Anda di halaman 1dari 26

1.

1 Risalah Lelang Sebagai Bukti Untuk Peralihan Hak


1.2 Latar Belakang
Lelang sebagai suatu lembaga hukum mempunyai fungsi
menciptakan nilai dari suatu barang atau mencairkan suatu barang
menjadi sejumlah uang dengan nilai objektif. Lembaga lelang pasti
selalu ada dalam sistem hukum untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Pertama, untuk memenuhi kebutuhan penjualan lelang,
sebagaimana diatur dalam banyak peraturan perundang-undangan.
Kedua, untuk memenuhi atau melaksanakan putusan peradilan atau
lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan undang-undang dalam
rangka

penegakan

keadilan

(law

enforcement).

Ketiga

untuk

memenuhi kebutuhan dunia usaha pada umumnya, produsen atau


pemilik benda pribadi dimungkinkan melakukan penjualan lelang. 1
Penjualan

umum

secara

resmi

masuk

dalam

perundang-

undangan di Indonesia sejak tahun 1908, dengan berlakunya Vendu


Reglement (Peraturan Lelang Stbl. 1908 Nomor 189) dan Vendu
Instructie (Instruksi Lelang Stbl. 1908 No. 190) yang hingga sekarang
masih berlaku. Menurut Pasal 1 Ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, yang
dimaksud dengan Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk
umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang
semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi,
yang didahului dengan Pengumuman lelang. Terdapat beberapa jenis
lelang yaitu lelang eksekusi, lelang, lelang noneksekusi wajib dan
lelang noneksekusi sukarela.

1 Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara, Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang Lelang Biro Hukum-Sekretariat Jenderal, Jakarta, 18 Februari 2005, hal. 4.

Sesuai dengan pengertian lelang tersebut di atas maka Lelang


mempunyai 2 fungsi, yaitu Fungsi Privat dan Fungsi Publik.
Fungsi Privat terjadi karena lelang merupakan institusi pasar
yang mempertemukan penjual dan pembeli, maka lelang berfungsi
memperlancar arus lalu lintas perdagangan barang. Maka fungsi
publik adalah :
1. Penanganan aset yang dimiliki atau dikuasi Negara untuk
meningkatkan

Efisiensi

dan

tertib

administrasi

dan

pengelolaaannya.
2. Memberikan pelayanan penjualan barang yang bersifat cepat,
aman, tertib dan mewujudkan harga yang wajar.
3. Mengumpulkan penerimaan Negara dalam bentuk Bea Lelang.
Fungsi Publik lelang yang pertama berkaitan dengan kedudukan
lelang dalam kerangka sistem Hukum Indonesia. Lelang sebagai
sarana penjualan barang, diperlukan guna melangkapi sistem hukum
yang telah dibuat terlebih dahulu (BW,HIR,Rbg). Penjualan barang
secara lelang dirasakan sebagai alternatif yang tepat karena yang
diperlukan adalah suatu sistem penjualan yang subur harus
menguntungkan dan objektif, juga harus memenuhi rasa keadilan,
keamanan, kecepatan, dan diharapkan dapat mewujudkan harga
wajar serta menjamin adanya kepastian hukum.
Fungsi publik lelang yang kedua terutama berhubungan dengan
tindak lanjut dari barang barang Negara yang dihapus atau tidak
dimanfaatkan lagi dari pengelolaan atau penguasaan Negara yang
karena sesuatu hal ingin dijual termasuk barang yang dikuasai
Negara, asset BUMN atau BUMD, barang barang yang tidak
bertuan, barang temuan, dan sebagainya. Adil bila barang barang

yang dibeli dari uang rakyat yang dikumpulkan oleh Negara dalam
bentuk pajak, retribusi, dan lain lain dijual kembali kepada rakyat
dengan cara penjualan yang terbuka, objektif, kompetitif, dan cepat
serta aman. Untuk menjamin terciptanya penjualan yang adil, maka
ditetapkanlah lelang sebagai sarana penjualan barang barang
Negara tersebut terakhir dengan Keputusan Presiden No. 16 tahun
1994.
Fungsi publik yang ketiga berkenan dengan penerimaan Negara
berupa Bea Lelang yang dikenakan kepada penjual dan pembeli atas
harga pokok lelang. Disamping itu lelang menghasilkan penerimaan
Negara berupa uang miskin yang dibebankan kepada pembeli lelang
dan menjadi bagian dari penerimaan dana sosial Departemen Sosial.
Menurut Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
93/PMK. 06/2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06?2013, yang dimaksud dengan
Pejabat Lelang adalah Orang yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan diberi wewenang khusus untuk melaksanakan
penjualan barang secara lelang. Artinya Pejabat Lelang atau Juru
Lelang adalah orang yang diberi wewenang khusus oleh menteri
Keuangan untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Sesuai dengan Pasal 1a Vendu Reglemant dan Pasal 2 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013, maka
setiap pelaksanaan lelang tidak boleh dilakukan selain oleh dan/atau
di hadapan Pejabat Lelang. Apabila ketentuan ini dilanggar, maka
akan didenda maksimal gulden dan perbuatan pidananya dipandang
sebagai pelanggaran 2.
2 Usman Rachmadi. Hukum Lelang. Sinar Grafika. Jakartta.2016. Hal 35

