Anda di halaman 1dari 17

Penyakit Kusta/ Lepra / Morbus Hansen

Mikroskopik kulit :
Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh, merupakan organ
terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh, pada orang
dewasa sekitar 2,7 3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit bervariasi
mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Kulit tipis terletak
pada kelopak mata, penis, labium minus dan kulit bagian medial lengan atas. Sedangkan kulit
tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki, punggung, bahu dan bokong. Secara
embriologis kulit berasal dari dua lapis yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis yang
merupakan lapisan epitel berasal dari ectoderm sedangkan lapisan dalam yang berasal dari
mesoderm adalah dermis atau korium yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat.
Secara garis besar kulit tersusun atas 3 lapisan utama yaitu :
1. Lapisan epidermis, terdiri atas :
Stratum korneum ( lapisan tanduk )
Merupakan lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa lapis sel-sel
gepeng yang mati, tidak berinti dan protoplasmanya telah berubah menjadi
keratin.
Stratum lucidum
Dibawah lapisan korneum, merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan
protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut eleidin.
Stratum granulosum ( lapisan keratohialin )
Merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan
terdapat diantaranya. Buti-butir kasar ini terdiri dari keratohialin.
Stratum spinosum
Terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk polygonal yang besarnya berbedabeda karena adanya proses mitosis. Protoplasmanya jernih karena banyak
mengandung glikogen dan inti terletak ditengah-tengah. Sel-sel ini makin ke
permukaan makin gepeng bentuknya. Diantara sel-sel spinosum terdapat sel
langerhans.
Stratum basale
Terdiri atas sel-sel berbentuk kubus yang tersuusn vertical pada perbatasan
dermo-epidermal berbaris seperti pagar. Lapisan ini merupakan lapisan epidermis
yang paling bawah. Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel yaitu :
- Sel-sel yang berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik inti lonjong
dan besar
- Sel pembentuk melanin ( melanosit ) yang merupakan sel berwarna muda
dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap dan mengandung butir pigmen.

2. Lapisan dermis, merupakan lapisan dibawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada
epidermis. Lapisan ini terdiri atas :
Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf
dan pembuluh darah.
Pars retikullare, bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya serabut
kolagen, elastin dan retikulin. Dasar lapisna ini terdiri atas cairan kental asam
hialuronat dan kondroitin sulfat, dibagian ini terdapat pula fibroblast.
3. Lapisan subkutis, merupakan kelanjutan dermis terdiri atas jaringan ikat longgar berisi
sel-sel lemak didalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak
ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Sel-sel ini membentuk kelompok yang
dipisahkan satu dengan yang lain oleh trabekula yang fibroblast. Vaskularisai kulit diatur
oleh 2 pleksus yaitu pleksus yang terletak bagian atas dermis ( pleksus superficialis ) dan
pleksus yang terletak disubkutis ( pleksus profunda ).

Adneksa kulit terdiri atas :


1. Kelenjar kulit terdapat di lapisan dermis, terdiri atas :
- Kelenjar keringat
Ada 2 macam kelenjar keringat, yaitu kelenjar ekrin yang kecil-kecil, terletak
dangkal didermis dengan secret yang encer dan kelenjar apokrin yang lebih
besar, terletak lebih dalam dan sekretnya lebih kental.
- Kelenjar palit ( glandula sabasea ), terletak diseluruh permukaan kulit manusia
kecuali pada telapak tangan dan kaki. Kelenjar palit disebut juga kelenjar
holokrin karena tidak berlumen dan secret kelenjar ini berasal dari
dekomposisi sel-sel kelenjar.
2. Kuku, adalah bagian terminal lapisan tanduk ( sratum korneum ) yang menebal.
3. Rambut, terdiri atas bagian yang terbenam dalam kulit ( akar rambut ) dan bagian yang
berada diluar kulit ( batang rambut). Ada 2 macam rambut yaitu rambut lanugo yang
merupakan rambut halus, tidka mengandung pigmen dan terdapat pada bayi dan rambut
terminal yaitu rambut yang lebih kasar dengan banyak pigmen, mempunyai medulla dan
terdapat pada orang dewasa.

