Anda di halaman 1dari 14

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

BPH (Benign Prostate Hyperplasia)


BPH (Benign Prostate Hyperplasia) adalah pembesaran jinak dari kelenjar prostat.

Penyebab dari BPH tidak diketahui secara jelas, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan
bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar Dihydrotestoteron (DHT)
dan proses aging (penuaan).
Prostat

terletak

mengelilingi

urethra

posterior,

pembesaran

dari

prostat

mengakibatkan urethra pars prostatika menyempit dan menekan dasar dari kandung kemih.
Penyempitan ini dapat menghambat keluarnya urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan
tekanan intravesika. Untuk dapat mengeluarkan urin, kandung kemih harus berkontraksi lebih
kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan
anatomi kandung kemih, dimana perubahan struktur ini oleh penderita dirasakan sebagai
keluhan/gejala LUTS.
LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms) adalah istilah umum untuk menjelaskan
berbagai gejala berkemih yang dikaitkan dengan BPH. Keluhan pasien BPH berupa LUTS
terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage symptoms).

Gambar 2.1. Gambaran prostat normal dibandingkan dengan BPH

Obstruksi yang disebabkan oleh BPH tidak hanya disebabkan oleh adanya massa
prostat (merupakan komponen statis) yang menyumbat urethra posterior

tetapi juga

disebabkan oleh peningkatan tonus otot polos (merupakan komponen dinamis) yang terdapat
pada stroma prostat, kapsul prostat, dan leher kandung kemih.

Universitas Sumatera Utara

Peningkatan tonus otot polos prostat (Otot ini dipersarafi oleh serabut simpatis yang
berasal dari nervus pudendus) pada BPH terkait rangsangan dari 1-adrenoceptors (Kim,
2011).
BPH dapat dimulai pada usia 40 tahun dan semakin sering dengan bertambahnya
usia. Mengenai hampir seluruh pria, meskipun beberapa diantaranya tidak mempunyai gejala
walaupun prostatnya mungkin telah membesar. BPH umumnya menjadi masalah seiring
dengan waktu, dengan gejala bertambah buruk bila tidak ditangani.
Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas pemeriksaan awal dan berbagai
pemeriksaan tambahan. Bila terdapat masalah berkemih maka Anamnese, Pemeriksaan Fisik
(DRE= Digital Rectal Examination), Pemeriksaan Laboratorium (PSA=Prostate-specific
antigen) dan terkadang Biopsi dan Ultrasonografi (TRUS = TransRectal UltraSonography
ataupun TAUS= TransAbdominal UltraSonography) digunakan untuk menemukan jenis
kelainan dari prostat (BPH, kanker prostat atau prostatitis).
Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala
serta untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan akibat pembesaran prostat dibuatlah
sistem skoring yang secara subjektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. Sistem yang
dianjurkan oleh WHO ini adalah International Prostate Symptom Score (IPSS). Skor ini
juga berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien BPH (Barry et al, 1992; Mc
Nicholas et al, 2011).
Analisis gejala ini terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan
LUTS yang masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan total maksimum 35 (lihat
lampiran kuesioner IPSS yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia) dan

satu

pertanyaan mengenai kualitas hidup (quality of life atau QoL) yang terdiri atas tujuh
kemungkinan jawaban. LUTS dibagi atas ringan (IPSS 0-7), sedang (IPSS 8-19) atau berat
(IPSS 20-35) tergantung pada banyaknya gejala yang mengganggu kualitas hidup dan
aktivitas penderita. Dengan memakai piranti skoring IPSS dapat ditentukan kapan seseorang
pasien memerlukan terapi. Sebagai patokan jika skoring > 7 berarti pasien perlu mendapatkan
terapi medikamentosa atau terapi lain. Semua informasi ini dapat membantu dalam
memahami seberapa mengganggunya gejala berkemih dan menentukan tatalaksana yang
terbaik.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1. International Prostate Symptoms Score (IPSS)

Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien. Bila
LUTS dikaitkan dengan BPH, tingkat gangguan dari gejala atau yang mempengaruhi kualitas
hidup harus dipertimbangkan disaat menentukan pilihan tatalaksana terbaik. Masalah medis
yang lain mungkin dapat mempengaruhi tatalaksana BPH.

