Anda di halaman 1dari 3

Management Expenses:

Rasionalitas Terjadinya Penyimpangan di Instansi Publik?


Oleh I Wayan Monoyasa

Tak dianggarkan, namun management expenses harus dikeluarkan dari instansi


publik. Maka, instansi pun dipaksa berkreasi menciptakan pendanaan di luar
anggaran. Pemecahannya?
Di antara tema-tema besar yang menjadi
wacana publik belakangan ini menyangkut pembaruan penyelenggaraan birokrasi/pemerintahan (misalnya, good public governance,
akuntabilitas dan reliabilitas instansi publik, pemberantasan korupsi/kolusi/nepotisme, demokratisasi penyelenggaraan
pemerintahan), terdapat satu persoalan kecil yang senantiasa luput untuk diungkap, dianalisis dan di tangani secara
struktural-rasional yaitu tentang pembiayaan management expenses di lingkungan birokrasi. Management expenses
yang dimaksud di sini adalah berbagai pengeluaran/biaya yang pada praktiknya secara kelembagaan harus dibayar/ditanggung oleh satu instansi publik dalam relasinya dengan masyarakat luas dan berbagai instansi publik lain baik
bersifat hirarkis maupun horisontal, namun jenis pengeluaran/biaya tersebut tidak tersedia dalam anggaran. Bentuknya
antara lain biaya akomodasi dan menjamu tamu dinas, permintaan sumbangan dari organisasi sosial masyarakat,
keikutsertaan dalam berbagai perhelatan yang bersifat relasi-koordinatif (misalnya: pameran pembangunan dan pawai
mobil hias memperingati hari jadi RI/Propinsi). Termasuk juga pengeluaran untuk tamu setengah dinas yaitu
pejabat/keluarga pejabat dari instansi lebih tinggi berlibur atau melakukan perhelatan pribadi (acara mantu, khitanan,
pesta kawin perak/emas, dsb.) di wilayah kerja satu instansi bawahan.
Tentu sangat sulit diterima nalar orang normal bahwa instansi publik mampu menanggung berbagai beban biaya
padahal tidak tersedia anggarannya. Hal ini karena penggunaan anggaran pada instansi publik tidak seperti pada entitas
bisnis, yaitu anggaran yang ada ditujukan untuk pembiayaan layanan publik yang tidak berorientasi profit/surplus.
Kalau pun timbul penerimaan anggaran dari layanan publik yang dijalankan, dananya tidak dapat dipakai langsung atau
dapat dipakai langsung melalui mekanisme yang ditetapkan secara ketat, dan yang pasti bukan untuk pembiayaan
management expenses seperti termaksud di atas.
Lantas, dari mana dan dalam bentuk apa sumber-sumber pembiayaan yang selama ini dieksploitasi oleh instansi
publik? Rasanya relatif mustahil para pejabat publik/PNS secara sukarela melakukan penghimpunan dana bersumber
dari kocek sendiri, lebih-lebih kondisi obyektif sebagian besar PNS tidak semuanya gemah ripah loh jinawi.
Selain itu, mengapa praktik ini terjadi dan terus berlangsung, padahal para birokrat terikat oleh peraturan-peraturan
yang bersifat limitatif.
Peraturan Versus Praktik
Secara legal formal, sudah ditetapkan berbagai peraturan perundang-undangan yang pada intinya berisi larangan
bagi pejabat publik/PNS untuk memberi, menerima, dan/atau menjanjikan sesuatu. Dari pihak mana pun yang secara
langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi keputusan yang diambilnya (PP Nomor 30/1980, isinya sumpah
jabatan setiap pejabat publik, jiwa, dan semangat UU Nomor 28/1999). Peraturan yang ideal secara tekstual tersebut
ditambah kesadaran/kepedulian masyarakat yang kian tajam mengkritisi segala aspek kehidupan birokrasi/birokrat
selama empat tahun era reformasi, ternyata tidak menyurutkan praktik terjadinya management expenses di lingkungan
instansi pemerintah. Tentu relatif sulit untuk memperoleh data otentik tentang terjadinya praktik ini, tetapi para birokrat
yang berada pada lingkaran dalam manajemen satu instansi publik tentu "meng-amini" pernyataan ini.
Menurut identifikasi penulis, terjadinya mismatch antara peraturan dan praktik tersebut disebabkan oleh beberapa
faktor yang dapat saling mempengaruhi. Pertama, faktor budaya dalam memperlakukan tamu. Dalam tata nilai
masyarakat kita, tuan rumah wajib memperlakukan para tamunya dengan baik (lebih-lebih yang berkategori terhormat).
Berbagai pelayanan dan kemudahan layak diberikan kepada para tamu sehingga mereka merasa nyaman. Sebagai
bagian dari masyarakat, para birokrat tentu tidak mungkin melepaskan diri dari tata nilai tersebut, yang acapkali sudah
bersifat instingtif. Maka itu, seorang kepala instansi publik secara tulus merogoh kocek sendiri karena merasa sangat
tidak pantas membiarkan tamu dinasnya yang seorang Dirjen membayar sendiri biaya akomodasinya.
Kedua, perilaku feodalistik yang masih mengakar pada banyak birokrat. Sindroma untuk diperlakukan secara
khusus dan istimewa umumnya dialami oleh para birokrat dalam relasi atasan-bawahan atau relasi koordinatif. Maka
itu, seorang Menteri atau Dirjen mustahil mau sedikit peduli tentang berapa dan siapa sebenarnya yang menanggung
biaya kunjungan dinasnya, karena beranggapan ia terlalu tinggi untuk mengurus hal-hal yang bersifat tidak strategis
tersebut. Maka itu, petugas supervisi/pemantauan/pengawasan merasa paling berkuasa untuk menghitamputihkan
kinerja instansi bawahan, tergantung pada kualitas layanan yang diberikan. Atau, seorang bupati atau walikota

