atau hidroksikolekalsiferol 3-5ug/kg/hari
c. Vitamin E (-tocopherol acetate) 150 U/hari
Kekurangan vitamin E akan menyebabkan penyakit neuromuskuler degeneratif
yang progresif. vitamin E dan esternya sangat memerlukan asam empedu untuk
proses penyerapannya. Pada kolestasis yang mengalami defisiensi vitamin E
bersama-sama dengan hiperlipidemia akan menghasilkan kadar vitamin E
dalam serum yang normal akibat adanya hiperlipidemia di atas. Vitamin E
berguna sebagai anti oksidan terhadap zat yang membahayakan jaringan tubuh.
Vitamin E berguna pada penderita yang berat dan sedang menunggu
transplantasi hati, karena zat tersebut akan menghindari prepusi jaringan akibat
defisiensi vitamin E.
d. Vitamin K (yang larut dalam air) 2,5 - 5 mg/hari
Ada 3 macam vitamin K yaitu vitamin K1 (Phylloquinone), vitamin K2
(menaquinone) dan vitamin K3 (menadione). Kekurangan vitamin ini dapat
dilihat manakala waktu protrombin memanjang melebihi waktu parsial
trombpiastin. Pada penderita kolestasis kronik dengan kadar bilirubin yang
menetap dan aliran empedu yang buruk perlu dilakukan pengobatan vitamin K
dengan dosis 2,5 - 5 mg yang diberikan 2 - 7 kali seminggu. Pemberian ini
mutlak harus diberikan manakala penderita akan menjalani operasi.
e. Kalsium dan fosfor, bila dianggap perlu.

2.10.3 Terapi bedah2

Segera setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan, dilakukan intenvensi bedah


portoenterostomi terhadap atresia bilier yang dapat dikoreksi yaitu tipe I dan II.
Di negara maju, dilakukan transplantasi hati terhadap penderita
1. Atresia bilier tipe III
2. Telah mengalami sirosis

23
3. Kualitas hidup buruk, dengan proses tumbuh-kembang yang sangat terhambat
4. Pasca operasi portoenterostomi yang tidak berhasil memperbaiki aliran asam
empedu.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, tidak mudah untuk menegakkan diagnosis
kolestasis pada bayi. Bila semua pemeriksaan yang diperlukan telah dilakukan tetapi
diagnosis atresia bilier masih meragukan, maka Fitzgerald (1986), menganjurkan untuk
melakukan laparatomi eksplorasi pada keadaan sebagai berikut:
1. Bila feses tetap akolik dengan bilirubin direk > 4 mg/dI atau terus meningkat,
meskipun telah diberikan fenobarbital dan dilakukannya uji prednison selama 5 hari
2. GGT meningkat lebih dari 5 kali,
3. Tidak ada defisiensi l-antitripsin,
4. Pada sintigrafi tidak ditemukan ekskresi ke usus.

2.11 Prognosis

Kolestasis menunjukkan suatu keadaan patologis pada hepatobilier betapapun ringannya


ikterus tersebut. Oleh karena itu, harus dilakukan pemeriksaan intensif sedini mungkin
agar dapat mencegah terjadinya kerusakan hati yang permanen dan progresif. Prognosis
kolestasis intrahepatik tergantung dari penyakit penyebab dan banyaknya kerusakan sel
sel hati. Kolestasis yang terjadi oleh karena sepsis, prognosisnya baik. Pada kasus
kolestasis ekstrahepatil seperti atresia bilier misalnya, bila intervensi bedah dilakukan
pada umur < 8 minggu, angka keberhasilannya adalah 80% sedangkan pembedahan
yang dilakukan pada usia > 12 minggu angka keberhasilannya hanya 20%. Tanpa
intervensi bedah, rata-rata usia kematian adalah 11 bulan, dan 99% pasien meninggal
pada usia 2 tahun. Pada saat ini, dengan intervensi bedah dini sejumlah 36-56% pasien
hidup sampai usia 5 tahun. Bila pasca operasi aliran empedu hanya mengalami
perbaikan parsial, paling tidak anak mendapat kesempatan untuk tumbuh dan
berkembang sebaik mungkin, sebelum diputuskan perlu tidaknya transplantasi hati.1,2,10

24

Anda mungkin juga menyukai