Pendaftaran hak atas tanah merupakan kewajiban bagi yang


mempunyai hak-hak atas tanah, dengan maksud agar mereka
mendapat kepastian hukum tentang haknya itu dan memang
kewajiban itu perlu ditegaskan, kalau tidak, mungkin yang mempunyai
hak tersebut tidak mengetahui kewajibannya

atau melalaikan

kewajiban itu, padahal secara keseluruhan usaha pendaftaran tanah


yang dibebankan kepada pemerintah dan sudah mengeluarkan
tenaga dan biaya yang banyak itu akan menjadi sia-sia tanpa adanya
dukungan dari orang-orang yang mempunyai hak tersebut di atas 3.
Peralihan hak atas tanah adalah berpindahnya hak atas tanah dari
pemegang hak yang lama kepada pemegang hak yamg baru. Ada 2
(dua) cara peralihan hak atas tanah, yaitu beralih dan dialihkan.
Beralih menunjukkan berpindahnya hak atas tanah tanpa ada
perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemiliknya, misalnya melalui
pewarisan. Sedangkan dialihkan menunjuk pada berpindahnya hak
atas tanah melalui perbuatan hukum yang dilakukan pemiliknya,
misalnya melalui lelang.
Sebelum berlakunya UUPA, peralihan hak atas tanah didasarkan pada
:
1. Kitab Undang - Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
2. Overschrijvings Ordonantie Staatsblad 1834 Nomor 27.
3. Hukum adat.
Setelah berlakunya UUPA, maka peralihan hak atas tanah
didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
Tentang Pendaftaran Tanah (PP No. 10 Tahun 1961) sebagaimana
3 Djoko Prakoso dan Budiman Adi Purwanto, eksistensi PRONA dalam Pelaksanaan mekanisme fungsiagraria,
Ghalia Indonesia, Jakarta. 1985, hal. 14

telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997


Tentang Pendaftaran Tanah (PP No. 24 Tahun 1997). Dalam Pasal 37
ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 disebutkan bahwa, ''Pemindahan hak
atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli,
tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan
hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui
lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang
dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan
perundang - undangan yang berlaku.Dimana pendaftaran hak atas
tanah ini menurut ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPA yang merupakan
pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya
peralihan atas tanah tersebut.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para
pemegang hak atas tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah memberikan penegasan mengenai
kekuatan pembuktian sertifikat, yang

dinyatakan sebagai alat

pembuktian yang kuat oleh UUPA. Untuk itu diberikan ketentuan


bahwa selama belum dibuktikan yang sebaliknya, data fisik dan data
yuridis yang dicantumkan dalam sertifikat harus diterima sebagai data
yang benar, baik dalam perbuatan hukum maupun dalam sengketa di
Pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai dengan apa yang
tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan (Pasal
32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah), dan bahwa orang tidak dapat menuntut tanah
yang sudah besertifikat atas nama orang atau badan hukum lain, jika
selama 5 (lima) tahun sejak dikeluarkannya sertifikat itu tidak diajukan
gugatan kepada pengadilan, sedangkan tanah tersebut diperoleh
orang atau badan hukum lain tersebut dengan itikad baik dan secara
fisik nyata dikuasai olehnya atau oleh orang lain atau badan hukum

yang mendapat persetujuannya (Pasal 32 ayat (2) Peraturan


Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).
Setiap perbuatan hukum peralihan hak atas tanah, haruslah
dibuktikan dengan suatu bukti peralihan hak.Dalam peralihan hak
melalui lelang, bukti peralihan hak tersebut dituangkan dalam suatu
risalah lelang. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106
/PMK.06/2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang Pasal 1 Angka
32: Risalah Lelang adalah berita acara pelaksanaan lelang yang
dibuat oleh Pejabat Lelang yang merupakan akta otentik dan
mempunyai kekuatan pembuktian sempurna.
Berdasarkan pengertian tersebut, risalah lelang merupakan suatu
akta otentik, selanjutnya menurut Pasal 1870 KUH Perdata disebutkan
bahwa : Suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta
ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka
suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya.
Risalah lelang juga merupakan salah satu bentuk perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak,
sehingga persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain
dengan