merasa berhak murka ketika satu instansi publik tidak ikut pawai mobil hias, meskipun la tahu bahwa di instansi
tersebut tidak tersedia anggaran untuk itu.
Ketiga, perilaku Asal Bapak Senang (ABS) untuk kepentingan pribadi dari para birokrat bawahan. Para manajer
publik bawahan berupaya semaksimal mungkin menjadi orang yang bermanfaat dan mengerti segala kebutuhan
dengan harapan memperoleh keuntungan pribadi dalam bentuk pangkat, jabatan, dan/atau tempat dinas.
Keempat, perilaku manipulatif. Perilaku ini biasanya dipraktikkan oleh para birokrat yang berada pada inner circle
dari manajer publik pada setiap level yang ada. Para birokrat ini menciptakan gambaran/kesan bahwa sang bos harus
disenangkan lahir dan batinnya selama melakukan tugas dinas atau urusan pribadi, dan itu semua harus ditanggung oleh
para manajer publik bawahan. Dan analisis penulis, faktor yang menjadi entry point adalah aspek tata nilai/budaya
memperlakukan tamu tidak diakomodasikannya secara realistik proporsional dalam kehidupan birokrasi kita. Perilaku
feodalistik, ABS, dan manipulatif para birokrat semestinya dapat ditekan pada tingkat minimal dan tidak merugikan
upaya mewujudkan birokrasi yang baik apabila tata nilai memperlakukan tamu diakomodasikan secara cerdas ke arah
formal. Hanya sayangnya, para penentu kebijakan publik negeri ini seolah alergi untuk mengakui secara formal bahwa
secara praktikal memang diperlukan pengalokasian dana anggaran untuk management expenses ini.
Sumber Rekayasa
Untuk membiayai berbagai pengeluaran nonbudgeter ini sangat tergantung pada keahlian para manajer publik
dalam memobilisasi dan merekayasa seluruh sumber daya yang berada dalam rentang kendalinya. Sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi masing-masing instansi publik, sumber daya yang dapat dimobilisasi/direkayasa tidak terbatas pada
internal instansi publik bersangkutan melainkan juga merambah kepada pihak di luar instansi (instansi privat dan
masyarakat). Secara garis besar, jenis improvisasi yang umum dilakukan oleh para manajer publik seperti diuraikan
berikut ini.
Pertama, penerapan cost sharing bagi seluruh pegawai dikaitkan dengan penerimaan non gaji (biaya perjalanan
dinas dan uang operasional). Melalui kesepakatan di antara pegawai, penerimaan non gaji dipotong dalam persentase
tertentu untuk dihimpun sebagai sumber pembiayaan management expenses. Langkah ini biasanya ditempuh oleh
instansi-instansi yang menurut anekdot masyarakat disebut berlahan kering.
Kedua, melakukan mark up dalam kegiatan pengadaan barang/jasa baik yang dibiayai dan anggaran rutin maupun
pembangunan. Langkah ini dapat berdiri sendiri sebagai kreativitas seorang manajer publik dan dapat pula (malah
acapkali) bersifat sistematis melibatkan semua pihak secara hirarkis sejak penyusunan anggaran. Hal ini barangkali
yang menjadi salah satu penyebab mengapa para birokrat tampak bego yaitu mau membeli barang/jasa lebih mahal
dari harga pasar yang berlaku umum.
Ketiga, pengumpulan dana partisipasi dari masyarakat yang berhubungan dengan instansi bersangkutan dalam
bentuk antara lain: (a) kewajiban menyetor dalam persentase tertentu bagi rekanan yang melaksanakan proyek
pemerintah, (b) hotel/restoran menanggung seluruh biaya tamu dinas yang menginap/makan yang kemudian
diperhitungkan dengan kewajiban pajaknya.
Keempat, melakukan pembebanan secara tidak rasional dengan mendompleng prosedur pelayanan yang ada.
Bentuknya dapat berupa: (a) nilai yang dibayar masyarakat lebih tinggi dari tarif yang berlaku, (b) tidak menyetorkan
ke Kas Negara atas akumulasi kelebihan pembayaran dari masyarakat akibat kesulitan uang kecil, (c) perpanjangan
perijinan (misalnya, Surat ljin Mengemudi/SIM) baik proses maupun biayanya sama dengan pengurusan baru, (d)
menerapkan perilaku captive economic berlindung pada pembinaan koperasi (misalnya, harga stopmap yang harus
dibeli masyarakat ketika mengurus STNK bisa sepuluh kali lipat dibandingkan dengan harga yang umum).
Kreativitas para manajer publik dalam merekayasa sumber-sumber pembiayaan management expenses yang
pada awalnya berangkat dari tata nilai budaya memperlakukan tamu secara pantas kemudian berubah menjadi ajang
eksploitasi perilaku manipulatif, koruptif, dan penyalahgunaan wewenang. Para manajer publik bawahan atau.
pegawai non pejabat secara logika pasti tidak seluruhnya mau bersikap taat-takzim menjadi kuda beban atau kolektor
dana tanpa memperoleh manfaat yang segera. bisa dinikmati secara langsung. Maka terjadilah aneka rupa tingkah laku
yang pada intinya berorientasi kepada kepentingan pribadi misalnya: (a) Para manajer publik memanfaatkan dana
management expenses untuk investasi bagi pangkat/jabatan pribadi, dan bukan untuk kepentingan organisasi/karyawan
secara keseluruhan, (b) Memanipulasi dana partisipasi dengan mengatasnamakan untuk kepentingan bos besar
yang mustahil dapat dikonfirmasikan, (c) Mark up harga, pengadaan barang/jasa secara super normal, (d) Setiap
pegawai/bagian organisasi seolah menjadi kerajaan kecil yang berhak mengeksploitasi kewenangan yang dimiliki untuk
kepentingan pribadi.
Langkah Kecil
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa persoalan kecil berupa kelalaian pengakomodasian management
expenses ke tataran formal birokrasi ternyata menjadi semacam rasionalitas atas terjadinya berbagai penyimpangan di
tubuh birokrasi. Rasionalitas ini tercermin dari kian merebaknya sikap permisif di lingkungan birokrasi sendiri atas
terjadinya berbagai salah urus, penyimpangan, penyalahgunaan wewenang. Secara anekdot, kondisinya mirip dengan
larangan di antara sopir angkutan kota: sesama bis kota dilarang saling mendahului. Penanggulangannya tidak dapat
hanya dilakukan dengan mengulang-ulang berbagai larangan yang bersifat normatif/etik karena bangsa ini tampaknya
masih dalam kategori belum dewasa. Berbagai norma/etika untuk mewujudkan kehidupan birokrasi yang sehat/baik
sejauh mungkin dituangkan ke dalam berbagai peraturan dan sistem/prosedur formal yang jelas, tegas dan

