Anda di halaman 1dari 9

Bullying Di Sekolah, Cara Pencegahan dan

Penanganannya
Penindasan di sekolah atau Bullying adalah penggunaan kekerasan atau paksaan untuk
menyalahgunakan atau mengintimidasi anak lain. Perilaku ini dapat merupakan suatu
kebiasaan dan melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan sosial atau fisik. Hal ini dapat
mencakup pelecehan secara lisan atau ancaman, kekerasan fisik atau paksaan dan
dapat diarahkan berulang kali terhadap korban tertentu, mungkin atas dasar ras,
agama, gender, seksualitas, atau kemampuan. Sebenarnya bullying tidak hanya
meliputi kekerasan fisik, seperti memukul, menjambak, menampar, memalak, dll,
tetapi juga dapat berbentuk kekerasan verbal, seperti memaki, mengejek, menggosip,
dan berbentuk kekerasan psikologis, seperti mengintimidasi, mengucilkan,
mendiskriminasikan. Berdasarkan sebuah survei terhadap perlakuan bullying,
sebagian besar korban melaporkan bahwa mereka menerima perlakuan pelecehan
secara psikologis (diremehkan). Kekerasan secara fisik, seperti didorong, dipukul, dan
ditempeleng lebih umum di kalangan remaja pria.
Menurut data PACER Center (organisasi yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup anak
dengan keterbatasan), di Amerika Serikat setiap tahun ada 3,2 juta anak yang jadi korban
bullying, dan lebih dari 160.000 anak membolos setiap hari karena trauma dengan teror yang
diterimanya di sekolah.
Bullying sebagai suatu tindakan yang mengganggu orang lain, bisa secara fisik, verbal, atau
emosional. Bullying sering kali terlihat sebagai perilaku pemaksaan atau usaha menyakiti
secara fisik ataupun psikologis terhadap seseorang atau kelompok yang lebih lemah oleh
seseorang atau sekelompok orang yang mempersepsikan dirinya lebih kuat.

Perbuatan pemaksaan atau menyakiti ini terjadi di dalam sebuah kelompok, misalnya
kelompok murid di sekolah. Bisa saja bentuknya adalah tindakan memukul, mendorong,
mengejek, mengancam, memalak uang, melecehkan, menjuluki, meneror, memfitnah,
menyebarkan desas-desus, mendiskriminasi, dan lain sebagainya. Kini, bullying tidak hanya
dapat dilakukan secara tatap muka, tetapi bisa lewat e-mail, chatting, internet yang berisi
pesan-pesan yang menyinggung perasaan orang lain.
Bullying adalah penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau
sekelompok orang, suatu perilaku mengancam, menindas, dan membuat perasaan orang lain
tidak nyaman. Tindakan ini dilakukan dalam jangka waktu sekali, berkali-kali, bahkan sering
atau menjadi sebuah kebiasaan. Berarti, sebenarnya bullying adalah tindakan kekerasan yang
tidak hanya terbatas terjadi di antara para murid di sekolah, siapa pun dan di mana pun dapat
mengalami tindakan ini.

Tanda dan Gejala Korban Bullying

Fisik Muncul lebam, tergores, atau luka yang tak bisa dijelaskan. Baju dan barang
bawaan robek atau rusak.

Psikosomatis Nyeri yang tidak spesifik, sakit kepala, sakit perut, atau muncul
sariawan.

Perilaku Terkait Sekolah Rasa takut saat berangkat atau pulang sekolah. Perubahan
rute ke sekolah. Takut naik bus atau angkutan umum. Minta diantarkan ke sekolah.
Tidak mau sekolah atau kehilangan gairah belajar. Pelajaran dan tugas sekolah mulai
merosot. Sepulang sekolah anak kelaparan karena uang jajan dipalak atau diminta
secara paksa oleh orang lain. Minta uang tambahan atau mencuri uang untuk
diberikan kepada pem-bully.

Perubahan Dalam Perilaku Sosial Jumlah teman berkurang. Tidak ingin keluar
rumah. Jarang diundang teman untuk datang ke rumah mereka.

