Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran
mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang konsentrasinya meningkat
dalam sirkulasi darah. Bilirubin dibentuk sebagai akibat dari pemecahan cincin Hem, biasanya
(1)
sebagai akibat metabolisme sel darah .Ikterus obstruktif, disebabkan oleh obstruksi duktus
biliaris (yang sering terjadi bila sebuah batu empedu atau kanker menutupi duktus koledokus)
atau kerusakan sel hati (yang terjadi pada hepatitis), kecepatan pembentukan  bilirubin adalah
normal, tapi bilirubin yang dibentuk tidak  dapat lewat dari darah ke dalam usus(2).

Ikterus obstruktif atau bisa juga disebut kolestasis dibagi menjadi 2 yaitu kolestasis
intrahepatik dan ekstrahepatik. Penyebab paling sering kolestatik  intrahepatik adalah hepatitis,
keracunan obat, penyakit hati karena alkohol dan  penyakit hepatitis autoimun sedangkan
penyebab paling sering pada kolestasis ekstrahepatik adalah batu duktus koledokus dan kanker
pankreas. Penyebab lainnya yang relatif lebih jarang adalah struktur jinak (operasi terdahulu)
pada koledokus, karsinoma duktus koledokus, pankreatitis atau  pseudocyst   pankreas dan
(1)
kolangitis sklerosing . Pada banyak pasien ikterus dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang teliti dan pemeriksaan laboratorium yang sederhana, diagnosis dapat ditegakkan.  Namun
tidak jarang diagnosis pasti masih sukar ditetapkan, sehingga perlu difikirkan berbagai
pemeriksaan lanjutan.

Kasus ikterus obstruksi post-hepatik terbanyak mengenai usia 50-59 tahun 29,3%. Kasus
icterus obstruksi post-hepatik dapat mengenai jenis kelamin laki-laki dan perempuan dimana
jenis kelamin laki-laki sebanyak 65,9 %. Hatfield et al, melaporkan bahwa kasus icterus
obstruksif terbanyak adalah 70% karena kaput pancreas, 8% pada batu common bile duct, dan
2% adalah karsinoma kandung empedu.

Dalam usaha menentukan diagnosa ikterus kolestasis dilakukan pemeriksaan yang dapat
memberikan gambaran saluran empedu dan dapat menunjukan letak dari sumbatan. Banyaknya
imaging yang dapat dilakukan dengan memakai alat dari konvensional sampai alat canggih
maka pemilihan pemeriksaan adalah amat penting. Pemeriksaan Radiologi/imaging untuk
1
menentukan penyakit penyebab kolestasis yang sering digunakan adalah Ultranonografi,
Computerized Tomografi (CT scan), Endoscopic Retrograde Cholangiopanreografi (ERCP),
Magnetik Resonance cholangiopancreotografi (MRCP), Percutaneus Transhepatic
Cholangiografi (PTC)(1)(2) .

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
2.1 Definisi
Ikterus adalah gambaran klinis berupa perubahan warna pada kulit dan mukosa yang menjadi
kuning karena adanya peningkatan konsentrasi bilirubin dalam plasma, yang mencapai lebih dari
2 mg/dl. Terdapat 3 jenis ikterus berdasarkan lokasi penyebabnya, yaitu ikterus  prahepatik
(hemolitik), ikterus intrahepatik (parenkimatosa), dan ikterus ekstrahepatik (obstruktif). Ikterus
obstruktif merupakan ikterus yang disebabkan oleh adanya obstruksi  pada sekresi bilirubin pada
jalur post hepatik, yang dalam keadaan normal seharusnya dialirkan ke traktus gastrointestinal(1).

2.2 Epidemiologi
Kasus ikterus obstruksi post-hepatik terbanyak mengenai usia 50 – 59 tahun 29,3%.
Kasus ikterus obstruksi post-hepatik dapat mengenai jenis kelamin laki-laki dan  perempuan
dimana jenis kelamin laki-laki sebanyak 65,9%.(2). Hatfield et al, melaporkan  bahwa kasus
ikterus obstruktif terbanyak adalah 70% karena karsinoma kaput pankreas, 8% pada batu
common bile duct , dan 2% adalah karsinoma kandung empedu(3).