MORBUS HANSEN / LEPRA / PENYAKIT KUSTA


Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan
kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut
Morbus Hansen.
Penyakit morbus Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi
dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari
luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, sarafsaraf, anggota gerak, dan mata. Cenderung menyebabkan cacat tangan dan kaki.
Etiologi
Kusta yang merupakan penyakit kronis ini disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
leprae (M.leprae). Kuman ini adalah kuman aerob, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 , lebar
0,2 0,5 , sifatnya tahan asam sehingga tidak mudah untuk diwarnai. M.leprae biasanya
berkelompok dan ada pula yang tersebar satu-satu. Kuman ini hidup dalam sel terutama jaringan
yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Masa belah diri kuman kusta
ini memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 12-21 hari.
Sehingga masa tunas pun menjadi lama, yaitu sekitar 25 tahun.
Kuman Kusta ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat menyerang
kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan
juga testis, kecuali susunan saraf pusat. Kusta yang merupakan penyakit menahun ini dalam
jangka panjang dapat menyebabkan anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya.

Klasifikasi kusta dan manifestasi klinis :


Kusta diklasifikasikan berdasarkan banyak faktor, hal tersebut bertujuan untuk mempermudah
cara penanganan dari penyakit kulit ini. Namun, pada umumnya Kusta terbagi menjadi dua,
yakni kusta pausibasilar (PB) atau kusta tipe kering dan kusta multibasilar (MB) atau kusta tipe
basah.
1. Kusta Pausibasilar (PB)
Tanda-tandanya:
Bercak putih seperti panu yang mati rasa, artinya bila bercak putih tersebut jika disentuh
dengan kapas, maka kulit tidak merasakan sentuhan tersebut.
Permukaan bercak kering dan kasar serta tidak berkeringat.
Batas (pinggir) bercak terlihat jelas dan sering ada bintil-bintil kecil.
Kusta tipe kering ini kurang/tidak menular, namun apabila tidak segera diobati akan
menyebabkan cacat. Umumnya, orang mengira bercak putih seperti tanda-tanda di atas adalah
panu biasa, sehingga pemeriksaan pun tidak segera dilakukan sebelum akhirnya orang tersebut
telah mengalami Kusta pada level lebih lanjut. Pengobatan kusta tipe PB ini cenderung lebih
sebentar daripada tipe basah.
2. Kusta Multibasilar (MB)
Tanda-Tandanya:
Bercak putih kemerahan yang tersebar satu-satu atau merata diseluruh kulit badan.
Terjadi penebalan dan pembengkakan pada bercak.
Pada permukaan bercak, sering ada rasa bila disentuh dengan kapas.
Pada permulaan tanda dari tipe kusta basah sering terdapat pada cuping telinga dan muka.
Kusta tipe basah ini dapat menular, maka bagi yang menderita penyakit tipe kusta tipe basah ini
harus berobat secara teratur sampai selesai seperti yang telah ditetapkan oleh dokter. Namun,
umumnya kendala yang dihadapi adalah pasien tidak mentaati resep dokter, sehingga selain
mereka tidak menjadi lebih baik, mereka pun akan resisten terhadap obat yang telah diberikan.
Untuk Kusta MB ini menular lewat kontak secara langsung dan lama.
Cacat Kusta
Menurut WHO (1980) batasan istilah dalam cacat Kusta adalah:
1. Impairment: segala kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi yang bersifat
psikologik, fisiologik, atau anatomik, misalnya leproma, ginekomastia, madarosis, claw hand,
ulkus, dan absorbsi jari.
2. Dissability: segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat impairment) untuk melakukan
kegiatan dalam batas-batas kehidupan yang normal bagi manusia. Dissability ini merupakan
objektivitas impairment, yaitu gangguan pada tingkat individu termasuk ketidakmampuan dalam
aktivitas sehari-hari, misalnya memegang benda atau memakai baju sendiri.
3. Handicap: kemunduran pada seorang individu (akibat impairment atau disability) yang
membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas normal yang bergantung pada umur, seks, dan
faktor sosial budaya. Handicap ini merupakan efek penyakit kusta yang berdampak sosial,
ekonomi, dan budaya.
4. Deformity: kelainan struktur anatomis