Indikator Emosional Terlihat kesal, mudah marah, tidak bahagia, sendirian, mudah
menangis, tertekan, memisahkan diri dari lingkungan, dan depresi. Berpikir untuk
bunuh diri dan perubahan suasana hati atau mood yang negatif.

Terjadi Perubahan Perilaku yang Mengkhawatirkan Susah makan atau malah


terlalu banyak makan. Sulit tidur, mimpi buruk, mengompol, menangis saat tidur.

Indikator Kesehatan yang Memburuk Mudah lelah atau melorot kondisi fisiknya.
Menjadi rentan terhadap infeksi dan mudah kambuh penyakitnya. Mengancam atau
ingin bunuh diri

Karaktristik Sekolh Bulying Bullying juga berpengaruh pada sekolah dan masyarakat.
Sekolah tempat bullying terjadi seringkali dicirikan dengan

Para siswa yang merasa tidak aman di sekolah

Rasa tidak memiliki dan ketidakadaan hubungan dengan masyarakat sekolah

Ketidakpercayaan di antara para siswa

Pembentukan gang formal dan informal sebagai alat untuk menghasut tindakan
bullying atau melindungi kelompok dari tindak bullying

Tindakan hukum yang diambil menentang sekolah yang dilakukan oleh siswa dan
orang tua siswa

Turunnya reputasi sekolah di masyarakat

Rendahnya semangat juang staf dan meningginya stress pekerjaan

Iklim pendidikan yang buruk

Pelaku Bullying

Pelaku utama Pelaku utama adalah pihak yang merasa lebih berkuasa dan berinisiatif
melakukan tindak kekerasan baik secara fisik maupun psikologis terhadap korban

Pelaku pengikut Pelaku pengikut, yaitu pihak yang ikut melakukan bullying
berdasarkan solidaritas kelompok atau rasa setia kawan, konformitas, tuntutan
kelompok, atau untuk mendapatkan penerimaan atau pengakuan kelompok.

Saksi Di luar pihak pelaku dan korban sebenarnya ada sekelompok saksi, dimana
saksi ini biasanya hanya bisa diam membiarkan kejadian berlangsung, tidak

melakukan apapun untuk menolong korban, bahkan seringkali mendukung perlakuan


bullying. Saksi cenderung tidak mau ikut campur disebabkan karena takut menjadi
korban berikutnya, merasa korban pantas dibully, tidak mau menambah masalah atau
tidak mau tahu.
Penyebab

Perjalanan seorang anak tumbuh menjadi remaja pelaku agresi cukup kompleks, dapat
dipengaruhi oleh berbagai faktor; biologis, psikologis dan sosialkultural. Secara
biologis, ada kemungkinan bahwa beberapa anak secara genetik cenderung akan
mengembangkan agresi dibanding anak yang lain. Dalam bukunya Developmental
Psychopathology, Wenar & Kerig (2002) menambahkan bahwa agresi yang tinggi
pada anak-anak dapat merupakan hasil dari abnormalitas neurologis.

Secara psikologis, anak yang agresif kurang memiliki kontrol diri dan sebenarnya
memiliki ketrampilan sosial yang rendah; anak-anak ini memiliki kemampuan
perspective taking yang rendah, empati terhadap orang lain yang tidak berkembang,
dan salah mengartikan sinyal atau tanda-tanda sosial, mereka yakin bahwa agresi
merupakan cara pemecahan masalah yang tepat dan efektif. Jika kita runut dari
lingkungan keluarga, anak-anak yang mengembangkan perilaku agresif tumbuh dalam
pengasuhan yang tidak kondusif; anak mengalami kelekatan (attachment) yang tidak
aman dengan pengasuh terdekatnya, orang tua menerapkan disiplin yang terlalu keras
ataupun terlalu longgar, dan biasanya ditemukan masalah psikologis pada orang tua;
konflik suami-istri, depresi, bersikap antisosial, dan melakukan tindak kekerasan pada
anggota keluarganya.

