TINJAUAN PUSTAKA
II.2 Fisiologi
II.2.1 Komposisi Cairan Empedu
Asam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar
(90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam
anorganik.
1. Asam empedu
Pada manusia, asam empedu (garam empedu) yang paling penting
adalah asam cholat, asam chenodeoksikolat, dan asam deoksikolat. Asam
empedu disintesis di dalam hati yang disebut “primer” asam empedu dan
yang dibuat oleh bakteri yang disebut “sekunder” asam empedu. Asam
empedu dibentuk dari bahan dasar, yaitu kolesterol. Di dalam hati,
pembentukan primer asam empedu berasal dari kolesterol yang dibentuk
melalui 2 jalur, yaitu classic pathway dan accidic pathway. Pada classic
pathway, kolesterol dikonversi (penambahan gugus OH) menjadi 7α-
hydroxycholesterol dengan bantuan enzim 7α-hydroxylase. Selanjutnya,
7α-hydroxycholesterol dengan bantuan enzim sterol 12α-hydroxylase
dikonversi (penambahan gugus H dan CoA) menjadi cholyl-CoA (asam
kolat). Pada accidic pathway, kolesterol dengan bantuan enzim sterol 27-
hydroxylase dan oxysterol 7 α-hydroxylase dikonversi menjadi
chenodeoxycholyl-CoA (asam chenodeosikolat). Selain melalui accidic
pathway, pembentukan asam chenodeoksikolat juga bisa berasal dari 7-
hydroxycholesterol melalui beberapa tahap konversi
Empedu Empedu
Komponen
Hati Kantung Empedu
Air 97,5 gr/dl 92 gr/dl
Garam Empedu 1,1 gr/dl 6 gr/dl
Bilirubin 0,04 gr/dl 0,3 gr/dl
Kolesterol 0,1 gr/dl 0,3 – 0,9 gr/dl
Asam Lemak 0,12 gr/dl 0,3 – 1,2 gr/dl
Lecithin 0,04 gr/dl 0,3 gr/dl
Na+ 145 mEq/L 130 mEq/L
K+ 5 mEq/L 12 mEq/L
Ca+ 5 mEq/L 23 mEq/L
Cl- 100 mEq/L 25 mEq/L
HCO3- 28 mEq/L 10 mEq/L
1. Hormonal :
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan
merangsang mukosa sehingga hormon kolesistokinin akan terlepas.
Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung
empedu.
2. Neurogen :
Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase cephalik dari sekresi
cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan
menyebabkan kontraksi dari kandung empedu.
Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke
duodenum dan mengenai sfingter Oddi. Sehingga pada keadaan
dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar
walaupun sedikit.
Secara normal pengosongan kandung empedu secara menyeluruh
berlangsung selama sekitar 1 jam. Pengosongan empedu yang lambat akibat
gangguan neurologis maupun hormonal memegang peran penting dalam
perkembangan inti batu.
II.3.2 Epidemiologi
Insiden koledokolitiasis di negara barat adalah 20% sedangkan angka
kejadian di Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara
(syamsuhidayat). Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat dalam kelompok
resiko tinggi yang disebut ”5 Fs” : female (wanita), fertile (subur)-khususnya
selama kehamilan, fat (gemuk), fair, dan forty (empat puluh tahun).
II.3.4 Patogenesis
II.3.4.1 Tipe Batu Empedu
Terdapat 3 tipe batu empedu :
a. Batu Empedu Kolesterol
Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70% kolesterol, dan
sisanya adalah kalsium karbonat, kalsium palmitit, dan kalsium bilirubinat.
Bentuknya lebih bervariasi dibandingkan bentuk batu pigmen.
Terbentuknya hampir selalu di dalam kandung empedu, dapat berupa
soliter atau multipel. Permukaannya mungkin licin atau multifaset, bulat,
berduri, dan ada yang seperti buah murbei. Batu Kolesterol terjadi kerena
konsentrasi kolesterol di dalam cairan empedu tinggi. Ini akibat dari
kolesterol di dalam darah cukup tinggi. Jika kolesterol dalam kantong
empedu tinggi, pengendapan akan terjadi dan lama kelamaan menjadi
batu. Penyebab lain adalah pengosongan cairan empedu di dalam kantong
empedu kurang sempurna, masih adanya sisa-sisa cairan empedu di dalam
kantong setelah proses pemompaan empedu sehingga terjadi pengendapan.
b. Batu Empedu Pigmen
Penampilan batu kalsium bilirubinat yang disebut juga batu lumpur
atau batu pigmen, tidak banyak bervariasi. Sering ditemukan berbentuk
tidak teratur, kecil-kecil, dapat berjumlah banyak, warnanya bervariasi
antara coklat, kemerahan, sampai hitam, dan berbentuk seperti lumpur atau
tanah yang rapuh. Batu pigmen terjadi karena bilirubin tak terkonjugasi di
saluran empedu (yang sukar larut dalam air), pengendapan garam bilirubin
kalsium dan akibat penyakit infeksi.
c. Batu Empedu Campuran
Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai (±80%) dan
terdiri atas kolesterol, pigmen empedu, dan berbagai garam kalsium.