sepakat

kedua

belah

pihak

dan

persetujuan

harus

dilaksanakan dengan itikad baik berdasarkan Pasal 1338 KUH


Perdata.
Suatu peristiwa penting yang mempunyai akibat hukum seperti
perjanjian jual beli, perlu adanya pembuktian sebagai bukti bisa
digunakan kesaksian dari yang melihat peristiwa itu, akan tetapi saksi
hidup ini mempunyai kelemahan-kelemahan yaitu bila suatu peristiwa
akan dibuktikan kebenarannya, saksi-saksi itu sudah tidak ada lagi.
Oleh karena adanya kelemahan untuk pembuktian dengan saksi hidup
tersebut, pihak-pihak yang berkepentingan mulai mencari dan

menyadari pentingnya bukti-bukti tertulis.Pihak pihak tersebut mulai


mencatat dalam suatu surat (dokumen) dan ditandatangani oleh pihak
yang berkepentingan berikut saksi-saksinya. Disinilah awal kesadaran
perlunya

pembuktian

tertulis

walaupun

masih

dibawah

tangan.Sedangkan pengertian tentang akta otentik seperti yang


dikenal dalam KUH Perdata belum ada.
Pasal 165 HIR dan Pasal 285 RBG menyatakan sebagai berikut :
Akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat oleh atau dihadapan
pegawai umum yang berkuasa
bukti

yang

warisnya

cukup
serta

bagi

sekalian

akan membuatnya, mewujudkan


kedua belah
orang

yang

pihak

dan

mendapat

ahli
hak

daripadanya yaitu tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu.
Kemudian dijelaskan pula dalam Pasal 1868 KUH Perdata yang
menyatakan: Suatu akta otentik adalah suatu akta yang dalam bentuk
yang ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau dihadapan
pejabat umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta
dibuatnya.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Bahwa akta otentik harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan
undang-undang dimaksudkan pembuatannya harus memenuhi
ketentuan undang-undang.
2. Bahwa akta otentik pembuatannya harus dilakukan dihadapan/oleh
pejabat umum. dihadapan yang dimaksud di sini adalah bahwa
akta tersebut dibuat atas permintaan para pihak yang menyatakan
niat / isi serta syarat-syarat perjanjian yang dikehendaki.
Ketentuan akta otentik sebagai alat pembuktian terdapat pada hukum
pembuktian yang diatur dalam Buku IV KUH Perdata dan HIR/RIB.

Sedangkan

pejabat

umum berdasarkan undang-undang,berwenang

membuat akta otentik untuk menjamin bahwa isi dari akta itu
sesuai dengan apa yang dilihat dan didengar, oleh karena itu isi
dari akta otentik dianggap tidak dapat disangkal kebenarannya atau
akta otentik itu membuktikan kebenaran seluruh isinya, kecuali dapat
dibuktikan sebaliknya. Berbeda denganakta otentik, akta dibawah
tangan akan mempunyai kekuatan pembuktian jika tanda tangannya
diakui atau dianggap diakui kebenarannya, kemudian dalam Pasal 165
HIR tersebut diatas menyatakan bahwa : Akta otentik merupakan bukti
yang

cukup,

didalamnya

yang

berarti

perjanjian

yang

dinyatakan

dianggap terbukti nyata,

Kemudian Pasal 1869 KUH Perdata menyatakan : Suatu akta yang


karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud
diatas atau karena suatu cacat dalam bentuknya tidak dapat
diperlakukan sebagai akta otentik akan tetapi mempunyai kekuatan
sebagai akta dibawah tangan jika akta itu ditandatangani para pihak.
Dengan demikian maka jika suatu akta otentik yang dibuat oleh
pejabat umum yang tidak berwenang untuk itu, akta itu tidak lagi
mempunyai kekuatan pembuktian sebaga akta otentik yaitu kekuatan
pembuktian sempurna, akan tetapi hanya mempunyai kekuatan
pembuktian di bawah tangan. Demikian pula jika terdapat cacat
bentuk dari akta otentik itu, seperti bentuknya yang menyimpang
dengan yang telah ditentukan oleh undang-undang bersangkutan,
maka kekuatan pembuktian yang sempurna dari akta otentikitu
menjadi turun derajatnya menjadi akta dibawah tangan.
Risalah Lelang termasuk akta otentik yang dibuat dihadapan
pejabat, karena memenuhi syarat formal dan syarat materil suatu akta
otentik dibuat dihadapanpejabat.Syarat formil yaitu dibuat dihadapan
pejabat yang berwenang menurutundang-undang, yaitu Pejabat Lelang

berdasarkan

Pasal

106/PMK.06/2013

58

Peraturan

tentang

Petunjuk

MenteriKeuangan
Pelaksanaan

Lelang

Nomor
yang

menyatakan bahwa : lelang dihadiri para pihak yaitu penjual dan pihak
pembel lelang, kedua belah pihak dikenal atau dikenalkan kepada
para