2.2.

Alpha1a-adrenoceptors antagonists (Tamsulosin)


Jaringan otot yang mengalami hiperplasia pada prostat memiliki banyak reseptor 1,

begitu pula di saluran kemih dan jaringan penis (corpus carvenosum). Berbagai subtipe 1adrenoceptors telah diteliti dan diidentifikasi dalam kandung kemih, prostat dan jaringan
penis (corpus carvenosum). Menurut klasifikasi oleh International Union of Pharmacology,
1-adrenoceptor diklasifikasikan menjadi tiga subtipe, 1a-, 1b- dan 1d-. Pada Tabel 2 dapat
dilihat rincian subtipe dan lokasinya (Traish et al, 2000; El-Gamal, 2006 ; Taylor et al, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2. subtipe 1-adrenoceptors dan lokasinya (Taylor et al, 2008)


Subtipe Reseptor

Lokasi

1a

Sel stroma prostat, otot polos pembuluh darah, urethra, vas deferens, otot
polos corpus carvenosum, kandung kemih

1b

Sel epitel prostat, otot polos pembuluh darah

1d

Sel stroma prostat, urethra, vas deferens, kandung kemih, otot destrusor

1 dan 2

Pembuluh darah penis, otot polos corpus carvenosum

Pada BPH efek dari 1a-adrenoceptors antagonists adalah dengan memblokade


adrenoreceptors 1a dalam prostat, yang merelaksasi otot polos, menyebabkan perbaikan
pengeluaran urin dan mengurangi frekuensi berkemih serta memperkecil residu urine dalam
kandung kemih (Tjay, 2007 ; Taylor et al, 2008).
Alpha1-adrenoceptors antagonists berguna pada BPH ringan sedang. Obat-obat ini
tidak bisa mengecilkan prostat yang membesar, berbeda dengan obat BPH lainnya, yakni anti
androgen 5-reductase inhibitors seperti finasteride dan dutasteride (Tjay, 2007; Fine and
Ginsberg, 2008).
Alpha1a-adrenoceptors antagonists merupakan antagonis adrenoreceptors 1a yang
sangat selektif, dikembangkan untuk menghindari efek samping dari obat golongan adrenoceptors

antagonists

lainnya,

1a-adrenoceptors

antagonists

secara

khusus

dikembangkan untuk mengobati LUTS pada BPH (Traish et al, 2000; Fine and Ginsberg,
2008).
Alpha1-adrenoceptors antagonists selektif yang digunakan untuk terapi BPH, juga
memblokir aksi noradrenalin pada tingkat reseptor 1 di otot polos corpus cavernosum.
noradrenalin mengaktifkan -adrenoceptors yang terletak pada membram otot polos corpus
cavernosum menyebabkan kontraksi otot polos dan detumescence penis, sehingga Alpha1aadrenoceptors antagonists memiliki efek ereksi (Seracu et al, 2009). Telah diketahui bahwa
efek samping berupa hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg atau
penurunan tekanan darah diastolik 10 mmHg pada perubahan posisi dari telentang menjadi
berdiri) lebih jarang diketemukan pada 1a-adrenoceptors antagonists dibanding obat
golongan -adrenoceptors antagonists lainnya. Oleh karena itu, untuk pasien dengan
komorbiditas kardiovaskuler, penggunaan tamsulosin untuk manajemen klinis BPH mungkin
pilihan yang lebih aman daripada subtipe nonselektif 1- adrenoceptors antagonists (Kirby,
2005; Fine and Ginsberg, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Menurut nomenklatur, 1a-adrenoceptors antagonists bekerja predominan di prostat,