2.3 Anatomi (3)


2.3.1 Hepar
Hepar merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh dan mempunyai banyak
fungsi. Tiga fungsi dasar hepar, yaitu: (1) membentuk dan mensekresikan empedu ke
dalam traktus intestinalis; (2) berperan pada metabolism yang berhubungan dengan
karbohidrat, lemak, dan protein; (3) menyaring darah untuk membuang bakteri dan benda
asing lain yang masuk ke dalam darah dari lumen intestinum.
Hepar bertekstur lunak, lentur, dan terletak dibagian atas cavitas abdominalis
tepat dibawah diafragma. Hepar terbagi menjadi lobus hepatis dekstra dan lobus hepatis
sinistra. Lobus hepatis dekstra terbagi lagi menjadi lobus caudatus dan lovus quadratus.
Porta hepatis, atau hilus hepatis, terdapat pada fasies visceralis dan terletak diantara lobus
caudatus dan quadratus, bagian atas ujung bebas omentum minus melekat  pada pinggir-
pinggir porta hepatis. Pada tempat ini terdapat duktus hepatikus dekstra dan sinistra,
ramus dekstra dan sinistra arteri hepatica, vena porta hepatica, serta serabut-serabut saraf
simpatis dan parasimpatis. Hepar tersusun atas lobuli hepatis. Vena sentralis dari masing-
masing lobulus bermuara ke vena hepatica. Di dalam ruangan diantara lobulus-lobulus

3
terdapat kanalis hepatis yang berisi cabang-cabang arteria hepatica, vena  porta hepatis,
dan sebuah cabang duktus koledokus (trias hepatis). Darah arteria dam vena berjalan
diantara sel-sel hepar melalui sinusoid dan dialirkan ke vena sentralis.

2.3.2 Vesika Biliaris(3)


Vesika biliaris merupakan sebuah kantong berbentuk buah pir yang terletak pada
permukaan bawah (fasies visceralis) hepar. Vesika biliaris mempunyai kemampuan
menampung empedu sebanyak 30-50 ml dan menyimpannya serta memekatkan empedu
dengan cara mengabsorbsi air. Vesika biliaris dibagi menjadi fundus, corpus, dan collum.
Fundus vesika biliaris berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah inferior hepar,
penonjolan ini merupakan tempat fundus bersentuhan dengan dinding anterior abdomen
setinggi ujung cartilage costalis IX dekstra. Corpus vesika biliaris terletak dan
berhubungan dengan fasies visceralis hepar dan arahnya keatas, belakang, dan kiri.
Collum vesika biliaris melanjutkan diri sebagai duktus cystikus yang berbelok kea rah
dalam omentum minus dan bergabung dengan sisi kanan duktus hepatikus komunis untuk
membentuk duktus koledokus.

Gambar 2. 1 Anatomi Hepar(3)

2.4 Metabolisme Bilirubin Normal (4),(5)(6)

4
Bilirubin merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui  proses
reaksi oksidasi-reduksi. Metabolisme bilirubin meliputi pembentukan, transportasi, asupan,
konjugasi, dan ekskresi bilirubin.
 Fase Pre-hepatik
1. Pembentukan bilirubin.
Bilirubin berasal dari katabolism protein heme, dimana 75% berasal dari
penghancuran eritrosit dan 25% berasal dari penghancuran eritrosit yang imatur dan
protein heme lainnya seperti mioglobin, sitokrom, katalase, dan peroksidase.
Pembentukannya berlangsung di sistem retikoloendotelial. Langkah oksidase  pertama
adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oksigenase.
Biliverdin yang larut dalam air kemudian akan direduksi menjadi  bilirubin oleh enzim
biliverdin reduktase. Bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada pH
normal bersifat tidak larut.
2. Transport Plasma
Selanjutnya bilirubin yang telah dibentuk akan diangkut ke hati melalui  plasma, harus
berikatan dengan albumin plasma terlebih dahulu oleh karena sifatnya yang tidak larut
dalam air.
 Fase Intra-Hepatik
1. Liver uptake
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai Pada saat kompleks bilirubin-
albumin mencapai permukaan sinusoid hepatosit, terjadi proses ambilan bilirubin oleh
hepatosit melalui ssistem transpor aktif terfasilitasi, namun tidak termasuk
pengambilan albumin. Setelah masuk ke dalam hepatosit, bilirubin akan berikatan
dengan ligandin, yang membantu  bilirubin tetap larut sebelum dikonjugasi
2. Konjugasi
Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati (bilirubin tak terkonjugasi) akan
mengalami konjugasi dengan asam glukoronat yang dapat larut dalam air di reticulum
endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucoronosyl transferase
(UDPG-T) membentuk bilirubin konjugasi, sehingga mudah untuk diekskresikan ke
dalam kanalikulus empedu.
 Fase Post-Hepatik
5
1. Ekskresi bilirubin
Bilirubin yang terkonjugasi diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu melalui
proses mekanisme transport aktif yang diperantarai oleh protein membran kanalikuli,
dikenal sebagai multidrug-resistance associated protein-2 (MRP-2).Setelah bilirubin
terkonjugasi diekskresikan ke dalam kandung empedu,  bilirubin kemudian memasuki
saluran cerna. Sewaktu bilirubin terkonjugasi mencapai ileum terminal dan usus besar,
glukoronida dikeluarkan oleh enzim  bakteri khusus, yaitu ß-glukoronidase, dan bilirubin
kemudian direduksi oleh flora feses menjadi sekelompok senyawa tetrapirol tak berwarna
yang disebut urobilinogen. Di ileum terminal dan usus besar, sebagian kecil urobilinogen
direabsorpsi dan diekskresi ulang melalui hati sehingga membentuk siklus urobilinogen
enterohepatik. Pada keadaan normal, urobilinogen yang tak  berwarna dan dibentuk di
kolon oleh flora feses mengalami oksidasi menjadi urobilin (senyawa berwarna) dan
diekskresikan di tinja