5. Dehabilitation: keadaan/proses pasien Kusta (handicap) kehilangan status sosial secara


progresif, terisolasi dari masyarakat, keluarga dan teman-temannya.
6. Destitution: dehabilitasi yang berlanjut dengan isolasi yang menyeluruh dari seluruh
masyarakat tanpa makanan atau perlindungan (shelter).
Cacat yang timbul pada penyakit Kusta dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu:
Kelompok pada cacat primer, ialah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh
aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap kuman Kusta.
Kelompok cacat sekunder, cacat sekunder ini terjadi akibat cacat primer, terutama akibat
adanya kerusakan saraf (sensorik, motorik, otonom). Kelumpuhan motorik menyebabkan
kontraktur sehingga dapat menimbulkan gangguan mengenggam atau berjalan, juga
memudahkan terjadinya luka. Kelumpuhan saraf otonom menyebabkan kulit kering dan
elastisitas berkurang. Akibatnya kulit mudah retakretak dan dapat terjadi infeksi
sekunder.
Klasifikasi kusta menurut Ridley dan Jopling:
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa, dapat berupa
makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi
atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat
menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang
biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan tanda
terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.
2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering disertai lesi
satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi,
kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT
dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.
3. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan jarang
dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif, permukaan lesi dapat
mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi
hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas.
4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar ke
seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi yang
hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah
sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out.
Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.
5. Tipe Lepromatous Leprosy
Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematus, berkilap,
berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi
lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan di
badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan ekstensor

tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal,
facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar limfe,
dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan saraf yang luas menyebabkan
gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer
mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan otot
tangan dan kaki.

Gejala klinis :
Keluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang dalam hal ini dapat
berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan, kelemahan otot-otot dan kulit
kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa
kelainan pada saraf tepi, kulit, rambut, otot, tulang, mata, dan testis.
Gejala kerusakan saraf pada nervus ulnaris adalah anestesia pada ujung jari anterior
kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan atrofi hipotenar dan otot
interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada N.medianus adalah anestesia pada ujung jari
bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari,
telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis
lateral. Pada N.radialis adalah anestesi dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk,
tangan gantung (wrist drop) dan tak mampu ekstensi jari jari atau pergelangan tangan. Pada N.
Poplitea lateralis adalah anestesi tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung
(foot drop) dan kelemahan otot peroneus. Pada N.tibialis posterior adalah anestesi telapak kaki,
claw toes dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. Pada N. Fasialis adalah cabang
temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus dan cabang bukal, mandibular serta servikal
menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir. Pada N.trigeminus
adalah anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia
pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan
oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau
seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian
bagian mata lainnya. Secara sendirian ataubersama sama akan menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat, kelenjar
palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatous
dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi
granuloma pada tubulus seminiferus testis. Kusta histioid, merupakan variasi lesi pada tipe
lepromatous yang titandai dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk nodus
yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul
sebagai kasus relapse sensitive atau relape resistent. Relapse sensitive terjadi, bila penyakit
kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi
oleh karena kuman yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tisak adekuat,
baik dosis maupun lama pemberiannya.

Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit, demam yang tidak begitu
tinggi, gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi, multiple small satellite skin makulopapular skin
lesion dan nyeri pada tekan saraf. Reaksi kusta tipe I dapat dibedakan atas reaksi ringan dan
berat.
Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis, gangguan konstitusi, dan komplikasi organ
tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat. Fenomena lucio
berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak teratur, dan nyeri. Lesi lebih berat
tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan ulserasi yang nyeri. Lesi lambat
sembuh dan terbentuk jaringan parut. Dari hasil histopatologi ditemukan nekrosis epidermal
iskemik, odem, proliferasi endothelial pembuluh darah dan banyak basil M.leprae di endotel
kapiler.
Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang nyeri tekann dan
meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan selama satua atau dua minggu tetapi
bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat terjadi demam, limfadenopati, dan athralgia.

Pathogenesis kusta
Pengaruh, M leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang,
kemampuan hidup M. leprae pada, suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta
sifat kuman yang avirulens dan nontoksis. M. leprae merupakan parasit obligat intraselular yang
terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel
Schwann di jaringan saraf. Bila kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan
bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit)
untuk memfagositnya.
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem-imunitas, dengan demikian makrofag tidak
mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang
kemudian dapat merusak jaringan.
Pada kusta tipe TT kemarnpuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag
sanggup
menghancurkan
kuman
Sayangnya
setelah sernua kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel
epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia
Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebinan dan masa
epiteloid
akan
menimbulkan
kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae, di samping itu sel
Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi,
bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan
beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang
progresif.

Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta


M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang
akan berikatan dengan sel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC
kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan
Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat
glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan
merangsang dia bekerja terus menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak
lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan
saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi.
Sel schwann merupakan APC non professional
Patogenesis reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang dianggap
sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe reaksi dari
kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering disebut reaksi
lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type Hipersensitivity
Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan berinteraksi dengan
limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler yang cepat. Hasil dari
reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction , dimana terjadi pergeseran ke
arah tuberkoloid ( peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada respon
terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah lepromatous ( penurunan
sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi.
Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoral tepatnya hipersensitivitas tipe III.
Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi pada
pasien LL. M. Lepraeakan berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun dan
mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun dan
merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel.

Pemeriksaan Pasien
Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit juga harus
diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan pemeriksaan dengan menggunakan alat
alat sederhana yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas untuk rasa raba, tabung reaksi masing
masing dengan air panas dan es, pensil tinta Gunawan (tanda Gunawan) untuk melihat ada
tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan sebagainya. Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi, yang kadang kadang dapat membantu, tetapi bagi
penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar untuk menentukannya.
Pemeriksaan Saraf Tepi
Untuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri atau tidak.
Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu N.fasialis, N.aurikularis magnus, N.radialis, N.
Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, N. Tibialis posterior. Pada pemeriksaan saraf tepi
dapat dibandingkan saraf bagian kiri dan kanan, adanya pembesaran atau tidak, pembesaran

reguler/irreguler, perabaan keras/kenyal, dan yang terakhir dapat dicari adanya nyeri atau tidak .
Pada tipe lepromatous biasanya kelainan sarafnya billateral dan menyeluruh sedangkan tipe
tuberkoloid terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. Untuk mendapat kesan saraf mana yang
mulai menebal atau sudah menebal dan saraf mana yang masih normal, diperlukan pengalaman
yang banyak.
Cara pemeriksaan saraf tepi
N. Aurukularis magnus
Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka saraf yang terlibat akan
terdorong oleh otot di bawahnya sehingga acapkali sudah bisa terlihat bila saraf membesar. Dua
jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf tersebut dengan arah otot. Bila ada
penebalan, maka pada perabaan secara seksama akan menemukan jaringan seperti kabel atau
kawat. Jangan lupa membandingkan antara yang kiri dan yang kanan.
N. Ulnaris
Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan di atas satu tangan
pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan di bawah siku (sulkus nervi ulnaris) dan
merasakan, apakah ada penebalan atau tidak. Perlu dibandingkan antara yang kanan dan yang
kiri untuk melihat adanya perbeedaan atau tidak .
N. Paroneus lateralis
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari capitulum fibulae,
biasanya sedikit ke posterior
Tes Fungsi Saraf
a. Tes Sensoris
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
-. Rasa Raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa perasaan rangsang raba
dengan menyinggungkannya pada kulit. Pasien yang diperiksa harus duduk pada waktu
dilakukan pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa
disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disinggung dengan
jari telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia
diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong kain. Selain diperiksa
pada lesi di kulit sebaiknya juga diperiksa pada kulit yang sehat. Bercak pada kulit harus
diperiksa pada bagian tengahnya.
-. Rasa Nyeri
Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang tajam dan
dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus mengatakantusukan mana yang tajam
dan mana yang tumpul.
-. Rasa Suhu
Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air panas (sebaiknya 400C),
yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 200C). Mata pasien ditutup atau menoleh ke tempat
lain, lalu bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai.
Sebelumnya dilakukan kontrol pada kulit yang sehat. Bila pada daerah tersebut pasien salah
menyebutkan sensasi suhu, maka dapat disebutkan sensasi suhu di daerah tersebut terganggu.