Pejabat Lelang, menyebut identitas, Pejabat Lelang menyebut

tempat, hari, bulan dan tahun pembuatan risalah lelang; Pejabat Lelang
membacakanakta dihadapan para penjual dan pembeli lelang, ditandatangani semua pihak dan penegasan,pembacaan, penerjemahan dan
penanda-tanganan pada bagian penutupakta.
Sedangkan Syarat materil, Risalah Lelang memuat keterangan
kesepakatan parapihak antara penjual dan pembeli lelang, isi
keterangan perbuatan hukum(rechthandeling) yang bersegi dua berupa
jual

beli

melalui

(rechtbetrekking)

lelang

antara

atau

penjual

mengenaihubungan
dan

pembeli

lelang

hukum
dan

pembuatanakta sengaja dimaksudkan sebagai bukti.Risalah Lelang


merupakan bukti yangsempurna tentang adanya pelaksanaan lelang.
Resiko suatu risalah lelang yang dibuat tidak sesuai dengan
ketentuan-ketentuan bentuk dari risalah lelang, maka risalah lelang
tersebutdianggap tidak menjadi otentik, sehingga hanya bersifat
sebagai akta dibawah tangan. Hal ini berakibat apabila suatu saat
menimbulkan sengketa hukum dan menimbulkan kerugian, menjadi
tanggung jawab Pejabat Lelang yang membuatnya (Pasal 40 Vendu
Reglement).
Disinilah arti penting akta otentik dalam suatu sengketa hukum
guna memudahkan pembuktian dan memberikan kepastian hukum
seperti yang dimaksud Pasal 165 HIR dan Pasal 1870 KUH Perdata.
Risalah

lelang

juga merupakan akta

otentik, sehingga sudah tentu

kekuatan pembuktian tersebut berlaku juga untuk risalah lelang, dan

risalah lelang sebagai akta otentik yang mempunyai kekuatan


pembuktian yang sempurna juga dalam arti material.
Terdapat 3 (tiga) hal berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa risalah lelang termasuk akta otentik :
1. Unsur pertama bahwa bentuk akta otentik haruslah diatur dalam
suatu undang-undang. Risalah lelang, sebagai suatu akta otentik
bentuknya diatur dalam Vendu Reglement / Peraturan Lelang Pasal
37, 38 dan 39 ;
2. Unsur kedua bahwa akta otentik itu haruslah dibuat oleh atau
dihadapan pejabat umum. Risalah lelang dibuat oleh pejabat lelang,
yang merupakan orang yang berdasarkan peraturan perundangundangan diberi wewenang khusus untuk melaksanakan penjualan
barang secara lelang.(Pasal 1 Angka 14 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 106 /PMK.06/2013), kemudian dalam Pasal 35
Vendu Reglement dinyatakan bahwa setiap penjualan dimuka
umum / lelang harus dibuat berita acara lelang / risalah lelang.
3. Unsur ketiga yaitu tentang kewenangan apa, kapan, dan dimana
akta itu dibuat. Untuk risalah lelang dapat dilihat di dalam ketentuan
Pasal 3 dan 7 Vendu Reglement, bahwa kapan dan wilayah kerja
pejabat lelang ditentukan oleh Menteri Keuangan. Apabila terbukti
bahwa risalah lelang itu dibuat oleh pejabat lelang di luar wilayah
kerjanya atau pada saat risalah lelang dibuat pejabat tersebut telah
pensiun atau sedang cuti, maka risalah lelang itu menjadi tidak sah.
Dengan terpenuhinya ketiga unsur tersebut maka terbuktilah
bahwa risalah lelang merupakan suatu akta otentik.Akta otentik itu
memberikan

kepada

para

pihak

suatu

pembuktian yang

mutlak mengenai peristiwa-peristiwa yang disebut dalam akta itu,


dalam pembuktian bahwa apa yang tersebut dalam akta otentik

10

pada

pokoknya

harus

dianggap

benar. Hal

tersebut

telah

ditentukan dalam pasal 1870 KUH Perdata yang menyatakan : Suatu


akta otentik memberikan diantara pihak
atau orangorang

yang mendapat

beserta ahli warisnya

hak dari pada mereka, suatu

bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.


Kemudian bahwa risalah lelang itu mempunyai tiga macam kekuatan
pembuktian yaitu4:
1.

Kekuatan pembuktian lahir, artinya bahwa apa yang tampak


pada

lahirnya yaitu risalah lelang yang nampak seperti akta

dianggap seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.


2.

Kekuatan pembuktian formal ialah kepastian bahwa suatu kejadian


yang ada dalam risalah lelang betulbetul dilakukan oleh Pejabat
Lelang.

3.

