Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
1. A. LATAR BELAKANG
Transplantasi adalah memindahkan alat atau jaringan tubuh dari satu orang ke orang lain
(Baratawidjaja, 2006). Tranplantasi ginjal telah menjadi terapi pengganti utama pada pasien
gagal ginjal tahap akhir hampir di seluruh dunia. Manfaat transplantasi ginjal sudah terbukti
lebih baik dibandingkan dengan dialisis terutama dalam hal perbaikan kualitas hidup (Susalit,
2007).
Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 3:
Pak Eko datang ke rumah Pak Andi, mengabarkan bahwa istri Pak Eko sedang dirawat di
Rumah Sakit karena gagal ginjal, dan sedang membutuhkan transfusi darah karena kadar
hemoglobinnya terus menurun. Pak Andi pernah membaca, bahwa beberapa penyakit dapat
ditularkan melalui transfusi, seperti hepatitis, malaria, sifilis, bahkan HIV/AIDS. Dokter
berharap istri Pak Eko bisa menjalani operasi cangkok ginjal. Tapi tidak mudah untuk
mendapatkan organ donor, karena jika tidak cocok, akan ditolak oleh tubuh penerima.
Daya imun istri Pak Eko terus menurun, baik karena perkembangan penyakit, diet yang
ketat, maupun terapi yang harus diterimanya. Ada anak tetangga Pak Andi yang
imunisasinya tidak berhasil akibat dikatakan daya imun anak tersebut lemah. Pak Eko
meminta Pak Andi untuk mendonorkan darahnya, tetapi Pak Andi ragu-ragu karena dulu
pernah terjadi saudaranya saat mendapatkan transfusi tiba-tiba gatal dan sesak nafas. Ada
juga kasus ibu guru di sekolah Pak Andi yang pernah mengalami keguguran yang oleh
dokter dikatakan karena darah janin dan ibunya tidak cocok.
1. B. RUMUSAN MASALAH
1. Gagal ginjal perlu transfusi darah karena kadar Hb terus menurun.
1. Jenis produk darah yang ditransfusikan pada pasien gagal ginjal.
2. Mekanisme penurunan Hb akibat gagal ginjal.
2. Beberapa penyakit bisa ditularkan melalui transfusi.
1. Prosedur transfusi darah.
2. Mekanisme penularan penyakit melalui transfusi.
3. Operasi cangkok ginjal apabila organ donornya tidak cocok akan ditolak oleh
tubuh penerima.
1. Prosedur transplantasi organ.
2. Tinjauan aspek bioetika dan humaniora transplantasi organ.

3. Mekanisme penolakan pada transplantasi organ.


4. Daya imun terus menurun karena perkembangan penyakit, diet yang ketat, dan
terapi.
1. Faktor penyebab imunodefisiensi.
2. Mekanisme penurunan daya imun akibat perkembangan penyakit, diet
yang ketat, dan terapi.
5. Imunisasi anak tidak berhasil karena daya imun anak yang lemah.
1. Mekanisme kegagalan imunisasi akibat imunodefisiensi.
6. Akibat mendapatkan transfusi timbul gatal-gatal dan sesak nafas.
1. Reaksi dan komplikasi dari transfusi.
2. Mekanisme reaksi dan komplikasi transfusi.
7. Keguguran terjadi akibat darah janin dan ibunya tidak cocok.
1. Mekanisme abortus akibat ketidakcocokan rhesus.
2. C. TUJUAN PENULISAN

Menjelaskan imunohematologi dan transplantasi organ.

Menjelaskan gangguan sistem imun (hipersensitivitas dan imunodefisiensi).

Menjelaskan aspek etik dan hukum/legal transplantasi.

1. D. MANFAAT PENULISAN

Mahasiswa mampu menjelaskan imunohematologi dan transplantasi organ.

Mahasiswa mampu menjelaskan gangguan sistem imun (hipersensitivitas dan


imunodefisiensi).

Menjelaskan aspek etik dan hukum/legal tranplantasi.

