BLU Mini
BLU Mini
Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut BLU, adalah instansi di lingkungan Pemerintah
yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan
kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut PPK-BLU, adalah
pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan
praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Rencana Bisnis dan Anggaran BLU, yang selanjutnya disebut RBA, adalah dokumen
perencanaan bisnis dan penganggaran yang berisi program, kegiatan, target kinerja, dan anggaran
suatu BLU.
Standar Pelayanan Minimum adalah spesifikasi teknis tentang tolok ukur layanan minimum yang
diberikan oleh BLU kepada masyarakat.
Praktek bisnis yang sehat adalah penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah-kaidah
manajemen yang baik dalam rangka pemberian layanan yang bermutu dan berkesinambungan.
TUJUAN DAN ASAS
BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas
dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan
praktek bisnis yang sehat.
Adapun asas-asas dalam BLU adalah
(1) BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah untuk
tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang
didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan.
(2) BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan kementerian
negara/lembaga/pemerintah daerah dan karenanya status hukum BLU tidak terpisah dari
kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah sebagai instansi induk.
(3) Menteri/pimpinan lembara/gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab atas pelaksanaan
kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang didelegasikannya kepada BLU dari segi
manfaat layanan yang dihasilkan.
(4) Pejabat yang ditunjuk mengelola BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan
pemberian layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/ walikota.
(5)
(6) Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLU disusun dan
disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan
keuangan dan kinerja kementerian negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah.
(7)
BLU mengelola penyelenggaraan layanan umum sejalan dengan praktek bisnis yang sehat.
c.
d.
e.
f.
laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.
berubah statusnya menjadi badan hukum dengan kekayaan negara yang dipisahkan.
Pencabutan penerapan PPK-BLU dilakukan apabila BLU yang bersangkutan sudah tidak
memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan/atau administratif.
Pencabutan status dilakukan berdasarkan penetapan ketentuan peraturan perundang-undangan,
yaitu:
1. Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, membuat
penetapan pencabutan penerapan PPK-BLU atau penolakannya paling lambat 3 (tiga)
bulan sejak tanggal usul diterima. Dalam hal jangka waktu 3 (tiga) bulan terlampaui, usul
pencabutan dianggap ditolak.
2. Instansi pemerintah yang pernah dicabut dari status PPK-BLU dapat diusulkan kembali
untuk menerapkan PPK-BLU sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 PP No.23 Tahun
2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.
3. Dalam rangka menilai usulan penetapan dan pencabutan, Menteri Keuangan/gubernur/
bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, menunjuk suatu tim penilai.
STANDAR DAN TARIF LAYANAN
1. Instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU menggunakan standar pelayanan minimum
yang ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/ gubernur/ bupati/ walikota sesuai dengan
kewenangannya.
2. Standar pelayanan minimum tersebut dapat diusulkan oleh instansi pemerintah yang
menerapkan PPK-BLU.
3. Standar pelayanan minimum harus mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan
kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan.
Dalam hal tarif layanan, maka BLU:
1. BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan
yang diberikan.
2. Imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun
atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana.
3. Tarif layanan diusulkan oleh BLU kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai
dengan kewenangannya.
4. Usul tarif layanan dari menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD selanjutnya ditetapkan oleh
Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya.
5. Tarif layanan harus mempertimbangkan:
3. RBA BLU yang telah disetujui oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD diajukan
kepada Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, sebagai bagian RKA-KL,
rencana kerja dan anggaran SKPD, atau Rancangan APBD.
4. Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, mengkaji kembali standar biaya
dan anggaran BLU dalam rangka pemrosesan RKA-KL, rencana kerja dan anggaran SKPD, atau
Rancangan APBD sebagai bagian dari mekanisme pengajuan dan penetapan APBN/APBD.
5. BLU menggunakan APBN/APBD yang telah ditetapkan sebagai dasar penyesuaian terhadap
RBA menjadi RBA definitif.
PENETAPAN RENCANA BISNIS DAN ANGGARAN
1. Pengkajian kembali RBA dilakukanvoleh Direktorat Jenderal Anggaran.
2. Pengkajian kembali RBA tersebut terutama mencakup standar biaya dan anggaran BLU,
kinerja keuangan BLU, serta besaran persentase ambang batas.
3. Adapun besaran persentase ambang batas ditentukan dengan mempertimbangkan
fluktuasi kegiatan operasional BLU.
4. Pengkajian dilakukan dalam rapat pembahasan bersama antara Direktorat Jenderal
Anggaran dengan unit yang berwenang pada kementerian/lembaga serta BLU yang
bersangkutan.
5. Hasil kajian atas RBA menjadi dasar dalam rangka pemrosesan RKA-KL sebagai bagian
dari mekanisme pengajuan dan penetapan APBN.
6. Setelah APBN ditetapkan, pimpinan BLU melakukan penyesuaian atas RBA menjadi
RBA definitif.
3. DIPA BLU disampaikan oleh menteri/ pimpinan lembaga kepada Menteri Keuangan c.q.
Direktur Jenderal Perbendaharaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4. Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan mengesahkan DIPA BLU
selambat-lambatnya tanggal 31 Desember dengan menerbitkan Surat Pengesahan DIPA
BLU (SP-DIPA BLU).
5. Format DIPA BLU diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.
PENARIKAN DAN PENGGUNAAN DANA
Dalam pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan nomor 66/PMK.02/2006, disebutkan mengenai
penarikan dana BLU, sebagai berikut:
1. DIPA BLU yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal
Perbedaharaan menjadi dasar bagi penarikan dana yang bersumber dari APBN.
2. Berdasarkan DIPA BLU yang telah disahkan tersebut pimpinan BLU selaku kuasa
pengguna anggaran mengajukan Surat Perintah Membayar Langsung (SPM-LS) kepada
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) untuk:
1. belanja pegawai dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
2. belanja barang dilaksanakan setiap triwulan sebesar selisih (mismatch) antara
jumlah kas yang tersedia ditambah proyeksi arus kas masuk dikurangi proyeksi
arus kas keluar;
3. belanja modal dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3. Berdasarkan SPM-LS tersebut, KPPN menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana
(SP2D) sesuai ketentuan yang berlaku.
Adapun untuk pendapatan yang diperoleh dari jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat,
hibah tidak terikat, serta hasil kerja sama BLU dengan pihak lain dan/atau hasil usaha lainnya
dapat dikelola langsung untuk membiayai belanja operasional BLU sesuai dengan RBA definitif.
Sedangkan hibah terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain harus diperlakukan
sesuai dengan peruntukannya. (pasal 7 PMK nomor 66/PMK.02/2006).
Dalam rangka pertanggungjawaban penggunaan dana yang bersumber dari pendapatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 PMK nomor 66/PMK.02/2006, setiap triwulan BLU
membuat SPM Pengesahan dan disampaikan kepada KPPN selambat-lambatnya tanggal 10
bulan berikutnya dengan dilampiri Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja disertai kuitansi
pengeluaran kumulatif yang ditandatangani oleh pimpinan BLU.
Berdasarkan SPM Pengesahan tersebut, KPPN menerbitkan SP2D Pengesahan sebagai dasar
realisasi penggunaan dana yang bersumber dari pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan dan pertanggungjawaban penggunaan
dana DIPA BLU diatur oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.
PERUBAHAN/REVISI TERHADAP RENCANA BISNIS DAN ANGGARAN
Perubahan/revisi terhadap RBA definitif dan DIPA dilakukan apabila:
1. terdapat penambahan atau pengurangan pagu anggaran yang berasal dari APBN; dan/
atau
2. belanja BLU melampaui ambang batas fleksibilitas.
PELAPORAN
Dalam hal pelaporan keuangan, maka:
1. Setiap triwulan BLU wajib membuat laporan keuangan yang terdiri dari laporan realisasi
anggaran/laporan operasional, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan
disertai laporan kinerja. Laporan tersebut disampaikan kepada Menteri/ Pimpinan
Lembaga dan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan, paling
lambat 15 (lima belas) hari setelah periode pelaporan berakhir.
2. Setiap semesteran dan tahunan BLU wajib membuat laporan keuangan secara lengkap
yang terdiri dari laporan realisasi anggaran/laporan operasional, neraca, laporan arus kas,
dan catatan atas laporan keuangan, disertai laporan kinerja. Laporan tersebut disampaikan
kepada Menteri/ Pimpinan Lembaga untuk dikonsolidasikan ke dalam laporan keuangan
Kementerian/Lembaga paling lambat 1 (satu) bulan setelah periode pelaporan berakhir.
Kemudian Menteri/Pimpinan Lembaga menyampaikan laporan kepada Menteri Keuangan c.q.
Direktur Jenderal Perbendaharaan yang dilampiri dengan laporan keuangan dan laporan kinerja
BLU paling lambat 2 (dua) bulan setelah periode pelaporan berakhir.
Pemanfaatan utang yang berasal dari perikatan peminjaman jangka pendek ditujukan hanya
untuk belanja operasional.
Pemanfaatan utang yang berasal dari perikatan peminjaman jangka panjang ditujukan hanya
untuk belanja modal.
Perikatan peminjaman dilakukan oleh pejabat yang berwenang secara berjenjang berdasarkan
nilai pinjaman. Sedangkan kewenangan peminjamannya diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan/gubernur/bupati/walikota.
Pembayaran kembali utang tersebut merupakan tanggung jawab BLU. Namun hak tagih atas
utang BLU menjadi kadaluarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali
ditetapkan lain oleh undang-undang. Adapun jatuh tempo dihitung sejak 1 Januari tahun
berikutnya.
Dana/kas yang dimiliki suatu badan pemerintahan yang menggunakan sistem BLU dalam
pengelolaan keuangannya tidak dapat melakukan investasi jangka panjang, kecuali atas
persetujuan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Segala
keuntungan yang diperoleh dari pelaksanaan investasi jangka panjang merupakan pendapatan
BLU, sehingga diperuntukkan sesuai tujuan dibentuknya sistem pengelolaan keuangan BLU
yaitu untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat umum. Investasi jangka panjang yang
dimaksud antara lain:
1. Penyertaan modal;
2. Obligasi jangka panjang; dan
3. Investasi langsung (pembentukan perusahaan) atas nama Menteri Keuangan.
Pengelolaan kas BLU dapat pula dilakukan investasi jangka pendek, yang ketentuannya sama
seperti pengelolaan investasi jangka pendek pada umumnya. Hal ini dikarenakan badan/instansi
pemerintahan yang menyelenggarakan sistem BLU sebagai asas pengelolaan keuangannya
diperkenankan untuk memanfaatkan kas yang menganggur (idle cash) jangka pendek untuk
memperoleh pendapatan tambahan. Dengan demikian kas yang dimiliki oleh badan/instansi
pemerintahan yang telah menerapkan sistem BLU dapat berkembang jumlahnya sehingga
dengan jumlah kas yang bertambah diharapkan terjadi peningkatan layanan yang lebih baik
keadaan masyarakat umum.
informasi tentang kemampuan BLU untuk memperoleh sumber daya ekonomi berikut
beban yang terjadi selama suatu periode;
informasi tentang pelaksanaan anggaran secara akurat dan tepat waktu; dan informasi
tentang ketaatan pada peraturan perundang-undangan.
Sistem akuntansi keuangan BLU memiliki karakteristik antara lain sebagai berikut:
basis akuntansi yang digunakan pengelolaan keuangan BLU adalah basis akrual;
sistem akuntansi BLU disusun dengan berpedoman pada prinsip pengendalian intern
sesuai praktek bisnis yang sehat.
Dalam rangka pengintegrasian Laporan Keuangan BLU dengan Laporan Keuangan kementerian
negara/lembaga, BLU mengembangkan sub sistem akuntansi keuangan yang menghasilkan
Laporan Keuangan sesuai dengan SAP.
BLU mengembangkan dan menerapkan sistem akuntansi keuangan sesuai dengan jenis layanan
BLU dengan mengacu kepada standar akuntansi paling sedikit mencakup kebijakan akuntansi,
prosedur akuntansi, subsistem akuntansi, dan bagan akun standar
1. Sistem Akuntansi Aset Tetap
Sistem akuntansi aset tetap, yang menghasilkan laporan aset tetap untuk
manajemen aset tetap yang paling sedikit mampu menghasilkan:
keperluan
informasi tentang jenis, kuantitas, nilai, mutasi, dan kondisi aset tetap milik BLU; dan
informasi tentang jenis, kuantitas, nilai, mutasi, dan kondisi aset tetap bukan milik BLU
namun berada dalam pengelolaan BLU.
Dalam pelaksanaan sistem akuntansi aset tetap, BLU dapat menggunakan sistem akuntansi
barang milik negara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
1. Sistem Akuntansi Biaya
Sistem akuntansi biaya, yang menghasilkan informasi biaya satuan (unit cost) per unit layanan,
pertanggungjawaban kinerja ataupun informasi lain untuk kepentingan manajerial yang paling
sedikit mampu menghasilkan:
informasi tentang biaya satuan (unit cost) per unit layanan; dan
informasi tentang analisis varian (perbedaan antara biaya standar dan biaya
sesungguhnya).
1. BLU dapat mengembangkan sistem akuntansi lain yang berguna untuk kepentingan
manajerial yang ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga.
Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 66/PMK.02/2006, bahwa
setiap triwulan BLU wajib membuat laporan keuangan yang terdiri dari laporan realisasi
anggaran/laporan operasional, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan disertai
laporan kinerja yang disampaikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan kepada Menteri
Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan, paling lambat 15 (lima belas) hari setelah
periode pelaporan berakhir.
Selain itu, setiap semesteran dan tahunan BLU wajib membuat laporan keuangan secara lengkap
yang terdiri dari laporan realisasi anggaran/laporan operasional, neraca, laporan arus kas, dan
catatan atas laporan keuangan, disertai laporan kinerja yang disampaikan kepada
Menteri/Pimpinan Lembaga untuk dikonsolidasikan ke dalam laporan keuangan
Kementerian/Lembaga paling lambat 1 (satu) bulan setelah periode pelaporan berakhir dan
kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan yang dilampiri dengan laporan
keuangan dan laporan kinerja BLU paling lambat 2 (dua) bulan setelah periode pelaporan
berakhir.
(1) Defisit anggaran BLU dapat diajukan pembiayaannya dalam tahun anggaran berikutnya.
kepada Menteri Keuangan/PPKD melalui menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD, sesuai
dengan kewenangannya.
(2) Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya dapat mengajukan anggaran untuk
menutup defisit pelaksanaan anggaran BLU dalam APBN/APBD tahun anggaran berikutnya.
Namun dalam BLU sendiri terdapat beberapa masalah yang sebenarnya menunjukkan
ketidakkonsistenan pemerintah dalam membuat peraturan perundangan yang ditakutkan pada
kemudian hari akan menimbulkan masalah. Masalah-masalah ini dikhawatirkan dapat
mengganggu proses kerja BLU secara meyeluruh, sehingga tujuan-tujuan awal BLU yang
ditetapkan dikhawatirkan tidak tercapai.
Dalam pasal 29 PP 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Badan Layanan Umum disebutkan bahwa
Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali atas perintah
Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, disetorkan
sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Negara/Daerah dengan mempertimbangkan posisi
likuiditas BLU. Surplus anggaran BLU yang dimaksud disini adalah selisih lebih antara
pendapatan dengan belanja BLU yang dihitung berdasarkan laporan keuangan operasional
berbasis akrual pada suatu periode anggaran. Surplus tersebut diestimasikan dalam RBA tahun
anggaran berikut untuk disetujui penggunaannya.
Padahal sesuai dengan pasal 3 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, disebutkan
bahwa Surplus penerimaan/negara dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran
negara/daerah tahun anggaran berikutnya. Selanjutnya pada ayat berikutnya dijelaskan
Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) untuk
membentuk dana cadangan atau penyertaan Perusahaan Negara/Daerah harus memperoleh
persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD. Berdasarkan ketentuan ini dapat diketahui bahwa
kaidah perlakuan surplus adalah dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
Peruntukan lain terhadap surplus anggaran ini harus memperoleh persetujuan DPR/DPRD.
Perbandingan kedua aturan yang mengatur surplus anggaran ini menunjukkan bahwa BLU
memiliki daya tawar keuangan yang lebih tinggi dibandingkan Perusahaan Negara/Daerah.
Solusi untuk masalah ini sebenarnya agak susah karena ada dua hal yang bisa diajukan sebagai
argumen dalam mempertahankan pendapat mengenai aturan mana yang harus dipakai. Argumen
tersebut adalah:
1. Menurut pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan aturan yang seharusnya dipakai adalah aturan mengenai surplus yang ada di
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Hal ini disebabkan karena peraturan
yang berada lebih rendah dalam hirarki tidak boleh bertentangan dengan peraturan
hukum yang lebih tinggi.
2. Akan tetapi, mengingat adanya asas lex specialis derogat lex generalis dimana apabila
ada aturan yang lebih khusus, maka aturan tersebut mengesampingkan aturan yang
bersifat umum, maka aturan mengenai surplus yang harus dipakai adalah aturan khusus
yang mengatur tentang BLU yaitu PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Badan
Layanan Umum.
Sebenarnya permasalahan seperti di atas tidak perlu terjadi apabila pembuat-pembuat keputusan
lebih banyak melakukan pencarian referensi dalam menyusun peraturan, sehingga di kemudian
hari tidak diharapkan terjadi lagi pertentangan seperti ini. Pertentangan seperti ini tentu akan
merugikan bagi level-level pelaksana peraturan dikarenakan adanya kebingungan dalam memilih
aturan mana yang harus dipakai.