Anda di halaman 1dari 21

BAB II

1. CARSINOMA RECTUM
a. Pendahuluan
Karsinoma rekti merupakan tumor ganas terbanyak di antara tumor ganas saluran cerna,
lebih 60% tumor kolorektal berasal dari rektum. Salah satu pemicu kanker rektal adalah masalah
nutrisi dan kurang berolah raga. Kanker rektal merupakan salah satu jenis kanker yang tercatat
sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia. Kanker rektal adalah kanker yang menyerang
kolon dan rektum. Namun, penyakit ini bukannya tidak dapat disembuhkan. Jika penderita telah
terdeteksi secara dini, maka kemungkinan untuk sembuh bisa mencapai 50 persen.3
Setiap waktu, kanker ini bisa menyerang seseorang. Risikonya akan terus meningkat
seiring dengan penambahan usia. Data dari Amerika Serikat dan Inggris memperlihatkan, orang
yang berusia antara 60 sampai 80 tahun berisiko tiga kali lipat dari kelompok usia lainnya.
Mereka yang memiliki riwayat peradangan saluran cerna seperti kolit usus kronis, tergolong
berisiko tinggi untuk berkembang menjadi kanker kolorektal. Demikian juga dengan mereka
yang memiliki riwayat penyakit kanker tersebut, risiko terkena penyakit ini bisa menyerang pada
kelompok usia mana pun di bawah 60 tahun. 3
Umumnya penderita datang dalam stadium lanjut, seperti kebanyakan tumor ganas
lainnya; 90% diagnosis karsinoma rekti dapat ditegakkan dengan colok dubur. Sampai saat ini
pembedahan adalah terapi pilihan untuk karsinoma rekti. 1,2,3,10

b. Definisi dan Anatomi


Ca Rekti adalah kanker yang terjadi pada rektum. Rektum terletak di anterior sakrum and
coccyx panjangnya kira kira 15 cm. Rectosigmoid junction terletak pada bagian akhir mesocolon
sigmoid. Bagian sepertiga atasnya hampir seluruhnya dibungkus oleh peritoneum. Di setengah
bagian bawah rektum keseluruhannya adalah ektraperitoneral. Vaskularisasi rektum berasal dari
cabang arteri mesenterika inferior dan cabang dari arteri iliaka interna. Vena hemoroidalis
superior berasal dari pleksus hemorriodalis internus dan berjalan ke kranial ke vena mesenterika
inferior dan seterusnya melalui vena lienalis ke vena porta. Ca Recti dapat menyebar sebagai
embulus vena kedalam hati. Pembuluh limfe dari rektum diatas garis anorektum berjalan seiring
vena hemorriodalos superior dan melanjut ke kelenjar limfa mesenterika inferior dan aorta.
Operasi radikal untuk eradikasi karsinoma rektum dan anus didasarkan pada anatomi saluran
limfa ini. Dinding rektum terdiri dari 5 lapisan, yaitu mukosa yang tersusun oleh epitel kolumner,
mukosa muskularis, submukosa, muscularis propria dan serosa. 1,2,5,11
c. Angka Kejadian
Di USA Ca kolorektal merupakan kanker gastrointestinal yang paling sering terjadi dan
nomor dua sebagai penyebab kematian di negara berkembang. Tahun 2005, diperkirakan ada
145,290 kasus baru kanker kolorektal di USA, 104,950 kasus terjadi di kolon dan 40,340 kasus
di rektal. Pada 56,300 kasus dilaporkan berhubungan dengan kematian, 47.700 kasus Ca kolon
dan 8,600 kasus Ca rectal. Ca kolorektal merupakan 11 % dari kejadian kematian dari semua
jenis kanker. 1, 4
Diseluruh dunia dilaporkan lebih dari 940,000 kasus baru dan terjadi kematian pada
hampir 500,000 kasus tiap tahunnya. (World Health Organization, 2003). Menurut data di RS
Kanker Dharmais pada tahun 1995-2002, kanker rektal menempati urutan keenam dari 10 jenis

kanker dari pasien yang dirawat di sana. Kanker rektal tercatat sebagai penyakit yang paling
mematikan di dunia selain jenis kanker lainnya. Namun, perkembangan teknologi dan juga
adanya pendeteksian dini memungkinkan untuk disembuhkan sebesar 50 persen, bahkan bisa
dicegah.1,3,4
Dari selutruh pasien kanker rektal, 90% berumur lebih dari 50 tahun. Hanya 5% pasien
berusia kurang dari 40 tahun. Di negara barat, laki laki memiliki insidensi terbanyak mengidap
kanker rektal dibanding wanita dengan rasio bervariasi dari 8:7 - 9:5. 1,2