Gambar 2.2 Metabolisme Bilirubin (4).(5).(6)

2.5 Etiologi

Ikterus obstruktif disebabkan oleh dua grup besar yaitu intrahepatik dan ekstrahepatik.( 6,7)

6
A. Intra-Hepatik

Ikterus obstruktif yang berhubungan dengan penyakit hepatoseluler, seperti


steatohepatitis, hepatitis virus akut A, hepatitis B atau dengan ikterus dan fibrosis, sirosis
dekompensata serta hepatitis karena obat.

Ikterus obstruktif yang berhubungan dengan duktopenia seperti sindrom Alagille’s, kolestatik
familial progresif tipe 1, ‘’non sindromic bile duct paucity”, obat-obatan hepatotoksi, reaksi
penolakan kronik setelah transplantasi hati, dan stadium lanjut dari sirosis bilier primer.

B. Ekstra-Hepatik

Kolestasis yang berhubungan dengan kerusakan kandung empedu yaitu stadium lanjut
sirosis bilier primer, dan obat-obat hepatotoksik. Kolestasis yang berhubungan dengan
perubahan traktus portal seperti  batu duktus koledokus, struktur kandung empedu sklerosis
primer kolangitis, karsinoma pankreas, dan pankreatitis kronik.

2.6 Faktor Resiko


Riwayat transfuse darah, penggunaan jarum bergantian, tattoo, pekerjaan resiko tinggi
terhadap hepatitis B, Makanan dan obat, contohnya Clofibrate akan merangsang
pembentukan batu empedu. Disamping itu alcohol juga akan menyebabkan fatty level
disease.