1. E. HIPOTESIS
Transplantasi organ akan mencapai angka keberhasilan yang semakin tinggi apabila
hubungan kekerabatan antara donor dengan resipien semakin dekat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Gagal Ginjal
Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang
ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa
dialisis atau transplantasi ginjal. Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi
kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), dimana LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) masih
normal. Kemudian perlahan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif. Sampai pada
LFG 60%, masih dalam tahap asimtomatik tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Pada LFG 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan
lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG dibawah
30%, pasien memperlihatkan tanda dan gejala uremia yang nyata, seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual,
muntah, dan lainnya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, saluran
nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga terjadi gangguan keseimbangan air dan elektrolit.
Jika LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien
sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy), antara lain dialisis
atau transplantasi ginjal. Pada stadium ini sudah dapat dikatakan sampai pada stadium gagal
ginjal (Suwitra, 2007).
Pasien dengan gagal ginjal kronis berat hampir selalu mengalami anemia. Penyebab
terpenting dari hal ini adalah berkurangnya sekresi eritropoietin ginjal, yang merangsang
sumsum tulang untuk memproduksi eritrosit. Jika ginjal mengalami kerusakan berat, ginjal
tidak mampu memproduksi eritropoietin dalam jumlah cukup, sehingga mengakibatkan
penurunan produksi eritrosit dan menimbulkan anemia (Guyton dan Hall, 2007).
B. Transfusi
Calon donor harus mendapat informed consent serta penjelasan mengenai risiko transfusi.
Pengujian yang dilakukan pada darah donor meliputi: penetapan golongan darah berdasarkan
ABO dan Rhesus, uji antibodi (dilakukan pada donor yang pernah mendapat transfusi atau
hamil), dan uji terhadap penyakit infeksi, yaitu HBsAg, anti HCV, tes serologi untuk sifilis,
dan tes antibodi HIV.
Uji cocok silang (crossmatch) terdiri dari serangkaian prosedur yang dilakukan pra-transfusi
untuk memastikan seleksi darah yang tepat untuk pasien serta mendeteksi antibodi ireguler
dalam serum pasien. Terdapat 2 jenis uji cocok silang. Major Crossmatch Test menguji reaksi
antara eritrosit donor dengan serum resipien, sedangkan Minor Crossmatch Test menguji
reaksi antara serum donor dengan eristrosit resipien. Crossmatch mayor dilakukan pada tes
pratransfusi, sedangkan minor dilakukan sebagai tes rutin pada darah donor setelah
pengumpulan darah.
Reaksi transfusi yang tidak diharapkan ditemukan pada 6,6% pasien yang menjalani
transfusi.
Demam. Dapat disebabkan oleh antibodi leukosit, antibodi trombosit, atau senyawa pirogen.
Untuk menghindarinya dapat dilakukan uji pencocokan leukosit antara donor dan resipien.
Reaksi Alergi. Renjatan anafilaktik timbul pada 1 dari 20.000 transfusi. Reaksi alergi ringan
yang menyerupai urtikaria timbul pada 3% transfusi. Reaksi anafilaktik yang berat terjadi
akibat interaksi antara IgA pada darah donor dengan anti-IgA spesifik pada plasma resipien.