Gambar 2. 1 Ca rekti

d. Etiologi dan Faktor Resiko


1. Polip
Kepentingan utama dari polip bahwa telah diketahui potensial untuk menjadi kanker
kolorektal. Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana
proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa, adenoma formation, perkembangan dari displasia
menuju transformasi maligna dan invasif kanker. Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi gen,
dan kromosomal deletion memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan
dan peningkatan displasia dan invasif karsinoma.13
2. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease
2.1 Ulseratif Kolitis

Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon sekitar 1% dari
pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko perkembangan kanker pada pasien
ini berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan keterlibatan dan
keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan
18% pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk seseorang dengan risiko tinggi
dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan mengunakan kolonoskopi untuk menentukan
kebutuhan akan total proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8
tahun. Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi sebelum
terbentuknya invasif kanker. Sebuah studi prospektif menyimpulkan bahwa kolektomi yang
dilakukan dengan segera sangat esensial untuk semua pasien yang didiagnosa dengan displasia
yang berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling penting dari analisa mendemonstrasikan
bahwa diagnosis displasia tidak menyingkirkan adanya invasif kanker. Diagnosis dari displasia
mempunyai masalah tersendiri pada pengumpulan sampling spesimen dan variasi perbedaan
pendapat antara para ahli patologi anatomi.13
2.2 Penyakit Crohns
Pasien yang menderita penyakit crohns mempunyai risiko tinggi untuk menderita kanker
kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif kolitis. Keseluruhan insiden
dari kanker yang muncul pada penyakit crohns sekitar 20%. Pasien dengan striktur kolon
mempunyai insiden yang tinggi dari adenokarsinoma pada tempat yang terjadi fibrosis.
Adenokarsinoma meningkat pada tempat strikturoplasty menjadikan sebuah biopsy dari dinding
intestinal harus dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty. Telah dilaporkan juga bahwa
squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik pasien dengan crohns
disease.14
3. Faktor Genetik
3.1 Riwayat Keluarga
Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan riwayat kanker
kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat yang mempunyai kanker
kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita kanker kolorektal dua kali lebih tinggi bila
dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker kolorektal pada
keluarganya.13
3.2 Herediter Kanker Kolorektal

Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal menuju mukosa
kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan adenokarsinoma yang besar
berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling penting dalam menegakkan diagnosa dari
sindrom kanker herediter yaitu riwayat kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada
adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada dari seluruh
kanker kolon, dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma
yang besar.2 Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama dari sindrom ini
menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini, dimana mempunyai
predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu familial
adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary non polyposis colorectal cancer (HNPCC).13

3.3 FAP (Familial Adenomatous Polyposis)


Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang berlokasi pada kromosom
5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor gen dapat menggiring kepada kemungkinan
pembentukan kanker kolorektal pada umur 40 sampai 50 tahun. Pada FAP yang telah
berlangsung cukup lama, didapatkan polip yang sangat banyak untuk dapat dilakukannya
kolonoskopi polipektomi yang aman dan adekuat; ketika hal ini terjadi, direkomendasikan untuk
melakukan prophylactic subtotal colectomy diikuti dengan endoskopi pada bagian yang tersisa.
Idealnya prophylactic colectomy harus ditunda kecuali terdapat terlalu banyak polip yang dapat
ditangani dengan aman. Prosedur pembedahan elektif harus sedapat mungkin dihindari ketika
memungkinkan. Screening untuk polip harus dimulai pada saat usia muda. Pasien dengan FAP
yang diberi 400 mg celecoxib, dua kali sehari selama enam bulan mengurangi rata rata jumlah
polip sebesar 28%. Tumor lain yang mungkin muncul pada sindrom FAP adalah karsinoma
papillary thyroid, sarcoma, hepatoblastomas, pancreatic carcinomas, dan medulloblastomas otak.
Varian dari FAP termasuk gardners syndrom dan turcots syndrom.13,15
3.4 HNPCC (Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer)
Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynchs sindrom I dan II.2 Generasi
multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul pada umur yang muda (45 tahun),
dengan predominan lokasi kanker pada kolon kanan. Abnormalitas genetik ini terdapat pada
mekanisme mismatch repair yang bertanggung jawab pada defek eksisi dari abnormal repeating
sequences dari DNA, yang dikenal sebagai mikrosatellite (mikrosatellite instability). Retensi dari