komprehensif. Di samping agar para birokrat lebih gampang bertindak atau tidak bertindak dan masyarakat lebih
mudah melakukan hak kontrolnya, peraturan perundang-undangan yang jelas/tegas sekaligus menjadi media
pembelajaran bagi semua pihak. Jika nanti bangsa ini sudah tergolong dewasa barangkali hal-hal yang bersifat
norma/etika tidak perlu lagi diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sebagai ilustrasi, pada kasus mutakhir yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan/ketatanegaraan
menimbulkan perdebatan tak berujung mengenal apakah seorang pejabat negara mundur atau tidak dari jabatan karena
didakwa terlibat tindak pidana. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa secara norma dan etika seharusnya pejabat
tersebut mengundurkan diri agar tidak terjadi komplikasi logika dalam tatanan pemerintahan/ketatanegaraan dan
masyarakat luas. Namun secara legal-formal tidak terdapat satu pun peraturan perundang-undangan yang
mengharuskan seorang pejabat negara mundur dari jabatannya sebelum ada keputusan hukum yang bersifat tetap. Dan
celakanya, cara pandang legal-formal inilah yang umumnya dipakai oleh pejabat/birokrat bermasalah!
Untuk meminimalkan ekses buruk dari praktik management expenses ini sebenarnya cukup ditempuh langkah
kecil, yaitu memasukkannya sebagai realitas formal dalam kehidupan birokrasi kita. Jadi, setiap instansi publik
disediakan anggaran dalam batas-batas yang wajar untuk kegiatan-kegiatan bersifat representasi. Manfaat yang
diberikan oleh langkah kecil ini bisa berdampak luas dalam menyehatkan perilaku birokrat dan kehidupan birokrasi,
antara lain: (a) Dimiliki media kendali atau alat untuk melakukan uji silang terhadap kewajaran rencana kerja setiap
instansi publik dikaitkan dengan rencana anggarannya (perencanaan anggaran berbasiskan aktivitas), (b) Terjadi
sinkronisasi perencanaan kegiatan dan anggaran antara instansi induk dan unit-unitnya dalam penggunaan biaya
perjalanan dinas. Karena dalam Lembaran Kerja (LK) rencana anggaran telah dicantumkan secara jelas tentang rencana
kunjungan dinas/supervisi/pemantauan pengawasan dari instansi atasan/koordinatif, maka dapat diminimalkan
terjadinya perjalanan dinas fiktif. Selain itu, birokrat pada instansi atasan tidak leluasa lagi bisa sewaktu-waktu tugas
dinas ke satu instansi bawahan yang tidak jelas tujuan dan manfaatnya bagi organisasi, (c) Aparat
pengawasan/pemantauan/supervisi dapat bersikap tegas atas terjadinya berbagai penyimpangan dan penyalahgunaan
wewenang karena sudah tidak ada lagi faktor-faktor justifikasinya. Sebagai bagian dari birokrasi, aparat
pengawasan/pemantauan/supervisi selama ini tentu mengetahui/memahami realitas internal kehidupan birokrasi
sehingga sering tidak dapat bersikap tegas/rigid. Keadaan ini selanjutnya membuka peluang bagi mereka untuk ikut
menikmati manfaat dan tindak penyelewengan/penyalahgunaan wewenang tersebut, karena mustahil semua aparat
supervisi/pemantauan/pengawasan steril dari perilaku sosial yang bersifat dominan, (d) Kewajaran perencanaan
kegiatan satu instansi publik secara keseluruhan dapat diuji secara memadai untuk dikoreksi secara dini bila diperlukan.
Praktik yang telah berlangsung selama ini, satu unit instansi memperoleh alokasi kegiatan/anggaran jauh lebih
besar dari unit lainnya tanpa alasan yang jelas. Jika ditelusuri, unit instansi demikian biasanya terletak di daerah tujuan
wisata, pusat pendidikan, atau daerah asal para pejabat kunci induk instansi bersangkutan.
Langkah kecil di atas selayaknya dituangkan secara rigid dalam bentuk jenis aktivitas, standar biaya satuan, dan
limitasi volume per kegiatan yang bisa dibiayai dari anggaran yang tersedia, dengan mengacu pada efisiensi dan
perilaku sederhana. Misalnya, tamu dinas memperoleh pelayanan dalam bentuk antar-jemput dari/ke hotel-kantor,
minum dan makan siang, dan/atau antar jemput lapangan.
Tentu saja langkah kecil ini bertambah efektif dan tepat asas jika para pejabat kunci pada setiap level
departemen/Instansi pemerintah mempunyai kepedulian untuk meluangkan waktu mengurusi hal-hal tidak strategis
ini. Jika seorang menteri atau dirjen mau sedikit mengecek apakah biaya hotel dan pesawat terbang setiap melakukan
perjalanan dinas telah dibebankan pada rekening pribadinya, tentu akan memberikan dampak yang sangat luas. Dan,
langkah ini tidak akan mendegradasi statusnya sebagai pejabat kunci!n
Penulis adalah Auditor pada Perwakilan BPKP Jawa Timur

Anda mungkin juga menyukai