2.7 Manifestasi Klinik (8),(9)


Manifestasi klinis dan pemeriksaan fisik Manifestasi klinis yang dikeluhkan oleh pasien
dengan ikterus obstruktif,  bergantung pada jenis penyakit yang menyebabkan obstruksi
sehingga menyebabkan terjadinya ikterus. Berikut ini merupakan manifestasi klinis yang
secara umum dikeluhkan oleh pasien yang mengalami ikerus, yaitu berupa:
1. Warna kuning pada sklera mata, sublingual, dan jaringan lainnya Hal ini
diakibatkan karena adanya peningkatan kadar bilirubin dalam plasma yang
terdeposit pada jaringan ikat longgar, salah satu diantaranya adalah sklera dan
sublingual.
2. Warna urin gelap seperti teh Adanya peningkatan kadar bilirubin direk yang larut
dalam air, menyebabkan tingginya kadar bilirubin dalam plasma, sehingga kadar
7
bilirubin yang berlebih dalam plasma tersebut akan diekskresikan melalui urin
dan menyebabkan warna urin menjadi lebih gelap seperti the.
3. Warna feses seperti dempul Perubahan warna feses menjadi dempul disebabkan
karena berkurangnya ekskresi  bilirubin ke dalam saluran pencernaan.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan rutin (10),(11)
 Darah : Perlu diperhatikan jumlah leukosit, bila jumlahnya meningkat, maka
berarti terdapat infeksi. Perhatikan juga apakah terdapat peningkatan  prothrombin
time  (PT) atau tidak, karena apabila prothrombin time meningkat, maka perlu
dicurigai adanya penyakit hepar, atau obstruksi bilier.
 Urin : Penting untuk mengetahui apakah warna urin merah kecoklatan seperti teh
secara makroskopis, serta terdapat kandungan bilirubin dalam urin atau tidak.
Apabila urin berwarna gelap kecoklatan, perlu dicurigai adanya peningkatan kadar
bilirubin direk yang diekskresikan melalui urin yang mengarah pada ikterus
obstruktif.
 Feses : untuk mengetahui apakah feses berwarna dempul atau tidak. Feses yang
berwarna dempul, menandakan bahwa terdapatnya gangguan aliran bilirubin direk
ke dalam saluran intestinal akibat adanya suatu sumbatan pada aliran empedu.
b. Tes faal hati :
Merupakan tes untuk mengetahui gambaran kemampuan hati untuk mensintesa
protein (albumin, globulin, faktor koagulasi), dan memetabolisme zat yang terdapat
dalam darah, meliputi:
 Albumin
Albumin disintesa oleh hati dan mempertahankan keseimbangan distribusi air
dalam tubuh (tekanan onkotik koloid). Albumin membantu transport
beberapa komponen darah, seperti ion, bilirubin, hormone, enzim, dan obat.
Apabila nilai albumin menurun, maka perlu dicurigai adanya gangguan fungsi
hepar, infeksi kronis, edema, ascites, sirosis, serta perdarahan.

8
 Alanin Aminotransferase (ALT/SGOT) Konsentrasi enzim ALT yang tinggi
terdapat pada hati. ALT juga terdapat  pada jantung, otot, dan ginjal, namun
ALT lebih banyak terdapat di dalam hati, dan lebih spesifik menunjukan
fungsi hati daripada AST. Apabila terjadi  peningkatan kadar ALT, maka
perlu dicurigai adanya penyakit hepatoseluler, sirosis aktif, obstruksi bilier,
dan hepatitis. Nilai peningkatan yang signifikan adalah adalah dua kali lipat
dari nilai normal.
 spartase Aminotransferase (AST/SGPT) AST merupakan enzim yang
memiliki aktivitas metabolism yang tinggi, ditemukan di jantung, hati, otot
rangka, ginjal, otak, limfe, pankreas dan  paru-paru. Penyakit yang
menyebabkan perubahan, kerusakan, atau kematian sel pada jaringan tersebut
akan mengakibatkan enzim ini terlepas ke dalam sirkulasi. Apabila terjadi
peningkatan, dapat dicurigai adanya penyakit hati,  pancreatitis akut, juga
penyakit jantung seperti MI.  
 Gamma Glutamil Transferase (Gamma GT) GGT terutama terdapat pada hati
dan ginjal. GGT merupakan enzim marker spesifik untuk fungsi hati dan
kerusakan kolestatis dibandingkan ALP. GGT adalah enzim yang diproduksi
di saluran empedu sehingga meningkat nilainya pada gangguan empedu,
seperti kolesistitis, koletiasis, sirosis, atresia  bilier, obstruksi bilier. GGT
sangat sensitif tetapi tidak spesifik. Jika terjadi  peningkatan hanya kadar GGT
(bukan AST, ALT) bukan menjadi indikasi kerusakan hati.
 Alkali fosfatase Enzim ini merupakan enzim yang berasal dari tulang, hati,
dan plasenta. Konsentrasi tinggi dapat ditemukan dalam kanalikuli bilier,
ginjal, dan usus halus. Pada penyakit hati, kadar alkali fosfatase akan
meningkat karena ekskresinya terganggu akibat obstruksi saluran bilier.
 Bilirubin Peningkatan kadar bilirubin indirek lebih sering terjadi akibat
adanya  penyakit hepatoseluler, sedangkan apabila terjadi peningkatan
bilirubin direk  biasanya terjadi karena adanya obstruksi pada aliran ekskresi
empedu.