squences ini mengakibatkan ekspresi dari phenotype mutator, yang dikarakteristikkan oleh
frekuensi DNA replikasi error (RER+ phenotype), dimana predisposisi tersebut mengakibatkan
seseorang memiliki multitude dari malignansi primer. Pasien dengan HNPCC mungkin juga
memiliki adenoma sebaceous, carcinoma sebaceous, dan multipel keratocanthoma, Termasuk
kanker dari endometrium, ovarium, kandung kemih, ureter, lambung dan traktus biliaris. Jika
dibandingkan dengan sporadic kanker kolorektal, tumor pada HNPCC seringkali poorly
differentiated, dengan gambaran mucoid dan signet-cell, reaksi yang mirip crohns (nodul
lymphoid, germinal centers, yang berlokasi pada perifer inflitrasi kanker kolorektal), kehadiran
infiltrasi lymphocytes diantara tumor. Karsinogenesis yang terakselerasi muncul pada HNPCC,
pada keadaan ini adenoma kolon yang berukuran kecil dapat menjadi karsinoma dalam 2-3
tahun, bila dibandingkan dengan proses pada rata-rata kanker kolorektal yang membutuhkan
waktu 8-10 tahun. Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita kanker
kolorektal pada umur yang sangat muda, dan screening harus dimulai pada umur 20 tahun atau
lebih dini 5 tahun dari umur anggota keluarga yang pertama kali terdiagnosa kanker kolorektal
yang berhubungan HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan HNPCC yang didiagnosa menderita
kanker kolorektal pada umur 44 tahun, dibandingkan dengan pasien kontrol yang menderita
kanker kolorektal pada umur 68 tahun. Prognosis dari pasien HNPCC terlihat lebih baik daripada
pasien dengan sporadic kanker kolon. Dari penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan
HNPCC kurang mendapat manfaat dari adjuvant kemoterapi berdasarkan kombinasi fluorourasil
daripada pasien tanpa kelainan ini. 13,15
4. Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat
berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian, meskipun
terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat dan kanker
kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan resiko
kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk asosiasi
antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya adalah
menkonsumsi diet yang berenergi tinggi mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti
dengan peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor
sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga
memperlihatkan interaksi oksigen reaktif. Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat

meningkatkan pembentukan kanker kolorektal. Hipotesis kedua adalah identifikasi berkelanjutan