b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta, pemeriksaan
lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis.
Tes dengan pensil tinta
Pensil tinta digariskan mulai dari bagian tengah lesi yang dicurigai terus sampai ke daerah kulit
normal.
Tes pilokarpin
Daerah kulit pada makula dan perbatasannya disuntik dengan pilokarpin subkutan. Setelah
beberapa menit tampak daerah kulit normal berkeringat, sedangkan daerah lesi tetap kering.
c. Tes Motoris (Voluntary muscle test)
Cara memeriksa:
Mula-mula periksa gerakan dari motorik yang akan diperiksa:
-. Periksa fungsi saraf ulnaris dengan merapatkan jari kelingking pasien. Peganglah jari
telunjuk, jari tengah, dan jari manis pasien, lalu mintalah pasien untuk merapatkan jari
kelingkingnya. Jika pasien dapat merapatkan jari kelingkingnya, taruhlah kertas diantara jari
kelingking dan jari manis, mintalah pasien untuk menahan kertas tersebut. Bila pasien mampu
menahan coba tarik kertas tersebut perlahan untuk mengetahui ketahanan ototnya.
-. Periksa fungsi saraf medianus dengan meluruskan ibu jari ke atas. Minta pasien mengangkat
ibu jarinya ke atas. Perhatikan ibu jari apakah benar-benar bergerak ke atas dan jempolnya lurus.
Jika pasien dapat melakukannya, kemudian tekan atau dorong ibu jari pada bagian telapaknya.
-. Periksa fungsi saraf radialis dengan meminta pasien untuk menggerakkna pergelangan tangan
ke belakang. Uji kekuatan otot dengan mencoba menahan gerakan tersebut.
-. Periksa fungsi saraf peroneus communis dengan meminta pasien melakukan gerakan fleksi
pada pergelangan kaki dan minta juga pasien untuk melakukan gerakan ke lateral, lalu nilai
kekuatan ototnya dengan mencoba untuk menahan gerakan tersebut.
Pemeriksaan Bakterioskopis
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa
hidung yang diwarnai denganpewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. Pertama tama harus
ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu
menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin
sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang
paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa
mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena pengalaman, pada cuping
telinga didapati banyak M.leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan
dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA
dalam 100 lapangan pandang (LP).
o + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP
o +Bila 1 10 BTA dalam 10 LP
o +Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
o +Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP
o +Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP

o +Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP


Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan non
solid.
IM= Jumlah solidx 100 %
Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak
perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai
10.000lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.
Pemeriksaan Histopatologis
gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih
nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi
subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang
jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline
terdapat campuran unsur unsur tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae
sebagai tempat berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Pemeriksaan Serologis
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis serologis merupakan
alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick.
Pemeriksaan Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk
diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M.leprae. O,1 ml
lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca
setelah 48 jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 4 minggu ( reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez
positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap
M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test ( PPD) pada tuberkolosis.
Reaksi Mitsuda bernilai :
0 Papul berdiameter 3 mm atau kurang
+ 1 Papul berdiameter 4 6 mm
+ 2Papul berdiameter 7 10 mm
+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi

Diagnosis kusta
Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena memberikan gejala yang
hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan
tanda kardinal (cardinal sign), yaitu:
1.Bercak kulit yang mati rasa
Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat tubuh yang lain,maka
akan didapatkan bercak hipopigmentasi atau eritematus, mendatar (makula) atau meninggi
(plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan
rasa nyeri.
2.Penebalan saraf tepi
Dapat disertairasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa gangguan fungsi saraf
yang terkena, yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris: hipostesi atau anestesi
b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang terganggu.
3.Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit, cuping telinga, dan lesi kulit pada bagian yang
aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf. Untuk menegakkan diagnosis
penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat
ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan
diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.
Diagnosis Banding kusta
Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo, Ptiriasis versikolor,Ptiriasis
alba, Tinea korporis , dll. Pada lesi papul, Granuloma annulare, lichen planus dll. Pada lesi plak,
Tinea korporis, Ptiriasis rosea, psoriasis dll. Pada lesi nodul, Acne vulgaris, neurofibromatosis
dll. Pada lesi saraf, Amyloidosis, diabetes, trachoma dll.
- Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang mengandung sel
melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan makula
putih yang dapat meluas.
- Ptiriasis versikolor,disebabkan oleh Malaize furfur. Gejala klinis Ptiriasis versikolor,
kelainannya sangat superfisialis, bercak berwarna warni, bentuk tidak teratur sampai
teratur, batas jelas sampai difus, fluoresensi dengan menggunakan lampu wood akan
berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi jarang, dan gatal ringan. Secara
mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and meat ball).
- Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin) .Gejala
klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama, kadang papul dan vesikel di
pinggir, daerah lebih terang, terkadang erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya
bercak bercak terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center healing.
- Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul papul yang mempunyai warna dan
konfigurasi yang khas. Papul papul berwarna merah, biru, berskuama, dan berbentuk
siku siku. Lokasinya diekstremitas bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin.
Rasanya sangat gatal, umumnya membaik 1 2 tahun.

Psoriasis, Ditandai Dengan adanya bercak bercak eritema berbatas tegas dengan
skuama kasar, berlapis lapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz,
Koebner.
Akne Vulgaris, penyakit peradangan menahun folikel pilosebaseayang umumnya pada
remaja dan dapat sembuh sendiri. Gejala klinisnya adalah sering polimorf yang terdiri
dari berbagai kelainan kulit, berupa komedo, papul, pustul, nodus dan jaringan parut
akibat aktif tersebut, baik jaringan parut yang hipotropik maupun yang hipertopik.

Pengobatan kusta
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden
penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk
mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita.
Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau
menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari
paraaminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh
bakteri. Efek samping dari dapson adalah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea,muntah,
sakit kepala, dan vertigo. Dosis tunggal (sampai 6 bulan): 50 100 mg/ hari utk dewasa dan 2
mg/ kgBB untuk anak-anak
Lamprene atauClofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta.
Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase.Efek
sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu kehitaman,warna kulit akan kembali
normal bila obat tersebut dihentikan, diare, nyeri lambung. Dosis: 50 mg/ hari atau 100 mg/ 3x
seminggu (1 mg/ kgBB sehari). Dosis 300 mg/ bulan utk cegah reaksi lepra
Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan cara
menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada subunit
beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik. Dosis: 600 mg/ hari (5 15 mg/
kgBB/hari). Dosis 900 1200 mg/ minggu flu like syndrome. Dosis 600 atau 1200/ bulan
efek & toleransi baik
Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus untuk
penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn kekeringan kulit dan
bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita kusta tipe PB I.
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= multi drug treatment.Kegunaan MDT
untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan
penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan
dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
PB dengan lesi 2 5.Lama pengobatan dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9) bulan.
Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti minum obat.

Dewasa
Anak-anak (10-14 th)

Rifampicin
600 mg/bulan
Diminum di depan
petugas kesehatan
450 mg/bulan
Diminum di depan
petugas kesehatan

Dapson
100 mg/hr diminum di
rumah
50 mg/hari diminum di
rumah

MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah
selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti
minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun
dan tipe MB selama 5 tahun.
Rifampisin
Dapson
Lamprene
Dewasa
600 mg/bulan
100 mg/hari diminum 300 mg/bulan
diminum di depan
di rumah
diminum di depan
petugas kesehatan
petugas kesehatan
dilanjutkan dgn 50
mg/hari diminum di
rumah
Anak-anak (10-14 th) 450 mg/bulan
50 mg/hari diminum
150 mg/bulan
diminum di depan
di rumah
diminum di depan
petugas
petugas kesehatan
dilanjutkan dg 50 mg
selang sehari diminum
di rumah
OBAT KUSTA BARU
OFLOKSASIN
Merupakan obat turunan fluorokuinolon yang paling efektif thd M.leprae. Kerja melalui
hambatan thdp enzim girase DNA mikobakterium
Dosis percobaan: 400 mg/ hari selama 1 bulan
MINOSIKLIN
Merupakan turunan tetrasiklin yang aktif thdp M.lepra karena sifat lipofiliknya mampu
menembus dinding sel kuman. Cara kerjanya menghambat sintesis protein. Obat ini dapat
menembus kulit dan mencapai jaringan saraf yang mengandung banyak kuman
Dosis uji klinis: 100 mg/ hari selama 2 bulan

KLARITROMISIN

Merupakan obat golongan makrolid (spt eritromisin & roksitromisin) Mempunyai efek
bakterisidal setara dengan ofloksasin & minosiklin ada mencit Bekerja dengan menghambat
sintesis protein
Dosis uji klinis: 500 mg/ hari
Pengobatan reaksi kusta.
Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul kecacatan berupa
kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot , claw toes , dan kontraktur. Untuk
mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan Prinsip pengobatan Reaksi Kusta
yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi,
MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah. Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat
jalan, pemberian analgetik dan obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150
mg 31 selama 3-5 hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan sedative,
MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti reaksi dan
pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti reaksi,Aspirin dengan
dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari,
Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara selang-seling
dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena toksik. Thalidomide
juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik ).Dosis 400 mg/hari kemudian diturunkan
sampai mencapai 50 mg/hari. Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau
sedang.Digunakan prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari
lebih baik walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan
(taperingoff) setelah terjadi respon maksimal.
Pengobatan Kusta Untuk Situasi Khusus
Jika MDT-WHO tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO expert committe pada
tahun 1997 mempunyai regimen untuk situasi khusus, yaitu:
a.Penderita tidak dapat diobati dengan rifampisin
Penyebabnya mungkin alergi, gangguan pada fungsi hepar, ada penyakit penyerta atau
resisten terhadap obat ini. Regimen untuk penderita ini, adalah:
6 Bulan Klofazimin, ( 50 mg/hari), Ofloksasin ( 400 mg/hari), Minosiklin (100 mg/hari)
Diikuti dengan 18 bulan Klofazimin dengan Ofloksasin 50 mg/hari atau Minosiklin 400 mg/hari
100 mg/hari
b.Penderita yang menolak kofazimin
Biasanya penderita menolak obat ini karena adanya pewarnaan kulit. Untuk itu
klofazimin pada MDT_MB dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan atau
minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan.
Pada tahun 1997, WHO Expert of Committe on Leprosy merekomendasikan juga regimen MDTMB alternatis selama 24 bulan:
-. Rifampisin 600 mg/bulan selama 24 bulan,
-. Ofloksasin 400 mg/bulan selama 24 bulan, dan
-. Minosiklin 100 mg/bulan selama 24 bulan

c.Penderita yang tidak dapat diobati dengan DDS


Bila DDS menyebabkan terjadinya efek samping berat pada penderita PB maupun
MB, obat ini harus dihentikan.
Regimen pengganti DDS berikut diberikan selama 6 bulan dengan cara:
Rifampisin
Klofazimin
Dewasa
600 mg/bln
50 mg/hari dan 300 mg/bulan
Anak-anak
450 mg/bln
50 mg/hari dan 150 mg/bulan

Komplikasi kusta
Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksi kronik
sekunderdapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas bagian distal. Juga sering
terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien lepromatosus
difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya adalah vaskulitis nekrotikus
dan menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos sekunder merupakan penyulit pada
penyakit leprosa berat terutama ENL kronik.
Prognosis kusta
Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah manajemen
dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki. Ini membutuhkan tenaga
ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis, oftalmologis, physical medicine, dan
rehabilitasi. Yang tidak umum adalah secondary amyloidosis dengan gagal ginjal dapat mejadi
komplikasi.
Pencegahan Cacat Pada Kusta
Pencegahan cacat Kusta jauh lebih baik dan lebih ekonomis daripada
penanggulangannya. Pencegahan ini harus dilakukan sedini mungkin, baik oleh petugas
kesehatan maupun oleh pasien itu sendiri dan keluarganya. Di samping itu perlu mengubah
pandangan yang salah dari masyarakat, antara lain bahwa Kusta identik dengan deformitas atau
disability.
Upaya pencegahan cacat terdiri atas:
1. Untuk Upaya pencegahan cacat primer, meliputi:
diagnosis dini
pengobatan secara teratur dan akurat
diagnosis dini dan penatalaksanaan reaksi
2. Upaya pencegahan sekunder, meliputi:
Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka
Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya
kontraktur

Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat
tekanan yang berlebihan
Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi, sehingga pada proses penyembuhan
tidak terlalu banyak jaringan yang hilang
Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan otot.

Prinsip yang penting pada perawatan sendiri untuk pencegahan cacat kusta adalah:
o pasien mengerti bahwa daerah yang mati rasa merupakan tempat risiko terjadinya luka
o pasien harus melindungi tempat risiko tersebut (dengan kaca mata, sarungtangan, sepatu,
dll)
o pasien mengetahui penyebab luka (panas, tekanan, benda tajam dan kasar)
o pasien dapat melakukan perawatan kulit (merendam, menggosok,melumasi) dan melatih
sendi bila mulai kaku
o penyembuhan luka dapat dilakukan oleh pasien sendiri dengan membersihkan luka,
mengurangi tekanan pada luka dengan cara istirahat

Anda mungkin juga menyukai