PENDAHULUAN
Makalah ini menyajikan hasil penelitian terhadap pemberitaan di surat kabar Kompas
tentang meledaknya bom di Hotel JW Marriott pada tanggal 5 Agustus 2003. Penelitian tersebut
bertujuan untuk (1) memerikan proporsi kutipan tuturan langsung (KL) dan kutipan tuturan tak
langsung (KTL) yang dipakai oleh reporter dalam melaporkan ungkapan lisan dari nara sumber
dalam berita yang disajikan di halaman pertama Kompas terbitan tanggal 6 Agustus sampai dengan
16 Agustus 2003, (2) memerikan penyebutan nara sumber dalam setiap jenis tuturan (3)
menentukan proporsi KTL yang segera diikuti oleh KL dari satu nara sumber tentang topik yang
sama.
METODE
Studi ini menggunakan rancangan Analisis Isi, yang oleh Titscher, Meyer, Wodak, dan
Vetter (2000:55) didefinisikan sebagai upaya menganalisis komponen-komponen sintaksis,
semantik, dan pragmatik suatu wacana, kemudian mengkuantifikasikannya. Sumber data adalah 14
edisi Kompas yang diambil secara acak dari 16 edisi Kompas yang memuat berita seputar peristiwa
ledakan bom di Hotel JW Marriott, Jakarta pada tanggal 5 Agustus 2003. Berita yang dianalisis
adalah berita yang dimuat di halaman pertama pada keempatbelas edisi tersebut. Ditemukan
sejumlah 221 KTL dan 144 KL pada keseluruhan berita yang dianalisis.
HASIL
Untuk mencapai tujuan penelitian pertama, yakni memerikan proporsi kutipan tuturan
langsung (KL) dan kutipan tuturan tak langsung (KTL) dalam melaporkan ungkapan lisan dari
beberapa nara sumber dalam berita disajikan Tabel 1 di bawah ini:
Proporsi Proporsi KL
Edisi Judul Berita KTL KL KTL (%) (%)
Marriott
Bom di Marriott Bukan Ancaman
11/8/03 Bagi Investor 5 3 62,5 37,5
Satu Lagi Korban Tewas dari
11/8/03 Ledakan di Marriott 10 6 62,5 37,5
12/8/03 Polisi Pastikan Kepala Asmar 12 4 75 25
Penyelidikan Mengarah ke Azhari dan
13/8/03 Dulmatin 23 14 62,16 37,84
Antisipasi Teror Bom Baru, Polisi
15/8/03 Berlakukan Siaga I 20 16 55,56 44,44
Penangkapan Hambali Melegakan
16/8/03 Dunia 20 12 62,5 37,5
14
TOTAL KUTIPAN 221 4
Untuk menjawab tujuan penelitian kedua, yakni mengenali nara sumber dari KTL dan KL,
disajikan Tabel 2 berikut ini:
Catatan : Tanda * menunjukkan berita yang memuat KTL dan KL dengan nara sumber yang tidak
jelas.
Sebagaimana tampak dalam Tabel 2, sebagian besar berita mencantumkan nara sumber yang jelas,
dan oleh karena itu layak dipercaya. Namun, sebagaimana terlihat di Tabel 2, ada berita-berita
bertanda asteriks (*) yang menandakan bahwa di dalamnya termuat beberapa KTL dan KL yang
sumbernya tidak jelas, dan oleh karenanya patut dicermati kredibilitasnya. Beberapa sumber yang
tidak jelas tersebut diringkas dalam Tabel berikut ini:
Analisis berikutnya ditujukan untuk mencapai tujuan penelitian yang ketiga, yakni
menentukan proporsi KTL yang segera diikuti oleh KL dari satu nara sumber tentang topik yang
sama. Pola KTL-KL ini dipandang penting karena mencerminkan tingkat kredibilitas KTL tersebut.
Semakin tinggi proporsi rangkaian KTL-KL dalam suatu berita, semakin nampak jelas upaya
wartawan atau redaktur koran itu untuk mempersilakan pembaca melihat seberapa jauh KTL
mempertahankan isi ungkapan KL.