dari agen yang secara signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari
pengamatan tersebut dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan lokal
epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah akibat terpapar toksin yang tak
dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal, karakteristik ini didapat dari bukti
teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil
dari proliferasi fokal dan mutagenesis dapat meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan
aberrant crypt foci. Proses ini dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki
permukaan lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme
tersebut, misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan kegagalan pertahanan fokal
epitel yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan antara diet dan resiko kanker
kolorektal.13,16
e. Manifestasi Klinik
1. Histologi
Histologi merupakan suatu faktor penting dalam hal etiologi, penanganan dan prognosis
dari kanker. Secara mikroskopis kanker kolorektal mempunyai derajat differensiasi yang
berbeda-beda, tidak hanya dari tumor yang satu dengan tumor yang lain tetapi juga dari area ke
area pada tumor yang sama, mereka cenderung mempunyai morfologi yang heterogen.
Gambaran histopatologis yang paling sering dijumpai adalah tipe adenocarcinoma (90-95%),
adenocarcinoma mucinous (17%), signet ring cell carcinoma (2-4%), dan sarcoma (0,1-3%).
Pada penelitian mengenai gambaran histologi kanker kolorektal dari tahun 1998-2001 di
Amerika Serikat yang melibatkan 522.630 kasus kanker kolorektal. Didapatkan gambaran
histopatologis dari kanker kolorektal sebesar 96% berupa adenocarcinoma, 2% karsinoma
lainnya (termasuk karsinoid tumor), 0,4% epidermoid carcinoma, dan 0,08% berupa sarcoma.
Proporsi dari epidermoid carcinoma, mucinous carcinoma dan carcinoid tumor banyak
diketemukan pada wanita. Secara keseluruhan, didapatkan suatu pola hubungan antara tipe
histopatologis, derajat differensiasi dan stadium dari kanker kolorektal. Adenocarcinoma sering
ditemukan dengan derajat differensiasi sedang dan belum bermetastase pada saat terdiagnosa,
signet ring cell carcinoma banyak ditemukan dengan derajat differensiasi buruk dan telah
bermetastase jauh pada saat terdiagnosa, lain pula pada carcinoid tumor dan sarcoma yang sering

dengan derajat differensiasi buruk dan belum bermetastase pada saat terdiagnosa, sedangkan
small cell carcinoma tidak memiliki derajat differensiasi dan sering sudah bermetastase jauh
pada saat terdiagnosa.
Dari 201 kasus kanker kolorektal periode 1994-2003 di RS Kanker Dharmais (RSKD)
didapatkan bahwa tipe histopatologis yang paling sering dijumpai adalah adenocarcinoma
[diferensiasi baik 48 (23,88%), sedang 78 (38,80%), buruk 45 (22,39%)], dan yang jarang adalah
musinosum 19 (9,45%) dan signet ring cell carcinoma 11 (5,47%). Jika dari hasil penelitian di
RSKD didapatkan bahwa frekuensi terbanyak adalah adenocarcinoma dengan derajat
differensiasi sedang (38,80%), maka lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Soeripto
et al di Jogjakarta pada tahun 2001 yang mendapati frekuensi derajat differensiasi kanker
kolorektal banyak didominasi oleh derajat differensiasi baik. Perbedaan pola demografik dan
klinis yang berhubungan dengan tipe histopatologis akan sangat membantu untuk studi
epidemiologi, laboratorium dan klinis di masa yang akan datang. 13,16
2. Gejala Klinis
Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker rektal antara lain ialah : 1,2,5,7,8,12

Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu darah segar maupun
yang berwarna hitam.

Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar benar kosong saat BAB

Keluhan tidak nyama pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa penuh pada perut atau
nyeri

Penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya

Mual dan muntah,

Rasa letih dan lesu

Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri pada daerah gluteus.

3. Metastase
Metastase ke kelenjar limfa regional ditemukan pada 40-70% kasus pada saat direseksi.
Invasi ke pembuluh darah vena ditemukan pada lebih 60% kasus. Metastase sering ke hepar,
cavum peritoneum, paru-paru, diikuti kelenjar adrenal, ovarium dan tulang. Metastase ke otak
sangat jarang, dikarenakan jalur limfatik dan vena dari rektum menuju vena cava inferior, maka
metastase kanker rektum lebih sering muncul pertama kali di paru-paru. Berbeda dengan kolon
dimana jalur limfatik dan vena menuju vena porta, maka metastase kanker kolon pertama kali
paling sering di hepar.11
e. Diagnosis dan Staging
1. Diagnosis
Ada beberapa tes pada daerah rektum dan kolon untuk mendeteksi kanker rektal, diantaranya
ialah : 1,2,5,7,8,9,12
1) Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan CEA (Carcinoma Embrionik Antigen) dan Uji
faecal occult blood test (FOBT) untuk melihat perdarahan di jaringan
2) Digital rectal examination (DRE) dapat digunakan sebagai pemeriksaan skrining awal.
Kurang lebih 75 % karsinoma rektum dapat dipalpasi pada pemeriksaan rektal,
pemeriksaan digital akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum, tumor
akan teraba keras dan menggaung.