Biasanya berganda dan sedikit mengandung kalsium sehingga bersifat
radioopaque.
II.3.4.2 Patogenesis Pembentukan Batu Empedu
Batu Kolesterol
Pembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase:
a. Fase supersaturasi
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah
komponen yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan
tertentu membentuk micelle yang mudah larut. Di dalam kandung
empedu ketiganya dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat.
Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan
garam empedu, dalam keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada
keadaan supersaturasi dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa
mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan mengendap. Kadar
kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut:
Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam
empedu dan lecithin jauh lebih banyak.
Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi
sehingga terjadi supersaturasi.
Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet).
Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol
jaringan tinggi.
Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada
gangguan ileum terminale akibat peradangan atau reseksi
(gangguan sirkulasi enterohepatik).
Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan
kadar chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat
efeknya melarutkan batu kolesterol dan menurunkan saturasi
kolesterol. Penelitian lain menyatakan bahwa tablet KB
pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.
b. Fase pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti
batu heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau
sel-sel yang lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari
kristal kolesterol sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan
asam empedu.
c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup
waktu untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal
dimana kontraksi kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu
normal, inti batu yang sudah terbentuk akan dipompa keluar ke dalam
usus halus. Bila konstruksi kandung empedu lemah, kristal kolesterol
yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat pada inti batu tersebut. Hal
ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus, kehamilan, pada
pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah operasi trunkal
vagotomi, karena pada keadaan tersebut kontraksi kandung empedu
kurang baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari mukosa kandung
empedu akan mengikat kristal kolesterol dan sukar dipompa keluar.
II.3.5 Patofisiologi
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan
berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigment dan batu
campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung
> 50% kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung 20-50%
kolesterol). Angka 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana
mengandung < 20% kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu
antara lain adalah keadaan statis kandung empedu, pengosongan kandung empedu
yang tidak sempurna dan konsentrasi kalsium dalam kandung empedu.
Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang
terbentuk di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin
dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu
menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi berpengaruh
(kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk
pembentukan batu. Kristal yang yang terbentuk terbak dalam kandung empedu,
kemuadian lama-kelamaan kristal tersubut bertambah ukuran,beragregasi,
melebur dan membetuk batu. Faktor motilitas kandung empedu, biliary stasis, dan
kandungan empedu merupakan predisposisi pembentukan batu empedu empedu.
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang
tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus,
batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat
kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus
koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik.
Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus
obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis..
II.3.6 Diagnosis
II.3.6.1 Anamnesis
1. Batu Empedu Asimtomatik
Batu empedu mungkin dapat ditemukan didalam kantung empedu
selama beberapa dekade tanpa disertai tanda dan gejala dari komplikasinya
sendiri. Pada kebanyakan kasus, batu empedu asimtomatik tidak
membutuhkan terapi.
2. Colic Bilier
Nyeri yang disebut kolik bilier terjadi bila batu empedu atau
lumpur berada di duktus sistikus selama kontraksi kandung empedu,
meningkatkan ketegangan dinding kandung empedu. Dalam kebanyakan
kasus, nyeri berlangsung selama 30 sampai 90 menit akibat dari relaksasi.
Kolik bilier episodik, pasien akan melokalisir nyeri pada
epigastrium atau kuadran kanan atas dan mungkin menjalar hingga ke
ujung skapula kanan. Rasa sakit mulai postprandially (biasanya dalam
waktu satu jam setelah mengkonsumsi makanan berlemak), biasnaya
berlangsung selama 1-5 jam. Rasa sakit yang dialami konstan dan tidak
berkurang dengan pemberian terapi emesis, antasid, buang air besar,
kentut, ataupun perubahan posisi. Biasanya disertai dengan mual, dan
muntah.