Analisis menemukan empat pola rangkaian kutipan, yakni KTL-KL, KL, KTL-KTL, dan
KTL, dengan proporsi sebagaimana yang diringkas dalam tabel berikut ini:
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar rangkaian berpola KTL-KL, disusul oleh
KTL saja, KTL yang diikuti oleh KTL lainnya, dan KL saja.
BAHASAN
Secara keseluruhan, voice sang reporter atau redaktur nampak lebih dominan daripada
voice sang nara sumber (periksa kembali Tabel 1). Ada dua faktor penyebab yang mungkin.
Pertama, dalam kondisi tertentu, reporter merasa perlu untuk menggunakan KTL dalam
5
menyampaikan pesan verbal seorang nara sumber. Reporter harus menuliskan kembali ungkapan
serupa ini melalui KTL, sehingga pembaca tetap bisa melihat makna intinya tanpa harus melihat
atau merasakan ketidaklancaran ujaran, bagian-bagian yang terpenggal-penggal, atau kata-kata
yang bisa mengacaukan makna ketika ujaran itu ditulis ulang secara verbatim. Kedua, unsur
kebaruan dan tenggat sebagaimana yang diungkapkan oleh Goatly (2000) dan Suroso (2003)
mungkin telah sedikit banyak membuat para reporter berita ini cenderung menggunakan KTL
daripada KL, karena pengungkapan secara verbatim memang memakan lebih banyak waktu
daripada pengungkapan kembali lewat KTL. Tenggat, pada gilirannya, ditetapkan karena surat
kabar tersebut berupaya untuk memenuhi unsur kebaruan, yaitu menyajikan laporan aktual tentang
suatu peristiwa sesegera mungkin setelah peristiwa itu terjadi.
Dari segi pencantuman nara sumber, harian ini sudah berhasil menjaga kredibilitas
beritanya dengan mencantumkan nara sumber secara jelas pada setiap KTL maupun KL nya.
Namun, sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 3, masih ada beberapa informasi cukup krusial yang
disampaikan tanpa penyebutan nara sumber yang jelas. Sekali lagi, dalam konteks membaca berita
surat kabar yang memerlukan kecermatan setingkat di bawah kecermatan untuk membaca buku
teks, pembaca bisa menelan bulat-bulat infromasi ini tanpa secara kritis mempertanyakan
sumbernya. Di sisi lain, sebagaimana yang disampaikan Yazid (2004:47), seorang wartawan
mempunyai hak untuk menolak menyebutkan sumber beritanya dengan alasan bahwa sang sumber
harus dilindungi. Prinsip ini bisa jadi melatarbelakangi tindakan reporter atau kebijakan sang
redaktur untuk tidak menyebutkan identitas nara sumber secara jelas.
Pola perangkaian KTL dan KL sebagaimana diringkas oleh Tabel 4 di atas menunjukkan
dominasi rangkaian KTL-KL pada keseluruhan pemberitaan (62,5%). Hal ini menunjukkan upaya
Kompas untuk sedapat mungkin memberikan bukti otentik atas KTL yang ditampilkannya.
Bahkan nampak juga upaya untuk menyajikan suatu informasi langsung dari sang nara sumber
tanpa pengolahan kembali melalui KTL (9,5%). Namun, masih ada kecenderungan yang cukup
besar (15,45%) untuk menampilkan KTL tanpa mengajukan KL yang mendasarinya, atau KTL
yang disusul oleh KTL lainnya (12,5%). Kedua rangkaian ini menunjukkan upaya pelesapan
ungkapan langsung dari sang nara sumber, dan memaparkan pembaca pada informasi hasil olahan
sang reporter sendiri yang mungkin saja tidak selaras dengan makna ungkapan langsungnya.
DAFTAR PUSTAKA
Suroso .2003. Bahasa Jurnalistik sebagai Materi Pengajaran BIPA Tingkat Lanjut. Diambil 28
Desember 2003 dari http://www.ialf.edu/kipbipa/papers/Suroso.doc
Titscher, S., Meyer, M., Wodak, R., dan Vetter, E. 2000. Methods of Text and Discourse Analysis.
London: SAGE Publications.
Yazid, T.M.L. 2004. “Menuju Hukum Pers Masa Depan”. KOMPAS, hal 47.