Reaksi hemolitik. Terjadi akibat destruksi eritrosit akibat inkompatibilitas darah. Reaksi
hemolitik juga dapat terjadi karena transfusi eritrosit yang rusak, injeksi air ke dalam
sirkulasi, transfusi darah yang lisis, pemanasan berlebihan, darah beku, darah yang terinfeksi,
transfusi darah dengan tekanan tinggi. Jika seseorang ditransfusi dengan darah atau janin
memiliki struktur antigen eritrosit yang berbeda dengan donor atau ibunya, maka dapat
terbentuk antibodi pada tubuh resipien darah atau janin tersebut, sehingga antibodi
menyerang dan merusak eritrosit.
Penularan penyakit. Virus, seperti HIV, hepatitis B, dan hepatitis C serta bakteri dapat
mengkontaminasi eritrosit dan trombosit sehingga dapat menyebabkan infeksi dan sepsis
setelah transfusi.
Kontaminasi. Risiko terjadinya kontaminasi berhubungan langsung dengan lamanya
penyimpanan.
Cedera paru akut (TRALI). Berupa manifestasi hipoksemia akut dan cedera pulmoner
bilateral yang terjadi 6 jam setelah transfusi. Manifestasi klinis yang ditemui adalah dispnea,
takipnea, demam, takikardi, hipo-/hipertensi, dan leukemia akut sementara. Mekanisme yang
mungkin menjadi penyebab salah satunya adalah reaksi antara neutrofil resipien dengan
antibodi donor yang mempunyai HLA atau antigen neutrofil spesifik; akibatnya terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler pada sirkulasi mikro di paru (Djoerban, 2007).
C. Imunodefisiensi
Defisiensi imun dapat primer dengan dasar genetik yang relatif jarang dan sekunder yang
lebih sering terjadi dan ditimbulkan oleh berbagai faktor sesudah lahir. Penyakit defisiensi
imun tersering mengenai limfosit, komplemen dan fagosit.
Defisiensi imun juga dapat dibagi menjadi defisiensi imun nonspesifik (defisiensi
komplemen, interferon dan lisozim, sel NK, dan sistem fagosit) dan defisiensi imun spesifik
(defisiensi kongenital atau primer, defisiensi imun spesifik fisiologik, dan defisiensi imun
didapat atau sekunder).
Defisiensi komplemen dan interferon serta lisozim didapat disebabkan oleh depresi sintesis,
misalnya sirosis hati dan malnutrisi protein/kalori. Sedangkan defisiensi sel NK didapat
terjadi akibat imunosupresi atau radiasi. Defisiensi sistem fagosit ditekankan terhadap sel
PMN, yang dapat berupa defisiensi kuantitatif dan kualitatif. Defisiensi kuantitatif berupa
neutropenia atau granulositopenia dapat disebabkan oleh penurunan produksi atau
peningkatan destruksi. Defisiensi kuantitatif adalah berupa penurunan fungsi fagosit seperti
kemotaksis, menelan/memakan, dan membunuh mikroba intraseluler.
Defisiensi imun spesifik fisiologik dapat berupa kehamilan, usia tahun pertama, dan usia
lanjut. Sedangkan defisiensi imun didapat atau sekunder merupakan defisiensi sekunder yang
paling sering ditemukan. Defisiensi tersebut mengenai fungsi fagosit dan limfosit akibat
infeksi, malnutrisi, terapi sitotoksik, dan lainnya. (tabel selengkapnya dilampirkan)
Malnutrisi. Malnutrisi dan defisiensi besi dapat menimbulkan depresi sistem imun terutama
pada imunitas seluler. Nutrisi buruk untuk jangka waktu lama dapat menghilangkan sel lemak
yang biasanya melepas hormone leptin yang merangsang sistem imun.

Infeksi. Campak dan virus lain dapat menginfeksi tubuh dan menginduksi supresi DTH
sementara. Jumlah sel T dalam sirkulasi dan respons limfosit terhadap antigen dan mitogen
menurun.
Obat, trauma, tindakan kateterisasi dan bedah. Antibiotik dapat menekan sistem imun. Obat
sitotoksik dapat mengganggu kemotaksis neutrofil. Sedangkan steroid dalam dosis tinggi
dapat menekan fungsi sel T dan inflamasi.
Penyinaran. Penyinaran dosis tinggi menekan seluruh jaringan limfoid, sedangkan dosis
rendah dapat menekan aktivitas sel Ts secara selektif.
Kehilangan immunoglobulin. Defisiensi Ig dapat terjadi akibat kehilangan protein yang
berlebihan seperti pada penyakit ginjal dan diare. Pada sindrom nefrotik ditemukan
kehilangan protein dan penurunan IgG dan IgA yang berarti, sedangkan IgM normal.
(Baratawidjaja, 2006).
D. Imunohematologi dan Transplantasi Organ
Sebelum transplantasi organ dilakukan, beberapa aspek yang perlu ditinjau adalah aspek etik,
hukum, dan agama (Etikomedikolegal transplantasi).
Menurut segi hukum, tranplantasi organ, jaringan dan sel tubuh dipandang sebagai tindakan
mulia dalam upaya menyehatkan dan mensejahterakan manusia, walaupun ini tindakan ini
melawan hukum pidana yaitu tindak pidana penganiayaan. Tetapi karena adanya alasan
pengecualian hukuman, atau paham melawan hukum secara material, maka perbuatan
tersebut tidak lagi diancam pidana, dan dapat dibenarkan (Hanafiah dan Amir, 1999).
Menurut segi etik, transplantasi merupakan upaya terakhir untuk menolong seorang pasien
dengan kegagalan fungsi salah satu organ tubuhnya. Tindakan ini wajib dilakukan apabila ada
indikasi, berdasarkan beberapa pasal dalam KODEKI yaitu pasal 2, pasal 7D, dan pasal 11
(Hanafiah dan Amir, 1999).
Dari segi agama (Islam), transplantasi organ diperbolehkan, selama tidak membahayakan
donor dan tidak ada tujuan komersialisasi (jual-beli organ) (Anonim, 2009).
Permasalahan yang timbul dalam transplantasi adalah penolakan alat atau jaringan tubuh
donor oleh resipien.
Penolakan dibagi menjadi 2:
1. Penolakan pertama dan kedua
Sel Th dan Tc resipien mengenal antigen MHC alogenik, sehingga memacu imunitas humoral
dan membunuh sel sasaran. Makrofag juga dikerahkan ke tempat tandur atas pengaruh
limfokin yang dihasilkan oleh Th.
1. Penolakan hiperakut, akut, dan kronik
1. Penolakan hiperakut: tejadi dalam beberapa menit sampai jam setelah
transplantasi. Disebabkan oleh destruksi oleh antibodi yang sudah ada pada