Faktor pubertas dan krisis identitas, yang normal terjadi pada perkembangan remaja.
Dalam rangka mencari identitas dan ingin eksis, biasanya remaja lalu gemar
membentuk geng. Geng remaja sebenarnya sangat normal dan bisa berdampak positif,
namun jika orientasi geng kemudian menyimpang hal ini kemudian menimbulkan
banyak masalah. Dari relasi antar sebaya juga ditemukan bahwa beberapa remaja
menjadi pelaku bullying karena balas dendam atas perlakuan penolakan dan
kekerasan yang pernah dialami sebelumnya (misalnya saat di SD atau SMP).

Secara sosiokultural, bullying dipandang sebagai wujud rasa frustrasi akibat tekanan
hidup dan hasil imitasi dari lingkungan orang dewasa. Tanpa sadar, lingkungan
memberikan referensi kepada remaja bahwa kekerasan bisa menjadi sebuah cara
pemecahan masalah. Misalnya saja lingkungan preman yang sehari-hari dapat dilihat
di sekitar mereka dan juga aksi kekerasan dari kelompok-kelompok massa. Belum
lagi tontotan-tontonan kekerasan yang disuguhkan melalui media visual. Walaupun
tak kasat mata, budaya feodal dan senioritas pun turut memberikan atmosfer
dominansi dan menumbuhkan perilaku menindas.

Dampak

Terdapat berbagai dampak yang ditimbulkan akibat bullying. Dampak yang dialami
korban bullying tersebut bukan hanya dampak fisik tapi juga dampak psikis. Bahkan

dalam kasus-kasus yang ekstrim seperti insiden yang terjadi, dampak fisik ini bisa
mengakibatkan kematian.

Dampak Jangka Panjang Hilda (2009) menjelaskan bullying tidak hanya


berdampak terhadap korban, tapi juga terhadap pelaku, individu yang menyaksikan
dan iklim sosial yang pada akhirnya akan berdampak terhadap reputasi suatu
komunitas. Terdapat banyak bukti tentang efek-efek negatif jangka panjang dari
tindak bullying pada para korban dan pelakunya. Pelibatan dalam bullying sekolah
secara empiris teridentifikasi sebagai sebuah faktor yang berkontribusi pada
penolakan teman sebaya, perilaku menyimpang, kenalakan remaja, kriminalitas,
gangguan psikologis, kekerasan lebih lanjut di sekolah, depresi, dan ideasi bunuh diri.
Efek-efek ini telah ditemukan berlanjut pada masa dewasa baik untuk pelaku maupun
korbannya

Gangguan Emosi Korban biasanya akan merasakan berbagai emosi negatif, seperti
marah, dendam, tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, terancam, tetapi tidak
berdaya menghadapinya. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat mengembangkan
perasaan rendah diri dan tidak berharga. Bahkan, tak jarang ada yang ingin keluar dan
pindah ke sekolah lain. Apabila mereka masih bertahan di situ, mereka biasanya
terganggu konsentrasi dan prestasi belajarnya atau sering sengaja tidak masuk
sekolah.

Dampak Psikologis Dampak psikologis yang lebih berat adalah kemungkinan untuk
timbulnya masalah pada korban, seperti rasa cemas berlebihan, selalu merasa takut,
depresi,
dan
ingin
bunuh
diri.

Konsentrasi Belajar Terganggu Hasil studi yang dilakukan National Youth Violence
Prevention Resource Center Sanders (2003; dalam Anesty, 2009) menunjukkan bahwa
bullying dapat membuat remaja merasa cemas dan ketakutan, mempengaruhi
konsentrasi belajar di sekolah dan menuntun mereka untuk menghindari sekolah. Bila
bullying berlanjut dalam jangka waktu yang lama, dapat mempengaruhi self-esteem
siswa, meningkatkan isolasi sosial, memunculkan perilaku menarik diri, menjadikan
remaja rentan terhadap stress dan depreasi, serta rasa tidak aman. Dalam kasus yang
lebih ekstrim, bullying dapat mengakibatkan remaja berbuat nekat, bahkan bisa
membunuh
atau
melakukan
bunuh
diri
(commited
suicide).

