Anda di halaman 1dari 3

http://community.kompas.com/index.php?fuseaction=home.

detail&id=4523&section=58

Kasus Sinta Bela Digolongkan KIPI


Selasa | 15 Agustus 2006 | 15:39 wib | 0 Komentar | Kirim Artikel

BEKASI, KOMPASDinas Kesehatan Kabupaten Bekasi menggolongkan peristiwa lumpuhnya


Sinta Bela (9), siswi Madrasah Ibtidaiyah Al Huda, Jatimulya, Kabupaten Bekasi, adalah kejadian
ikutan paska imunisasi (KIPI).
Untuk itu biaya pemeriksaan dan pengobatan Sinta Bela digratiskan. Dinas Kesehatan
Kabupaten Bekasi juga akan mengupayakan kursi roda sehingga Sinta dapat beraktifitas dan
kembali bersekolah secara mandiri.
Demikian dikatakan Kepala Bidang P2PL Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi, dr Herry
Fattah dalam jumpa pers di Kantor Komnas Perlindungan Anak, Jakarta, Selasa (15/8) siang.
Dalam jumpa pers yang difasilitasi Sekjen Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, hadir
pula Sinta Bela bersama orang tuanya dan Kepala Puskesmas Jatimulya drg Julita Emilia Payung.
Sinta secara tiba-tiba mengalami kelumpuhan setelah bocah perempuan itu mendapat suntikan
antitetanus di sekolahnya bulan November 2005. Orang tua Sinta berkeyakinan putri mereka
lumpuh akibat mendapat suntikan itu.
Orangtua Sinta sudah mengupayakan pengobatan bagi putrinya itu. Sebanyak empat rumah
sakit sudah didatangi. Namun, jangankan sembuh, penyakit Sinta pun tak diketahui penyebabnya
sampai sekarang. Orangtua Sinta melaporkan kasus putrinya itu ke Polres Bekasi bulan Mei 2006
dan beberapa waktu lalu, mengadukan pula ke Komnas Perlindungan Anak.
Terkait upaya mencari tahu penyebab kelumpuhan Sinta, kata Herry dalam jumpa pers
itu, Dinas Kesehatan juga akan mengambil contoh spesimen berupa sampel darah dan kotoran
Sinta untuk diperiksa.
Nadya Shabirah Zahra

1410211080

Analisis Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) adalah kejadian medik yang berhubungan dengan
imunisasi baik berupa efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek
farmakologis atau kesalahan akibat program, koinsidensi, reaksi suntikan atau hubungan kausal
yang tidak dapat ditentukan. Untuk mengetahui hubungan antara pemberian imunisasi dengan
KIPI diperlukan pelaporan dan pencatatan semua reaksi yang tidak diinginkan yang timbul setelah
pemberian imunisasi. Surveilans KIPI sangat membantu program imunisasi, khususnya untuk
memperkuat keyakinan masyarakat akan pentingnya imunisasi sebagai upaya pencegahan
penyakit yang paling efektif. Umumnya KIPI dapat timbul 42 jam sampai 6 bulan setelah
pemberian suntikan vaksin.

Berdasarkan berita diatas terjadi pelaporan KIPI pada tahun 2005 di Kabupaten Bekasi.
Kejadian yang terjadi pasca imunisasi yang dialami Sinta dimana Sinta tiba-tiba mengalami
kelumpuhan setelah mendapat suntikan antitetanus di sekolahnya bulan November 2005.

Kelumpuhan atau paralisis adalah hilangnya fungsi otot untuk satu atau banyak otot.
Kelumpuhan dapat menyebabkan hilangnya perasaan atau hilangnya mobilitas di wilayah yang
terpengaruh. Kelumpuhan sering disebabkan akibat kerusakan pada otak.

Sedangkan anti tetanus serum adalah vaksin yang terdiri dari toksin yang tidak aktif. Dosis
anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000 unit, setengah dosis diberikan secara
IM dan setengahnya lagi diberikan secara IV, sebelumnya dilakukan tes hipersensitifitas terlebih
dahulu. Pada tetanus neonatorum diberikan 10.000 unit IV. Terdapat 4 jenis vaksin tetanus, yaitu
: 1. DPT, 2. DPTa, 3. DT, 4. TT.

Keterkaitan antara kelumpuhan dan anti tetanus serum, mungkin karena toksin yang ada di
ATS menjadi aktif dan menyerang otak yang menyebabkan kelumpuhan. Untuk mekanisme
pastinya belum bisa dijelaskan. Karena sejauh ini efek samping dari vaksin ATS adalah demam,
kemerahan, rasa sakit, rasa nyeri, bengkak disekitar suntikan itupun dengan insidensi 3/100
imunisasi ATS.
Sebagian besar KIPI terjadi secara kebetulan saja (koinsidensi). Kejadian yang memang
akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan (programmatic
erros). Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya:

1. Dosis antigen (terlalu banyak)

2. Lokasi dan cara menyuntik

3. Sterilisasi semprit dan jarum suntik

4. Jarum bekas pakai

5. Tindakan aseptik dan antiseptik

6. Kontaminasi vaksin dan peralatan suntik

7. Penyimpanan vaksin

8. Pemakaian sisa vaksin

9. Jenis dan jumlah pelarut vaksin

10. Tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian, indikasi kontra dan lain-lain).

Anda mungkin juga menyukai