resipien akibat transplantasi/transfusi darah atau kehamilan sebelumnya.


Antibodi mengaktifkan komplemen yang menimbulkan edem dan perdarahan
interstitial dalam jaringan tandur sehingga mengurangi aliran darah ke seluruh
jaringan.
2. Penolakan akut: pada resipien yang sebelumnya tidak disensitasi terhadap
tandur. Terjadi sesudah beberapa minggu sampai bulan setelah tandur tidak
berfungsi sama sekali dalam waktu 5-21 hari.
3. Penolakan kronik: hilangnya fungsi organ yang dicangkokkan secara perlahan
beberapa bulan setelah berfungsi normal. Disebabkan oleh sensitivitas yang
timbul terhadap antigen tandur karena timbulnya intoleransi terhadap sel T,
terkadang juga diakibatkan sesudah pemberian imunosupresan dihentikan.
(Baratawidjaja, 2006).
Faktor yang berperan pada keberhasilan transplantasi ginjal, yaitu faktor yang berkaitan
dengan donor dan resipien, faktor imunologi, faktor penanganan pra dan peri-operatif, serta
faktor pasca-operatif.
Faktor terkait donor. Transplantasi ginjal dapat memanfaatkan ginjal donor hidup yang sehat
atau ginjal donor jenazah. Pemeriksaan persiapan calon donor hidup dilakukan secara
bertahap (tabel dilampirkan). Dengan prosedur penjaringan dan evaluasi, dipastikan bahwa
donor ikhlas, dalam keadaan sehat dan mampu menjalani operasi nefrektomi, serta mampu
hidup normal dengan satu ginjal setelah melakukan donasi, dan donor tidak boleh mengidap
penyakit ginjal.
Faktor terkait resipien. Harus dipastikan terlebih dahulu apakah pasien memang sudah
mengalami gagal ginjal tahap akhir. Risiko dan tingkat keberhasilan transplantasi juga
dipengaruhi berbagai faktor tertentu, seperti usia dan kondisi umum resipien.
Faktor imunologi. Pada transplantasi ginjal, sistem histokompatibilitas yang berperan adalah
kesesuaian sistem golongan darah ABO dan HLA (human leucocyte antigen). Golongan
darah ABO donor dan resipien harus sama agar tidak terjadi rejeksi vaskuler. Sedangkan
ginjal transplan direjeksi terutama karena adanya protein pada membran sel yang dikode oleh
MHC (Major Histocompatibility Complex). MHC menempati lengan pendek kromosom 6.
Dengan obat imunosupresan, dilaporkan ketahanan hidup 1 tahun dari saudara dengan HLA
identik 90-95%, saudara dengan haplo-identik 70-80%, dan saudara dengan haplo-negatif 6070% (Susalit, 2007).
E. Mekanisme Penolakan Transplantasi Organ
Golongan darah dan molekul MHC diantara berbagai individu berbeda. Reaksi penolakan
dapat dikurangi dengan menggunakan anggota keluarga sebagai donor, tissue typing, dan obat
imunosupresi.
Reaksi penolakan ditimbulkan oleh sel Th resipien yang mengenal antigen MHC alogenik
dan memicu imunitas humoral (antibodi). Sel CTL/Tc juga mengenal antigen MHC alogenik
dan membunuh sel sasaran. Kemungkinan lain juga bahwa makrofag dikerahkan ke tempat
tandur atas pengaruh limfokin dari sel Th sehingga menimbulkan kerusakan. Reaksi tersebut
sesuai dengan reaksi tipe IV dari Gell dan Coombs/DTH.

Urutan kejadian yang dapat terjadi selama penolakan tandur adalah: 1) dilakukan
transplantasi; 2) sel dendritik atau makrofag yang ada di dalam tandur (passenger leucocytes)
meninggalkan tandur dan merangsang sel T resipien dengan segera; 3) sel T resipien
diaktifkan dan membunuh sel donor dalam tandur; dan 4) sel donor yang dibunuh melepas
antigen donor, yang dapat dimakan fagosit resipien yang kemudian mempresentasikannya ke
sel T resipien melalui molekul MHC II (Baratawidjaja, 2006).
BAB III
PEMBAHASAN
Pada keadaan gagal ginjal, produksi eritropoietin, yaitu hormon yang merangsang
eritropoiesis menurun, sehingga terjadi penurunan kadar Hb, akibatnya terjadi keadaan
anemia. Jenis produk darah yang ditransfusikan kepada pasien gagal ginjal, seperti pada
pasien dengan anemia lainnya adalah Packed Red Blood Cell (P-RBC).
Beberapa penyakit dapat ditularkan melalui transfusi darah, karena virus dan bakteri dapat
mengkontaminasi eritrosit dan trombosit. Eritrosit dan trombosit berpatogen ini juga akan
menyebabkan timbulnya penyakit pada tempat dimana ia ditransfusikan. Sebelum
pelaksanaan transfusi darah, terlebih dahulu dicek keadaan donor, mulai dari keadaan umum,
skrining darah untuk memastikan bebas dari penyakit menular, dan tes uji silang untuk
mencocokkan darah donor dengan resipien. Sementara pasien harus termasuk dalam indikasi
transfusi.
Tranplantasi organ menurut kaidah bioetika dan humaniora boleh dilakukan, asalkan sesuai
dengan indikasi, sebagai jalan terakhir, ada persetujuan, dan agama Islam mensyaratkan
bahwa organ tidak boleh diperjual-belikan.
Reaksi penolakan pada transplantasi diperankan oleh sel Th yang kemudian merangsang sel
Tc dan mekanisme imunitas humoral (antibodi), yang kemudian bekerja dengan tujuan
destruksi sel sasaran. Selain itu makrofag sebagai imunitas nonspesifik juga berperan dalam
proses destruksi. Sel imun resipien bekerja menolak antigen donor, sebaliknya, sel imun
donor juga menolak antigen resipien. Pada intinya, penolakan terjadi dari dua belah pihak,
baik resipien maupun donor.
Faktor penyebab imunodefisiensi secara umum adalah kelainan genetika dan defek
kromosom yang menyebabkan imunodefisiensi primer, berbagai keadaan tertentu seperti
kehamilan, usia lanjut, dan usia tahun pertama yang mengakibatkan imunodefisiensi
fisiologis, dan malnutrisi, infeksi, obat-obatan, dan penyinaran, yang mengakibatkan
imunodefisiensi sekunder/didapat. Mekanisme imunodefisiensi pada pasien dalam kasus
akibat perkembangan penyakit terjadi sebagai konsekuensi dari gagal ginjal itu sendiri.
Gangguan filtrasi menyebabkan terbuangnya protein, yang dibutuhkan sebagai bahan untuk
membuat antibodi. Ketiadaan bahan ini menyebabkan defisiensi antibodi, yang menyebabkan
pertahanan melemah. Diet pada pasien gagal ginjal juga merupakan salah satu faktor
penyebab imunodefisiensi, karena pasien yang gagal ginjal biasanya diberikan diet rendah
protein agar kerja filtrasi ginjal tidak terlalu berat. Padahal, protein dibutuhkan untuk
pembentukan antibodi. Konsekuensi dari defisiensi protein adalah defisiensi antibodi,
sehingga terjadi imunodefisiensi. Sedangkan efek terapi juga dapat menimbulkan
imunodefisiensi. Hal ini timbul akibat pemakaian obat-obatan untuk terapi gagal ginjal yang
mempunyai sifat imunonosupresif, misalnya kortikosteroid. Mekanisme imunosupresan

sendiri antara lain menghambat respon imun primer, seperti pengolahan antigen oleh APC,
sintesis limfokin, dan proliferasi dan diferensiasi sel imun. Karena itu, pada pasien
transplantasi organ, untuk meminimalisir reaksi penolakan, digunakan obat-obatan
imunosupresan.
Kegagalan imunisasi dapat terjadi akibat imunodefisiensi. Imunisasi berdasar pada
mekanisme latihan terhadap antigen yang masuk. Apabila pada saat latihan saja sistem
imun telah mengalami defisiensi, sangat mungkin sekali pada saat infeksi antigen yang
sebenarnya (virus atau bakteri yang sebenarnya dan tidak dilemahkan atau dimatikan) sistem
imun tidak dapat menghadapi antigen tersebut dengan baik.
Reaksi dan komplikasi dari transfusi dapat berupa reaksi hemolitik, reaksi panas atau demam,
dan reaksi alergi. Pada pasien, reaksi yang berupa gatal-gatal dan sesak nafas adalah
mekanisme alergi yang merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I, yaitu reaksi anafilaksis
dengan perantara IgE. Gatal adalah efek penekanan saraf oleh histamin, sedangkan pada
bronkus, histamin menyebabkan bronkokonstriksi sehingga timbul gejala sesak nafas.
Kemungkinan penyebab terjadinya abortus yang terjadi pada ibu guru di sekolah Pak Andi
adalah janin merupakan kehamilan kedua, dan anak pertama yang lahir mempunyai rhesus
(+). Sementara jika ibu mempunyai rhesus (-), maka ibu akan membentuk antibodi terhadap
eritrosit Rh (+), sehingga pada kehamilan berikutnya ibu telah mempunyai antibodi Rh(+)
yang meningkat. Hal ini kemudian menyebabkan eritroblastosis fetalis, yaitu janin
mengalami hemolisis. Karena itu, janin mengalami abortus di dalam uterus.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Transplantasi organ dapat menimbulkan penolakan, kecuali apabila molekul MHC
antara donor dan resipien identik. Semakin mirip molekul MHC antara donor dan
resipien, maka risiko terjadinya penolakan semakin kecil.
2. Imunodefisiensi mempunyai tiga penyebab: kongenital (biasanya akibat faktor
genetik), fisiologik, dan didapat (biasanya akibat pengaruh dari luar)
B. SARAN
1. Sebaiknya segera dilakukan tindakan pertolongan bagi istri Pak Eko (transfusi).
2. Sebaiknya dilakukan transplantasi ginjal setelah menemukan organ donor yang cocok.
Jika belum menemukan maka sementara dapat dilakukan hemodialisis.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. KH Maruf Amin: Jual Beli Organ Haram Hukumnya. Diakses dari
http://forum35.wordpress.com/2007/10/08/kh-maruf-amin-ketua-fatwa-mui-jual-beli-organharam-hukumnya/

Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Djoerban, Zubairi. 2007. Dasar-Dasar Transfusi Darah dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi,
Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
EGC.
Hanafiah, M. Jusuf. Amir, Amri. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta:
EGC.
Susalit, Endang. 2007. Transplantasi Ginjal dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang.
Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Suwitra, Ketut. 2007. Penyakit Ginjal Kronik dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang.
Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Lampiran 1
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan defisiensi imun sekunder
Faktor
Proses penuaan

Komponen yang kena


Infeksi meningkat, penurunan respon terhadap
vaksinasi, penurunan respon sel T dan B serta
perubahan dalam kualitas respon
Malnutrisi
Malnutrisi protein-kalori dan kekurangan elemen gizi
tertentu (besi, seng/Zn); sebab tersering defisiensi
imun sekunder.
Mikroba imunosupresif Contohnya: malaria, virus, campak, terutama HIV,
mekanismenya melibatkan penurunan fungsi sel T
dan APC
Obat imunosupresif
Steroid
Obat sitotoksik/iradiasi Obat yang banyak digunakan terhadap tumor, juga
membunuh sel penting dari sistem imun termasuk
stem cell, progenitor neutrofil dan limfosit yang cepat
membelah dalam organ limfoid
Tumor
Efek direk dari tumor terhadap sistem imun melalui
pelepasan molekul imunoregulatori imunosupresif
(TNF-)
Penyakit seperti diabetes Diabetes sering berhubungan dengan infeksi
Trauma
Infeksi meningkat, diduga berhubungan dengan
pelepasan molekul imunosupresif seperti
glukokortikoid
Lain-lain
Depresi, penyakit Alzheimer, penyakit celiac,

sarkoidosis, penyakit limfoproliferatif,


makroglobulinemia Waldenstrom, anemia aplastik,
neoplasia.
(Baratawidjaja, 2006)

Anda mungkin juga menyukai