Depresi dan Marah Terhadap Diri sendiri Coloroso (2006) mengemukakan


bahayanya jika bullying menimpa korban secara berulang-ulang. Konsekuensi
bullying bagi para korban, yaitu korban akan merasa depresi dan marah, Ia marah
terhadap dirinya sendiri, terhadap pelaku bullying, terhadap orang-orang di sekitarnya
dan terhadap orang dewasa yang tidak dapat atau tidak mau menolongnya. Hal
tersebut kemudan mulai mempengaruhi prestasi akademiknya. Berhubung tidak
mampu lagi muncul dengan cara-cara yang konstruktif untuk mengontrol hidupnya, ia
mungkin akan mundur lebih jauh lagi ke dalam pengasingan.

Gangguan Akademik Sekolah Terkait dengan konsekuensi bullying, penelitian


Banks (1993, dalam Northwest Regional Educational Laboratory, 2001; dan dalam
Anesty, 2009) menunjukkan bahwa perilaku bullying berkontribusi terhadap
rendahnya tingkat kehadiran, rendahnya prestasi akademik siswa, rendahnya selfesteem, tingginya depresi, tingginya kenakalan remaja dan kejahatan orang dewasa.
Dampak negatif bullying juga tampak pada penurunan skor tes kecerdasan (IQ) dan
kemampuan analisis siswa. Berbagai penelitian juga menunjukkan hubungan antara
bullying dengan meningkatnya depresi dan agresi.

Penanganan

Paling ideal adalah apabila ada kebijakan dan tindakan terintegrasi yang melibatkan
seluruh komponen mulai dari guru, murid, kepala sekolah, sampai orangtua, yang
bertujuan untuk menghentikan perilaku bullying dan menjamin rasa aman bagi
korban.

Program anti-bullying di sekolah dilakukan antara lain dengan cara menggiatkan


pengawasan dan pemberian sanksi secara tepat kepada pelaku, atau melakukan
kampanye melalui berbagai cara. Memasukkan materi bullying ke dalam
pembelajaran akan berdampak positif bagi pengembangan pribadi para murid.

Pencegahan

Untuk mencegah dan menghambat munculnya tindak kekeraran di kalangan remaja,


diperlukan peran dari semua pihak yang terkait dengan lingkungan kehidupan remaja.

Sedini mungkin, anak-anak memperoleh lingkungan yang tepat. Keluarga-keluarga


semestinya dapat menjadi tempat yang nyaman untuk anak dapat mengungkapkan
pengalaman-pengalaman dan perasaan-perasaannya. Orang tua hendaknya
mengevaluasi pola interaksi yang dimiliki selama ini dan menjadi model yang tepat
dalam berinteraksi dengan orang lain.

Berikan penguatan atau pujian pada perilaku pro sosial yang ditunjukkan oleh anak.
Selanjutnya dorong anak untuk mengambangkan bakat atau minatnya dalam kegiatankegiatan dan orang tua tetap harus berkomunikasi dengan guru jika anak
menunjukkan
adanya
masalah
yang
bersumber
dari
sekolah.

Selama ini, kebanyakan guru tidak terlalu memperhatikan apa yang terjadi di antara
murid-muridnya. Sangat penting bahwa para guru memiliki pengetahuan dan
ketrampilan
mengenai
pencegahan
dan
cara
mengatasi
bullying.

Kurikulum sekolah dasar semestinya mengandung unsur pengembangan sikap


prososial dan guru-guru memberikan penguatan pada penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari di sekolah. Sekolah sebaiknya mendukung kelompok-kelompok kegiatan

agar diikuti oleh seluruh siswa. Selanjutnya sekolah menyediakan akses pengaduan
atau forum dialog antara siswa dan sekolah, atau orang tua dan sekolah, dan
membangun aturan sekolah dan sanksi yang jelas terhadap tindakan bullying.

Jangan anggap remeh Masih banyak orangtua yang menganggap kakak kelas
mengintimidasi adik kelas sebagai sebuah tradisi, demikian juga perlakuan kasar
yang diterima anak dari temannya sering diabaikan karena akan berlalu seiring
dengan waktu. Saatnya untuk mengubah pandangan tersebut. Jalin komunikasi yang
dalam dengan anak, berilah perhatian lebih bila anak tiba-tiba murung dan malas ke
sekolah.

