Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi Kandung Empedu


Kandung empedu (vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang
terletak pada permukaan visceral hepar dengan panjang sekitar 4-6 cm dan
berisi 30-60 ml empedu. Kandung empedu tertutup seluruhnya oleh peritoneum
visceral, tetapi infundibulum kandung empedu tidak terfiksasi ke permukaan
hati oleh lapisan peritoneum. Apabila kandung empedu mengalami distensi
akibat bendungan oleh batu, bagian infundibulum menonjol seperti kantong
yang disebut kantong Hartman.
Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk
bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus
berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX
kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya
keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus sistikus yang
berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan duktus
hepatikus komunis membentuk duktus koledokus.
Pembuluh arteri kandung empedu adalah a.cystica, cabang a.hepatica
kanan. Vena cystica mengalirkan darah langsung ke dalam vena porta.
Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan
kandung empedu.
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak
dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi
lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju ke nodi
lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju ke kandung empedu berasal dari
plexus coeliacus.
Gambar 1. Gambaran anatomi kandung empedu

II.2 Fisiologi
II.2.1 Komposisi Cairan Empedu
Asam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar
(90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam
anorganik.
1. Asam empedu
Pada manusia, asam empedu (garam empedu) yang paling penting
adalah asam cholat, asam chenodeoksikolat, dan asam deoksikolat. Asam
empedu disintesis di dalam hati yang disebut “primer” asam empedu dan
yang dibuat oleh bakteri yang disebut “sekunder” asam empedu. Asam
empedu dibentuk dari bahan dasar, yaitu kolesterol. Di dalam hati,
pembentukan primer asam empedu berasal dari kolesterol yang dibentuk
melalui 2 jalur, yaitu classic pathway dan accidic pathway. Pada classic
pathway, kolesterol dikonversi (penambahan gugus OH) menjadi 7α-
hydroxycholesterol dengan bantuan enzim 7α-hydroxylase. Selanjutnya,
7α-hydroxycholesterol dengan bantuan enzim sterol 12α-hydroxylase
dikonversi (penambahan gugus H dan CoA) menjadi cholyl-CoA (asam
kolat). Pada accidic pathway, kolesterol dengan bantuan enzim sterol 27-
hydroxylase dan oxysterol 7 α-hydroxylase dikonversi menjadi
chenodeoxycholyl-CoA (asam chenodeosikolat). Selain melalui accidic
pathway, pembentukan asam chenodeoksikolat juga bisa berasal dari 7-
hydroxycholesterol melalui beberapa tahap konversi

Gambar 2. Biosintesis Asam Empedu

Sebagian besar (90%) asam empedu dalam lumen usus akan


diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan
bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi asam empedu tersebut
terjadi di segmen distal dari ilium sehingga bila ada gangguan pada daerah
tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi asam
empedu akan terganggu. Fungsi asam empedu adalah :
 Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat
dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah
menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.
 Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan
vitamin yang larut dalam lemak.
2. Lesitin
Lesitin merupakan suatu senyawa yang dikategorikan sebagai lipid.
Sebenarnya di dalam lesitin tidak hanya terkandung senyawa
fosfatidilkolin, tetapi juga ada senyawa-senyawa yang lain masih dalam
golongan lipid, namun fosfatidil kolin merupakan kandungan utama dari
lesitin. Lesitin memainkan peranan yang cukup signifikan sebagai agen
aktif permukaan dalam proses emulsi. Lesitin ini diperoleh tubuh melalui
makanan terutama yang berasal dari keledai dan kuning telur.
3. Kolesterol
Kolesterol adalah suatu zat lemak yang terdapat pada seluruh produk
binatang, contohnya seperti daging, produk susu, dan telur. Kolesterol
sangat dibutuhkan bagi tubuh dan salah satunya digunakan untuk
membentuk cairan empedu yang diperlukan dalam mencerna lemak.
Kolesterol dibagi menjadi kolesterol eksogen dan endogen. Kolesterol
eksogen merupakan kolesterol yang diabsorbsi dari makanan di dalam
saluran pencernaan, sedangkan kolesterol endogen dibentuk oleh sel tubuh.
Sebagian besar kolesterol berasal dari kolesterol endogen. Sintesis
kolesterol endogen terdiri dari lima tahapan utama, yaitu :
1. Mengubah Asetil CoA menjadi 3-hydroxy-3-methylglutaryl-CoA
(HMG-Coa)
2. Mengubah HMG-CoA menjadi mevalonate
3. Mevalonate diubah menjadi molekul dasar isoprene, isopentenyl
pyrpphospate (IPP) bersamaan dengan hilangnya CO2
4. IPP diubah menjadi squalene
5. Squalene diubah menjadi kolesterol

Gambar 3. Biosintesis Kolesterol


4. Bilirubin
Bilirubin merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme
melalui proses reaksi oksidasi-reduksi. Metabolisme bilirubin meliputi
pembentukan, transportasi, asupan, konjugasi, dan ekskresi bilirubin.
 Fase Pre-hepatik
1) Pembentukan bilirubin.
Bilirubin berasal dari katabolisme protein heme, dimana
75% berasal dari penghancuran eritrosit dan 25% berasal dari
penghancuran eritrosit yang imatur dan protein heme lainnya
seperti mioglobin, sitokrom, katalase, dan peroksidase.
Pembentukannya berlangsung di system retikoloendotelial.
Langkah oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk
dari heme dengan bantuan enzim heme oksigenase. Biliverdin
yang larut dalam air kemudian akan direduksi menjadi
bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Bilirubin bersifat
lipofilik dan terikat dengan hydrogen serta pada pH normal
bersifat tidak larut.
2) Transport plasma
Selanjutnya bilirubin yang telah dibentuk akan diangkut
ke hati melalui plasma, harus berikatan dengan albumin
plasma terlebih dahulu oleh karena sifatnya yang tidak larut
dalam air.
 Fase Intra-Hepatik
3) Liver uptake
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai
permukaan sinusoid hepatosit, terjadi proses ambilan bilirubin
oleh hepatosit melalui ssistem transpor aktif terfasilitasi,
namun tidak termasuk pengambilan albumin. Setelah masuk ke
dalam hepatosit, bilirubin akan berikatan dengan ligandin,
yang membantu bilirubin tetap larut sebelum dikonjugasi.
4) Konjugasi
Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati
(bilirubin tak terkonjugasi) akan mengalami konjugasi dengan
asam glukoronat yang dapat larut dalam air di reticulum
endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate
glucoronosyl transferase (UDPG-T) membentuk bilirubin
konjugasi, sehingga mudah untuk diekskresikan ke dalam
kanalikulus empedu.
 Fase Post-Hepatik
5) Ekskresi bilirubin
Bilirubin yang terkonjugasi diekskresikan ke dalam
kanalikulus empedu melalui proses mekanisme transport aktif
yang diperantarai oleh protein membran kanalikuli, dikenal
sebagai multidrug-resistance associated protein-2 (MRP-2).
Setelah bilirubin terkonjugasi diekskresikan ke dalam kandung
empedu, bilirubin kemudian memasuki saluran cerna. Sewaktu bilirubin
terkonjugasi mencapai ileum terminal dan usus besar, glukoronida
dikeluarkan oleh enzim bakteri khusus, yaitu ß-glukoronidase, dan
bilirubin kemudian direduksi oleh flora feses menjadi sekelompok
senyawa tetrapirol tak berwarna yang disebut urobilinogen. Pada keadaan
normal, urobilinogen yang tak berwarna dan dibentuk di kolon oleh flora
feses mengalami oksidasi menjadi urobilin (senyawa berwarna) dan
diekskresikan di tinja.
Gambar 4. Metabolisme Bilirubin
Komponen cairan empedu:

Empedu Empedu
Komponen
Hati Kantung Empedu
Air 97,5 gr/dl 92 gr/dl
Garam Empedu 1,1 gr/dl 6 gr/dl
Bilirubin 0,04 gr/dl 0,3 gr/dl
Kolesterol 0,1 gr/dl 0,3 – 0,9 gr/dl
Asam Lemak 0,12 gr/dl 0,3 – 1,2 gr/dl
Lecithin 0,04 gr/dl 0,3 gr/dl
Na+ 145 mEq/L  130 mEq/L 
K+ 5 mEq/L  12 mEq/L 
Ca+ 5 mEq/L  23 mEq/L 
Cl- 100 mEq/L  25 mEq/L 
HCO3- 28 mEq/L  10 mEq/L 

II.2.2 Sekresi Empedu


Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli.
Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum
interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan
dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran
ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu
duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum
disalurkan ke duodenum. Empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :
1. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi
lemak karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam
empedu membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar
menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang
disekresikan dalam getah pancreas. Asam empedu membantu transpor dan
absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran
mukosa intestinal.
2. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk
buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir
dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk
oleh sel- sel hati.

II.2.3 Penyimpanan dan Pemekatan Empedu


Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500 ml per hari.
Empedu yang disekresikan secara terus-menerus oleh sel-sel hati disimpan dalam
kandung empedu sampai diperlukan di duodenum. Volume maksimal kandung
empedu hanya 30-60 ml. Meskipun demikian, sekresi empedu selama 12 jam
(biasanya sekitar 450 ml) dapat disimpan dalam kandung empedu karena air,
natrium, klorida, dan kebanyakan elektrolit kecil lainnya secara terus menerus
diabsorbsi oleh mukosa kandung empedu, memekatkan zat-zat empedu lainnya,
termasuk garam empedu, kolesterol, lesitin, dan bilirubin. Kebanyakan absorpsi
ini disebabkan oleh transpor aktif natrium melalui epitel kandung empedu, dan
keadaan ini diikuti oleh absorpsi sekunder ion klorida, air, dan kebanyakan zat-zat
terlarut lainnya. Empedu secara normal dipekatkan sebanyak 5 kali lipat dengan
cara ini, sampai maksimal 20 kali lipat.

II.2.4 Pengosongan Kantung Empedu


Pengaliran cairan empedu diatur oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu
oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Empedu
dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu.
Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak ke dalam duodenum.
Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum,
kemudian masuk kedalam darah dan menyebabkan kandung empedu berkontraksi.
Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus koledokus
dan sfingter Oddi mengalami relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya
empedu yang kental ke dalam duodenum. Proses koordinasi aktifitas ini
disebabkan oleh dua hal yaitu :

1. Hormonal :
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan
merangsang mukosa sehingga hormon kolesistokinin akan terlepas.
Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung
empedu.
2. Neurogen :
 Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase cephalik dari sekresi
cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan
menyebabkan kontraksi dari kandung empedu.
 Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke
duodenum dan mengenai sfingter Oddi. Sehingga pada keadaan
dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar
walaupun sedikit.
Secara normal pengosongan kandung empedu secara menyeluruh
berlangsung selama sekitar 1 jam. Pengosongan empedu yang lambat akibat
gangguan neurologis maupun hormonal memegang peran penting dalam
perkembangan inti batu.

Gambar 5A. Kontraksi sfingter Oddi dan pengisian empedu ke


kandung empedu; 5B. Relaksasi sfingter Oddi dan pengosongan
kandung empedu.
II.3 Koledokolitiasis
II.3.1 Definisi
Batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk
suatu material mirip batu. Koledokolitiasis adalah istilah medis yang digunakan
pada penyakit batu empedu yang terdapat pada saluran empedu (duktus
koledokus).

Gambar 6. Gambaran batu dalam kandung empedu

II.3.2 Epidemiologi
Insiden koledokolitiasis di negara barat adalah 20% sedangkan angka
kejadian di Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara
(syamsuhidayat). Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat dalam kelompok
resiko tinggi yang disebut ”5 Fs” : female (wanita), fertile (subur)-khususnya
selama kehamilan, fat (gemuk), fair, dan forty (empat puluh tahun).

II.3.3 Faktor Resiko


Koledokolitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini.
Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar
kemungkinan untuk terjadinya koledokolitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:
a. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung
empedu. Kehamilan yang meningkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan resiko terkena koledokolitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi
dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam
kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
b. Usia
Resiko untuk terkena koledokolitiasis meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Orang dengan usia >60 tahun lebih cenderung untuk
terkena kolelitiasis dibandingkan dengan usia yang lebih muda.
c. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih
tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Tingginya BMI menunjukkan kadar
kolesterol dalam kandung empedu cenderung tinggi, dan juga mengurasi
garam empedu serta mengurangi kontraksi/pengosongan kandung empedu.
d. Makanan
Intake rendah klorida dan kehilangan berat badan yang cepat (seperti
setelah operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur
kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung
empedu.
e. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga.
f. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
g. Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan koledokolitiasis adalah
Crohn disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
h. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi karena tidak ada makanan/nutrisi yang
melewati intestinal sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.

II.3.4 Patogenesis
II.3.4.1 Tipe Batu Empedu
Terdapat 3 tipe batu empedu :
a. Batu Empedu Kolesterol
Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70% kolesterol, dan
sisanya adalah kalsium karbonat, kalsium palmitit, dan kalsium bilirubinat.
Bentuknya lebih bervariasi dibandingkan bentuk batu pigmen.
Terbentuknya hampir selalu di dalam kandung empedu, dapat berupa
soliter atau multipel. Permukaannya mungkin licin atau multifaset, bulat,
berduri, dan ada yang seperti buah murbei. Batu Kolesterol terjadi kerena
konsentrasi kolesterol di dalam cairan empedu tinggi. Ini akibat dari
kolesterol di dalam darah cukup tinggi. Jika kolesterol dalam kantong
empedu tinggi, pengendapan akan terjadi dan lama kelamaan menjadi
batu. Penyebab lain adalah pengosongan cairan empedu di dalam kantong
empedu kurang sempurna, masih adanya sisa-sisa cairan empedu di dalam
kantong setelah proses pemompaan empedu sehingga terjadi pengendapan.
b. Batu Empedu Pigmen
Penampilan batu kalsium bilirubinat yang disebut juga batu lumpur
atau batu pigmen, tidak banyak bervariasi. Sering ditemukan berbentuk
tidak teratur, kecil-kecil, dapat berjumlah banyak, warnanya bervariasi
antara coklat, kemerahan, sampai hitam, dan berbentuk seperti lumpur atau
tanah yang rapuh. Batu pigmen terjadi karena bilirubin tak terkonjugasi di
saluran empedu (yang sukar larut dalam air), pengendapan garam bilirubin
kalsium dan akibat penyakit infeksi.
c. Batu Empedu Campuran
Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai (±80%) dan
terdiri atas kolesterol, pigmen empedu, dan berbagai garam kalsium.
Biasanya berganda dan sedikit mengandung kalsium sehingga bersifat
radioopaque.
II.3.4.2 Patogenesis Pembentukan Batu Empedu
 Batu Kolesterol
Pembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase:
a. Fase supersaturasi
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah
komponen yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan
tertentu membentuk micelle yang mudah larut. Di dalam kandung
empedu ketiganya dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat.
Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan
garam empedu, dalam keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada
keadaan supersaturasi dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa
mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan mengendap. Kadar
kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut:
 Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam
empedu dan lecithin jauh lebih banyak.
 Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi
sehingga terjadi supersaturasi.
 Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet).
 Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol
jaringan tinggi.
 Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada
gangguan ileum terminale akibat peradangan atau reseksi
(gangguan sirkulasi enterohepatik).
 Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan
kadar chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat
efeknya melarutkan batu kolesterol dan menurunkan saturasi
kolesterol. Penelitian lain menyatakan bahwa tablet KB
pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.
b. Fase pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti
batu heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau
sel-sel yang lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari
kristal kolesterol sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan
asam empedu.
c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup
waktu untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal
dimana kontraksi kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu
normal, inti batu yang sudah terbentuk akan dipompa keluar ke dalam
usus halus. Bila konstruksi kandung empedu lemah, kristal kolesterol
yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat pada inti batu tersebut. Hal
ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus, kehamilan, pada
pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah operasi trunkal
vagotomi, karena pada keadaan tersebut kontraksi kandung empedu
kurang baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari mukosa kandung
empedu akan mengikat kristal kolesterol dan sukar dipompa keluar. 

 Batu bilirubin/Batu pigmen


Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase:
a. Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena
pemecahan eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit
Sicklecell. Pada keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi
konjugasi bilirubin menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi
terjadi karena adanya enzim b glukuronidase yang dihasilkan oleh
Escherichia Coli. Pada keadaan normal cairan empedu mengandung
glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja glukuronidase.
b. Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa
juga oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki
melaporkan bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan
dari cacing ascaris lumbricoides. sedangkan Tung dari Vietnam
mendapatkan 70 % inti batu adalah dari cacing tambang.

II.3.5 Patofisiologi
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan
berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigment dan batu
campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung
> 50% kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung 20-50%
kolesterol). Angka 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana
mengandung < 20% kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu
antara lain adalah keadaan statis kandung empedu, pengosongan kandung empedu
yang tidak sempurna dan konsentrasi kalsium dalam kandung empedu.
Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang
terbentuk di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin
dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu
menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi berpengaruh
(kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk
pembentukan batu. Kristal yang yang terbentuk terbak dalam kandung empedu,
kemuadian lama-kelamaan kristal tersubut bertambah ukuran,beragregasi,
melebur dan membetuk batu. Faktor motilitas kandung empedu, biliary stasis, dan
kandungan empedu merupakan predisposisi pembentukan batu empedu empedu.
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang
tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus,
batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat
kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus
koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik.
Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus
obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis..

II.3.6 Diagnosis
II.3.6.1 Anamnesis
1. Batu Empedu Asimtomatik
Batu empedu mungkin dapat ditemukan didalam kantung empedu
selama beberapa dekade tanpa disertai tanda dan gejala dari komplikasinya
sendiri. Pada kebanyakan kasus, batu empedu asimtomatik tidak
membutuhkan terapi.
2. Colic Bilier
Nyeri yang disebut kolik bilier terjadi bila batu empedu atau
lumpur berada di duktus sistikus selama kontraksi kandung empedu,
meningkatkan ketegangan dinding kandung empedu. Dalam kebanyakan
kasus, nyeri berlangsung selama 30 sampai 90 menit akibat dari relaksasi.
Kolik bilier episodik, pasien akan melokalisir nyeri pada
epigastrium atau kuadran kanan atas dan mungkin menjalar hingga ke
ujung skapula kanan. Rasa sakit mulai postprandially (biasanya dalam
waktu satu jam setelah mengkonsumsi makanan berlemak), biasnaya
berlangsung selama 1-5 jam. Rasa sakit yang dialami konstan dan tidak
berkurang dengan pemberian terapi emesis, antasid, buang air besar,
kentut, ataupun perubahan posisi. Biasanya disertai dengan mual, dan
muntah.

II.3.6.2 Pemeriksaan Fisik


Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang.
Kadang teraba hati dan sklera ikterik. Apabila sumbatan saluran empedu
bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.

II.3.6.3 Pemeriksaan Penunjang


Pasien dengan koledokolitiasis tanpa komplikasi atau kolik bilier
sederhana biasanya memiliki hasil uji laboratorium normal. Pengujian
laboratorium umumnya tidak dilakukan kecuali kolesistitis menjadi acuan.
Batu empedu asimtomatik sering ditemukan secara kebetulan melalui
foto polos, sonogram abdomen, atau CT-Scan untuk pemeriksaan dari
proses lainnya. Foto polos ambdomen memiliki sedikit peran dalam
mendiagnosis batu empedu. Kolesterol dan pigmen batu yang radiopak akan
terlihat pada radiografi hanya 10 – 30 % dari kasus, tergantung sejauh mana
proses kalsifikasinya.
A. Pemeriksaan Darah
Pada kasus koledokolitiasis obstruksi bisanya menghasilkan
peningkatan SGOT dan SGPT, diikuti dengan peningkatan serum
bilirubin setiap jamnya. Peningkatan bilirubin mengindikasikan adanya
obstruksi. Hal ini di dapatkan pada 60% pasien dengan peningkatan
serum bilirubin > 3 mg/dL. Bila obstruksi menetap akan mengalami
penurunan vitamin K akibat dari absorbsi empedu.
B. Ultrasonography (USG)
USG merupakan pemeriksaan utama pada kasus batu empedu;
sensitivitas, spesifisitas, non invasif, dan murah dapat mendeteksi
adanya batu empedu. Batu empedu dapat dilihat dengan tampak masa
echogenic. Dapat bergerak bebas dengan perubahan posisi dan
membentuk bayangan akustik.

II.3.7 Penatalaksanaan
A. Non Medikamentosa
Pada pasien dengan batu empedu simtomaik, dapat dilakukan
dengan terapi intervensi bedah dan non-bedah. Penanganan operasi pada
batu empedu asimptomatik tanpa komplikasi tidak dianjurkan. Indikasi
kolesistektomi pada batu empedu asimptomatik ialah:
 Pasien dengan batu empedu > 2cm
 Pasien dengan kantung empedu yang nonfungsional/ mengalami
kalsifikasi, sehingga beresiko tinggi terjadi keganasan
 Pasien dengan cedera medula spinalis yang berefek ke perut
 Kolesistektomi
Pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi) umumnya
diindikasikan pada pasien yang mengalami gejala atau komplikasi batu
empedu.
o Open kolisistektomi
Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien
dengan batu empedu simtomatik.
o Kolisistektomi laparoskopi
Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih
minimal, pemulihan lebih cepat, dan hasil kosmetik lebih baik.
 Extracorporeal Shock Wave Lithotrips (ESWL)
Metode pengobatan batu empedu jika jumlah batu sedikit dan
berukuran kecil (<2cm). ESWL dilakukan dengan menghantarkan
gelombang kejut berulang untuk memecah dan menghancurkan batu
empedu menjadi beberapa/sejumlah fragmen.
 Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
ERCP merupakan suatu perpaduan antara pemeriksaan endoskopi
dan radiologi untuk mendapatkan anatomi dari sistem traktus biliaris
(kolangiogram) dan sekaligus duktus pankreas (pankreatogram). ERCP
ini dapat dijadikan alat penegak diagnosa maupun alat terapeutik.
Prinsip dari ERCP terapeutik adalah memotong sfingter papila Vateri
dengan kawat yang dialiri arus listrik sehingga muara papila menjadi
besar (spingterotomi endoskopik).
B. Medikamentosa
Tidak ada obat yang dapat menyembuhkan choledocholithiasis.
Namun dapat menjadi pertimbangan untuk obat disolusi batu empedu
yaitu dengan pemberian ursodiol. Agen ini menekan sekresi kolesterol
pada hati dan menghambat penyerapan kolesterol pada usus. Ursodiol
adalah obat yang paling umum digunakan. Kolesterol ini dilarutkan
dalam michel dan bertindak mendispersikan kolesterol ke dalam media
air. Selanjutna indomethasin rektal dosis 50 mg hingga 100 mg dapat
digunakan untuk mencegah pankreatitis pasca-prosedur jika saluran
pankreas dimanipulasi selama ERCP. Antibiotik biasanya tidak
diperlukan untuk choledocholithiasis kecuali pasien juga memiliki
kolesistitis atau kolangitis terkait.
II.3.8 Prognosis
Prognosis choledocholithiasis tergantung pada adanya komplikasi dan
tingkat keparahannya. Sekitar 45% pasien dengan choledocholithiasis tetap
asimtomatik. Dari semua pasien yang menolak operasi atau tidak layak untuk
menjalani operasi, hanya 55% yang mengalami berbagai tingkat
komplikasi. Kurang dari 20% pasien mengalami kekambuhan gejala bahkan
setelah menjalani prosedur terapeutik. Jika pengobatan dimulai pada waktu
yang tepat, prognosis dianggap menguntungkan dalam keadaan umum.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Kolelitiasis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah.
Edisi ke 3. Jakarta: EGC; 2011.

2. Snell, RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke 6. Jakarta:


EGC; 2006.

3. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th edition.
Jakarta: EGC; 2007.

4. Center SA. Diseases of the gallbladder and biliary tree. Vet Clin North Am
Small Anim Pract. May 2009;39(3):543-98. Diakses pada tanggal 27
September 2022 melalui
(http://reference.medscape.com/medline/abstract/19524793)

5. Douglas M. Heuman. 2015. Gallstones (Cholelithiasis). Emedicine Medscape


Updated, Jan 20, 2015. Diakses pada tanggal 27 September 2022 melalui
(http://emedicine.medscape.com/article/175667)

6. Kasper, Dennis L., MD. et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th
Edition. Philladelphia; McGraw-Hill; 2005.

7. Gilani SN, Bass G, Leader F, Walsh TN. Collins' sign: validation of a clinical
sign in cholelithiasis. Ir J Med Sci. Aug 14 2009; Diakses pada tanggal 27
September 2022 melalui
(http://reference.medscape.com/medline/abstract/19685000)

8. Dauer M, Lammert F. Mandatory and optional function tests for biliary


disorders. Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2009;23(3):441-51. Diakses pada
tanggal 27 September 2022 melalui
(http://reference.medscape.com/medline/abstract/19505670)

9. [Guideline] Katz DS, Rosen MP, Blake MA, et al; and Expert Panel on
Gastrointestinal Imaging. ACR Appropriateness Criteria® right upper
quadrant pain. [online publication]. Reston (VA): American College of
Radiology (ACR). Diakses pada tanggal 27 September 2022 melalui
(http://www.acr.org/%7E/media/ACR/Documents/AppCriteria/Diagnostic/
RightUpperQuadrantPain.pdf)

10. Heuman DM, Moore EL, Vlahcevic ZR. Pathogenesis and dissolution of
gallstones. In: Zakim D, Boyer TD, eds. Hepatology: A Textbook of Liver
Disease. 2006. 3rd ed. Philadelphia, Pa: WB Saunders; 1996:376-417.

11. Ghazal AH, Sorour MA, El-Riwini M, El-Bahrawy H. Single-step treatment


of gall bladder and bile duct stones: a combined endoscopic-laparoscopic
technique. Int J Surg. Aug 2009;7(4):338-46. Diakses pada tanggal27
September 2022 melalui
(http://reference.medscape.com/medline/abstract/19481184)
12. Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow SC, Goers TA, Spencer J. Biliary
Surgery. In: Washington Manual of Surgery. 5th edition. Washington :
Lippincott Williams & Wilkins; 2008.

13. Lesmana, L. Penyakit Batu Empedu. In : Sudoyo B, Alwi I, Simadibrata MK,


Setiati S Editors. Ilmu Penyakit Dalam. 5th edition. Jakarta: Interna
Publishing; 2009. p. 721-26.
14. Dauer M, Lammert F. Mandatory and optional function tests for biliary
disorders. Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2009;23(3):441-51. Diakses pada
tanggal 27 September 2022 melalui
(http://reference.medscape.com/medline/abstract/19505670)
15. Christopher F. McNicoll; Alyssa Pastorino; Umer Farooq; Mary J.
Froehlich; Charles R. St Hill, 2022, Choledocholithiasis, NCBI. Diakses pada
tanggal 27 September 2022 melalui
(Choledocholithiasis - StatPearls - NCBI Bookshelf (nih.gov))

Anda mungkin juga menyukai