Gambar 3. Pemeriksaan colok dubur pada Ca Rekti

Ada 2 gambaran khas dari pemeriksaan colok dubur, yaitu indurasi dan adanya suatu
penonjolan tepi, dapat berupa :
a. suatu pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi seperti cakram yaitu suatu
plateau kecil dengan permukaan yang licin dan berbatas tegas.
b. suatu pertumbuhan tonjolan yang rapuh, biasanya lebih lunak, tetapi umumnya
mempunyai beberapa daerah indurasi dan ulserasi
c. suatu bentuk khas dari ulkus maligna dengan tepi noduler yang menonjol dengan
suatu kubah yang dalam (bentuk ini paling sering)
d. suatu bentuk karsinoma anular yang teraba sebagai pertumbuhan bentuk cincin
Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:
a. Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah
terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os
coccygis. Pada penderita perempuan sebaiknya juga dilakukan palpasi melalui vagina
untuk mengetahui apakah mukosa vagina di atas tumor tersebut licin dan dapat
digerakkan atau apakah ada perlekatan dan ulserasi, juga untuk menilai batas atas dari
lesi anular. Penilaian batas atas ini tidak dapat dilakukan dengan pemeriksaan colok
dubur.
b. Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi
pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan pada lapisan
otot dinding rektum. Pada lesi yang sudah mengalami ulserasi lebih dalam umumnya
terjadi perlekatan dan fiksasi karena penetrasi atau perlekatan ke struktur ekstrarektal
seperti kelenjar prostat, buli-buli, dinding posterior vagina atau dinding anterior
uterus.
c. Ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan karakteristik
pertumbuhan primer dan sebagian lagi dari mobilitas atau fiksasi lesi.

3) Barium Enema, yaitu Cairan yang mengandung barium dimasukkan melalui rektum
kemudian dilakukan seri foto x-rays pada traktus gastrointestinal bawah.
4) Sigmoidoscopy, yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan sigmoid
apakah terdapat polip kakner atau kelainan lainnya. Alat sigmoidoscope dimasukkan
melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan dapat diambil untuk
biopsi.
5) Colonoscopy yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan sigmoid
apakah terdapat polip kanker atau kelainan lainnya. Alat colonoscope dimasukkan melalui
rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan dapat diambil untuk biopsi.
6) Biopsi, jika ditemuka tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus dilakukan.
Secara patologi anatomi, adenocarcinoma merupakan jenis yang paling sering yaitu sekitar
90 sampai 95% dari kanker usus besar. Jenis lainnya ialah karsinoma sel skuamosa,
carcinoid tumors, adenosquamous carcinomas, dan undifferentiated tumors.1,2

2. Staging
The American Joint Committee on Cancer (AJCC) memperkenalkan TNM staging
system, yang menempatkan kanker menjadi satu dalam 4 stadium (Stadium I-IV). 1,2,5
1. Stadium 0
Pada stadium 0, kanker ditemukan hanya pada bagian paling dalam rektum.yaitu pada mukosa
saja. Disebut juga carcinoma in situ.
2. Stadium I
Pada stadium I, kanker telah menyebar menembus mukosa sampai lapisan muskularis dan
melibatkan bagian dalam dinding rektum tapi tidak menyebar kebagian terluar dinding rektum
ataupun keluar dari rektum. Disebut juga Dukes A rectal cancer.
3. Stadium II
Pada stadium II, kanker telah menyebar keluar rektum kejaringan terdekat namun tidak
menyebar ke limfonodi. Disebut juga Dukes B rectal cancer.
4. Stadium III
Pada stadium III, kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi tidak menyebar kebagian
tubuh lainnya. Disebut juga Dukes C rectal cancer.
5. Stadium IV
Pada stadium IV, kanker telah menyebar kebagian lain tubuh seperti hati, paru, atau ovarium.
Disebut juga Dukes D rectal cancer

Gambar 7. Stadium Ca Recti I-IV

TNM Stadium

Modified
Dukes
Stadium/
Derajat

Deskripsi histopatologi

Bertahan 5 tahun
(%)

