Makalah Ibadah Dan Akhlak Bab 1
Makalah Ibadah Dan Akhlak Bab 1
HAKIKAT ZAKAT
Oleh:
Inne Herlica (15513042)
Ivan Arif K ()
M. Yudha Birullah ()
Feby Novita Loka ()
Teknik Lingkungan
Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT. atas terselesainya makalah yang
berjudul Hakikat Zakat. Atas dukungan moral dan materi yang diberikan dalam penyusunan
makalah ini, maka penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Drs. H. Slamet
Abdullah, MA selaku dosen pengampu yang memberikan bimbingan, saran, ide dan kesempatan
untuk membuat makalah ini.
Terselesainya makalah ini penulis mengharapkan agar dapat memberikan informasi bagi
masyarakat dan bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi kita semua.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, saran dan
kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Zakat merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal yang sangat penting di zaman
Nabi. Zakat sangat berpotensi menghilangkan konsentrasi kekayaan di kalangan elit
ekonomi tertentu. Tidak hanya itu, ia juga berpotensi meningkatkan produktivitas
masyarakat dan konsumsi total. Jika dikelola secara profesional, apalagi jika ada dukungan
politik yang kuat dari pemerintah (Indonesia), instrumen ekonomi ini juga dipercaya
mampu
mengurangi
tingkat
pengangguran
dan
kemandirian
ekonomi.
Di bawah genggaman ekonomi neo-liberal seperti saat ini, masyarakat muslim Indonesia
seharusnya mampu mengoptimalkan pendayagunaan zakat bagi kesejahteraan umum.
Sayangnya, pengelolaan zakat masih menyisakan beberapa kendala konseptual dan teknis.
Salah satu akar persoalannya ada pada formalitas zakat. Artinya, zakat hanya diangap
sebagai kewajiban normatif, tanpa memperhatikan efeknya bagi pemberdayaan ekonomi
umat. Akibatnya, semangat keadilan ekonomi dalam implementasi zakat menjadi hilang.
Orientasi zakat tidak diarahkan pada pemberdayaan ekonomi masyarakat, tapi lebih karena
ia merupakan kewajiban dari Tuhan. Bahkan, tidak sedikit muzakki yang mengeluarkan
zakat disertai maksud untuk menyucikan harta atau supaya hartanya bertambah (berkah).
Ini artinya, muzakki membayarkan zakat untuk kepentingan subyektivitasnya sendiri.
Memang tidak salah, tapi secara tidak langsung, substansi dari perintah zakat serta efeknya
bagi perekonomian masyarakat menjadi terabaikan.
Zakat memiliki fungsi sosial sebagai mekanisme mencapai keadilan sosial. Karena
fungsinya, porsi zakat sebesar 2,5 persen itu perlu dipertanyakan kembali. Bila di suatu
wilayah, misalnya, dengan hampir seluruh penduduknya hidup dalam kemiskinan,
pengenaan zakat 2,5 persen kepada minoritas orang kaya raya terasa tidak akan memadai.
Karena kelompok minoritas, katakanlah pemilik tanah atau pengusaha, dengan tingkat
pengenaan zakat seperti itu akan bertambah kaya turun temurun. Sedang mayoritas yang
miskin, katakanlah mereka itu kuli kenceng, akan tetap papa sengsara seumur hidupnya.
Karenanya pengenaan zakat 2,5 persen itu tidak relevan lagi. Ingatan kita perlu disegarkan
kembali bahwa zakat bukan sekadar kebaikan hati (karitas), tetapi terutama merupakan
kewajiban umat. Pada zaman Ab Bakar, orang yang tidak mengeluarkan zakat dikejarkejar. Pernah, zakat malah dianggap sebagai pajak.
Karena itu, interpretasi baru terhadap zakat sangat penting, termasuk besar-kecilnya
porsi zakat. Kekayaan hendaknya mampu mendorong peningkatan martabat kemanusiaan,
dan menjadi cermin ketakwaan. Kita jangan merasa telah memenuhi kewajiban setelah
mengeluarkan zakat sebesar 2,5 persen. Itu terlalu formal. Kita juga jangan punya pikiran
bahwa zakat dikeluarkan hanya untuk meredam kecemburuan sosial terhadap orang-orang
kayakaum fakir-miskin diberi zakat agar mereka tidak cemburu kepada orang kaya. Itu
berarti suatu karitas: biaya sosial dikeluarkan hanya bertujuan agar terwujud social security.
Yang benar, zakat harus berfungsi sebagai reformasi social
BAB II
PEMBAHASAN