2.9 Pemeriksaan Radiologi (12),(13)


9
Banyak pemeriksaan Radiologi/Imaging yang dapat dilakukan untuk diagnosa :

2.9.1 Foto polos abdomen.


Menjadi salah satu alat bantu dalam mendiagnosis terjadinya gangguan pada
abdomen.
Foto polos abdomen dapat dilakukan dalam 3 posisi, yaitu :
 Tiduran terlentang (supine), dari dari arah vertikel dengan proyeksi
anteroposterior (AP)
 Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
horizontal proyeksi AP
 Tiduran miring kekiri (Left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal
proyeksi AP

Choledocholithiasis adalah adanya batu dalam saluran empedu dan merupakan


suatu kondisi umum dan bisa menibulkan berbagai komplikasi. Pada umumnya
komposisi utama batu adalah kolesterol. Pada foto polos abdomen kadang-kadang
ditemukan batu yang radioopak. Batu radioopak merupahkan batu pigmen coklat tampak
radiolusen dan tidak bisa dideteksi dengan sinar X-ray. Batu berpigmen hitam biasanya
ditemukan pada kandung empedu dan batu berpigmen coklat lebih sering terlihat di
saluran empedu.

Gambar 2.3 Foto polos Choledocholithiasis(13)

10
2.9.2 Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ultrasonography (USG) sangat membantu dalam pasien yang
mengalami jaundice dengan tipe obstruktif dimana didapatkan bahwa pemeriksaan USG
memiliki sensitivitas 93 % dan spesifitas 95% jika bilirubin > 10 mg/dL untuk 10 hari.
Pemeriksaan USG sangat mudah melihat pelebaran duktus biliaris intra/ekstra hepatal
sehingga dengan mudah dapat mendiagnosis apakah ada icterus obstruksi atau icterus non
obstruksi. Apabila terjadi sumbatan daerah duktus biliaris yang paling sering adalah
bagian distal maka terlihat duktus biliaris komunis melebar dengan cepat yang kemudian
diikuti pelebaran bagian proximal. untuk membedakan letak tinggi atau letak rendah
dengan muda dapat dibedakan karena pada obstruksi letak tinggi atau intrahepatal tidak
tampak pelebaran pelebaran dari duktus biliar komunis. gambaran duktus biliaris yang
berdilatasi bersama-sama dengan vena portal terlihat sebagai gambaran double vessel,
dan imajing ini disebut “doubel barrel gun sign” atau sebagai “paralel channel sign”.
pada potongan melintang pem buluh darah ganda tampak sebagai gambaran cincin ganda
membentuk “shot gun sign”
Keberadaan akan duktus yang mengalami dilatasi menunjukan bahwa terjadi proses
jaundice pada sclera ekstra hepatic. Pada USG akan menunjukan ukuran dari duktus
biliaris, tingkat pada obstruksi, dan penyebab dari obstruksi pada seluruh pasien tumor
75% dari pasien dengan batu empedu

Sesuai dengan etiologi dari jaundice obstruktif maka akan terdapat gambaran
hiperekoik pada batu, massa, dan cairan ketika dilakukan pemeriksaan USG. Terdapat
juga bayangan akustik yang merupakan akibat dari suara yang dipantulkan ke segala
arah sehingga tidak dapat dgambarkan dengan jelas oleh alat USG

11
Gambar 2.4 USG Kandung Empedu normal (13)

Gambar 2.5 Batu empedu multiple. (13)

Gambar 2.6 Tampak sumbatan Batu pada common Bile duct (choledocholithiasis) (13)

12
Gambar 2.7 Tampak sumbatan massa pada bile duct (13)

Gambaran Ultrasonografi pada beberapa penyakit yang menyebabkan obstruksi duktus


biliaris :

 Kista duktus kholedekus :


Kista duktus kholesdekhus adalah pelebaran kistik dari duktus biliaris yang biasanya
didapat secara kengenital. Kelainan ini bisa disertai oleh pelebaran duktus biliaris intra
hepatal. Pada USG akan terlihat bayangan masa kistik yang berhubungan dengan duktus
biliaris dan kemungkinan akan terlihat bayangan batu atau infeksi kandung empedu.

Pada caroli disease yang merupakan tipe V dari kista duktus kholesdekhus disini akan
terlihat pelebaran duktus biliaris intra hepatal saja yang berbentuk kistik, disini juga
kemungkinan akan terlihat batu atau proses peradangan.