T1 N0 M0

A/I

Kanker terbatas pada submucosa

> 90

T2 N0 M0

B1 / I

Kanker mencapai muskularis

85

T3 N0 M0

B2 / II

Kanker cenderung masuk atau melewati


70-80
lapisan serosa

Tx N1 M0

C/ III

Tumor melibatkan KGB regional

35-65

Tx Nx Mx

D/ IV

Metastases

Tabel 1. TNM/Modified Dukes Classification System


*Modified from the American Joint Committee on Cancer (1997)
Tabel 2. CT Staging System for Rectal Cancer
Stadium

Deskripsi

T1

Massa polypoid Intraluminal; tidak ada penebalan pada dinding rectum

T2

Penebalan dinding rectum >6 mm; tidak ada perluasan ke perirectal

T3a

Penebalan dinding rectum dan invasi ke otot dan organ yang berdekatan.

T3b

Penebalan dinding rectum dan invasi ke pelvic atau dinding abdominal

T4

Metastasis jauh, biasanya ke liver atau adrenal

*Modified from Thoeni (Radiology, 1981)

f. Penatalaksanaan
Berbagai jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektal. Beberapa adalah terapi standar
dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Tiga terapi standar untuk kanker rektal
yang digunakan antara lain ialah :
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama untuk stadium I
dan II kanker rektal, bahkan pada pasien suspek dalam stadium III juga dilakukan pembedahan.
Meskipun begitu, karena kemajuan ilmu dalam metode penentuan stadium kanker, banyak pasien
kanker rektal dilakukan pre-surgical treatment dengan radiasi dan kemoterapi. Penggunaan
kemoterapi sebelum pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant chemotherapy, dan pada kanker
rektal, neoadjuvant chemotherapy digunakan terutama pada stadium II dan III. Pada pasien
lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun sebagian besar jaringan kanker sudah
diangkat saat operasi, beberapa pasien masih membutuhkan kemoterapi atau radiasi setelah
pembedahan untuk membunuh sel kanker yang tertinggal. 2,7
Tipe pembedahan yang dipakai antara lain : 1,2,9

Eksisi lokal : jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor dapat dihilangkan tanpa
tanpa melakukan pembedahan lewat abdomen. Jika kanker ditemukan dalam bentuk polip,
operasinya dinamakan polypectomy.

Reseksi: jika kanker lebih besar, dilakukan reseksi rektum lalu dilakukan anastomosis. Jiga
dilakukan pengambilan limfonodi disekitan rektum lalu diidentifikasi apakah limfonodi tersebut
juga mengandung sel kanker.

Gambar 8. Reseksi dan Anastomosis

Gambar 9. Reseksi dan Kolostomi

Pengangkatan kanker rektum biasanya dilakukan dengan reseksi abdominoperianal,


termasuk pengangkatan seluruh rectum, mesorektum dan bagian dari otot levator ani dan dubur.
Prosedur ini merupakan pengobatan yang efektif namun mengharuskan pembuatan kolostomi
permanen.
Rektum terbagi atas 3 bagian yaitu 1/3 atas, tengah dan bawah. Kanker yang berada di
lokasi 1/3 atas dan tengah ( 5 s/d 15 cm dari garis dentate ) dapat dilakukan restorative anterior
resection kanker 1/3 distal rectum merupakan masalah pelik. Jarak antara pinggir bawah tumor
dan garis dentate merupakan faktor yang sangat penting untuk menentukan jenis operasi.
Goligher dkk berdasarkan pengalamannya menyatakan bahwa kegagalan operasi Low
anterior resection akan terjadi pada kanker rectum dengan jarak bawah rectum normal 2 cm.
Angka 5 cm telah diterima sebagai jarak keberhasilan terapi. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh venara dkk pada 243 kasus menyimpulkan bahwa jarak lebih dari 3 cm dari garis dentate
aman untuk dilakukan operasi Restorative resection. Colonal anastomosis diilhami oleh
hasil operasi Ravitch dan Sabiston yang dilakukan pada kasus kolitis ulseratif. Operasi ini dapat
diterapkan pada kanker rectum letak bawah, dimana teknik stapler tidak dapat dipergunakan.
Local excision dapat diterapkan untuk mengobati kanker rectum dini yang terbukti belum
memperlihatkan tanda-tanda metastasis ke kelenjar getah bening. Operasi ini dapat dilakukan