corpus cavernosum penis serta dasar dan leher dari kandung kemih (El-Gamal, 2006;
Praveen, 2011).
Alpha1a-adrenoceptors antagonists dalam hal ini Tamsulosin juga berperan terhadap
blokade adrenoreceptors 1a dan 1d dalam kandung kemih yang nantinya menghambat
ketidakstabilan otot detrusor dan keluhan iritatif. Terdapat bukti uji klinis efektivitas dari 1adrenoceptors antagonists dalam mengurangi Disfungsi Ereksi, menurunkan gejala LUTS dan
peningkatan aliran darah (El-Gamal, 2006; Taylor et al, 2008).
Blokade dari 1a-adrenoceptors yang sebagian besar berada dalam jaringan corpus
cavernosum mungkin bertanggung jawab terhadap efek terapi (kontraksi otot polos penis
yang disebabkan oleh aksi noradrenalin pada 1-adrenoreceptors menyebabkan penis flaksid,
maka blokade pada reseptor ini oleh 1a-adrenoceptors antagonists mengakibatkan
menurunkan level tonus simpatik pada penis dan peningkatan Nitrat Oksida (NO) yang
menyebabkan otot polos corpus cavernosum relaksasi dan peningkatan aliran darah ke dalam
ruang lacunar pada corpos cavernosum, sehingga meningkatkan dan memperbaiki fungsi
ereksi) dan 1a-adrenoceptors antagonists merupakan alternatif yang baik untuk tatalaksana
LUTS/BPH dengan Disfungsi Ereksi (Lowe, 2005; Leungwattanakij et al, 2005; Taylor et al,
2008; Kojima et al, 2009; Gacci et al, 2011).
Alpah1a-adrenoceptors antagonists (Tamsulosin) dimetabolisme dalam hati oleh enzim
CYP 450. Clearance dari Tamsulosin relatif lambat (2,88 L/jam). Setelah administrasi dosis
tunggal Tamsulosin 0,4 mg, mencapai waktu paruhnya 9 13 jam. Dikatakan bahwa salah
satu kelebihan dari golongan 1a-adrenoceptors antagonists (Tamsulosin) adalah tidak perlu
melakukan titrasi seperti golongan obat yang lain dan efek samping hipotensi yang lebih
sedikit. Tamsulosin masih tetap aman dan efektif walaupun diberikan hingga 6 tahun
(Narayan et al, 2003).

2.3.

Anatomi dan Mekanisme Ereksi Penis


Secara fisiologis ereksi penis adalah hasil dari relaksasi otot polos meliputi dilatasi

arteri, relaksasi sinusoidal dan kompresi vena, ketika aliran darah ke penis melebihi aliran
darah dari penis (Lowe, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Penis memiliki jaringan erektil berupa dua corpus cavernosum (tersusun dari dua
silinder paralel jaringan erektil) dan satu corpus spongiosum (silinder tunggal terletak
dibagian ventral, mengelilingi urethra, sedangkan bagian ujungnya membentuk glans penis).
Jaringan erektil berupa jaringan berongga (sinusoid-sinusoid) yang tersusun dari sel-sel otot
polos. Kontraksi dan relaksasi sel-sel otot polos ini bersifat involunter atau tidak disadari.
Sinusoid dibatasi oleh tunica albuginea yaitu jaringan ikat yang kuat. Tunica albuginea pada
corpus cavernosum lebih tebal daripada di corpus spongiosum. Tunica albuginea ini
merupakan pembatas sebesar apa jaringan erektil penis bisa terisi darah dan membesar saat
ereksi. Pada glans penis tidak terdapat tunica albuginea. Radix penis bulbospongiosum
diliputi oleh otot bulbokavernosus sedangkan corpus cavernosum diliputi oleh otot
Ischiocavernosus (El-Sakka and Lue, 2004; Kirby, 2005).
Penis dipersarafi oleh sistem persarafan otonom (parasimpatik S2-S4 dan simpatik
T10-L2) serta persarafan somatik S2-S4 (sensoris dan motoris). Dari neuron di sumsum
tulang belakang dan ganglia perifer, saraf simpatis dan parasimpatis bergabung dan
membentuk saraf cavernosa, yang memasuki corpus cavernosum dan corpus spongiosum
untuk mempengaruhi peristiwa neurovaskular saat ereksi dan detumescence. Saraf somatik
bertanggung