II.3.7 Penatalaksanaan
A. Non Medikamentosa
Pada pasien dengan batu empedu simtomaik, dapat dilakukan
dengan terapi intervensi bedah dan non-bedah. Penanganan operasi pada
batu empedu asimptomatik tanpa komplikasi tidak dianjurkan. Indikasi
kolesistektomi pada batu empedu asimptomatik ialah:
Pasien dengan batu empedu > 2cm
Pasien dengan kantung empedu yang nonfungsional/ mengalami
kalsifikasi, sehingga beresiko tinggi terjadi keganasan
Pasien dengan cedera medula spinalis yang berefek ke perut
Kolesistektomi
Pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi) umumnya
diindikasikan pada pasien yang mengalami gejala atau komplikasi batu
empedu.
o Open kolisistektomi
Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien
dengan batu empedu simtomatik.
o Kolisistektomi laparoskopi
Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih
minimal, pemulihan lebih cepat, dan hasil kosmetik lebih baik.
Extracorporeal Shock Wave Lithotrips (ESWL)
Metode pengobatan batu empedu jika jumlah batu sedikit dan
berukuran kecil (<2cm). ESWL dilakukan dengan menghantarkan
gelombang kejut berulang untuk memecah dan menghancurkan batu
empedu menjadi beberapa/sejumlah fragmen.
Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
ERCP merupakan suatu perpaduan antara pemeriksaan endoskopi
dan radiologi untuk mendapatkan anatomi dari sistem traktus biliaris
(kolangiogram) dan sekaligus duktus pankreas (pankreatogram). ERCP
ini dapat dijadikan alat penegak diagnosa maupun alat terapeutik.
Prinsip dari ERCP terapeutik adalah memotong sfingter papila Vateri
dengan kawat yang dialiri arus listrik sehingga muara papila menjadi
besar (spingterotomi endoskopik).
B. Medikamentosa
Tidak ada obat yang dapat menyembuhkan choledocholithiasis.
Namun dapat menjadi pertimbangan untuk obat disolusi batu empedu
yaitu dengan pemberian ursodiol. Agen ini menekan sekresi kolesterol
pada hati dan menghambat penyerapan kolesterol pada usus. Ursodiol
adalah obat yang paling umum digunakan. Kolesterol ini dilarutkan
dalam michel dan bertindak mendispersikan kolesterol ke dalam media
air. Selanjutna indomethasin rektal dosis 50 mg hingga 100 mg dapat
digunakan untuk mencegah pankreatitis pasca-prosedur jika saluran
pankreas dimanipulasi selama ERCP. Antibiotik biasanya tidak
diperlukan untuk choledocholithiasis kecuali pasien juga memiliki
kolesistitis atau kolangitis terkait.
II.3.8 Prognosis
Prognosis choledocholithiasis tergantung pada adanya komplikasi dan
tingkat keparahannya. Sekitar 45% pasien dengan choledocholithiasis tetap
asimtomatik. Dari semua pasien yang menolak operasi atau tidak layak untuk
menjalani operasi, hanya 55% yang mengalami berbagai tingkat
komplikasi. Kurang dari 20% pasien mengalami kekambuhan gejala bahkan
setelah menjalani prosedur terapeutik. Jika pengobatan dimulai pada waktu
yang tepat, prognosis dianggap menguntungkan dalam keadaan umum.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Kolelitiasis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah.
Edisi ke 3. Jakarta: EGC; 2011.
3. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th edition.
Jakarta: EGC; 2007.
4. Center SA. Diseases of the gallbladder and biliary tree. Vet Clin North Am
Small Anim Pract. May 2009;39(3):543-98. Diakses pada tanggal 27
September 2022 melalui
(http://reference.medscape.com/medline/abstract/19524793)
6. Kasper, Dennis L., MD. et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th
Edition. Philladelphia; McGraw-Hill; 2005.
7. Gilani SN, Bass G, Leader F, Walsh TN. Collins' sign: validation of a clinical
sign in cholelithiasis. Ir J Med Sci. Aug 14 2009; Diakses pada tanggal 27
September 2022 melalui
(http://reference.medscape.com/medline/abstract/19685000)
9. [Guideline] Katz DS, Rosen MP, Blake MA, et al; and Expert Panel on
Gastrointestinal Imaging. ACR Appropriateness Criteria® right upper
quadrant pain. [online publication]. Reston (VA): American College of
Radiology (ACR). Diakses pada tanggal 27 September 2022 melalui
(http://www.acr.org/%7E/media/ACR/Documents/AppCriteria/Diagnostic/
RightUpperQuadrantPain.pdf)
10. Heuman DM, Moore EL, Vlahcevic ZR. Pathogenesis and dissolution of
gallstones. In: Zakim D, Boyer TD, eds. Hepatology: A Textbook of Liver
Disease. 2006. 3rd ed. Philadelphia, Pa: WB Saunders; 1996:376-417.