melalui beberapa pendekatan yaitu transanal, transpinchteric atau transsacral. Pendekatan


transpinshter dan transacral memungkinkan untuk dapat mengamati kelenjar mesorectal untuk
mendeteksi kemungkinan telah terjadi metastasis. Sedang pendekatan transanal memiliki
kekurangan untuk mengamati keterlibatan kelenjar pararektal.
Pada tumor rektum sepertiga tengah dilakukan reseksi dengan mempertahankan sfingter
anus, sedangkan pada tumor sepertiga distal dilakukan amputasi rektum melalui reseksi
abdominoperineal Quenu-Miles. Pada operasi ini anus turut dikeluarkan.
Pada pembedahan abdominoperineal menurut Quenu-Miles, rektum dan sigmoid dengan
mesosigmoid dilepaskan, termasuk kelenjar limf pararektum dan retroperitoneal sampai kelenjar
limf retroperitoneal. Kemudian melalui insisi perineal anus dieksisi dan dikeluarkan seluruhnya
dengan rektum melalui abdomen.
Reseksi anterior rendah pada rektum dilakukan melalui laparotomi dengan menggunakan
alat stapler untuk membuat anastomosis kolorektal atau koloanal rendah.
Eksisi lokal melalui rektoskop dapat dilakukan pada karsinoma terbatas. Seleksi
penderita harus dilakukan dengan teliti, antara lain dengan menggunakan endoskopi
ultrasonografik untuk menentukan tingkat penyebaran di dalam dinding rektum clan adanya
kelenjar ganas pararektal.
Indikasi dan kontra indikasi eksisi lokal kanker rectum
1. Indikasi
Tumor bebas, berada 8 cm dari garis dentate
T1 atau T2 yang dipastikan dengan pemeriksaan ultrasound
Termasuk well-diffrentiated atau moderately well diffrentiated secara histologi
Ukuran kurang dari 3-4 cm
2. Kontraindikasi
Tumor tidak jelas
Termasuk T3 yang dipastikan dengan ultrasound
Termasuk Poorly diffrentiated secara histologi
2. Radiasi
Sebagai mana telah disebutkan, untuk banyak kasus stadium II dan III lanjut, radiasi
dapat menyusutkan ukuran tumor sebelum dilakukan pembedahan. Peran lain radioterapi adalah
sebagai sebagai terapi tambahan untuk pembedahan pada kasus tumor lokal yang sudah diangkat
melaui pembedahan, dan untuk penanganan kasus metastasis jauh tertentu. Terutama ketika

digunakan dalam kombinasi dengan kemoterapi, radiasi yang digunakan setelah pembedahan
menunjukkan telah menurunkan resiko kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan angka
kematian sebesar 29%. Pada penanganan metastasis jauh, radiesi telah berguna mengurangi efek
lokal dari metastasis tersebut, misalnya pada otak. Radioterapi umumnya digunakan sebagai
terapi paliatif pada pasien yang memiliki tumor lokal yang unresectable. 1,2,9
3. Kemoterapi
Adjuvant chemotherapy, (menengani pasien yang tidak terbukti memiliki penyakit
residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan), dipertimbangkan pada pasien dimana
tumornya menembus sangat dalam atau tumor lokal yang bergerombol ( Stadium II lanjut dan
Stadium III). Terapi standarnya ialah dengan fluorouracil, (5-FU) dikombinasikan dengan
leucovorin dalam jangka waktu enam sampai dua belas bulan. 5-FU merupakan anti metabolit
dan leucovorin memperbaiki respon. Agen lainnya, levamisole, (meningkatkan sistem imun,
dapat menjadi substitusi bagi leucovorin. Protopkol ini menurunkan angka kekambuhan kira
kira 15% dan menurunkan angka kematian kira kira sebesar 10%. 1,2,9
g. Prognosis
Lima puluh persen dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat berupa
kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering terjadi pada.
Penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahu pertama setelah operasi. Faktor
faktor yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi termasuk kemampuan ahli bedah, stadium
tumor, lokasi, dan kemapuan untuk memperoleh batas - batas negatif tumor. 2

2. INTUBASI
a. Pengertian
Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau hidung. Intubasi
terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan intubasi nasotrakeal. Intubasi
endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottidis
dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan
trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Intubasi nasotrakeal yaitu tindakan
memasukan pipa nasal melalui nasal dan nasopharing ke dalam oropharing sebelum
laryngoscopy.3,4,5
b. Tujuan Intubasi
Tujuan dilakukannya intubasi yaitu sebagai berikut :6,7

Mempermudah pemberian anesthesia.


Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran

pernapasan.
Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan tidak sadar,

lambung penuh dan tidak ada reflex batuk).


Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial.

Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.


Mengatasi obstruksi laring akut
c. Indikasi dan kontraindikasi
1. Indikasi
Intubasi endotrakeal yaitu mengontrol jalan napas, menyediakan saluran udara yang bebas
hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang, meminimalkan risiko aspirasi,
menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan gawat atau pasien dengan
refleks akibat sumbatan yang terjadi, ventilasi yang tidak adekuat, ventilasi dengan
thoracoabdominal pada saat pembedahan, menjamin fleksibilitas posisi, memberikan jarak
anestesi dari kepala, memungkinkan berbagai posisi (misalnya,tengkurap, duduk, lateral,
kepala ke bawah), menjaga darah dan sekresi keluar dari trakea selama operasi saluran
napas, Perawatan kritis : mempertahankan saluran napas yang adekuat, melindungi
terhadap aspirasi paru, kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal.
2. Kontraindikasi
Kontraindikasi intubasi endotrakeal adalah : trauma servikal yang memerlukan keadaan
imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.2
Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani operasi
maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa orotrakeal, diameter maksimal
dari pipa yang digunakan pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih kecil oleh karenanya
tahanan jalan napas menjadi cenderung meningkat. Intubasi nasotrakeal pada saat ini
sudah jarang dilakukan untuk intubasi jangka panjang karena peningkatan tahanan jalan
napas serta risiko terjadinya sinusitis. Teknik ini bermanfaat apabila urgensi pengelolaan
airway tidak memungkinkan foto servikal. Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind
nasotrakeal intubation) memerlukan penderita yang masih bernafas spontan. Prosedur ini
merupakan kontraindikasi untuk penderita yang apnea. Makin dalam penderita bernafas,
makin mudah mengikuti aliran udara sampai ke dalam laring. Kontraindikasi lain dari
pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii, khususnya pada tulang
ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan trombolisis. Indikasi intubasi fiber
optik yaitu kesulitan intubasi (riwayat sulit dilakukan intubasi, adanya bukti pemeriksaan
fisik sulit untuk dilakukan intubasi), diduga adanya kelainan pada saluran napas atas,
trakea stenosis dan kompresi, menghindari ekstensi leher (insufisiensi arteri vertebra,

leher yang tidak stabil), resiko tinggi kerusakan gigi (gigi goyang atau gigi rapuh), dan
d.

intubasi pada keadaan sadar.


Kesulitan Intubasi
Sehubungan dengan manajemen saluran nafas, riwayat sebelum intubasi seperti riwayat
anestesi, alergi obat, dan penyakit lain yang dapat menghalangi akses jalan
napas.Pemeriksaan jalan napas melibatkan pemeriksaan keadaan gigi; gigi terutama
ompong, gigi seri atas dan juga gigi seri menonjol. Visualisasi dari orofaring yang paling
sering diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi Mallampati Modifikasi. Sistem ini
didasarkan pada visualisasi orofaring. Pasien duduk membuka mulutnya dan menjulurkan
lidah.

e. Persiapan Intubasi
Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alatalat dan memposisikan pasien.ETT
sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff ETT sebaiknya di tes terlebih dahulu dengan
spuit 10 milliliter. Jika menggunakan stylet sebaiknya dimasukkan ke ETT. Berhasilnya
intubasi sangat tergantung dari posisi pasien, kepala pasien harus sejajar dengan pinggang
anestesiologis

atau

lebih

tinggi

untuk

mencegah

ketegangan

pinggang

selama

laringoskopi.Persiapan untuk induksi dan intubasi juga melibatkan preoksigenasi


rutin.Preoksigenasi dengan nafas yang dalam dengan oksigen 100 %.

Anda mungkin juga menyukai