jawab

untuk

sensasi

dan

kontraksi

otot-otot

bulbocavernosus

dan

ischiocavernosus (Dean and Lue, 2005; Kirby, 2005).


Sumber perdarahan penis berasal dari arteri iliaka interna cabang dari arteri iliaka
komunis yang kemudian menjadi arteri pudenda interna yang selanjutnya menjadi arteri penis
komunis dan kemudian bercabang tiga menjadi arteri cavernosa (arteri penis profundus),
arteri dorsalis penis dan arteri bulbouretralis. Arteri cavernosa memasuki corpus cavernosum
dan membagi diri menjadi arteriol-arteriol helisin yang bentuknya seperti spiral bila penis
dalam keadaan flaksid. Dalam keadaan tersebut arteriol helisin pada corpora berkontraksi dan
menahan aliran darah arteri ke dalam rongga lakunar. Sebaliknya dalam keadaan ereksi,
arteriol helisin tersebut berelaksasi sehingga aliran darah arteri bertambah cepat dan mengisi
rongga-rongga lakunar. Keadaan relaksasi atau kontraksi dari otot-otot polos trabekel dan
arteriol menentukan penis dalam keadaan ereksi atau flaksid (Kirby, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Peran Vaskuler (Pembuluh Darah)


Ereksi sebenarnya sangat terkait dengan darah dan pembuluh darah. Tingkat ereksi
tergantung pada keseimbangan antara aliran darah arteri menuju penis dan aliran darah vena
keluar dari penis. Ketika aliran darah arteri rendah atau sedikit maka penis dalam kondisi
flaksid, sedangkan bila aliran arteri meningkat dan aliran darah vena keluar rendah, maka
terjadilah ereksi.
Peran Otot Polos
Otot polos terdapat pada dinding pembuluh darah dan jaringan erektil. Apabila otot
polos pembuluh darah berkontraksi, maka pembuluh darah menyempit (vasokontriksi) yang
menyebabkan aliran darah berkurang. Sebaliknya bila otot polos pembuluh darah melebar
(vasodilatasi) maka aliran darah akan bertambah.
Begitu pula dengan otot polos jaringan erektil. Bila kontriksi maka akan susah mengembang
terisi darah sehingga penis flaksid. Bila relaksasi, tahanan jaringan erektil berkurang sehingga
mudah terisi darah dan mengembang (ereksi). Otot polos ini bersifat tidak disadari, dan di
bawah pengaruh saraf otonom.
Peran Saraf
Ereksi adalah proses yang otonom atau tidak bisa dikontrol karena melibatkan otot
polos pembuluh darah dan jaringan erektil. Pada saat kondisi flaksid, saraf otonom yang
dominan adalah saraf simpatis. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi arteri dan kontraksi otot
polos jaringan erektil (corpus cavernosum dan spongiosa) akibatnya aliran ke penis akan
rendah. Sebaliknya pada saat kondisi ereksi, stimulasi parasimpatis dominan. Parasimpatis
menyebabkan vasodilatasi arteri dan relaksasi otot polos jaringan erektil sehingga aliran
darah ke penis meningkat.
Secara ringkas, struktur diatas bertanggung jawab atas tiga jenis ereksi:
1. Ereksi psikogenik diawali secara sentral sebagai respon terhadap rangsang
audiovisual atau imajinasi. Impuls dari otak memodulasi pusat ereksi di tulang
belakang (T10-L2 dan S2-S4) untuk mengaktifkan proses ereksi.
2. Ereksi reflexogenik terjadi akibat pacuan pada reseptor sensoris pada penis, yang
dengan interaksi spinal, menyebabkan aksi saraf somatis dan parasimpatis.
3. Ereksi nokturnal sebagian besar terjadi selama rapid-eye-gerakan tidur (REM).
Mekanisme ini belum diketahui (EI-Sakka and Lue, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2. Anatomi Penis