Kekuatan pembuktian materiil ialah kepastian bahwa apa yang


tersebut dalam risalah lelang itu adalah benar dan merupakan
pembuktian yang sempurna dan sah terhadap pihak yaitu: penjual,
pembeli lelang dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian
sebaliknya.
Risalah lelang dapat digunakan sebagai akta jual beli yang sah

dalam suatu pelelangan5, Karena risalah lelang sebagai akta jual


beli yang sah, maka risalah lelang dapat dipakai untuk balik nama
seperti yang tertuang dalam Pasal 41 jo. Pasal 51 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang
menyatakan : Peralihan hak melalui pemindahan hak dengan lelang
4 Teja Buana, , http://mkn-unsri.blogspot.com/2011/02/bab-tentang-risalah-lelang-bag-2. Bab Tentang
Risalah Lelang Bagian 2. diunduh pada tanggal 3 Juli 2012 jam 13.45

Ibid

11

hanya dapat didaftar jika dibuktikan dengan kutipan risalah lelang yang
dibuat oleh Pejabat Lelang.
Berdasarkan peraturan di atas, disebutkan bahwa yang berwenang
membuat suaturisalah lelang sebagai bukti peralihan hak adalah
seorang pejabat lelang.
Setelah terjadinya suatu lelang yang dilakukan pada Kantor Lelang,
maka pemenang lelang berhak mendapat risalah lelang sebagai bukti
peralihan hak atas tanah yang dimenangkannya tersebut. Pemenang
lelang wajib mendaftarkan tanah yang dimenangkannya kepada Kantor
Pertanahan untuk dilakukan pendaftaran atas peralihan hak tersebut,
sesuai dengan Pasal 36 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang menyatakan :
(1) Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi
perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah
yang telah terdaftar.
(2) Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kantor Pertanahan.
Untuk

melakukan

suatu

pendaftaran

tanah,

pemohon

wajib

melampirkan dokumen dokumen yang dianggap perlu dalam proses


pendaftaran tersebut, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 41 ayat (5)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
Untuk pendaftaran peralihan hak yang diperoleh melalui lelang
disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan:
1. kutipan risalah lelang yang bersangkutan;

12

2. sertifikat hak milik atas satuan rumah susun atau hak atas tanah
yang dilelang jika bidang tanah yang bersangkutan sudah terdaftar
atau dalam hal sertifikat tersebut tidak diserahkan kepada pembeli
lelang eksekusi, surat keterangan dari Kepala Kantor Lelang
mengenai alasan tidak diserahkannya sertifikat tersebut; atau
3. jika bidang tanah yang bersangkutan belum terdaftar, surat-surat
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b Pasal ini.
Dalam hal lelang eksekusi yang tidak diserahkan kepadanya
sertifikat asli atas hak tanah yang dilelang, maka pemenang lelang
dapat memohonkan penerbitan sertifikat baru dengan menyertakan
surat keterangan dari Kepala Kantor Lelang mengenai alasan tidak
diserahkannya sertifikat tersebut seperti yang telah dijelaskan pada
Pasal 41 ayat (5) huruf b angka 2, Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tersebut diatas.
Permohonan

penggantian

sertifikat

baru

tersebut

dapat

dimohonkan langsung kepada Kantor Pertanahan setempat, seperti


yang disampaikan dalam Pasal 60 ayat (1) dan (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang
berbunyi :
(1) Penggantian sertifikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan
rumah susun yang tidak diserahkan kepada pembeli lelang dalam
lelang eksekusi didasarkan atas surat keterangan dari Kepala Kantor
Lelang

yang

bersangkutan

yang

memuat

alasan

tidak

dapat

diserahkannya sertifikat tersebut kepada pemenang lelang.


(2) Kepala Kantor Pertanahan mengumumkan telah diterbitkannya
sertifikat pengganti untuk hak atas tanah atau hak milik atas satuan
rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tidak

13

berlakunya lagi sertifikat yang lama dalam salah satu surat kabar harian
setempat atas biaya pemohon.
Dengan dibuatkannya sertifikat yang baru atas nama pembeli
lelang, maka telah kuatlah kedudukannya sebagai pemilik tanah
tersebut seperti yang dijelaskan pada Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah, bahwa pendaftaran tanah
tersebut

bertujuan

untuk

memberikan

kepastian

hukum

dan

perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah,


satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan
mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, Pasal 32
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah dan UUPA telah memberikan kekuatan pembuktian
sertifikat yang kuat, dengan syarat selama belum dibuktikan yang
sebaliknya. Data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam
sertifikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam perbuatan
hukum hak atas tanah maupun dalam pembuktian di pengadilan.
Penjelasan pasal tersebut mengatur tentang ketentuan yang
bertujuan pada satu pihak untuk berpegang pada sistem pembuktian
negatif dan pada lain pihak untuk secara seimbang memberikan
kepastian hukum kepada pihak pembeli yang beritikad baik untuk
menguasai tanah dan mendaftarkan tanahnya tersebut sebagai tanda
bukti kepemilikan hak tersebut.
Seperti diketahui, bahwa sertifikat merupakan suatu bukti otentik
kepemilikan hak atas suatu bidang tanah yang telah didaftarkan.Tetapi
dalam prakteknya, debitur yang merupakan pemilik terdahulu atas
tanah yang dilelang tersebut dapat mengajukan gugatan pembatalan
atas peralihan hak tersebut kepada Pengadilan Negeri setempat untuk
memintakan

pembatalan

atas

lelang

dan

memohonkan

pula

14

pembatalan atas penerbitan sertifikat yang baru tersebut kepada


Pengadilan Tata Usaha Negara.
Peralihan hak atas tanah melalui lelang apabila dihubungkan
dengan sistem pendaftaran di Indonesia yang menganut sistem
publikasi campuran sesuai dengan Pasal 32 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, maka
suatu peralihan hak yang melalui lelang, yang kemudian dilakukan
pendaftarannya melalui balik nama di Kantor Pertanahan, keabsahan
sertifikat yang telah didaftarkan oleh pemenang lelang setiap saat
masih

dapat

digugat

dan

dibatalkan

jika

terbukti

tidak

sah

penerbitannya, hingga terlampaui pembatasannya dalam kurun waktu 5


(lima) tahun 6.
Menurut Ketentuan Pasal 45 PP No. 24 Tahun 1997 menggariskan
bahwa

Kepala

Kantor

Pertanahan

menolak

untuk

melakukan

pendaftaran peralihan hak, jika terdapat salah satu keadaan sebagai


berikut :
a. Sertifikat dan surat keterangan tentang keadaan hak atas tanah tidak
sesuai dengan daftar-daftar yang ada pada Kantor Pertanahan.
b. Perbuatan hukum, yang tidak dibuktikan dengan akta PPAT atau
kutipan risalah lelang, kecuali dalam keadaan tertentu.
c. Dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran peralihan pembebanan
hak yang bersangkutan tidak lengkap
d. Tidak dipenuhi syarat lain yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan.

Purnama T. Sianturi, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak Melalui
Lelang, Mandar Maju, Bandung, 2007. Hlm. 141

15

e. Tanah yang bersangkutan merupakan objek sengketa dipengadilan.


f. Perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta PPAT batal atau
dibatalkan oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
g. Perbuatan hukum yang dibatalkan oleh para pihak sebelum
didaftarkan oleh Kantor Pertanahan7.
1.3 Rumusan Masalah
Rumusan

masalah

dalam

suatu

penelitian

dimaksudkan

untuk

memudahkan penulis dalam membatasi masalah yang diteliti sehingga


sasaran yang hendak dicapai menjadi jelas, searah dan dapat mencapai
sasaran yang diharapkan. Berdasarkan uraian latar belakang di atas,
maka dapatlah dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pelaksanaan Pendaftaran Peralihan Hak Milik
berdasarkan risalah lelang ?
2. Apakah akibat hukum pada pendaftaran tanah jika peralihan hak
karena lelang tidak dibuktikan oleh kutipan risalah lelang ?

Arba. Hukum Agraria Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. Hal :168

16

1.4 Landasan Konsepsual


1.4.1 Landasan Teori
a. Teori Kewenangan
Teori kewenangan digunakan untuk membahas dan mengkaji
permasalahan pertama. Pelaksanaan peralihan hak atas tanah
memerlukan peranan Pejabat Lelang, di mana Pejabat lelang ini
merupakan pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat
risalah lelang mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai lelang.
Selain itu diperlukan juga pejabat PPAT dalam proses pendaftaran
peralihan hak. Menurut P. L Wery profesi jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) adalah : Persoonlijke kwaliteiten of ambtelijke
hoedanigheid atau kualitas pribadi dalam kapasitas resmi yang
artinya profesi jabatan PPAT adalah bidang pekerjaan yang dilandasi
keahlian untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya atas
jabatan mereka.18 Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya
disebut PPAT memiliki tugas untuk melaksanakan sebagian kegiatan
pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah,
yang akan dijadikan dasar untuk pendaftaran tanah yang diakibatkan
oleh perbuatan hukum itu. Wewenang adalah kemampuan bertindak
yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan
hubungan dan perbuatan hukum 8.Teori kewenangan dalam penelitian
ini

digunakan

untuk

membahas

rumusan

masalah

mengenai

pelaksanaan peralihan hak melalui risalah lelang.

8 SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997.
hal. 154

17

b. Teori Kepastian Hukum


Teori kepastian hukum digunakan oleh peneliti untuk membahas
dan mengkaji permasalahan kedua, dengan tujuan untuk mengetahui
bagaimana kepastian hukum dalam proses risalah lelang pada
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK. 06/2010 sebagaimana
telah

diubah

dengan

Peraturan

Menteri

Keuangan

Nomor

106/PMK.06?2013 dan peralihan hak atas tanah berdasarkan PP


Nomor 24 tahun 1997. Hukum atau peraturan perundang-undangan
pada saat ini, harus dikembalikan kepada tujuan hukum yaitu
menjamin kepastian hukum bagi setiap warga negaranya, dan dengan
demikian akan dirasakan suatu perlindungan yang akan melindungi
hak-hak dari setiap warga pemegang hak.
Menurut Gustav Radbruch, kepastian hukum atau Rechtssicherkeit
security, rechts-zekerheid adalah sesuatu yang baru, yaitu sejak
hukum itu dituliskan, dipositifkan, dan menjadi publik. Kepastian
hukum menyangkut masalah law Sicherkeit durch das Recht, seperti
memastikan

bahwa

pencurian,

pembunuhan

menurut

hukum

merupakan kejahatan. Kepastian hukum adalah Scherkeit des Rechts


selbst atau kepastian hukum itu sendiri.
Ada empat hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum:
pertama, bahwa hukum itu positif artinya bahwa ia adalah perundangundangan (gesetzkiches Recht), kedua hukum itu didasarkan pada
fakta (Tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti
akan dilakukan oleh hakim, seperti kemauan baik, kesopanan, ketiga,
bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga
menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping juga mudah
dijalankan, keempat, hukum positif tidak boleh sering diubah-ubah.
Teori kepastian hukum ini dijadikan titik tolak untuk menganalisis
kepastian hukum dan peralihan hak atas tanah berdasarkan risalah
lelang. Perlu diciptakan suatu kepastian hukum bagi setiap pemegang

18

hak atas tanah maupun bagi masyarakat umum, melalui suatu proses
pencatatan secara sistematis atas setiap bidang tanah baik mengenai
data fisik maupun data yuridis, dan kegiatan semacam ini dikenal
dengan sebutan pendaftaran tanah. Maka peralihan hak atas tanah
berdasarkan lelang harus didaftarkan.

1.4.2 Landasan Konsep


Untuk menghindari salah persepsi dan salah penafsiran maka perlu
diberikan

dan

dirumuskan

definisi

operasional

sebagai

berikut

berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106 /PMK.06/2013


Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang :
1. Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum
dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang
semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga
tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang.
2.

Lelang

Eksekusi

adalah

lelang

untuk

melaksanakan

putusan/penetapan pengadilan, dokumendokumen lain yang


dipersamakan dengan itu, dan/atau melaksanakan ketentuan
dalam peraturan perundangundangan.
3. Lelang Noneksekusi Wajib adalah lelang untuk melaksanakan
penjualan barang yang oleh peraturan perundangundangan
diharuskan dijual secara lelang.
4. Lelang Noneksekusi Sukarela adalah lelang atas barang milik
swasta, orang atau badan hukum/badan usaha yang dilelang
secara sukarela.
5. Pejabat Lelang adalah Orang yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan

diberi

wewenang

khusus

untuk

melaksanakan penjualan barang secara lelang.


6. Pejabat Lelang Kelas I adalah Pejabat Lelang pegawai Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara yang berwenang melaksanakan

19

Lelang Eksekusi, Lelang Noneksekusi Wajib, dan Lelang


Noneksekusi Sukarela.
7. Pejabat Lelang Kelas II adalah Pejabat Lelang swasta yang
berwenang melaksanakan Lelang Noneksekusi Sukarela.
6. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh Pemerintah secara terus menerus, berke-sinambungan dan
teratur, meliputi pengumpulan, pengo-lahan, pembukuan, dan
penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam
bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda
bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya
dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu
yang membebaninya.
Pada Pasal 37 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun
1997 Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah
susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya,
kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan,
jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang
berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Bukti kepemilikan itu pada dasarnya terdiri dari bukti
kepemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya
UUPA dan apabila hak tersebut kemudian beralih, bukti peralihan
hak berturut-turut sampai ke tangan pemegang hak pada waktu
dilakukan pembukuan hak.
Alat-alat bukti tertulis yang dimaksudkan dapat berupa :
a.

grosse

akta

hak

eigendom

yang

diterbitkan

berdasarkan

Overschrijvings Ordonnantie (S.1834-27), yang telah dibubuhi

20

catatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi


menjadi hak milik; atau
b.

grosse

akta

hak

eigendom

yang

diterbitkan

berdasarkan

Overschrijvings Ordonnantie (S.1834-27) sejak berlakunya UUPA


sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan;
atau
c. surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan
Swapraja yang bersangkutan; atau
d. sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri
Agraria Nomor 9 Tahun 1959; atau
e. surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak
disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi
telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya; atau
f. akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi
tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang
dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini; atau
g. akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang
tanahnya belum dibukukan; atau
h. akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak
mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977;
atau
i. risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang,
yang tanahnya belum dibukukan; atau
j. surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah
yang diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; atau
k. petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding
Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1961;

21

Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada


orang yang mempunyai hak untuk menggunakan atau mengambil
manfaat dari hak yang dihakinya. Hak atas tanah dapat diberikan
kepada perseorangan, baik warga negara Indonesia, sekelompok
orang secara bersama-sama, dan badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia atau badan
hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Menurut Soedikno Mertokusumo, wewenang yang dipunyai oleh
pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Wewenang Umum
Wewenang yang bersifat umum, yaitu pemegang hak atas tanah
mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk
juga tubuh bumi, air, dan ruang yang ada di atasnya sekadar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
perundangan penggunaaan tanah itu dalam batas-batas menurut
UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
2. Wewenang Khusus
Wewenang yang bersifat khusus, yaitu pemegang hak atas tanah
mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai
dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada
tanah hak milik adalah dapat digunakan untuk kepentingan
pertanian dan/atau mendirikan bangunan, wewenang pada tanah
hak guna bangunan adalah menggunakan tanah hanya untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang
Menurut Ketentuan Pasal 45 PP No. 24 Tahun 1997 menggariskan
bahwa

Kepala

Kantor

Pertanahan

menolak

untuk

melakukan

pendaftaran peralihan hak, jika terdapat salah satu keadaan sebagai


berikut :

22

a. Sertifikat dan surat keterangan tentang keadaan hak atas tanah tidak
sesuai dengan daftar-daftar yang ada pada Kantor Pertanahan.
b. Perbuatan hukum, yang tidak dibuktikan dengan akta PPAT atau
kutipan risalah lelang, kecuali dalam keadaan tertentu.
c. Dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran peralihan pembebanan
hak yang bersangkutan tidak lengkap
d. Tidak dipenuhi syarat lain yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan.
e. Tanah yang bersangkutan merupakan objek sengketa dipengadilan.
f. Perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta PPAT batal atau
dibatalkan oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
g. Perbuatan hukum yang dibatalkan oleh para pihak sebelum
didaftarkan oleh Kantor Pertanahan9.

9 Loc.cet

23

1.5 Metode Penelitian


1.5.1 Metode Penelitian yang digunakan
. Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian hukum
normatif. Metode penelitian Hukum Normatif adalah suatu prosedur
penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran, yakni norma hukum
yang terkait dengan fungsi Pejabat Lelang sebagai pembuat risalah
lelang dan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai pejabat yang
berhak membuat akta-akta peralihan hak atas tanah. Oleh karena
tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis
normatif.
1.5.2 Metode Pendekatan
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundangundangan.
1.5.3 Bahan Hukum
Dalam penelitian ini menggunakan tiga bahan hukum, yakni bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
1.5.3.1

Bahan Hukum Primer


Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang diperoleh
dari Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Peraturan
Perundang-undangan yang dipakai dalam tesis ini terdiri dari :
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan
-

Dasar Pokok-Pokok Agraria;


Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK. 06/2010
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013

24

1.5.3.2 Bahan Hukum Sekunder


Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan

yang memiliki

banyak korelasi dengan bahan hukum primer serta berfungsi


untuk membantu dalam menganalisa dan memahami

bahan

hukum primer, yang terdiri atas buku-buku hukum (text


book) .

1.5.3.3 Bahan Non Hukum


Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer n hukum sekunder seprti kamus,
ensiklopedi, majalah.

1.6 Daftar Bacaan


Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Piutang
dan Lelang Negara Biro Hukum-Sekretariat Jenderal, Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang Lelang Jakarta, 18 Februari 2005,

25

Usman Rachmadi. Hukum Lelang. 2016. Sinar Grafika. Jakartta.

Prakoso Djoko dkk, eksistensi PRONA dalam Pelaksanaan mekanisme


fungsi agraria, Ghalia Indonesia, 1985,
Buana Teja, Bab Tentang Risalah Lelang Bagian 2, http://mknunsri.blogspot.com/2011/02/bab-tentang-risalah-lelang-bag-2. diunduh
pada tanggal 3 Juli 2013

Purnama T. Sianturi, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang


Jaminan Tidak Bergerak Melalui Lelang, Mandar Maju, Bandung, 2007
Arba. Hukum Agraria Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. 2015
SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi
di Indonesia, Liberty. Yogyakarta.
Peraturan Perundang Undangan
_____. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
_____. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria
_____. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah
_____.Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK. 06/2010
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 106/PMK.06/2013

26

Anda mungkin juga menyukai