2.9.3 Computed Tomography (CT)

Tujuan dilakukan prosedur radiologi dalam melihat obstruksi jaundice adalah dengan
mendeteksi adanya dilatasi biliar, dimana lokasinya dan penyebabnya. CT Scan memberikan
keakuratan yang tinggi dibandingkan dengan USG dalam membantu menemukan penyebab
terjadinya obstruksi. Selain itu, CT scan juga dapat memberikan gambaran struktur hati lebih
baik dibandingkan dengan USG. Penggunaan kontraks pada CT scan juga membantu
membedakan struktur vascular dan traktur biliaris. Akurasi penggunaan ct scan dalam melihat
adanya dan tingkat obstruksi adalah 81-94% dan 88 -92%.
13
Dengan CT scan maka sebesar 75 % dapat mendeteksi choledocholithiasis.

Kriteria dilatasi duktus biliar yaitu

 Normal common bile duct (CBD) = 4-6 mm


 > 8 mm = dilatasi
 > 10 mm = dilatasi tidak diragukan lagi
 Jika tampak duktus intrahepatic maka dipastikan terjadi dilatasi duktus biliar

Gambar 2.8 Criteria Of Bile(13)

Gambar 2.9 Tampak Dilatasi duktus Biliaris(13)

14
Gambar 2.10 Tampak dilatasi duktus Biliar Intrahepatik (13)

Beberapa gambaran Ct Scan penyebab obstruksi icterus


A. Choledocholitiasis

Gambar 2.11 Tampak Kalkulus yang besar pada lumen duktus Biliar (13)

B. Kista choledocal Pada ctscan


kista choledochal memiliki tampilan yang bermacam macam tergantung duktus
yang terlibat dan derajat dilatasinya. komplikasi dari kista choledochal biasanya
berupa stasis cairan empedu dan terbentuknya  batu

15
Gambar 2.12 Tampak Kista Choledochal(13)

C. Neoplasma
Neoplasma jinak pada traktus traktus biliar sangat jarang. pang paling
sering adalah adenoma, yang ditemukan secara insidental saat operasi atau
pemeriksaan radiologi, , dimana dapat menyumbat traktus biliar dengan
manifestasi klinis berupa nyeri atau jaundice.

Gambar 2.13 Carcinoma duodenal dengan obstruksi biliar, pankreas dan usus,
tampak perengangan common duct dan angan common duct dan gallblader (12)

16
Gambar 2.14 Carsinoma hepatoselular intraduktal dengan invasi ke duktus  biliar.
Tampak gambaran tumor (panah) menyumbat duktus intrahepatik (kepala panah).
Adanya tumor tambahan (asterisk) pada lobus kiri dengan metastase nodular multiple. (12)

Gambar 2.15 Tumor pankreas. Tumor kistik pada kepala pankreas dengan pinggir kalsifikasi (12)

2.9.4 Magnetic Resonance Cholangio-pancreatography (MRCP).


Merupakan teknik visualisasi terbaru, non-invasif pada bilier dan system duktus
pancreas. Hal ini terutama berguna pada pasien dengan kontraindikasi untuk dilakukan
ERCP. Visualisasi yang baik dari anatomi biler memungkinkan tanpa sifat invasive dari
ERCP. Tidak ada seperti ERCP, MRCP adalah murni diagnostic

Gambar 2.15 Pada panah kuning menunjukan adanya nodul ekstrinsik yang menekan saluran
empedu, dan panah merah menunjukan dilatasi pada saluran empedu, dan bagian tengah menunjukan
dilatasi pada saluran empedu(12)

2.9.4 Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)

17
Gambar 2.16 Menunjukan adanya penyempitan pada saluran empedu. (12)

Perbandingan MRCP dengan ERCP :

 Kelaianan duktus pankreatikus utama dapat dilihat dengan MRCP


 Sensitivitas untuk dilatasi cukup tinggi, tapi harus hati-hati dalam menilai adanya
struktur dengan kaliber duktus yang normal
 Sensitivitas dalam mendeteksi filling defek juga tinggi
 Perubahan dari percabangan duktus pankreatikus kurang baik dengan MRCP.

2.9.5 Percutaneus Transhepatik Cholangiography (PTC)


PTC merupakan sarana diagnosis invasif untuk membedakan ikterus obstruksif
ekstra dan intra hepatik serta menentukan lokasi sumbatan dan juga pada kebanyakan
kasus etiologi daripada obstruksi lainnya.
Gambaran saluran empdeu yang diperoeh PTC tidak hanya memberikan informasi
mengenai saluran empedu tetapi juga empermuda menduga penyebabnya, sehingga dapt
menjadi pedoman bagi ahli bedah dalam perencanaan operasinya.

Gambaran yang didapat pada PTC yaitu :

 Batu biasanya memperlihatkan filling defect serta obstruksi dengan berbentuk cembung.
 Penyempitan yang halus dengan segmen yang pendek mengindikasikan adanya struktur.
 Duktus yang kaku (rigid) dan ireguler mengindikasikan suatu karsinoma.

18
 Gambaran duktus yang berbelit-belit berkelok-kelok dan berdilatasi serta adanya
obstruksi bagian distas mengindikasikan karsinoma pankrea.
 Gambaran duktus yang melengkung dan menebal mengindikasikan sclerosing
cholangitis.

2.9.6 Percutaneus Transhepatic Billiary Drainage (PTBD)


 Tehnik sama dengan PTC hnya disini kateter masuk sampai melampaui obstruksi
dan bisa sampai duodenum.
 Lebih ke arah terapi, karena flow dan cairan empedu masuk kedalam “side hole”
dari kateter.

2.10 Penatalaksanaan(8)

1.Tindakan Operatif

a. Kolesistektomi
Terapi terbanyak pada penderita batu empdeu adalah dengan operasi.
Kolesistektomi dengan atau tanpa eksplorasi duktus komunis tetap merupakan tindakan
pengobatan untuk penderita dengan batu empdeu simptomatik. Pembedahan untuk batu
empedu tanpa gejala masih diperdebatkan, banyak ahli menganjurkan terapi konservatif.
Sebagai ahli lainnya berpendapat lain mengingat “ silent stone” akhirnya akan
menimbulkan gejala-gejala bahkan komplikasi, maka mereka sepakat bahwa
pembedahan adalah pengobatan yang paling tepat yaitu kolesistektomi efektif dan
berlaku pada setiap kasus batu kandung empedu kalau keadaan umum penderita baik.
Indikasi kolesistektomi sebagai berikut :
1. Adanya keluhan bilier apabila menganggu atau semakin sering atau berat
2. Adanya komplikasi atau pernah komplikasi batu kandung empedu.
3. Adanya penyakit lain yang mempermudah timbulnya komplikasi misalnya Diabetes
melitus, kandung empdeu yang tidak tampak pada foto kontras dan sebagainya.

b. Kolesistostomi

19
Beberapa ahli bedah menganjurkan kolesistostomi dan dekompresi cabang-
cabang slauran empedu sebagai tindakan awal pilihan pada penderita kolesistitis dengan
resiko tinggi yang mungkin tidak dapat diatasi dengan kolsistektomi dini.
Indikasi dari kolesistostomi adalah :
1. Keadaan umum sangat buruk misalnya karena sepsis
2. Penderita yang berumur lanjut, karena ada penyakit lain yang berat menyertai,
kesulitan teknik operasi.
3. Tersangka adanya pankreatitis
Kerugian dari kolesistostomi mungkin terselipnya batu sehingga sukar dikeluarkan
dan kemungkinan besar terjadinya batu lagi kalau tidak diikuti dengan kolesistektomi
c. sfingerotomy endosokopik, PTBD (Perkutaneus transhepatik biliirian drainage),
pemasangan “ T Tube “ saluran empedu koledoskop dan Laparatomi kolesitektomi
pemasangan T Tube.

2. Tindakan Non Operatif

a. Terapi disolusi

penggunaan garam empedu yaitu asam Chenodeodeoxycholat (CDCA) yang mampu


melarutkan batu kolesterol invito.

b. Extra Shock Wave Lithotripsi (ESWL)

ESWL merupakan litotripsi untuk batu empedu dimana dasar terapinya adalah
disinterrasi batu dengan gelombang kejut sehingga menjadi patrikel yang lebih kecil.
Pemecahan batu menjadi partikel kecil bertujuan agar kelarutannya dalam asam empedu
menjadi meningkat serta pengeluarannya melalui duktus sistikus dengan kontraksi kandung
empdeu juga menjadi lebih muda

c. Dietetik

prinsip perawatn dietetic pada penderita batu kandung empedu adalah memberi stirahat
pada kandung empedu dan mengurangi rasa sakit, juga untuk memperkecil kemungkinan
batu memasuki duktus sistikus.
20
BAB III

KESIMPULAN

ikterus obstruktif merupakan  jaundice kekuningan yang disebabkan oleh obstruksi yang
menghalangi bilirubin mengalir ke jejunum. kolestasis dibagi menjadi 2 yaitu kolestasis
intrahepatik dan ekstrahepatik. Penyebab paling sering kolestatik intrahepatik adalah hepatitis,
keracunan obat,  penyakit  penyakit hati karena alkohol dan penyakit hepatitis autoimun
sedangkan penyebab paling sering pada kolestasis ekstrahepatik adalah batu duktus koledokus
dan kanker pancreas. manifestasi klinis yang khas pada ikterus obstruktif adalah ikterus, , nyeri
perut kanan atas, warna urin gelap dan feces seperti dempul pada pemeriksaan fisik yang khas
dijumpai adalah memeriksa apakah adanya kekuningan pada sklera. Lalu pemeriksaan pada
21
organ abdomen seperti hati, limfa, dan empedu untuk sebagai langkah awal dalam menentukan
penyebab  jaundice. Pada pemeriksaan laboratorium yang khas dijumpai adalah nilai serum
bilirubin (biasanya direk) akan meningkat, nilai ALP meningkat. Terapi terbanyak pada
penderita batu kandung empedu adalah dengan operasi. Kolesistomi dengan atau tanpa
eksplorasi duktus komunis tetap merupakan tindakan pengobatan untuk penderita dengan batu
empdeu simptomatik. Pada foto polos abdomen, choledocholithiasis kadang-kadang diteukan
batu radioopak. Pemeriksaan ultrasonography (USG) sangat membantu dalam pasien yang
mengalami jaundice dengan tipe obstruktif. Sesuai dengan etiologi dari jaundice obstruktif maka
akan terdapat gambaran hiperkoik pada batu, massa, dan cairan ketika dilakukan pemeriksaan
USG. Pada Ct Scan memberikan keakuratan yang tinggi dibandingkan dengan USG dalam
membantu menemukan penyebab terjadinya obstruksi. Sedangkan MCRP merupakan teknik
visualisasi terbaru, non-invasif pada bilier dan sistem duktus pankreas. Berguna pada pasien
dengan kontraindikasi untuk  dilakukan ERCP. Visualisasi yang baik dari anatomi bilier
memungkinkan tanpa sifat invasif darI ERCP, MRCP adalah murni diagnostik.

DAFTAR PUSTAKA
 
1. Sulaiman, Ali. Pendekatan klinis pada pasien ikterus. In: Aru W Sudoyo, et al. Buku ajar
ilmu penyakit dalam Jilid 1. 5th Ed. Jakarta: Penerbitan FKUI; 2007.p.420-3.
2. Brama Ragil. KARAKTERISTIK DAN EVALUASI KADAR BILIRUBIN DIRECT
PRE-OPERATIF DAN POST-OPERATIF PADA PASIEN IKTERIK OBSTRUKSI
POST-HEPATIK. Jurnal Kedokteran Universitas Jambi. 2013.
3. Snell, Richard S. Anatomi klinik. 6th Ed. Jakarta: Penerbitan buku kedokteran EGC;
2006.p.240-7, 288-91.
4. Eroschenko, Victor P. Dygestive system: liver, gallbladder, and pancreas. In: Difiore’s
atlas of histology with functional correlations. 11 th Ed. USA: Lippincott Williams &
Wilkins; 2007.
5. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, et al. The liver bilirubinemias. In: Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 17th ed. United States of America: Mc Graw Hill;
2007.p.297-.
22
6. Murray RK, Granner DK. Biokimia Harper. 27th ed. Jakarta: EGC; 2005.p.285-300.
7. Aditya PM, Suryadarma IGA. Laporan kasus: sirosis hepatis. Bali: Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana; 2012.
8. Sjamsuhidajat, R. Buku ajar ilmu bedah. 3th Ed. Jakarta: Penerbitan buku kedokteran
EGC; 2010.p254-7,663-7,672-82,717-82.
9. Silbernagl S, Lang F. Teks & atlas berwarna patofisiologi. Jakarta: Penerbitan buku
kedokteran EGC; 2006.p.140,166.
10. Widiastuty AS. Patogenesis batu empedu. Palembang: Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah; 2010.
11. Schwartz Si. Manifestations of gastrointestinal disease. In: Principles of surgery. 5th Ed.
Singapore: McGraw-Hill; 1989.p.1091-1099.
12. Purnomo B, Hegar B. Biliary atresia in infants with cholestasis. Jakarta: Fakultas
kedokteran universitas Indonesia; 2008.
13. Pedoman interpretasi data klinik. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;
2011.p15-26, 56-62

23

Anda mungkin juga menyukai