Ajari anak untuk melindungi dirinya Ajari anak untuk bersikap self defense dalam
arti menhindari diri dari korban atau pelaku kekerasan. Katakan kepadanya, Kalau
kamu dipukul temanmu, kamu harus memberitahukan kepada Ibu Guru. Bukan
malah mengajarkan perilaku membalas atau menggunakan kekuatan dalam
mempertahankan diri. Selain itu, ajarkan pula untuk bersikap asertif atau mengatakan
tidak terhadap hal-hal yang memang seharusnya tidak dilakukan. Selain itu, jangan
biasakan anak membawa barang mahal atau uang berlebih ke sekolah karena bisa
berpotensi menjadi incaran pelaku bullying. Pupuk kepercayaan diri anak, misalnya
dengan aktif mengikuti kegiatan ekskul.

Bina relasi dengan guru dan orangtua murid Bina relasi dan komunikasi yang baik
dengan guru di sekolah atau orangtua murid lainnya. Anda bisa mendapatkan
informasi adanya kasus bullying atau melaporkan kepada guru bila si kecil bercerita
mengenai temannya yang dipukul, misalnya.

Pemberdayaan individual bagi anak

Beri kesempatan agar anak mau mengomunikasikan secara terbuka kepada orangtua,
guru, atau orang dewasa lain yang mereka percaya dapat membantu mereka. Pupuk
kedekatan hubungan, hargai perasaannya jika sedang curhat, tidak menyelamatkannya
dari emosi negatif, tetapi berdayakan dia. Mengalami kondisi sulit akan membentuk
daya tahan baginya.

Katakan kepada anak bahwa tidak ada satu pun cara yang paling tepat untuk
menghadapi bullying, satu cara yang terlihat benar bagi seseorang mungkin tidak
sesuai untuk yang lain. Yang penting adalah bahwa anak sudah mencoba, mengetahui
berbagai pilihan cara, dan dapat memutuskan siapa yang dapat membantunya sejauh
ini. Saran untuk mengabaikan tindakan pelaku bisa saja diberikan, tetapi tidak selalu
berhasil. Perlu dilakukan strategi lainnya.

Latih anak untuk berani bicara, dengan kata lain bertindak asertif. Biarkan pelaku tahu
bahwa anak tidak nyaman dengan perlakuannya, tetapi dengan kata-kata yang tidak
balik menyakiti dan tidak membiarkan tindakan bullying terus berlangsung. Anak
sebagai korban memiliki hak untuk membela diri, dan ada cara cerdas untuk

melakukannya. Pastikan anak berbicara dengan cara yang memecahkan masalah dan
tidak menciptakan lebih banyak masalah dengan orang lain.
Tips agar anak sebagai korban terlihat kuat dan dapat bertahan menghadapi pelaku

Bertindak percaya diri: tegakkan kepala dan bahu, tataplah mata pelaku tanpa
bermaksud menantang dan jaga suara agar tetap stabil saat berbicara. Bertindak
percaya diri akan membantu anak merasa lebih percaya diri.

Menjauh: jika rasa percaya diri anak memudar, minta anak menjauh dari situasi
tersebut.

Usahakan tetap tenang: anak dilatih untuk mencoba berekspresi terganggu atau bosan.
Jangan biarkan si pelaku tahu dia berhasil mengganggunya.

Mendinginkan diri: dengan minum atau memercikkan air di wajah untuk membantu
menenangkan perasaan panas.

Bernapas dalam-dalam. Menarik napas untuk memasukkan rasa percaya diri dan
kekuatan, dan mengeluarkan perasaan stres dan khawatir.

Lepaskan saja: berpikir tentang orang dewasa di sekolah yang dapat mendengarkan
dan membantu jika anak mengalami hari yang berat. Jika tidak ada, tuliskan perasaan
sehingga anak dapat membicarakannya ketika sampai di rumah.

Latih anak agar tidak mencoba untuk membalas dendam, karena dua kesalahan tidak
membuat menjadi benar. Tidak meminta orang lain untuk berpihak, karena hanya
akan terus melanjutkan pertengkaran. Tidak tinggal di rumah untuk menghindari si
pengganggu di sekolah. Jangan bertindak histeris-hindari berteriak, merengek, dan
kehilangan kontrol.

Anda mungkin juga menyukai