Universitas Sumatera Utara

Pada corpus cavernosum ditemukan adanya neurotransmiter yang bukan adrenergik


dan bukan pula kolinergik (non-adrenergic non-cholinergic = NANC) yang ternyata adalah
Nitric Oxide (NO). NO (merupakan mediator neural) akan menyebabkan serangkaian
perubahan enzimatis yang menyebabkan relaksasi otot polos corpus cavernosum sehingga
terjadi proses ereksi (Taylor et al, 2008; Gacci et al, 2011).
Secara lebih rinci, Setelah rangsangan seksual, terjadi aktivitas serat parasimpatis
yang mensyarafi otot polos corpus cavernosum dan sel endotel sinusoidal melepaskan
asetilkolin, yang mengaktifkan produksi endothelial Nitric Oxide Synthase (eNOS), yang
kemudian mensintesis Nitric Oxide (NO). NO yang merupakan neurotransmiter mengaktifkan
enzim Guanylate Cyclase yang akan mengkonversikan Guanosine Triphosphate (GTP)
menjadi Cyclic Guanosine Monophosphate (cGMP) sehingga kadar cGMP meningkat.
Mekanisme vasodilator kedua melibatkan produksi Cyclic Adenosine Monophosphate
(cAMP) dari Adenosine Triphosphate (ATP) oleh Adenylate Cyclase (AC). Vasoactive
Intestinal Polypeptide (VIP) dan Prostaglandin E1 (PGE1) mengaktifkan AC. Baik cGMP
dan cAMP merangsang kalsium keluar (kadar kalsium intrasel menurun) dari otot polos
corpus cavernosum, sehingga terjadi relaksasi otot polos penis (corpus cavernosum) dan
pembuluh darah penis, sehingga aliran darah meningkat ke jaringan trabecular dan ruang
sinusoidal. Meningkatkan aliran darah penis, menyebabkan ereksi. Kompresi venula
subtunical mengurangi aliran vena dari corpus cavernosum dan memelihara tumescence. NO
dilepaskan bila ada rangsangan seksual. cGMP ini tidak terus menerus ada karena selanjutnya
akan dipecah oleh enzim Phosphodiesterase 5 (PDE5) yang akan mengakhiri / menurunkan
kadar cGMP sehingga ereksi akan berakhir (Traish et al, 2000; Lowe, 2005; Kirby, 2005;
Muneer et al, 2007; Taylor et al, 2008; Gacci et al, 2011).

Gambar 2.3. Mekanisme Ereksi

Universitas Sumatera Utara

Stimulasi seksual

Impuls parasimpatis

Pelepasan Nitric Oxide (NO)


(dinding pembuluh darah penis)

Mengaktifkan enzim Guanylate Cyclase

Menghidrolisis Guanine Triphosphate


(GTP) menjadi cGMP.

Menyebabkan peningkatan senyawa


Cyclic Guanosine Monophosphate (cGMP)

Menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah penis dan
relaksasi otot polos trabecular

EREKSI

Bila didegradasi oleh enzim


phosphodiesterase-5 (PDE-5)
menurunkan kadar cGMP

FLACCID

Diperantai
syaraf simpatis

Arteri cavernosa dan arteri helisin


vasodilatasi darah mengalir ke dalam
jaringan cavernosa.
Relaksasi otot polos dinding trabecular
sinosoid dilatasi memberi ruang
akibat kenaikan aliran darah.

