Anda di halaman 1dari 32

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................2


BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................6
A.. Definisi ..............................................................................................6
B...Reproduksi Virus................................................................................8
C...Epidemiologi .....................................................................................9
D.. Penularan ...........................................................................................11
E...Gejala klinis .......................................................................................18
F.. .Diagnosa ............................................................................................21
G.. Pemeriksaan penunjang .....................................................................22
H.. Pengobatan .........................................................................................23
I....Pencegahan ........................................................................................27
BAB III PENUTUP .......................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................31

BAB I
PENDAHULUAN
Berbagai penyakit menular pada manusia yang bersumber dari hewan
telah banyak mewabah di dunia. Istilah zoonosis telah dikenal untuk
menggambarkan suatu kejadian penyakit infeksi pada manusia yang ditularkan
dari hewan vertebrata. Hal inilah yang dewasa ini menjadi sorotan publik dan
menjadi objek berbagai studi untuk mengkaji segala aspek yang berkaitan
dengan wabah tersebut yang diharapkan nantinya akan diperoleh suatu sistem
terpadu untuk pemberantasan dan penanggulangannya. Kemunculan dari suatu
penyakit zoonosis tidak dapat diprediksi dan dapat membawa dampak yang
menakutkan bagi dunia, terutama bagi komunitas yang bergerak di bidang
kesehatan masyarakat dan veteriner.
Pada negara yang berkembang seperti Indonesia, zoonosis belum
mendapatkan perhatian yang cukup baik pemerintahnya maupun rakyatnya.
Bukti konkritnya adalah kasus emerging zoonosis Avian Influenza di Indonesia
dimana sejak Agustus 2003, sebanyak 4,7 juta ayam mati akibat wabah ini.
Sejumlah 62 orang positif terinfeksi AI dan 47 orang diantaranya meninggal
dunia. Di samping itu, masih banyak kasus-kasus zoonosis lainnya yang
mewabah di Indonesia seperti antraks dan rabies. Kesuksesan penanggulangan
penyakit zoonosis di negara lain menjadi tantangan bagi Indonesia untuk keluar
dari kungkungan penyakit zoonosis.
Kemunculan kasus-kasus penyakit zoonosis membuka suatu pemahaman
baru dari lembaga kesehatan hewan sedunia atau OIE (Office Internationale
des Epizootes) mengenai musuh dunia. OIE berpendapat bahwa dewasa ini,
musuh dunia bukan lagi perang dunia, bom nuklir ataupun serangan teroris,
melainkan alam itu sendiri.

Kemunculan yang tak terduga dari suatu penyakit zoonosis juga


memunculkan istilah emerging zoonosis. Istilah ini dapat didefinisikan secara
luas sebagai suatu kejadian penyakit zoonosis dengan:
1. Agen penyakit yang telah dikenal dan muncul pada area geografik
yang berbeda
2. Agen penyakit yang telah dikenal atau kerabat dekatnya dan
menyerang hewan yang sebelumnya tidak rentan
3. Agen penyakit yang belum dikenal sebelumnya dan terdeteksi untuk
pertama kalinya.
Sedangkan re-emerging zoonosis adalah suatu penyakit zoonosis yang
pernah mewabah dan sudah mengalami penurunan intensitas kejadian namun
mulai menunjukkan peningkatan kembali.
Setiap era sejarah kehidupan manusia selalu disertai kemunculan dari
suatu penyakit yang baru. Perubahan sosial dan ekologi yang berkaitan dengan
penyebaran populasi manusia, perubahan lingkungan dan globalisasi dapat
berimplikasi pada kemunculan suatu penyakit zoonosis. Peningkatan populasi
manusia dan globalisasi menyebabkan perpindahan manusia dari satu benua ke
benua lainnya.
Seiring dengan peningkatan populasi manusia dan globalisasi tersebut
maka juga akan terjadi perpindahan hewan antar wilayah, bahkan benua,
melalui perusakan habitat, perdagangan, permintaan pribadi dan kepentingan
teknologi, dimana mikroorganisme, termasuk mikroorganisme patogen, juga
mengalami perpindahan ke daerah yang baru. Pada dasarnya, penyakit yang
ada di dunia juga mengalami perkembangan yang sejalan dengan
perkembangan dunia yang cukup pesat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Ebola adalah sejenis virus dari genus Ebolavirus, familia Filoviridae,
dan juga nama dari penyakit yang disebabkan oleh virus tersebut. Penyakit
Ebola sangat mematikan. Gejala-gejalanya antara lain muntah, diare, sakit
badan, pendarahan dalam dan luar, dan demam. Tingkat kematian berkisar
antara 50% sampai 90%. Asal katanya adalah dari sungai Ebola di Kongo.
Penyakit Ebola dapat ditularkan lewat kontak langsung dengan cairan tubuh
atau kulit. Masa inkubasinya dari 2 sampai 21 hari, umumnya antara 5 sampai
10 hari. Saat ini telah dikembangkan vaksin untuk Ebola yang 100% efektif
dalam monyet, namun vaksin untuk manusia belum ditemukan.1,2,3
Virus Ebola termasuk kedalam genus Ebolavirus, familia Filoviridae
yang merupakan salah satu daripada dua kumpulan virus RNA benang-negatif.
Virus Filo mempunyai bentuk biologi seperti morfologi, kepadatan, dan profile
elektrophoresis gel polyacrylamide. Virus ini telah dikelaskan kepada virus
paramyxo dengan menggunakan kaedah urutan DNA. Familia Filoviridae
memiliki

garis

tengah

800

nm,

dan

pajang

mecapai

1000

nm.

Virus Ebola mengandung molekul lurus, bebenang RNA negatif, yang tidak
bersendi. Semua genome virus Filo mempunyai ciri-ciri serupa, dan
mempunyai banyak sisa adenosine dan uridine. Gen virus Ebola mengandung
transkrip urutan tetap pada 3 dan transkrip urutan terakhir pada 5. Perbedaan
di antara virus Ebola dan virus Marburg adalah, virus Ebola menunjukkan tiga
penumpukan yang berselang di antara turutan antara-gen (intergenetic)
sementara virus Marburg hanya mempunyai satu penumpukan yang
kedudukannya berbeda dengan virus Ebola. Virus Filo secara morfologi
menyerupai bentuk virus rhabdo, akan tetapi virus Filo mempunyai ukuran

yang lebih panjang. Apabila dilihat dengan menggunakan mikroskop elektron,


bentuk virus Filo seperti berfilament (berbenang halus), atau kelihatan
bercabang. Terdapat juga virus yang berbentuk "U", "b" dan berbentuk bundar.
Virus Ebola terdiri dari tujuh polypeptida diantaranya RNA genome ca. 19.0
kb, yang mencakup Glycoprotein (GP), Nucleoprotein (NP), RNADEPENDENT RNA Polymerase (L), VP35, VP30, VP40, dan VP24.2,3
Virus ini masih berada di dataran Afrika dan kabarnya juga telah
sampai ke Filipina. Suatu ketika Negeri Eropa melakukan pengimporan kera
dari Kongo, ketika mengetahui virus ini akhirnya seluruh kera ini dimusnahkan
agar tidak menyebar kemana-mana, dan sampai saat ini belum ditemukan
vaksin yang dapat menyembuhkan penyakit ini. Transmisi antar manusia
terjadi akibat kontak langsung dengan cairan tubuh yang berasal dari diare,
muntah dan pendarahan, kulit atau membran mukosa. Periode inkubasi virus
berlangsung selama 2 sampai 21 hari. Kejadian epidemik Ebola banyak terjadi
pada rumah sakit yang tidak menerapkan higiene yang ketat. Infektivitas virus
Ebola cukup stabil pada suhu kamar (20C) tetapi hancur dalam 30 menit pada
60C. Infektivitas juga dihancurkan oleh dan iradiasi ultraviolet, pelarut lemak,
b-propiolactone, dan hipoklorit komersial dan desinfektan fenolik.4,5,6

Gb. Virus Ebola dengan mikroskop elektron


Gejala-gejalanya antara lain muntah, diare, sakit badan, pendarahan
dalam dan luar anus, dan demam. Tingkat kematian sampai 90%. Asal katanya
adalah dari sungai Ebola di Kongo. Penyakit Ebola dapat ditularkan lewat
kontak langsung dengan cairan tubuh atau kulit. Virus ini mulai menular dari
salah satu spesies kera di Kongo kemudian mulai menyebar ke manusia, jangka
waktu manusia mulai terjangkit virus ini sampai menemui ajalnya sekitar 1
minggu karena saking ganasnya virus ini.2,4
B. REPRODUKSI VIRUS
Reproduksi virus Ebola baru terjadi saat virus masuk ke dalam sel
inang. Berikut ini merupakan siklus reproduksi virus Ebola:5,6,7
1. Virus berikatan dengan reseptor inang dengan permukaan

GP

(glikoprotein) peplomer dan berendisitosis ke dalam vesikel sel inang.


2. Penyatuan membran virus dengan membran vesikel terjadi. Nukleokapsid
terlepas ke dalam sitoplasma.
3. Rantai gen sense negative ssRNA digunakan untuk sintesis (3-5)
poliadenilase,monocistronic mRNAs.
4. Translasi mRNA menjadi protein viral terjadi dengan menggunakan
perlengkapan sel inang.

5. Terjadi Post-translasi dari mRNA. Prekursor glikoprotein (GP0) berikatan


erat dengan GP1 dan GP2. Kedua glikoprotein ini, pertama, berpasangan
sebagai heterodimer kemudian menjadi trimer. Prekursor SGP berikatan
erat pula dengan SGP dan delta peptida.
6. Bila protein viral jumlahnya makin meningkat maka terjadilah replikasi.
Dengan memakai rantai RNA sense negative, (+)ssRNA disintesis.
Sintesis (+)ssRNA berfungsi untuk mensintesis (-)ssRNA.
7. Terbentuknya nukleokapsid baru dan selimut protein yang berasosiasi
dengan plasma membran sel inang; virion terlepas.
C. EPIDEMIOLOGI
Asal-usul di alam dan sejarah alami dari virus Ebola tetap menjadi
misteri. Secara umum, virus ini ada yang menyerang manusia (Ebola-Zaire,
Ebola-Ivory Coast dan Ebola-Sudan) dan ada yang hanya menyerang hewan
primata (Ebola-Reston). Tidak ada carrier state karena tidak ditemukan
lingkungan alami dari virus. Namun dari beberapa hipotesis mengatakan
bahwa terjadi penularan dari hewan terinfeksi ke manusia. Kemudian dari
manusia yang terinfeksi ini, virus bisa ditularkan dalam berbagai cara. Orang
bisa terinfeksi karena berkontak dengan darah dan atau hasil sekresi dari
orang yang terinfeksi. Orang juga bisa terinfeksi karena berkontak dengan
benda seperti jarum suntik yang terkontaminasi dengan orang yang terinfeksi.
Penularan secara nosokomial (penularan yang terjadi di klinik atau rumah
sakit) juga dapat terjadi bila pasien dan tenaga medis tidak memakai masker
ataupun sarung tangan. Pada primata, Ebola-Reston, menyerang fasilitas
penelitian hewan primata di Virginia, AS. Ebola-Reston menyebar melalui
partikel udara.2,7,8
Ebola merupakan salah satu kasus emerging zoonosis yang paling
menyita perhatian publik karena kemunculannya yang sering dan memiliki

angka mortalitas yang tinggi pada manusia. Virus Ebola pertama kali
diidentifikasi di provinsi Sudan dan di wilayah yang berdekatan dengan Zaire
(saat ini dikenal sebagai Republik Congo) pada tahun 1976, setelah terjadinya
suatu epidemi di Yambuku, daerah Utara Republik Congo dan Nzara, daerah
Selatan Sudan. Sejak ditemukannya virus Ebola, telah dilaporkan sebanyak
1850 kasus dengan kematian lebih dari 1200 kasus diantaranya. Penyakit ini
disebabkan oleh virus dari genus Ebolavirus yang tergolong famili Filoviridae.
Inang atau reservoir dari Ebola belum dapat dipastikan, namun telah diketahui
bahwa kelelawar buah adalah salah satu hewan yang bertindak sebagai inang
alami dari Ebola. Virus Ebola juga telah dideteksi pada daging simpanse,
gorila, Macaca fascicularis dan kijang liar.9,10
Penyebaran virus Ebola dalam skala global masih terbatas. Hal ini
berkaitan dengan transmisinya yang tidak melalui udara dan juga jarak waktu
yang diperlukan virus Ebola untuk menginfeksi satu individu ke individu
lainnya. Selain itu, onset virus yang relatif cepat dapat mempercepat diagnosa
terhadap penderita sehingga dapat mengurangi penyebaran penyakit melalui
penderita yang bepergian dari satu wilayah ke wilayah lainnya.Penyakit ini
dapat dikaitkan dengan kebiasaan manusia, terutama di daerah Afrika, untuk
mengkonsumsi daging hewan liar. Daging hewan liar yang terkontaminasi
akan menjadi media yang efektif dari penularan Ebola pada manusia.1,9,11
D. PENULARAN
Penularan Ebola yaitu melalui kontak fisik dengan cairan tubuh,
sekresi, dan semen dari orang yang terinfeksi. Penularan yang terjadi di rumah
sakit atau klinik merupakan bentuk penularan yang sering terjadi. Penyakit
Ebola dapat ditularkan lewat kontak langsung dengan cairan tubuh atau kulit.
Masa inkubasinya dari 2 sampai 21 hari, umumnya antara 5 sampai 10 hari.
Saat ini telah dikembangkan vaksin untuk Ebola yang 100% efektif dalam

monyet, namun vaksin untuk manusia belum ditemukan. Penyakit Ebola


menyebar dan masuk ke dalam tubuh host melalui berbagai macam cara antara
lain melalui jarum suntik, donor darah , dan melalui kontak langsung
tangan.12,13

Tahapan penularan virus Ebola dari penderita satu ke penderita lainnya antara
lain:4,9,14
1. Virus Ebola menginfeksi subjek melalui kontak dengan cairan tubuh
atau sekret dari pasien yang terinfeksi dan didistribusikan melalui
sirkulasi. melalui lecet di kulit selama perawatan pasien, ritual
penguburan dan mungkin kontak dengan daging secara terinfeksi, atau
di permukaan mukosa.Terkadang jarum suntik merupakan rute utama
dari eksposur kerja.
2. Target awal dari replikasi adalah sel-sel retikuloendotelial, dengan
replikasi tinggi dalam beberapa tipe sel di dalam hati, paru-paru dan
limpa.

3. Sel Dendritic, makrofag dan endotelium tampaknya rentan terhadap


efek cytopathic produk gen virus Ebola in vitro dan mungkin in vivo
melalui gangguan jalur sinyal seluler dipengaruhi oleh mengikat,
fagositosis serapan virus atau keduanya. Kerusakan tidak langsung juga
dapat ditimbulkan oleh faktor-faktor yang beredar seperti faktor tumor
nekrosis dan oksida nitrat.
Aktivasi Sistem Imun
Dari lima strain virus Ebola, strain Zaire merupakan yang paling
virulen, dengan mortalitas mencapai 90%. Dari penelitian luas, basic molecular
dari virulensi belum terdeterminasi. Takada et al dapat mendemonstrasikan
bahwa infeksi strain Zaire virus ditandai dengan keberadaan mouse
monoclonal antibody, menyebabkan peningkatan infeksi dependent antibodi.
Selanjutnya, sampel serum dikumpulkan dari pasien-pasien yang terinfeksi
Ebola selama tahun 1995 outbreak di Kikwit, Republik Kongo, meningkatkan
infeksi virus pada sel ginjal manusia yang berembrio.13,15,16
Peningkatan dependent antibodi membutuhkan factor serum panas labil
yang dapat berinteraksi dengan Fc dari antibodi. Protein A, permukaan protein
dari dinding sel bakteri Staphylococcus aureus yang berikatan dengan region
Fc immunoglobulin, mempunyai efek yang sama. Sebuah penelitian
mempelajari tentang komponen komplemen 1 (C1), inisial jalur komplemen,
berikatan dengan Fc dan berinteraksi dengan molekul permukaan sel.
Kompleks ini terdiri dari C1q dan dua serine proenzim protease, C1r dan C1s.
Penelitian membuktikan bahwa infektivitas virus Ebola ditingkatkan dengan
keberadaan mouse monoclonal antibody dan C1q murni, menunjukkan bahwa
peningkatan dependent antibodi dimediasi oleh molekul C1q.17,18

10

Penemuan ini mengusulkan sebuah mekanisme: multipel antibody IgG


berikatan dengan epitope GT secara dekat, yang memungkinkan pengikatan C1
ke region Fc dari antibodi. Kompleks ini mengikat ligan C1q pada permukaan
sel dan menstabilkan interaksi antara virus dan reseptor, meningkatkan
perlekatan viral. Ligan C1q telah diidentifikasi pada banyak tipe sel, termasuk
monosit.makrofag dan sel endotel yang secara khusus merupakan target dari
virus demam berdarah ini. Sehingga, ketika antibodi secara normal
memproteksi tubuh, virus ini mampu untuk menggunakannya untuk melekat ke
target sel secara cepat dan mudah.19,20,21

11

Sebagai tambahan kofaktor penting untuk RNA virus kompleks


polymerase, VP35 telah diidentifikasi sebagai inhibitor dari komponen jalur
multipel interferon (IFN). VP 35 merupakan kelompok sitokin yang diproduksi
sebagai respon terhadap infeksi viral yang mengerahkan antiviral, ihibisi
pertumbuhan sel dan aktivitas immunoregulator. Pada infeksi viral, respon IFN
dapat dipicu dengan sensor seperti protein retinoic acid-inducible gene I (RIG
I) dan protein melanoma differentiation-associated gene 5 (MDA-5) yang
mengenali dsRNA atau kompleks ribonukleoprotein. Namun, VP35 dapat
mengganggu jalur ini saat mulai berkompetisi dengan RIG 1 untuk pengikatan
dsRNA.6,9,22

12

Di bawah lingkungan yang normal, sinyal propagasi terjadi melalui


asosiai mitokondria adapter IFN- promoter stimolator 1 (IPS-1) yang
selanjutnya mengaktivasi inhibisi dari B kinase epsilon (IKK) dan TANKbinding kinase (TBK-1). Hal ini mengubah phosphorylate yang sebaliknya
menginaktivasi regulasi interferon factor 3 (IFN-3) untuk memicu sekresi IFN/. IRF-3 mengekspresikan factor transkripsi yang predominan sitplasma
ketika dalam bentuk inaktif. Aktivasi dari serine/.theorine phosphorylation
dekat dengan carboxy terminus, protein dimerisasi dan berpindah ke slaam
struktur nukelus untuk berikatan dengan DNA dan berinteraksi dengan histone
acetyltransferases. Faktor ini berkontribusi untuk mengativasi ekspresi gen
IFN- dan gen IFN- terpilih serta beberapa gen lain dengan potensi aktivitas
antiviral.23,24
VP35 menginhibisi aktivasi IRF-3 secara primer dengan menghambat
fosforilasinya. Hasilnya mengindikasikan bahwa ketiadaan dari aktivitas
antagonis, jumlah banyak dari IFN-/ akan diproduksi dan menghambat

13

penyebaran virus. Selanjutnya, interferon ini mempengaruhi produksi dari


sitokin immunoregulator lain. Mekanisme ini kemudian menyediakan
penjelasan yang mungkin untuk blocking dari maturasi sel dendritik selama
infeksi Ebola yang mana merusak aktivasi sel T dan proliferasi.21,25
Mekanisme lain dari inhibisi membutuhkan interaksi fisik antara VP35
dan kinase selular IKK dan TBK-1. Data immunopresipitasi menunjukkan
bahwa VP35 dapat menyukseskan dalam target protein melalui interaksi
dengan domain kinase yang hamper sama. Selain itu, protein virus dapat
mengganggu interaksi IKK dan IPS-1, sebagian mencegah aktivasi dari kinasi
ini pasa konsentrasi virus yang tinggi.25,26,27
Ketika berikatan dengan reseptor, interferon mengaktivasi Janus
tyrosine kinase / signal transducer and activator (JAK/STAT) menunjukkan
jalur yang menstimulasi transkripsi dari gen pengkode protein antiviral seperti
protein kinase R (PKR). Pada ikatan terhadap dsRNA, PKR diaktivasi dan
inisiasi translasi phosphorylasi factor eIF-2, yang kemudian menahan sistesi
protein dan menginhibisi replikasi viral.25,26,27

14

Hubungan Mekanisme Seluler dengan Demam Berdarah


Virus Ebola biasanya ditularkan melalui kontak langsung dengan cairan
tubuh yang terinfeksi atau kontak kulit / lendir membran. Setelah di dalam
tubuh, virus menyerang makrofag dan monosit, mengandalkan antibodi host
dan melengkapi komponen 1 untuk infeksi yang efisien. Sel-sel darah putih
merespon dengan melepaskan sejumlah besar sitokin proinflamasi yang
meningkatkan permeabilitas endotel vaskular, yang memfasilitasi masuknya
virus lebih mudah ke target sekunder, sel-sel endotel. Sitokin ini juga merekrut
lebih banyak makrofag ke daerah, memaksimalkan jumlah sel-sel yang dapat
digunakan Ebola untuk menyebar ke seluruh tubuh. Sementara itu, hepatosit
sedang dihancurkan oleh virus, memastikan bahwa sinyal sel ini tidak dapat
dibersihkan dari aliran darah.11,13,28

15

Setelah pengikatan reseptor yang dimadiasi GP, virion Ebola diambil


ke dalam sel endotel melalui macropinocytosis. Setelah pembentukan tersebut,
macropinosomes bergerak lebih jauh ke dalam sitoplasma untuk memperoleh
penanda baru atau menyatu dengan vesikel lainnya pada jalur standar
endolisomal. Akhirnya memindahkan virion Ebola ke kompartemen lebih asam
seperti endosomes awal dan akhir yang membantu dalam fusi dari virus dan
seluler membran. Selama proses ini, sel melepaskan dari tetangganya dan
kehilangan kontak dengan membran basal karena mekanisme glycan yang
dimediasi sterik oklusi oleh GP. Partikel baru kemudian dibuat meninggalkan
melalui rakit lipid, meninggalkan sistem vaskular destabilisasi yang
bertanggung jawab atas karakteristik kehilangan darah besar pada pasien
Ebola.
Sementara itu, sistem kekebalan tubuh akan rusak. Interferon tidak
dibuat karena VP35 mengganggu hampir setiap langkah dalam proses. Sel
darah putih terjebak di dalam sistem peredaran darah karena sGP membatasi
gerakan. Makrofag dan monosit melepaskan koktail sitokin proinflamasi yang
merusak endotelium pembuluh darah, tetapi juga mengaktifkan kaskade
koagulasi. Hal ini menempatkan tubuh pasien dalam keadaan paradoks di mana
pasien bisa mati akibat syok hipovolemik dari perdarahan masif, atau dari
trombosis, pembentukan bekuan darah di tubuh.15,29

E. GEJALA KLINIS
Gejala awal yang ditimbulkan oleh Ebola sama dengan gejala
Influenza, yaitu: demam, menggigil dan sakit kepala, nyeri otot dan nafsu
makan hilang. Demam berdarah misterius ini pertama kali dideskripsikan pada
2 outbreak tahun 1976, pertama di Sudan selatan dan selanjutnya di Zaire utara,

16

sekarang berada di Republik Kongo. Agen kausatif telah diisolasi dari pasien
pada kedua daerah endemik dan dinamakan Ebola virus.6,11,16
Gejala ini muncul setelah 3 hari terinfeksi.
1. Setelah itu virus Ebola mulai bereplikasi. Virus Ebola menyerang darah.
Sel darah yang mati akan menyumbat kapiler darah dan menyebabkan
kulit memar, melepuh bahkan larut seperti kertas basah.
2. Pada hari ke-6 darah keluar dai mata, hidung, dan telinga. Selain itu
penderita memuntahkan cairan hitam yang merupakan jaringan dalam
tubuh yang hancur.
3. Pada hari ke-9 biasanya penderita meninggal dunia.14,16,30
Virus Ebola masuk ke host primer melalui permukaan mukosa atau
kulit yang abrasi, dengan kebanyakan infeksi pada manusia terjadi setelah
kontak langsung dengan pasien atau cadaver. Terdapat pula beberapa kasus di
mana pemburu juga terinfeksi setelah makan daging yang terkontaminasi di
hutan. Kebanyakan outbreak Ebola terpusat di rumah sakit di Afrika yang mana
kebersihan dan sanitasi merupakan hal yang mewah. Namun, di rumah sakit
modern dengan jarum disposable dan pengetahuan tentang hygiene dan teknik
keperawatan, virus ini jarang menyebar dalam skala luas. Transmisi melalui
udara di antara monyet didemonstrasikan selama outbreak dari virus Reston
Ebola di Virginia, tetapi terdapat bukti yang terbatas tentang transmisi melalui
udara pada epidemic manusia.14,16,31
Salah satu alasan mengapa Ebola sangat berbahaya adalah simptomnya
bervariasi dan muncul cepat, menyerupai infeksi virus lain sehingga demam
berdarah ebola tidak dapat didiagnosis dengan cepat. Secara umum, onset dari
symptom mengikuti periode inkubasi sleama 2 -21 hari dan dikarakteristikkan
dengan demam tinggi, menggigil, dan nyeri sendi. Tanda selanjutnya dari
infeksi mengidikasikan keterlibatan berbagai sistem termasuk manifestasi

17

gastrointestinal (mual, muntah, diare), respirasi (nyeri dada, batuk), dan


neurologi (nyeri kepala). Hal yang disayangkan dari simptom-simptom ini
adalah mudah untuk salah diagnosis dengan malaria, demam tifoid, disentri,
influenza, atau berbagai infeksi bakteri, yang mana semuanya tejadi di daerah
di mana terdapat Ebola.31,32
Setelah muncul symptom awal, demam biasanya meningkat dan
menyebabkan keadaan serius seperti diare, buang air besar berwarna gelap atau
hitam, muntah darah, mata merah yang berhubungan dengan distensi dan
perdarahan arteri sklerotik, peteki, rash makulopapular, dan purpura.
Kebanyakan terdapat perdarahan gastrointestinal dari mulut dan rectum.
Internal dan eksternal perdarahan dari lubang seperti hidung dan mulut dpaat
terjadi. Seiring dengan progesivitas virus, perdarahan di otak dapat
menyebabkan depresi berat, kejang, dan delirium.31,32
Rentang waktu dari onset symptom hingga kematian berkisar antara 6
16 hari. Pada minggu kedua infeksi, pasien dapat mengalami penyembuhan
total atau terdapat kegagalan system multiorgan. Laju mortalitas secara umum
tinggi, berkisar antara 50 90 % tergantung dari strain spesifik. Penyebab dari
kematian adalah syok hipovolemik atau kegagalan organ.33
Virulensi virus Ebola pada manusia adalah bervariasi dan tergantung
pada spesies atau strain; variabilitas yang sama tampaknya terrekapitulasi baik
pada primata non-manusia. Dalam genus Ebola virus, infeksi dengan spesies
virus Ebola Zaire memiliki tingkat fatalitas kasus tertinggi (60-90%) diikuti
oleh orang-orang dengan infeksi spesies virus Ebola Sudan (40-60%). Atas
dasar satu wabah, tingkat fatalitas kasus untuk infeksi regangan Bundibugyo
diperkirakan hanya 25%. Satu-satunya laporan pasien yang terinfeksi virus
Pantai Gading Ebola menjadi sakit tapi selamat. Sebagai perbandingan, tingkat
fatalitas kasus untuk infeksi virus Marburg di Afrika adalah 70-85% tetapi jauh

18

lebih rendah dalam wabah di Eropa pada tahun 1967, dengan tingkat fatalitas
kasus hanya 22%. Tingkat rendah ini menimbulkan spekulasi bahwa perawatan
intensif yang tepat dengan terapi suportif akan meningkatkan tingkat
kelangsungan hidup pasien yang terinfeksi. Hipotesis ini sulit untuk diguji
karena kondisi lapangan yang keras dan dilema etika tentang tidak memberikan
perawatan kepada beberapa pasien. Virus Ebola Reston dianggap patogenik
untuk

manusia,

tetapi

tes

laboratorium

telah

mendokumentasikan

terjadinya infeksi.6,16,33

F. DIAGNOSA
Ketika membuat diagnosis Ebola, dokter akan bertanya tentang riwayat
kesehatan pasien dan melakukan pemeriksaan fisik. Diagnosa awal Ebola bisa
sulit, karena fakta bahwa gejala awal Ebola dapat serupa dengan yang terlihat
dengan kondisi medis lainnya. Dokter mungkin meminta tes laboratorium yang
dapat mengidentifikasi virus itu sendiri atau antibodi yang membuat tubuh
untuk melawan virus Ebola. Mendiagnosis demam Ebola awal pada seseorang
bisa sulit. Seseorang yang telah terinfeksi hanya beberapa hari akan mengalami
gejala awal Ebola, seperti mata merah dan ruam kulit, yang tidak spesifik untuk
virus Ebola dan terlihat pada pasien lain dengan kondisi yang terjadi jauh lebih
sering. Namun, bila gejala yang dijelaskan tadi sudah terlihat jelas, sebaiknya
segera isolasi pasien dan hubungi Departemen Kesehatan setempat.4,6,34
Variabel laboratorium kurang berkarakteristik tetapi temuan berikut ini
sering dikaitkan dengan Ebola haemorrhagic fever: leukopenia awal (< 1.000
sel per uL) dengan limfopenia dan selanjutnya neutrofilia, bergeser ke kiri
dengan limfosit atipikal, trombositopenia (50000-100000 sel per uL),
konsentrasi

serum

aminotransferase

yang

sangat

tinggi

(aspartat

aminotransferase biasanya melebihi SGPT), hiperproteinemia, dan proteinuria.


Protrombin dan tromboplastin parsial memanjang dan produk pemecahan

19

fibrin yang terdeteksi, menunjukkan difus koagulopati intravaskular. Dalam


tahap selanjutnya, infeksi bakteri sekunder dapat mengakibatkan jumlah
peningkatan sel darah putih.6,34
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Infeksi virus Ebola hanya dapat didiagnosis secara defenitif dalam
laboraturium dengan sejumlah tes yang berbeda, menurut World Health
Organization:35,36
a. Essay enzim-linked immunosorbent (ELIZA)
b. Tes deteksi antigen
c. Tes netralisasi serum
d. Reverce transcriptase polimerase chain (RT-PCR) essay
e. Isolasi virus dengan kultur sel
Pengujian pada sampel pada pasien merupakan biohazard (resiko
terhadap kesehatan manusia atau lingkungan yang timbul dari kerja biologis)
ekstrim dan hanya boleh di lakukan dalam kondisi penahanan biologis
maksimum.6,36
Kasus yang parah memerlukan perawatan suportif intesif. Pasien sering
mengalami dehidrasi dan membutuhkan cairan intravena atau rehidrasi oral
dengan larutan yang mengandung elektrolit.1,4,36
Dengan tidak adanya pengobatan yang efektif dan vaksin manusia,
meningkatkan kesadaran terhadap faktor infeksi Ebola dan upaya perlindungan
individu adalah satu-satunya cara untuk mengurangi infeksi dan kematian.
Untuk mendeteksi apakah seseorang terinfeksi virus Ebola, dapat dilakukan
pengujian antigen-capture enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), IgG
ELISA, polymerase chain reaction (PCR), dan mengisolasi virus Ebola yang
bisa dilakukan untuk mengetahui adanya virus Ebola dalam tubuh manusia.4,36
Untuk deteksi tes antibodi yang paling umum digunakan adalah IgG
direct dan IgM ELISA dan IgM capture ELISA. Antibodi IgM dapat muncul
pada 2 hari pertama setelah timbulnya gejala dan menghilang antara 30 dan
168 hari setelah infeksi. Antibodi IgG spesifik berkembang antara hari 6 dan 18

20

setelah onset dan bertahan selama bertahun-tahun. A IgM atau titer IgG
meningkat merupakan dugaan kuat diagnosis. Penurunan IgM, atau
meningkatkan titer IgG (empat kali lipat), atau keduanya, dalam sampel serum
berturut-turut sangat menyokong dari infeksi baru. Semua tes ini dapat
dilakukan pada materi yang telah menyebabkan non-infeksi. Cara yang efisien
untuk menginaktivasi untuk virus deteksi antigen dan antibodi adalah dengan
penggunaan radiasi gamma dari sumber kobalt-60 atau inaktivasi panas.
Demikian pula, asam nukleat dapat diperkuat dengan pemurnian RNA virus
dari bahan yang diobati dengan guanidinium isothiocyanate- sebuah chaotropic
kimia yang mendenaturasi protein virus dan membuat sampel non-infeksi.12
H. PENGOBATAN
Sampai dengan saat ini, belum ditemukan vaksin yang bisa mencegah
infeksi oleh virus Ebola. Akan tetapi sekarang sedang di kembangkan
pembuatan vaksin yang akan diujikan kepada manusia untuk pertama kalinya
adalah vaksin yang sudah memasuki fase uji-klinis. Menurut Sanchez, infeksi
virus Ebola di dalam tubuh manusia memang bisa sangat mematikan, tapi
monyet berhasil selamat dari infeksi virus tersebut dan ini bisa menjadi contoh
yang sangat bermanfaat bagi uji-coba terhadap binatang. Pengujian vaksin
Ebola dengan menggunakan primata memberikan perkembangan yang
menjanjikan bagi hadirnya vaksin pelindung. Ada beberapa hal yang
menyebabkan penyebaran penyakit Ebola (Demam Berdarah Ebola) sangat
dikhawatirkan, antara lain:37
1. Serangannya muncul secara sangat mendadak
2. Gejala-gejala klinik sangat berat.
3. Menimbulkan kematian dalam waktu yang sangat singkat.
4. Angka kematiannya sangat tinggi yaitu 90-92% dari jumlah penderita.
5. Karena Virus Ebola mampu berpindah dari penderita ke orang lain,
sehingga transportasi sangat mendukung kemungkinan penyebarannya
ke berbagai bagian dunia dalam waktu yang sangat singkat.

21

6. Belum ada obat yang efektif untuk menyembuhkan Demam Berdarah


Ebola.
7. Vaksin Demam Berdarah Ebola (DBE) hingga kini belum dapat dibuat
Rehabilitasi bagi mantan penderita akibat terinfeksi virus Ebola bisa
dilakukan dengan tidak mengasingkan para penderita. Karena menurut para
ahli, sebagian besar kematian yang disebabkan oleh virus Ebola di sebabkan
oleh adanya tekana secara psikologis. Apabila kita mengasingkan dan menjauhi
para penderita atau mantan penderita virus Ebola, justru hal ini akan semakin
memperburuk kondisi kesehatan penderita tersebut. Untuk itulah diperlukan
upaya rehabilitasi yang intensif terhadap para penderita virus Ebola agar
kondisi fisik dan psikologisnya tetap stabil, sehingga akan memberikan
motivasi kepada pasien tersebut untuk secepatnya bisa sembuh dari penyakit
yang disebabkan oleh virus Ebola.1,6,37
Akan tetapi, proses rehabilitasi ini tentunya harus dilakukan secara hatihati dan lebih waspada, mengingat virus Ebola bisa menular dengan sangat
cepat dari penderita kepada orang lain melalui kontak. Rehabilitasi juga
sebaiknya dilakukan di tempat yang benar-benar steril, atau pada ruang isolasi
khusus sehingga bisa mengurangi kontaminasi yang bisa disebabkan oleh virus
Ebola.1,37
Para peneliti masih dibingungkan oleh adanya beberapa orang pasien
yang dapat pulih dari EHF dan sebagian lagi tidak. Mungkin ini disebabkan
oleh respon imun yang berbeda dari tiap orang terhadap virus. Sebenarnya,
tidak ada perawatan khusus terhadap pasien EHF. Para pasien hanya diberi
terapi suportif, yang berupa penyeimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh
pasien, peningkatan jumlah oksigen, peningkatan tekanan darah dan perawatan
dari penyakit komplikasi lain yang mungkin timbul.2,37
Sekarang telah dikembangkan suatu vaksin yang berbasis rekombinan
virus stomatitis Vesikular atau rekombinan Adenovirus yang membawa

22

Glikoprotein Ebola pada permukaanya. Pada tahun 2003 sebenarnya telah


dikembangkan vaksin NIAID, namun tidak membawa hasil sukses.
Masalahnya karena pemberian vaksin yang terlambat (1-4 hari setelah gejala
muncul) sehingga tubuh pasien sudah terlalu parah untuk diobati.38
Investigasi Pengobatan
Ribavirin, obat yang diyakini mengganggu capping dari mRNA virus
dan telah digunakan untuk mengobati demam berdarah virus yang disebabkan
oleh virus bunya arenaviruses dan tidak memiliki invitro atau efek in-vivo pada
filovirus. Oleh karena potensi efek samping yang parah yang berhubungan
dengan obat, ribavirin tidak dianjurkan untuk virus infeksi Ebola. Berkenaan
dengan perawatan berbasis RNA, strategi untuk mengganggu transkripsi dan
replikasi termasuk penggunaan oligonukleotida antisense atau interferensi
RNA. Pendekatan ini atas dasar keberhasilan dalam tikus dan primata nonmanusia yang terinfeksi virus Ebola Zaire. Pendekatan interferensi RNA dan
antisense oligonucleotidebased mungkin dibatasi oleh urutan untuk spesies
virus Ebola tertentu, yang mungkin tidak diketahui pada tahap awal wabah.
Selain itu, terapi ini saat ini disampaikan secara intravena bisa menimbulkan
tantangan logistik di daerah terpencil wabah.13,14
Pengobatan kelainan koagulasi dalam infeksi virus Ebola harus
dipertimbangkan. Derivat Nematoda protein antikoagulan rNAPc2 telah
menunjukkan 33% khasiat dalam pengobatan primata non-manusia yang
terinfeksi Zaire Ebola virus. Formasi D-dimer telah diidentifikasi sebagai
peristiwa

awal

selama

infeksi

virus

Ebola

di

manusia

non-

primata dan dapat digunakan sebagai penanda untuk pengobatan. Karena target
sinyal rNAPc2 terutama melalui pembekuan darah jalur ekstrinsik, manfaat
tambahan yang dapat diperoleh dengan inhibitor faktor X, sehingga
menargetkan jalur yang paling umum melalui jalur pembekuan darah ekstrinsik
dan intrinsik. Substitusi lain dari protein C mungkin menguntungkan aktivasi
salah

satu

mekanisme

antikoagulan

penting

dalam

darah.

Hasil

dari sebuah penelitian menunjukkan bahwa pengobatan monyet rhesus yang

23

terinfeksi dengan virus Ebola Zaire dengan manusia diaktifkan rekombinan


protein C mengakibatkan beberapa perlindungan pada hewan, yang konsisten
dengan kelangsungan hidup yang direkam dengan rNAPc2. Semua obat ini
telah disetujui untuk aplikasi yang berbeda pada manusia dan dapat dengan
mudah dan aman digunakan dalam keadaan darurat.13,14
Vaksin rekombinan terhadap virus Ebola berdasarkan virus stomatitis
vesikular telah menunjukkan kegunaan yang luar biasa ketika diberikan
sebagai pengobatan pasca pajanan terhadap demam berdarah Ebola pada
primata non-manusia terinfeksi virus Ebola Zaire dan Sudan Ebola virus.
Dalam penelitian laboratorium, rekombinan virus stomatitis vesikular
mengekspresikan glikoprotein virus Zaire Ebola yang diberikan kepada wanita
segera setelah terpapar dengan virus Zaire Ebola. Pasien yang mengalami
demam, sakit kepala, dan mialgia beberapa jam setelah injeksi, berhasil
dikendalikan dengan analgesik dan antipiretik. Efek samping lainnya tidak
dilaporkan, namun apakah pengobatan itu efektif atau pasien tidak pernah
mendapat infeksi dengan virus masih belum jelas.15,39,40

I. PENCEGAHAN
Pencegahan penularan penyakit Ebola yang antara lain:41
a. Menghindari bepergian ke daerah yang tengah dilanda wabah Ebola atau
daerah yang memiliki riwayat wabah Ebola.
b. Menghindari kontak dengan cairan tubuh pasien/orang yang terinfeksi
Ebola seperti darah, feses, air liur, cairan muntahan, air kencing, bahkan
keringat.
c. Tidak berhubungan langsung (bersentuhan) dengan pasien Ebola. Bila
terpaksa harus kontak langsung (dalam kasus membantu korban penyakit
Ebola) harus menggunakan pelindung diri (proteksi diri) seperti kaca mata,
masker, pakaian khusus, sepatu boot dan sarung tangan.
Para peneliti masih dibingungkan oleh adanya beberapa orang pasien
yang dapat pulih dari EHF (Ebola Hemorrhagic Fever) dan sebagian lagi tidak.

24

Mungkin ini disebabkan oleh oleh respon imun yang berbeda dari tiap orang
terhadap virus.1,3,42
Sebenarnya, tidak ada perawatan khusus terhadap pasien EHF. Para
pasien hanya diberi terapi suportif, yang berupa penyeimbangan cairan dan
elektrolit dalam tubuh pasien, peningkatan jumlah oksigen, peningkatan
tekanan darah dan perawatan dari penyakit komplikasi lain yang mungkin
timbul.1,3
Sekarang telah dikembangkan suatu vaksin yang berbasis rekombinan
virus stomatitis Vesikular atau rekombinan Adenovirus yang membawa
Glikoprotein Ebola pada permukaanya. Pada tahun 2003 sebenarnya telah
dikembangkan vaksin NIAID, namun tidak membawa hasil sukses.
Masalahnya karena pemberian vaksin yang terlambat (1-4 hari setelah gejala
muncul) sehingga tubuh pasien sudah terlalu parah untuk diobati.42
Karena sifatnya yang sangat mematikan, upaya memproduksi dan
menguji vaksin Ebola sangatlah sulit dilakukan oleh para ahli. Salah satu faktor
yang menghambat penelitian vaksin Ebola ini adalah minimnya fasilitas
perlindungan laboratorium yang bisa melindungi staf peneliti.41,42
Hingga kini, belum ditemukan penyembuh virus yang memiliki
kemungkinan kematian 50-90% itu.virus Ebola mampu menular dari satu
manusia ke manusia lain hanya dengan kontak langsung saja. Untuk itu
pencegahan terhadap penyakit infeksi Ebola ini pun cukup sulit.Yang paling
terutama adalah menghindari kontak langsung dengan orang yang terinfeksi
virus Ebola sebisa mungkin. Apabila ada anggota keluarga terinfeksi virus ini
sangat dianjurkan agar orang tersebut dirawat di rumah sakit. Begitu juga
apabila ada teman anda yang meninggal akibat penyakit ini, usahakan jangan
ada kontak langsung dengannya.5
Adapun 5 tahapan pencegahan penyakit Ebola dalam lingkungan
masyarakat antara lain :1,2
a. Health Promotion

25

Pendidikan kesehatan pada masyarakat untuk melakukan perubahan


prilaku untuk hidup bersih dan sehat serta meningkatkan higien pribadi
dan sanitasi lingkungan dalam lingkungan masyarakat dan sekitarnya
b. Early Diagnosis
Program penemuan penderita melalui survey pada kelompok
kelompok yang berisiko atau pada populasi umum dan peda pelaporan
kasus.
c. Spesific protection
Menghindari diri dari gigitan serangga ,berusaha untuk tidak pergi ke
daerah yang kurang penyinaran matahari dan terdapat binatang ataupun
serangga yang menjadi sumber penularan penyakit tersebut untuk
menghindari terjadinya komplikasi penyakit dan penyebar luasnya
penyakit tersebut dalam masyarakat.
d. Disability limitation
Terapi kompleks pada penderita Ebola agar tidak terjadi kematian
dengan menambah konsentrasi minum penderita agar tidak terjadi
dehidrasi serta upaya peningkatan kekebalan tubuh kelompok.
e. Rehabilitation
Pendidikan kesehatan kepada para penderita beserta keluarga serta
dilakukannya rehabilitasi fisik dan psikologis pada kasus dan penderita
penyakit Ebola.

26

BAB III
PENUTUP
Demam Berdarah Ebola (Ebola Hemorraghic Fever) adalah penyakit
disebabkan oleh suatu virus yang termasuk kedalam genus Ebolavirus,
keluarga Filoviridae. Ada empat jenis virus Ebola, yaitu virus Ebola-Zaire,
virus Ebola-Sudan, virus Ebola-Ivory dan virus Ebola Reston. Untuk
mendeteksi virus Ebola, dapat dilakukan pengujian antigen-capture enzymelinked immunosorbent assay (ELISA), IgG ELISA, polymerase chain reaction
(PCR).
Gejala demam Ebola meliputi: radang sendi, sakit punggung, diare,
kelelahan, sakit kepala, rasa tidak enak badan, kerongkongan terasa sangat
sakit, dan muntah-muntah. Pada gejala akhir, demam ebola dapat menujukkan
gejala seperti: gatal-gatal, pendarahan dari mata, telinga, dan hidung,
pendarahan dari mulut dan dubur (pendarahan gastrointestinal), radang pada
mata (conjunctivitis), bengkak pada organ genital (labia dan kantung buah pelir
(scrotum)), keluarnya darah melalui permukaan kulit (hemorrhagic).
Virus Ebola dapat menyebar melalui penggunaan jarum suntik yang
tidak disterilkan atau melakukan kontak dengan seseorang yang terkena infeksi
atau mayat orang yang sudah meningggal karena terserang virus Ebola. Upaya
pencegahan dapat dilakukan dengan: menghindari area yang terkena serangan
virus Ebola, tidak melakukan kontak dengan pasien atau mayat yang terjangkit
virus Ebola. Sampai dengan saat ini, belum ditemukan vaksin yang bisa
mencegah infeksi oleh virus Ebola.
DAFTAR PUSTAKA
1. Feldmann H, Geisbert TW. 2011. Ebola harmorrhagic fever. Lancet
377(9768): 849862.

27

2. Baize S, Pannetier D. 2014. Emergence of Zaire Ebola Virus Disease in


Guinea Preliminary Report. The New England Journal of Medicine
140:505
3. Feldmann H. 2014. Ebola-A Growing Treat. The New England Journal of
Medicine 354:7 Ratanshi RP, Elbireer A. 2014. Ebola Outbreak Response;
Experience and Development of Screening Tools for Viral Haemorrhagic
Fever (VHF) in a HIV Center of Excellence Near to VHF Epicentres.
PLOS ONE 9:7.
4. Olejnik J, Alonso J, Schmidt KM. 2013. Ebola Virus Does Not Block
Apoptotic Signaling Pathways. Journal of virologi p. 5384-5396
5. Shedlock DJ, Aviles J, Talbott KT. 2013. Induction of Broad Cytotoxic T
Cells by Protective DNA Vaccination Against Marburg and Ebola.
Molecular Therapy : 1432-1444
6. Bonney JH, Kwasi MO, Adiku TK. 2013. Hospital-Based Surveillance for
Viral Hemorrhagic Fevers and Hepatitides in Ghana. PLOS Neglected
Tropical Disease vol 7 issue 9.
7. Nakayama E, Saijo M. 2013. Animal Model for Ebola and Marburg Virus
Infections. Microbiology vol. 6 article 267.
8. Sobarzo A, Ochayon DE. 2014. Persistent Immune Responses after Ebola
Virus Infection. The New England Journal of Medicine. 369:5
9. Martins KA, Steffens JT, Tongeren SA. 2014. Toll-Like Receptor Agonist
Augments Virus-Like Particle- Mediated Protection from Ebola Virus with
Transient Immune Activation. PLOS ONE 9:2
10. Meredith G. Dixon. 2014. Ebola Viral Disease Outbreak West Africa,
2014. Morbidity and Mortality Weekly Report 63:25
11. Jin H, Yan Z, Prabhakar BS, Feng Z, et al. 2010. The VP35 protein of
Ebola virus impairs dendritic cell maturation induced by virus and
lipopolysaccharide. Journal of General Virology 91;352-361.
12. Roddy P, Howard N, Van Kerkhove MD, Lutwama J, et al. 2012. Clinical
Manifestations and Case Management of Caused by a Newly Identified
Virus Strain, Bundibugyo. PLOS ONE

28

13. Schumann M, Gantke T, and Muhlberger E. 2009. Ebola Virus VP35


Antagonizes PKR Activity through Its C-Terminal Interferon Inhibitory
Domain. Journal of Virology 83(17): 8993-8997.
14. Yen YJ, Garamszegi S, Geisbert JB, Rubins KH, et al. 2011. Therapeutics
of Ebola Hemorrhagic Fever: Whole-Genome Transcriptional Analysis
ofSuccessful Disease Mitigation. Journal of Infectious Disease 204:S1043
S1052.
15. McElroy AK, Erickson BR, Flietstra TD, Rollin PE, Nichol ST, et al.
2014. Ebola Hemorrhagic Fever: Novel Biomarker Correlates of Clinical
Outcome. Journal of Infectious Disease 210:55866.
16. Haasnoot J, Vries W, Geutjes EJ, Prins M, Haan3 P, Berkhout B. 2007. The
Ebola Virus VP35 Protein Is a Suppressor of RNA Silencing. PLos
Phatogens 3(6): e86 p 793-803.
17. Lyn M. O'Brien, Margaret G. Stokes, Stephen G. Lonsdale, David R.
Maslowski, Sophie J. Smither, Mark S. Lever, Thomas R. Laws, and Stuart
D. Perkins. Vaccination with recombinant adenoviruses expressing Ebola
virus glycoprotein elicits protection in the interferon alpha/beta receptor
knock-out mouse. Virology, 2014-03-01, Volume 452-453, Pages 324-333.
18. Allison Groseth, Heinz Feldmann, and James E. Strong. The ecology of
Ebola virus. Trends in Microbiology, 2007-09-01, Volume 15, Issue 9,
Pages 408-416.
19. Martina Trunschke, Dominik Conrad, Sven Enterlein, Judith Olejnik,
Kristina Brauburger, and ElkeMhlberger. The LVP35 and LL
interaction domains reside in the amino terminus of the Ebola virus L
protein and are potential targets for antivirals. Virology, 2013-07-05,
Volume 441, Issue 2, Pages 135-145.
20. NirupamaMulherkar, MatthijsRaaben, Juan Carlos de la Torre, Sean P.
Whelan, and KartikChandran. The Ebola virus glycoprotein mediates entry
via a non-classical dynamin-dependent macropinocytic pathway. Virology,
2011-10-25, Volume 419, Issue 2, Pages 72-83.

29

21. Suchita Bhattacharyya, Kelly L. Warfield, Gordon Ruthel, SinaBavari, M.


JavadAman, and Thomas J. Hope. Ebola virus uses clathrin-mediated
endocytosis as an entry pathway. Virology, 2010-05-25, Volume 401, Issue
1, Pages 18-28.
22. Devon J. Shedlock, Michael A. Bailey, Paul M. Popernack, James M.
Cunningham, Dennis R. Burton, and Nancy J. Sullivan. Antibody-mediated
neutralization of Ebola virus can occur by two distinct mechanisms.
Virology, 2010-06-05, Volume 401, Issue 2, Pages 228-235.
23. Krishnan Sundar, AgnieszkaBoesen, and Richard Coico. Computational
prediction and identification of HLA-A2.1-specific Ebola virus CTL
epitopes. Virology, 2007-04-10, Volume 360, Issue 2, Pages 257-263.
24. Ayato Takada, Hideki Ebihara, Steven Jones, Heinz Feldmann, and
Yoshihiro Kawaoka. Protective efficacy of neutralizing antibodies against
Ebola virus infection. Vaccine, 2007-01-22, Volume 25, Issue 6, Pages 993999.
25. Thomas W. Geisbert, Kathleen M. Daddario-DiCaprio, Joan B. Geisbert,
Douglas S. Reed, FriederikeFeldmann, Allen Grolla, Ute Strher, Elizabeth
A. Fritz, Lisa E. Hensley, Steven M. Jones, and Heinz Feldmann. Vesicular
stomatitis virus-based vaccines protect nonhuman primates against aerosol
challenge with Ebola and Marburg viruses. Vaccine, 2008-12-09, Volume
26, Issue 52, Pages 6894-6900.
26. Laura G. Barrientos, and Pierre E. Rollin. Release of cellular proteases into
the acidic extracellular milieu exacerbates Ebola virus-induced cell
damage. Virology, 2007-02-05, Volume 358, Issue 1, Pages 1-9.
27. T. Hoenen, S. Jung, A. Herwig, A. Groseth, and S. Becker. Both matrix
proteins of Ebola virus contribute to the regulation of viral genome
replication and transcription. Virology, 2010-07-20, Volume 403, Issue 1,
Pages 56-66.
28. SanjeetBagcchi. Ebola haemorrhagic fever in west Africa. Lancet
Infectious Diseases, The, 2014-05-01, Volume 14, Issue 5, Pages 375-375.

30

29. Amy L. Hartman, Jonathan S. Towner, and Stuart T. Nichol. Ebola and
Marburg Hemorrhagic Fever. Clinics in Laboratory Medicine, 2010-03-01,
Volume 30, Issue 1, Pages 161-177.
30. Thomas W Geisbert, Amy CH Lee, Marjorie Robbins, Joan B Geisbert,
Anna N Honko, VandanaSood, Joshua C Johnson, Susan de Jong, Iran
Tavakoli, Adam Judge, Lisa E Hensley, and Ian MacLachlan. Postexposure
protection of non-human primates against a lethal Ebola virus challenge
with RNA interference: a proof-of-concept study. Lancet, The, 2010-05-29,
Volume 375, Issue 9729, Pages 1896-1905.
31. Manisha Gupta, Christina Spiropoulou, and Pierre E. Rollin. Ebola virus
infection of human PBMCs causes massive death of macrophages, CD4
and CD8 T cell sub-populations in vitro. Virology, 2007-07-20, Volume
364, Issue 1, Pages 45-54.
32. Amy B. Papaneri, ChristophWirblich, Kurt Cooper, Peter B. Jahrling,
Matthias J. Schnell, and Joseph E. Blaney. Further characterization of the
immune response in mice to inactivated and live rabies vaccines expressing
Ebola virus glycoprotein. Vaccine, 2012-09-21, Volume 30, Issue 43, Pages
6136-6141.
33. Heinz Feldmann. Are we any closer to combating Ebola infections?
Lancet, The, 2010-05-29, Volume 375, Issue 9729, Pages 1850-1852.
34. XiangguoQiu, Judie B. Alimonti, P. Leno Melito, Lisa Fernando, Ute
Strher, and Steven M. Jones. Characterization of Zaire ebolavirus
glycoprotein-specific monoclonal antibodies. Clinical Immunology, 201111-01, Volume 141, Issue 2, Pages 218-227.
35. Manisha Gupta, Cynthia S. Goldsmith, Maureen G. Metcalfe, Christina F.
Spipopoulou,

and

Pierre

Rollin.

Reduced

virus

replication,

proinflammatory cytokine production, and delayed macrophage cell death


in

human

PBMCs

infected

with

the

newly

discovered

Bundibugyoebolavirus relative to Zaire ebolavirus. Virology, 2010-06-20,


Volume 402, Issue 1, Pages 203-208.

31

36. Eichner M. 2011. Incubation Period of Ebola Hemorrhagic Virus Subtype


Zaire. Public Health Res Perspect 2(1), 3-7.
37. Tsuda Y, Safronetz D, Brown K. 2011. Protective Efficacy of a Bivalent
Recombinant Vesicular Stomatitis Virus Vaccine in the Syrian Hamster
Model of Lethal Ebola Virus Infection. The Journal of Infectious Diseases
204:S1090S1097.
38. Aleksandrowicz P, Marzi A. 2011. Ebola Virus Enters Host Cells by
Macropinocytosis and Clathrin-Mediated Endocytosis. The Journal of
Infectious Diseases 204:S957S967.
39. Kuhl A, Hoffman M, Muller MA. 2011. Comparative Analysis of Ebola
Virus Glycoprotein Interactions With Human and Bat Cells. The Journal of
Infectious Diseases 204:S840S849.
40. Castilho A, Bohorova N. 2011. Rapid High Yield Production of Different
Glycoforms of Ebola Virus Monoclonal Antibody. PloS ONE 6:10.
41. Nancy Sullivan, Zhi-Yong Yang and Gary J. Nabel. Ebola Virus
Pathogenesis: Implications for Vaccines and Therapies. J. Virol. 2003,
77(18):9733.
42. R. Ryan Lasha, Nathaniel A. Brunsella and A. Townsend Peterson.
Spatiotemporal environmental triggers of Ebola and Marburg virus
Transmission. Geocarto International. Vol. 23, No. 6, December 2008,
451466.

32

Anda mungkin juga menyukai