Penis membesar

Antara dinding trabecular bagian luar


jaringan cavernosa dan tunika albugenia
menyempit.

Akibatnya vena yang keluar dari sinosoid melalui


dinding trabecula dan tunika albugenia (plexus
venosus subtunica) menjadi tertekan.

Mengurangi aliran darah vena keluar dari sinosoid


venoklusi (penutupan venosa terjadi secara
pasif,
sementara
itu
kontraksi
otot
Ischiocavernosus mengerutkan bagian proksimal
corpus cavernosus menimbulkan penutupan
vena).

Terjadi akibat kontraksi arteri (mengurangi aliran


darah menuju sinosoid) dan kontraksi trabecula
(menyebabkan pengosongan sinosoid dan
menarik dinding trabecular bagian luar menjauhi
tunika albugenia).

Membuka aliran vena

Universitas Sumatera Utara

2.4.

BPH dengan Fungsi Seksual


Beberapa penelitian berbasis beragam populasi termasuk sampel dari Asia, Eropa,

Amerika Utara dan Amerika Selatan, menunjukkan hubungan yang konsisten antara LUTS
dengan Disfungsi Ereksi (ketidakmampuan yang menetap atau terus-menerus untuk mencapai
atau mempertahankan ereksi penis yang berkualitas sehingga dapat mencapai hubungan
seksual yang memuaskan) dan atau disfungsi ejakulasi pada pria dengan BPH. Disfungsi
Ereksi dapat diklasifikasikan menjadi psikogenik, organik atau gabungan psikogenik dan
organik. Faktor organik dibagi lagi menjadi gangguan vaskulogenik (paling sering), saraf,
dan endokrin. Setiap faktor yang mempengaruhi fungsi pembuluh darah merupakan faktor
risiko untuk Disfungsi Ereksi (Lowe, 2005; Mc Vary, 2005; Muneer et al, 2007).
Prevalensi Disfungsi Ereksi pada pria berusia 40-70 tahun dengan komorbiditas
diperkirakan 9,7% secara keseluruhan, dengan tingkat 39% pada pria dengan penyakit
jantung, 29% pada pria dengan diabetes, dan 15% pada mereka dengan hipertensi. Bila
dikelompokkan berdasarkan usia, prevalensi Disfungsi Ereksi meningkat dari 40% dengan
Disfungsi Ereksi ringan dan 5% dengan Disfungsi Ereksi berat pada usia 40 tahun, menjadi
70% dan 15%, masing-masing pada usia 70 tahun. Analisis lebih lanjut dari data ini
menunjukkan LUTS menjadi independen faktor risiko untuk Disfungsi Ereksi (Taylor et al,
2008).
Studi The Multinational Study of Aging Male (MSAM)-7, yang mengevaluasi
kuesioner respondens 12.815 orang, menunjukkan bahwa Disfungsi Ereksi dikaitkan dengan
keparahan LUTS, analisis ini menemukan bahwa LUTS dan usia lebih kuat menjadi faktor
risiko Disfungsi Ereksi daripada kondisi komorbid lain seperti diabetes, hipertensi atau
hiperlipidemia (Rosen et al, 2003). Faktor psikososial dinyatakan sebagai penyebab selain
faktor fisiologis. Perubahan gaya hidup karena nokturia dapat mempengaruhi terjadinya
disfungsi ereksi (Taylor et al, 2008; Seo et al, 2011; Kim, 2011).
Patogenesis yang mendasari hubungan antara LUTS dan Disfungsi Ereksi belum
sepenuhnya dipahami. Hipotesis yang ada termasuk (1) Penurunan aktivitas eNOS/NO pada
prostat dan otot polos penis, (2) Peningkatan Aktivasi Rho-kinase, (3) Efek hiperaktivitas
otonom pada LUTS, pertumbuhan prostat dan Disfungsi Ereksi, (4) Ketidakseimbangan adrenoceptors (5) Aterosklerosis pelvis (pada prostat, kandung kemih dan penis) (Mc Vary,
2005; Taylor et al, 2008; Gacci et al, 2011).
Sudah diketahui bahwa produksi eNOS/NO prostat berkurang pada BPH (zona
transisional) dibandingkan dengan jaringan prostat normal, sehingga mengurangi relaksasi

Universitas Sumatera Utara

tonus prostat. Penurunan ini berpengaruh terhadap fungsi berkemih yang selanjutnya
berkembang menjadi BPH atau LUTS (Mc Vary, 2005).
Peningkatan Rho kinase-aktivitas menyebabkan kontraksi otot polos meningkat, yang
selanjutnya

memberikan

kontribusi

untuk

ganguan

fungsi

ereksi

dan

perubahan tonus kandung kemih (Ponholzer et al, 2007; Taylor et al, 2008).

PATOGENESIS

Penurunan
aktivitas eNOS

Meningkatnya
Aktivasi Rho-kinase

Hiperaktivitas
otonom

Ketidakseimbangan
-adrenoceptors

Aterosklerosis
pelvis

Penurunan fungsi dari saraf dan endotelium


Perubahan fungsional
corpus cavernosa,
prostat, urethra, dan
kandung kemih

Perubahan relaksasi atau kontraktilitas otot


polos

BPH/LUTS
ED

Insufisiensi arterial, penurunan aliran darah,


dan kerusakan jaringan akibat hipoksia

Kompleksitas dari patogenesis yang menghubungkan BPH/LUTS dan Disfungsi


Ereksi mengarah ke suatu penyebab yang sama yang saling berhubungan. Oleh karena itu,
pilihan terapi dapat tumpang tindih, memungkinkan pencegahan atau tatalaksana dari kedua
kondisi tersebut ditangani bersamaan (Van Dijk, 2010). Dari sebuah penelitian menyebutkan,
nilai fungsi seksual keseluruhan terdapat peningkatan pada kelompok 1a-adrenoceptors
antagonists (Tamsulosin) dibanding dengan placebo.
Untuk menilai derajat kekerasan ereksi sekaligus diagnosa sederhana Disfungsi Ereksi
dipakai instrumen khusus dengan menggunakan Erection Hardness Score (EHS) yaitu tes
mandiri yang sederhana, tervalidasi klinis dan menunjukkan kualitas ereksi serta kemampuan
untuk penetrasi. EHS pertama kali diterbitkan dalam New England Journal of Medicine pada
tahun 1998. EHS adalah diagram mengenai kualitas kekerasan ereksi yang terdiri dari grade 1
sampai 4.

Universitas Sumatera Utara

EHS Grade 1 = Penis membesar, namun tidak keras termasuk disfungsi ereksi
berat.

EHS Grade 2 = Penis keras, namun tidak cukup untuk ereksi termasuk disfungsi
ereksi sedang.

EHS Grade 3 = Penis cukup keras untuk penetrasi, namun tidak maksimal (suboptimal) termasuk disfungsi ereksi ringan.

EHS Grade 4 = Penis keras seluruhnya dan tegang sepenuhnya (optimal) tidak
mengalami disfungsi ereksi.

Gambar 2.4. Alat Ukur EHS

Universitas Sumatera Utara

2.5.

Kerangka Teori

BPH
LUTS

EREKSI

1a-adrenoceptors
antagonists (Tamsulosin)

RESPON ?

2.6.

Alur Penelitian

PASIEN BPH

Memenuhi Kriteri Inklusi

Dilakukan penilaian tingkat kekerasan ereksi


dengan Erection Hardness Score (EHS)

Pemberian 1a-adrenoceptors antagonists


(Tamsulosin) selama 1 bulan

Evaluasi ulang tingkat kekerasan ereksi dengan


menggunakan Erection Hardness Score (EHS)

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai