Anda di halaman 1dari 47

PRESENTASI KASUS

CHOLELITHIASIS

PEMBIMBING :
Dr. TAN SUHARDI, SpBD
OLEH :
NANDA MARDAS SAPUTRA
( 110.2006.179)
FK YARSI

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN BEDAH


RSPAD GATOT SOEBROTO DITKESAD
JAKARTA, JUNI 2011
BAB I
PRESENTASI KASUS

1. IDENTITAS PASIEN :
Nama
Umur
Pekerjaan
Agama
Suku/Bangsa
Alamat

: Tn. R
: 55 Th
: Swasta
: Islam
: Jawa / Indonesia
: karanggan, Gunung putri bogor

I.1. ANAMNESIS ( pada tanggal 21 Juni 2011)


1.
Keluhan Utama
Nyeri perut kanan atas.
2.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke dengan keluhan nyeri pada perut kanan atas, nyeri dirasakan sudah sejak
dua tahun yang lalu, pasien setahun yang lalu pernah berobat kerumah sakit dan di rumah
sakit pasien didiagnosis menderita batu empedu namun pasien belum berniat untuk menjalani
saran dokter untuk melakukan operasi
Kemudian pasien melakukan medical check up kembali dan kembali di diagnosis menderita
batu empedu pasien akhirnya memutuskan untuk mau menjalani operasi karena pasien sudah
akan pensiun dari pekerjaannya.
Pasien selama ini hanya mengeluh rasa sakit pada perut kanan atasnya, sakit bertambah
terutama jika pasien makan makanan yang mengandung banyak lemak.
Pusing (-), mual (- ), muntah (-), lemas (-), BAK ( N ), BAB (N ).
3.
Riwayat Penyakit Dahulu
Asma
: Disangkal
Hipertensi : Disangkal
Jantung
: Disangkal
DM
: Disangkal
4.
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakt seperti pasien

2. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
: Tampak Sakit ringan
Kesadaran
: Compos Mentis
Vital Sign
: TD : 120/80 mmhg
S : 36,5 C
N : 80 X / mnt
P : 20 X / mnt
Kulit
: Dbn
Kepala
: Normocephal
Mata
:Conjunctiva anemis ( - ), sclera tidak ikterik
Telinga
: Secret ( - )
Hidung
: Secret ( - )
Mulut
: Lidah Kotor tidak ada, gigi karies tidak ada
2

Thorax
Pulmo

Jantung

Abdomen

Ekstremitas

: Inspeksi
: Retraksi ( - ), Ketinggalan gerak nafas ( - )
Palpasi
: Ketinggalan gerak nafas ( - )
Perkusi
: Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler, ronkhi ( - ), Wheezing (-/-)
: Inspeksi
: Ictus Cordis tak tampak
Palpasi
: Ictus Cordis teraba di SIC IV
Perkusi
: Redup
Auskultasi : Regular, Murmur (-) Gallop (-)
: Inspeksi
: Perut cembung
Palpasi
: Hepar / lien tidak teraba, NT ( - )
Perkusi
: Shifting Dulness ( - )
Auskultasi : Bising usus (+)
Murphy sign : ( - )
: Akral hangat, Nadi kuat.

3. DIAGNOSIS SEMENTARA
Cholelithiasis
4. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium :
o Tanggal 20-05-2011/08:07:40
o Hematologi :
Hemoglobin
: Hematokrit
:
Eritrosit
:
Leukosit
:
Trombosit
:
MCV
:
MCH
:
MCHC
:
Bleeding Time
: 130
Clotting Time
: 430
o Kimia :
Protein Total
:
Albumin
:
Globulin
:
Cholesterol
:
Trigliserida
:
Bilirubin total
: 0.7
Bilirubin Direct
:
Bilirubin Indirect
:
3

Alkali fosfatase (pria) : 74 U/L


SGPT
:
SGOT
: 26U/L
GGT
:
Ureum
: 47mg/dL
Kreatinin
:
Asam Urat
:
Natrium
: 143 mEq/L
Kalium
: 4.8 mEq/L
Klorida
: 105 mEq/L
Analisa Gas darah
pH
: 7.393
pCO2
: 38.6
pO2
: 94.0
HCO3
: 23.7
Base Excess : -0.4
O2 Saturation : 97.0
USG
: Data Tidak ada
Histopatologi : -kolesistisis kronik non spesifik
-tidak tampak tanda ganas

5. DIAGNOSIS
Cholecystolithiasis dengan Cholecystisis Chronic

6. PENANGANAN
laparoscopic cholecystectomy
7. INSTRUKSI POST OPERASI
a. Awasi tekanan darah, nadi, suhu dan pernafasan
b. Lakukan penampungan dan pengukuran produksi dari NGT dan urin
c. Pasien dipuasakan dulu
d. Infus Dektrosa 5% : RL (3:2) 5 kolf/24 jam
e. Obat-obatan : - Injeksi Ceftriaxon 3x 1 gr IV
- Metofusin drip 3x 500 mg
- Acran injeksi 3 x 1 ampul
- Ketoprofen injeksi 3 x 1 ampul
- Vitamin K injeksi 3 x 1 ampul
- Kalnex injeksi 3 x 1 ampul
f. bila pasien sadar terus tidak ada kembung, mual dan muntah dan bising usus adekuat,
pasien dicoba minum bertahap (NGT diklem terlebih dahulu)
g. Bila intake oral baik infus, NGT dan kateter di cabut, pasie boleh makan bebas, pasien
mobilisasi dengan jalan dan obat-obatan diganti per oral :
- MEIACT tab 3 x 250 mg
- Ketoprofen tab 3 x 1
- Glyserin cap 3 x 1
4

h. Periksa histopatologi jaringan operasi


i. Boleh pulang
8. PROGNOSIS
o Ad Vitam
o Ad Sanationam
o Ad Functionam

: Dubia Ad Bonam
: Dubia Ad Bonam
: Dubia Ad Bonam

BAB II
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kolelitiasis merupakan salah satu masalah bedah yang paling sering di negara yang sudah
berkembang. Masalah batu empedu menjadi lebih dikenal seiring dengan bertambahnya usia
dan pada wanita batu empedu lebih sering muncul dua kali dibanding pada pria. Dibutuhkan
pemeriksaan penunjang yang memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi pada penegakan
diagnosis kolelitiasis.
Anomali saluran empedu dapat dijumpai pada 10-20% populasi, mencakup kelainan
jumlah, ukuran, dan bentuk.Penyakit-penyakit yang sering menyerang empedu salah satunya
adalah penyakit batu empedu yang sering disebut dengan kolelitiasis.Penyakit batu empedu
cukup sering dijumpai di sebagianbesar negara barat. Di Amerika Serikat, pemeriksaan
autopsi memperlihatkan bahwa batu empedu ditemukan paling sedikit pada 20% perempuan
5

dan 8% pada laki-laki berusia diatas 40 tahun. Diperkirakan bahwa 16 sampai 20 juta orang
di Amerika Serikat memiliki batu empedu dan setiap tahun terjadi kasus baru batu empedu.
Pada saat ini tidak mungkin untuk mencegah timbulnya batu empedu, yang merupakan
kelainan saluran empedu tersering.
Populasi yang memiliki resiko tinggi adalah orang-orang obesitas dan orang- orang yang
memiliki kelainan metabolik tertentu serta kelainan hemolitik. Kolelitiasis adalah penyakit
yang menunjukkan adanya batu empedu dalam kandung empedu, sedangkan koledokolitiasis
adalah batu empedu yang ditemukan di saluran empedu, sedangkan batu empedu adalah
timbunan kristal di dalam kandung empedu maupun dalam saluran empedu.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Dan Fisiologi Dari Sistem Bilier


Hati, kandung empedu, dan pankreas berkembang dari cabang usus depan fetus dalam
suatu tempat yang kelak menjadi duodenum, ketiganya terkait erat dalam fisiologi
pencernaan.

Sumber gambar: http://drugster.info


1. Hati
Hati yang merupakan kelenjar terbesar dari tubuh, dapat dianggap sebagai
sebuah pabrik kimia yang membuat, menyimpan, mengubah dan mengekresikan
sejumlah besar substansi yang terlihat dalam metabolisme. Lokasi hati sangat penting
dalam pelaksanaan fungsi ini karena hati menerima darah yang kaya nutrient ini
menjadizat-zat kimia yang digunakan dibagian lain dalam tubuh untuk keperluan
metabolik. Selain itu hati merupakan organ yang penting dalam pengaturan
metabolisme glukosa dan protein. Hati terletak dibelakang tulang- tulang iga (kosta)
7

dalam rongga abdomen daerah kanan atas.Hati memiliki berat 1500 g dan dibagi
menjadi empat lobus.
Setiap lobus hati terbungkus menjadi unit-unit yang lebih kecil, yang disebut
lobules. Darahyang mengalir ke dalam hati berasal dari dua sumber dan kurang lebih
75% suplai darah datang dari vena porta yang mengalirkan darah yang kaya akan
nutrient dari traktus gastrointestinal.
Selain itu, darah tersebut masuk ke dalam hati melalui arteri hepatika dan
banyak mengandung oksigen. Dengan demikian, sel-sel hati (hepatosit) akan
terendam oleh campuran darah vena dan arterial.

2. Kandung Empedu (Vesika felea)


Embriologi
Cikal bakal saluran empedu dan hati adalah penonjolan sebesar tiga milimeter yang
timbul di daerah ventral usus depan (foregut). Bagian kranial tumbuh menjadi hati,
bagian kaudal menjadi pankreas, sedangkan bagian sisanya menjadi kandung empedu.
Dari tonjolan berongga yang bagian padatnya kelak jadi sel hati, tumbuh saluran
empedu yang bercabang-cabang sepert pohon diantara sel hati tersebut.
Anatomi
Kandung empedu berbentuk bulat lonjong seperti buah alpukat dengan
panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu. Bagian fundus umumnya
menonjol sedikit ke luar tepi hati, di bawah lengkung iga kanan, di tepi lateral m.
Rektus abdominis. Sebagian besar korpus menempel dan tertanam di dalam jaringan
hati. Kandung empedu tertutup seluruhnya oleh peritoneum viseral, tetapi
infundibulum kandung empedu tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan
peritonium. Apabila kandung empedu mengalami distensi akibat bendungan oleh
batu, bagian infundibulum menonjol seperti kantong yang disebut kantong hartmann.
Duktus sistikus panjangnya 1-2 cm dengan diameter 2-3 mm. Dinding
lumennya mengandung katup berbentuk spiral disebut katup spiral heister, yang

memudahkan cairan empedu mengalir masuk ke dalam kandung empedu, tetapi


menahan aliran keluarnya.
Saluran empedu ekstrahepatik terletak di dalam ligamentum hepatoduodenale
yang batas atasnya porta hepatis, sedangkan batas bawahnya distal papilla vater.
Bagian hulu saluran empedu intrahepatik berpangkal dari saluran paling kecil yang
disebut kanilikulus empedu yang meneruskan curahan sekresi empedu melalui duktus
interlobaris ke duktus lobaris, dan selanjutnya ke duktus hepatikus di hillus.
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm.
Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi, bergantung pada letak muara
duktus sistikus. Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum menembus jaringan
pankreas dan dinding duodenum membentuk papilla vater yang terletak di sebelah
medial dinding duodenum. Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter Oddi, yang
mengatur aliran empedu kedalam duodenum. Duktus pankreatikus umumnya
bermuara di tempat yang sama dengan duktus koledokus di dalam papilla vater, tetapi
juga dapat terpisah. Sering ditemukan variasi anatomi kandung empedu, saluran
empedu, dan pembuluh arteri yang memperdarahi kandung empedu dan hati. Variasi
yang kadang ditemukan dalam bentuk luas ini, perlu diperhatikan para ahli bedah
untuk menghindari komplikasi pembedahan, seperti perdarahan atau cedera pada
duktus hepatikus atau duktus koledokus.

Sumber Gambar: faculty.etsu.edu


9

Fisiologi
Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500 ml perhari. Di luar
waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu, dan
disini mengalami pemekatan sekitar 50%.
Pengaliran cairan empedu dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu
oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan
puasa, empedu yang diproduksi akan dialih-alirkan ke dalam kandung empedu.
Setelah makan, kandung empedu berkontraksi, sfingter relaksasi, dan empedu
mengalir ke dalam duodenum. Aliran tersebut sewaktu-waktu seperti disemprotkan
karena secara intermitten tekanan saluran empedu akan lebih tinggi daripada tahanan
sfingter.
Kolesistokinin (CCK) hormon sel APUD (amine precursor uptake and
decarboxylation cells) dari selaput lendir usus halus, dikeluarkan atas rangsangan
makanan berlemak atau produk lipolitik di dalam lumen usus. Hormon ini
merangsang nervus vagus sehingga terjadi kontraksi kandung empedu. Dengan
demikian, CCK berperan besar terhadap terjadinya kontraksi kandung empedu setelah
makan.
Fisiologi produksi empedu
Sebagai bahan sekresi, empedu mempunyai tiga fungsi utama. Yang pertama,
garam empedu, fosfolipid dan kolesterol beragregasi di dalam empedu untuk
membentuk micelles campuran. Dengan emulsifikasi, komple micelles ini
memungkinkan absorpsi lemak dan vitamin yang larut dalam lemak (A,D, E, K) yang
ada di dalam usus. Absorpsi mineral tertentu (kalsium, tembaga, besi) juga
dipermudah. Kedua, empedu bertindak sebagai vehikel untuk ekskresi usus bagi
banyak senyawa yang dihasilkan secara endogen dan eksogen (seperti bilirubin).
Ketiga,

sebagian

dengan

menetralisi

asam

lambung,

empedu

membantu

mempertahankan lingkungan alkali yang tepat di dalam duodenum, yang dengan


adanya garam empedu, memungkinkan aktivitas maksimum enzim pencernaan
sesudah makan.
Normlanya hepatosit dan saluran empedu menghasilkan 500-1500 ml empedu
tia harinya. Produksi empedu merupakan proses kontinyu yang hanya sebagian
10

menjadi sasaran regulasi saraf, hormon dan humoral. Masukan (input) vagus bekerja
langsung pada sel saluran empedu untuk meningkatkan seksresi air dan elektrolit,
sedangkan

aktivitas

simpatis

splanknikus

cenderung

menghambat

produksi

empedusecara tidak langsung dengan menurunkan aliran darah ke hati. Hormon


gastrointestinal kolesistokinin (CCK), sekretin dan gastrin memperkuat sekresi duktus
dan aliran empedu dalam respon terhadap makanan. Garam empedu sendiri bertindak
sebagai koleretik kuat selama masa sirkulasi enterohepatik yang dinaikkan.
Sekresi aktif garam empedu oleh hepatosit merupakan faktor utama yang
meregulasi volume empedu yang disekresi. Air dan elektrolit mengikuti secara pasif
sepanjang perbedaan osmolar untuk mempertahankan netralitas. Ekskresi lesitin dan
kolesterol ke dalam kanalikuli untuk membentuk micelles campuran, sulit dipahami
dan bisa digabung dengan sekresi garam empedu melintasi membrana kanalikulus.
Sistem transpor aktif terpisah dan berbeda menimbulkan sekresi bilirubin dan anion
organik lain. Sel duktulus meningkatkan sekresi empedu dengan memompakan
natrium dan bikarbonat ke dalam lumen.
Empedu dieksresi secara kontinyu oleh hati kedalam saluran empedu. Selama
puasa, kontraksi tonik sfingter oddi menyebabkan empedu refluks kedalam vesika
biliaris, tempat dimana empedu disimpan dan dipekatkan. Disini garam empedu,
pigmen empedu dan kolesterol dipekatkan sebanyak sepuluh kali lipat oleh absorpsi
air dan elektrolt. Sekitar 50% kumpulan garam empedu dalam vesika biliaris selam
puasa. Tunika mukosa vesika biliaris juga mensekresi mukus yang bisa melakukan
fungsi perlindungan. Dengan makan, CCK dilepaskan oleh lemak dan dalam jumlah
kecil oleh asam amino yang memasuki duodenum; CCK merangsang kontraksi vesika
biliaris dan relaksasi sfingter oddi. Bila tekanan dalam duktus koledokus melebihi
tahanan mekanisme sfingter (15 sampai 20 cm H 2O), maka empedu memasuki lumen
duodenum. Masukan (input) vagus memudahkan memudahkan tonus dan kontraksi
vesika biliaris; setelah vagotomi, bila timbul stasis relatif dan merupakan predisposisi
pembentukan batu empedu. Setelah kolesistektomi, aliran empedu ke dalam
duodenum diregulasi hanya oleh sfingter.
Komposisi Empedu
Empedu merupakan larutan kompleks dalam air yang mengandung elektrolit,
garam empedu terkonjugasi, fosfolipid (terutama lesitin), kolesterol, asam lemak,
11

musin, protein serta berbagai metabolit hati dan pigmen empedu. Kandungan
elektrolit dan osmolaritas empedu mendekati plasma.
Metabolisme garam empedu/sirkulasi enterohepatik
Garam empedu terdiri dari inti steroid yang disintesis langsung dari kolesterol.
Dua garam empedu primer, kolat dan kenodeoksikolat, disintesis oleh hepatosit di
bawah kendali umpan balik yang belum dipahami. Garam empedu sekunder,
deoksikolat dan litokolat dibentuk di dalam kolon oleh degradasi bakteri atas garam
empedu primer yang lolos reabsorpsi di dalam ileum. Litokolat diekskresi ke dalam
feses, tetapi deoksikolat direabsorpsi ke dalam darah porta dan bersama dengan garam
empedu primer yang direabsorpsi, diekstraksi oleh hepatosit. Garam empedu ini
dikonjugasikan dengan glisin atau taurin dan disekresi secara aktif ke dalam
kanalikuli biliaris sebagai 40% kolat, 40% kenodeoksikolat dan 20% deoksikolat
dalam konsentrasi total 10 sampai 20 mol. Karean mempunyai daerah hidrofilik dan
hidrofobik, maka garam empedu berfungsi sebagai deterjen. Garam empedu
beragregasi spontan

dalam kelompok 8 sampai 10 molekul untuk membentuk

micelles. Inti hidrofobik dalam melarutkan lesitin yang sulit larut dalam air, yang
dengan sendirinya lebih memperkuat kelarutan kolesterol dengan memperluas daerah
hidrofobik micelles. Kompleks garam empedu-lesitin-kolesterol ini dinamakan
micelles campuran. Garam empedu dipekatkan lebih lanjut di dalam vesika biliaris
sampai 200-300 mol. Jumlah total kolesterol yang dilarutkan bervariasi sesuai rasio
relatif garam empedu dan lesitin maupun konsentrasi garam empedu total.
Setelah memasuki usus halus bagian atas, micelle campuran ini jelas
mempotensiasi absorpsi lemak dengan memberikan vehikel dan lingkungan yang
sesuai bagi pelarutan, hidrolisis enzimatik dan absorpsi. Sirkulasi enterohepatik garam
empedu dilengkapi bila garam empedu didekonjugasi secara enterik, direabsorpsi
dalam ileum terminalis oleh sistem transpor aktif dan akhirnya diekstraksi dari
sirkulasi porta oleh hepatosit. Lima persen garam empedu yang lolos reabsorpsi di
dalam ileum diubah menjadi garam empedu sekunder di dalam kolon serta
direabsropsi sebagian sebagai deoksikolat. Kumpulan garam empedu total 2,5 sampai
5 g bersirkulasi enam sampai delapan kali sehari; 10 sampai 20% kumpulan total yang
hilang bersama feses setiap hari, diganti oleh sintesis baru oleh hati.

12

Lipid Empedu
Lesitin dan kolesterol membentuk sebagian besar lipid empedu. Lesitin
merupakan fosfolipid yang sebagian besar tak larut air. Kolesterol disintesis oleh hati
dan diabsorpsi oleh traktus gastrointestinal, dan selain itu digunakan juga dalam
lintasan intrasel lain, diubah menjadi garam empedu atau diekskresi langsung ke
dalam empedu. Micelles garam empedu jelas meningkatkan kelarutan lipid ini di
dalam empedu. Tetapi mekanisme transpor lipid intrasel ini ke dalam empedu belum
dipahami dan bisa digabung dengan sekresi garam empedu melintasi membrana
kanalikuli. Di dalam usus, lesitin dihdrolisis menjadi kolin dan asam lemak.
Kolesterol direabsorpsi ke dalam sirkulasi enterohepatik dan bertindak sebagai
mekanisme umpan balik dalam kendali sintesis kolesterol di dalam hati.
Metabolisme bilirubin
Karena eritrosit yang sudah tidak berguna lagi di degradasi di dalam sistem
retikuloendotelial, maka hemoglobin dilepaskan dan diubah menjadi biliverdin.
Pigmen ini direduksi menjadi bilirubin yang tak larut air yang tak terkonjugasi
(bilirubin indirect yang diukur dengan reaksi van den bergh), diangkut ke dalam darah
dan terikat pada albumin, diekstraksi oleh hepatosit. Di dalam sitoplasma, bilirubin
diangkut oleh protein Y dan Z ke retikulum endoplasma. Dengan adanya glukoronil
transferase, bilirubin dikonjugasikan dengan asam glukoronat dan dalam jumla lebih
sedikit dengan sulfat, untuk membentuk bilirubin glukoronida dan bilirubin sulfat.
Bilirubin terkonjugasi yang larut dalam air ini (bilirubin direct) kemudian disekresi ke
dalam kanalikuli biliaris melalui mekanisme transpor aktif yang sama dengan yang
dimiliki oleh garam organik lain, tetapi berbeda dari sekresi garam empedu. Beban
bilirubin harian bagi sekresi sekitar 30 mg. Di dalam usus, bakteri usus mengubah
bilirubin ke kelas senyawa yang dikenal sebagai urobilinogen. Urobilinogen ini
terutama diekskresikan di dalam feses, tetapi sebagian di reabsorpsi dan di ekstraksi
oleh hepatosit untuk memasuki sirkulasi enterohepatik atau diekskresikan di dalam
urin.

13

sumber gambar: ahdc.vet.cornell.edu


Histologi
Saluran empedu dilapisi epitel toraks dengan bentuk seperti kriptus, yang
didalamnya terdapat sel mukus yang berselang-seling. Sel oto polos yang jarang akan
ditemukan di dalam dinding fibrosa duktus utama. Dinding vesika biliaris memiliki
empat lapisan. Daerah fundus, korpus dan infundibulum ditutupi oleh peritoneum
viseralis. Perimuskularis dibawahnya merupakan jaringan lapisan ikat dengan
penonjolan yang bervariasi dan kaya pembuluh darah dan pembuluh limfe. Tunika
muskularis mengandung serabut otot longitudinalis. Tunika mukosa dilapisi epitel
toraks tinggi, yang bila terjadi peradangan, bisa berinvaginasi secara dalam untuk
membentuk sinus Rokitansky-Aschoff. Sel yang mensekresi mukus hanya menonjol
pada daerah kollum.
Vaskularisasi
Suplai arteri ke batang saluran empedu ekstrahepatik proksimal muncul dari
cabang kecil yang berasal dari arteri hepatika lobaris, dan vaskularisasi duktus
koledokus

distal

oleh

cabang

dari

arteri

gastroduodenalis

dan

arteri

pankreatikoduodenalis superior. Arteri sistika yang ke vesika biliaris biasanya berasal


14

dari arteri hepatika dekstra yang terletak posterior lateral terhadap duktus heaptikus
komunis. Selama kolesistektomi, arteri sistika ditemukan pada basis duktus sistikus
dalam segitiga Calot, tiga sisiya dibatasi oleh duktus hepatikus komunis, duktus
sistikus, dan hati. Drainase vena ke batang saluran empedu ekstrahepatik dan vesika
biliaris langsung ke vena porta.
Sistem Limfatik
Drainase pembuluh limfe batang hepatobiliaris bersifat sentrifugal. Pembuluh
dari parenkim hati dan batang saluran empedu intrahepatik berkonvergensi pada porta
hepatis dan berjalan sepanjang duktus hepatikus komunis di dalam ligamentum
hepatoduodenale untuk memasuki sisterna khili dan kemudian duktus torasikus.
Limfe vesika biliaris berdrainsase sepanjang duktus sistikus ke dalam jalinan ini. Pada
kolesistisis, kelenjar limfe yang membesar khas bisa ditemukan pada kollum vesika
biliaris (nodus limfatikus duktus sistikus) maupun pada sambungan duktus sistikus
dengan koledokus serta sepanjang bagian supraduodenal distal dari duktus koledokus.
Persyarafan Sistem Saluran Empedu
Persyarafan otonom batang saluran empedu terdiri dari serabut saraf simpatis
(nervus vagus) dan simpatis (torasika) yang mengikuti jalannya suplai vaskular.
Persyarafan vagus muncul dari vagus anterior serta penting dalam mempertahankan
tonus dan kontraktilitas vesika biliaris. Serabut simpatis aferen memperantarai nyeri
kolik biliaris. Sebagian produksi empedu dipengaruhi oleh kendali otonom.

2. Epidemiologi
Sekitar 16 juta orang di AS menderita batu empedu, yang mengharuskan dilakukannya
sekitar 500.000 kolesistektomi dalam setahun. Batu empedu bertanggung jawab secara
langsung bagi sekitar 10.000 kematian pertahunnya. Prevalensi batu empedu bervariasi sesuai
dengan usia dan jenis kelamin. Wanita dengan batu empedu melebihi jumlah pria dengan
perbandingan 4:1. Wanita yang meminum estrogen eksogen memiliki peningkatan resiko,
yang melibatkan hormon lebih lanju lagi. Dengan bertambahnya usia, dominansi wanita ini
menjadi kurang jelas. Batu empedu tidak bisa ditemukan pada orang yang berusia dibawah 20

15

tahun (1 persen), lebih sering dalam kelompok usia 40 sampai 60 tahun (11persen) dan
ditemukan sekitar 30 persen pada orang yang berusia di atas 80 tahun.
3. Faktor-Faktor Resiko
Pada dasarnya semua penyakit kronik memiliki riwayat alamiah yang yang bersifat
multifaktorial termasuk disini adalah Cholelithiasis yang diakibatkan dari interaksi antara
faktor genetik dan lingkungan. Faktor lingkungan akhir-akhir ini dianggap berakibat dari
tumbuhnya gaya hidup yang modern, termasuk disini adalah tingginya asupan karbohidrat,
prevalensi tinggi timbulnya obesitas dan non-insulin dependent diabetes mellitus, dan gaya
hidup yang cenderung sedenter.
Hipotesis genetik mendukung teori colelithiasis berkembang dari hubungan keluaga,
survey epidemiologi yang telah ada memberikan kesan bahwa ras amerika dan bangsa indian
memiliki gen lithogenik lebih tinggi. Karena kolesterol dalam empedu kebanyakan berasal
dari kolesterol yang dibentuk dari lipoprotein plasma, beberapa studi dan penelitian
memfokuskan pada gen yang terkait dengan transport dari kolesterol tersebut, termasuk
ekspresi dari apoprotein E, B dan A-I dan cholesterol ester transfer protein. Pada percobaan
dengan menggunakan tikus dan hamster telah ditemukan memang ada suatu gen yang dapat
membantu terbentuknya batu empedu kolesterol.
Faktor-faktor yang mendasari terjadinya batu empedu pada beberapa penelitian adalah
jenis kelamin, usia, kolesterol HDL yang rendah, BMI yang tinggi, persentase lemak tubuh,
kadar glokosa serum yang yang lebih tinggi terutama pada wanita (dengan atau tanpa
NIDDM), paritas dan hiperinsulinemia. Pada penelitian yang secara konsisten dan sering
ditemukan adalah hubungan antara konsentrasi kolesterol HDL serum dengan terjadinya batu
empedu, yang memberikan kesan bahwa abnormalitas dari metabolisme kolesterol HDL yang
mendasari terjadinya batu empedu.

16

Diagram Faktor resiko terjadinya batu empedu

4. Patofisiologi Pembentukan Batu Empedu


Batu Kolesterol
Empedu yang disupersaturasi oleh kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari 90 persen
batu empedu di negara barat. Sebagian besar batu ini merupakan batu kolesterol campuran
yang mengandung paling sedikit 75 persen kolesterol berdasarkan berat serta dalam variasi
jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan inorganik lain. Batu kolesterol
murni terdapat dalam sekitar 10 persen dari semua batu kolesterol. Sifat fisikomia empedu
bervariasi sesuai konsentrasi relatif garam empedu, lesitin dan kolesterol. Kolestrol dilarutkan
dalam empedu dalam daerah hidrofobik micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada
jumlah relatif garam empedu dan lesitin. Hubungan antara kolesterol lesitin dan garam
empedu ini dapat dilihat dalam grafik segitiga. Yang koordinatnya merupakan persentasi
konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan kolesterol. Empedu yang mengandung
kolesterol seluruhnya di dalam micelles digambarkan oleh area di bawah garis lengkung ABC
(cairan micelle) ; tetapi bila konsentrasi relatif garam empedu, lesitin dan kolesterol turun ke

17

area di atas garis ABC, maka ada kolesterol di dalam dua fase atau lebih (cairan micelle dan
kristal kolesterol)

Pembentukan batu kolesterol merupakan proses yang terdiri atas 4 defek utama yang dapat
terjadi secara berurutan atau bersamaan:
1.
2.
3.
4.

Supersaturasi kolesterol empedu.


Hipomotilitas kantung empedu.
Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol.
Hipersekresi mukus di kantung empedu
1. Supersaturasi Kolesterol empedu
Kolesterol merupakan komponen utama dalam batu kolesterol. Pada
metabolisme kolesterol yang normal, kolesterol yang disekresi ke dalam empedu akan
terlarut oleh komponen empedu yang memiliki aktivitas detergenik seperti garam
empedu dan fosfolipid (khususnya lesitin). Konformasi kolesterol dalam empedu
dapat berbentuk misel, vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal. Umumnya
pada keadaan normal dengan saturasi kolesterol yang rendah, kolesterol wujud dalam
bentuk misel yaitu agregasi lipid dengan komponen berpolar lipid seperti senyawa
fosfat dan hidroksil terarah keluar dari inti misel dan tersusun berbatasan dengan fase
berair sementara komponen rantaian hidrofobik bertumpuk di bagian dalam misel.
Semakin meningkat saturasi kolesterol, maka bentuk komposisi kolesterol
yang akan ditemukan terdiri atas campuran dua fase yaitu misel dan vesikel. Vesikel
kolesterol dianggarkan sekitar 10 kali lipat lebih besar daripada misel dan memiliki
18

fosfolipid bilayer tanpa mengandung garam empedu. Seperti misel, komponen


berpolar vesikel turut diatur mengarah ke luar vesikel dan berbatasan dengan fase
berair ekstenal sementara rantaian hidrokarbon yang hidrofobik membentuk bagian
dalam dari lipid dwilapis. Diduga <30% kolesterol bilier diangkut dalam bentuk
misel, yang mana selebihnya berada dalam bentuk vesikel. Umumnya, konformasi
vesikel berpredisposisi terhadap pembentukan batu empedu karena lebih cenderung
untuk beragregasi dan bernukleasi untuk membentuk konformasi kristal.
Small dkk (1968) menggambarkan batas solubilitas kolesterol empedu sebagai
faktor yang terkait dengan kadar fosfolipid dan garam empedu dalam bentuk diagram
segitiga, keseimbangan titik P mewakili empedu dengan komposisi 80% garam
empedu, 5% kolesterol dan 15% lesitin. Garis ABC mewakili solubilitas maksimal
kolesterol dalam berbagai campuran komposisi garam empedu dan lesitin. Oleh
karena titik P berada di bawah garis ABC serta berada dalam zona yang terdiri atas
fase tunggal cairan misel maka empedu disifatkan sebagai tidak tersaturasi dengan
kolesterol. Empedu dengan campuran komposisi yang berada atas garis ABC akan
mengandung konsentrasi kolesterol yang melampau dalam sehingga empedu disebut
sebagai mengalami supersaturasi kolesterol. Empedu yang tersupersaturasi dengan
kolesterol akan wujud dalam keadaan lebih daripada satu fase yaitu dapat dalam
bentuk campuran fase misel, vesikel maupun kristal dan cenderung mengalami
presipitasi membentuk kristal yang selanjutnya akan berkembang menjadi batu
empedu. Dalam arti kata lain, diagram keseimbangan fase turut memudahkan prediksi
komposisi kolesterol dalam empedu (fase misel, vesikel, campuran misel dan vesikel
atau kristal).

Selain itu, diagram keseimbangan turut menfasilitasi penentuan indeks saturasi


kolesterol (CSI) sebagai indikator tingkat saturasi kolesterol dalam empedu. CSI
didefinisikan sebagai rasio konsentrasi sebenar kolesterol bilier dibanding konsentrasi
maksimal yang wujud dalam bentuk terlarut pada fase keseimbangan pada model
empedu. Pada CSI >1.0, empedu dianggap tersupersaturasi dengan kolesterol yaitu
keadaan di mana peningkatan konsentrasi kolesterol bebas yang melampaui kapasitas
solubilitas empedu.
Pada keadaan supersaturasi, molekul kolesterol cenderung berada dalam
bentuk vesikel unilamelar yang secara perlahan-lahan akan mengalami fusi dan
19

agregasi hingga membentuk vesikel multilamelar (kristal cairan) yang bersifat


metastabil. Agregasi dan fusi yang berlanjutan akan menghasilkan kristal kolesterol
monohidrat menerusi proses nukleasi. Teori terbaru pada saat ini mengusulkan bahwa
keseimbangan fase fisikokimia pada fase vesikel merupakan faktor utama yang
menentukan kecenderungan kristal cairan untuk membentuk batu empedu. Tingkat
supersaturasi kolesterol disebut sebagai faktor paling utama yang menentukan
litogenisitas empedu. Berdasarkan diagram fase, faktor-faktor yang mendukung
supersaturasi kolesterol empedu termasuk:

1. Hipersekresi kolesterol.
Hipersekresi kolesterol merupakan penyebab paling utama supersaturasi
kolesterol empedu. Hipersekresi kolesterol dapat disebabkan oleh:

1. peningkatan uptake kolesterol hepatik


2. peningkatan sintesis kolesterol
3. penurunan sintesis garam empedu hepatik
4. penurunan sintesis ester kolestril hepatik
Penelitian mendapatkan penderita batu empedu umumnya memiliki aktivitas
koenzim A reduktase 3-hidroksi-3-metilglutarat (HMG-CoA) yang lebih tinggi
dibanding kontrol.Aktivitas HMG-CoA yang tinggi akan memacu biosintesis
kolesterol hepatik yang menyebabkan hipersekresi kolesterol empedu. Konsentrasi
kolesterol yang tinggi dalam empedu supersaturasi kolesterol pembentukan
kristal kolesterol.
2. Hiposintesis garam empedu/perubahan komposisi relatif cadangan asam empedu.
Garam empedu dapat mempengaruhi litogenisitas empedu sesuai dengan perannya
sebagai pelarut kolesterol empedu. Hiposintesis garam empedu misalnya pada
keadaan mutasi pada molekul protein transpor yang terlibat dalam sekresi asam
empedu ke dalam kanalikulus (disebut protein ABCB11) akan menfasilitasi
supersaturasi kolesterol yang berlanjut dengan litogenesis empedu. Komposisi
dasar garam empedu merupakan asam empedu di mana terdapat tiga kelompok
asam empedu utama yakni:
20

1. Asam empedu primer yang terdiri atas asam kolik dan asam kenodeoksikolik.
2. Asam empedu sekunder yang terdiri atas asam deoksikolik dan asam litokolik.
3. Asam empedu tertier yang terdiri atas asam ursodeoksikolik.

Ketiga kelompok ini membentuk cadangan asam empedu tubuh (bile acid pool)
dan masing-masing mempunyai sifat hidrofobisitas yang berbeda. Sifat
hidrofobisitas yang berbeda ini akan mempengaruhi litogenisitas empedu.
Semakin hidrofobik asam empedu, semakin besar kemampuannya untuk
menginduksi sekresi kolesterol dan mensupresi sintesis asam empedu. Konsentrasi
relatif tiap asam empedu yang membentuk cadangan asam empedu tubuh akan
mempengaruhi CSI karena memiliki sifat hidrofobisitas yang berbeda. Asam
empedu primer dan tertier bersifat hidrofilik sementara asam empedu sekunder
bersifat hidrofobik. Penderita batu empedu umumnya mempunyai cadangan asam
kolik yang kecil dan cadangan asam deoksikolik yang lebih besar. Asam
deoksikolik bersifat hidrofobik dan mampu meningkatkan CSI dengan
meninggikan sekresi kolesterol dan mengurangi waktu nukleasi. Sebaliknya, asam
ursodeoksikolik dan kenodeoksikolik merupakan asam empedu hidrofilik yang
berperan mencegah pembentukan batu kolesterol dengan mengurangi sintesis dan
sekresi

kolesterol.

Asam

ursodeoksikolik

turut

menurunkan

CSI

dan

memperpanjang waktu nukleasi, diduga dengan cara melemahkan aktivitas protein


pronukleasi dalam empedu.

3. Defek sekresi atau hiposintesis fosfolipid


95% daripada fosfolipid empedu terdiri atas lesitin. Sebagai komponen utama
fosfolipid empedu, lesitin berperan penting dalam membantu solubilisasi
kolesterol.

Mutasi

pada

molekul

protein

transpor

fosfolipid

(disebut

protein ABCB4) yang berperan dalam sekresi molekul fosfolipid (termasuk lesitin)
ke dalam empedu terkait dengan perkembangan kolelitiasis pada golongan dewasa
muda.
21

2. Hipomotilitas kantung empedu.


Motilitas kantung empedu merupakan satu proses fisiologik yang mencegah
litogenesis dengan memastikan evakuasi empedu dari kantung empedu ke dalam usus
sebelum terjadinya proses litogenik. Hipomotilitas kantung empedu memperlambat
evakuasi empedu ke dalam usus proses absorpsi air dari empedu oleh dinding
mukosa lebih cepat dari evakuasi empedu peningkatan konsentrasi empedu
proses litogenesis empedu.
Hipomotilitas kantung empedu dapat terjadi akibat :
Kelainan intrinsik dinding muskuler yang meliputi:
o Perubahan tingkat hormon seperti menurunnya kolesistokinin (CCK),
meningkatnya somatostatin dan estrogen.
o Perubahan kontrol neural (tonus vagus).
Kontraksi sfingter melampau hingga menghambat evakuasi empedu normal.
Patofisiologi yang mendasari fenomena hipomotilitas kantung empedu pada batu
empedu masih belum dapat dipastikan. Namun begitu, diduga hipomotilitas
kantung empedu merupakan akibat efek toksik kolesterol berlebihan yang
menumpuk di sel otot polos dinding kantung yang menganggu transduksi sinyal
yang dimediasi oleh protein G. Kesannya, terjadi pengerasan membran sarkolema
sel otot tersebut. Secara klinis,penderita batu empedu dengan defek pada motilitas
kantung empedu cenderung bermanifestasi sebagai gangguan pola makan
terutamanya penurunan selera makan serta sering ditemukan volume residual
kantung empedu yang lebih besar. Selain itu, hipomotilitas kantung empedu dapat
menyebabkan

stasis

kantung

empedu. Stasis

merupakan

faktor

resiko

pembentukan batu empedu karena gel musn akan terakumulasi sesuai dengan
perpanjangan waktu penyimpanan empedu. Stasis menyebabkan gangguan aliran
empedu ke dalam usus dan ini berlanjut dengan gangguan pada sirkulasi
enterohepatik. Akibatnya, output garam empedu dan fosfolipid berkurang dan ini
memudahkan kejadian supersaturasi. Stasis yang berlangsung lama menginduksi
pembentukan lumpur bilier (biliary sludge) terutamanya pada penderita dengan
kecederaan medula spinalis, pemberian TPN untuk periode lama, terapi oktreotida
yang lama, kehamilan dan pada keadaan penurunan berat badan mendadak.
Lumpur bilier yang turut dikenal dengan nama mikrolitiasis atau pseudolitiasis ini
22

terjadi akibat presipitasi empedu yang terdiri atas kristal kolesterol monohidrat,
granul kalsium bilirubinat dan mukus. Patofisiologi lumpur bilier persis proses
yang mendasari pembentukan batu empedu. Kristal kolesterol dalam lumpur bilier
akan mengalami aglomerasi berterusan untuk membentuk batu makroskopik
hingga dikatakan lumpur bilier merupakan prekursor dalam litogenesis batu
empedu.
3. Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol.
Empedu yang supersaturasi dengan kolesterol cenderung untuk mengalami proses
nukleasi. Nukleasi merupakan proses kondensasi atau agregasi yang menghasilkan
kristal kolesterol monohidrat mikroskopik atau partikel kolesterol amorfus daripada
empedu supersaturasi. Nukleasi kolesterol merupakan proses yang dipengaruhi oleh
keseimbangan unsur antinukleasi dan pronukleasi yang merupakan senyawa protein
tertentu yang dikandung oleh empedu, faktor pronukleasi berinteraksi dengan vesikel
kolesterol sementara faktor antinukleasi berinteraksi dengan kristal solid kolesterol.
Antara faktor pronukleasi yang paling penting termasuk glikoprotein musin, yaitu
satu-satunya komponen empedu yang terbukti menginduksi pembentukan batu pada
keadaan in vivo. Inti dari glikoprotein musin terdiri atas daerah hidrofobik yang
mampu mengikat kolesterol, fosfolipid dan bilirubin. Pengikatan vesikel yang kaya
dengan kolesterol kepada regio hidrofilik glikoprotein musin ini diduga memacu
proses nukleasi. Faktor pronukleasi lain yang berhasil diisolasi daripada model sistem
empedu termasuk imunoglobulin (IgG dan M), aminopeptidase N, haptoglobin dan
glikoprotein asam -1. Penelitian terbaru menganjurkan peran infeksi intestinal distal
oleh spesies Helicobacter (kecuali H. pylori) menfasilitasi nukleasi kolesterol
empedu. Proses nukleasi turut dapat diinduksi oleh adanya mikropresipitat garam
kalsium inorganik maupun organik. Faktor antinukleasi termasuk protein seperti
imunoglobulin A (IgA), apoA-I dan apoA II. Mekanisme fisiologik yang mendasari
efek untuk sebagian besar daripada faktor-faktor ini masih belum dapat dipastikan.
Nukleasi yang berlangsung lama selanjutnya akan menyebabkan terjadinya proses
kristalisasi yang menghasilkan kristal kolesterol monohidrat. Waktu nukleasi pada
empedu penderita batu empedu telah terbukti lebih pendek dibanding empedu kontrol
pada orang normal. Waktu nukleasi yang pendek mempergiat kristalisasi kolesterol
dan menfasilitasi proses litogenesis empedu.

23

4. Hipersekresi mukus di kantung empedu


Hipersekresi mukus kantung empedu dikatakan merupakan kejadian prekursor
yang universal pada beberapa penelitian menggunakan model empedu hewan. Mukus
yang eksesif menfasilitasi pembentukan konkresi kolesterol makroskopik karena
mukus dalam kuantitas melampau ini berperan dalam memerangkap kristal kolesterol
dengan memperpanjang waktu evakuasi empedu dari kantung empedu. Komponen
glikoprotein musin dalam mukus ditunjuk sebagai faktor utama yang bertindak
sebagai agen perekat yang menfasilitasi aglomerasi kristal dalam patofisiologi batu
empedu. Saat ini, stimulus yang menyebabkan hipersekresi mukus belum dapat
dipastikan namun prostaglandin diduga mempunyai peran penting dalam hal ini.
Sebagian besar pasien batu kolesterol mensekresi empedu hati litogenik. Kelompok
tertentu mempunyai kumpulan garam empedu total yang berkontraksi (1,5 sampai 2g) yang
merupakan separuh ukuran orang normal. Bisa timbul akibat hubungan umpan balik garam
empedu abnormal dengan penurunan sintesis hati bagi garam empedu atau hilangnya garam
empedu secara berlebihan melalui feses akibat malabsorpsi ileum primer atau setelah reseksi
atau pintas ileum. Kelompok lain, terutama orang yang gemuk, mensekresi kolesterol dalam
jumlah yang berlebihan. Beberapa bukti menggambarkan bahwa masukan diet kolesterol dan
atau kandungan kalori diet bisa mempengaruhi sekresi kolesterol juga.
Mekanisme lain yang diusulkan bagi pembentukan batu, melibatkan disfungsi vesika
biliaris. Stasis akibat obstruksi mekanik atau fungsional, bisa menyebabkan stagnasi empedu
di dalam vesika biliaris dengan resorpsi air berlebihan dan merubah kelarutan unsur empedu.
Penelitian percobaan menggambarkan bahwa peradangan dinding kandung empedu bisa
menyebabkan resorpsi garam empedu berlebihan, perubahan dalam rasio lesitin/garam
empedu serta sekresi garam kalsium, mukoprotein dan debris organik sel; perubahan ini bisa
merubah empedu hati normal menjadi empdu litogenik di dalam vesika biliaris. Peranan
infeksi dalam patogenesis pembentukan batu kolesterol bersifat kontroversial. Walaupun
organisme usus tertentu bisa dibiak dari inti batu kolesterol atau dari dinding vesika biiaris,
namun sebagian besar batu kolesterol terbntuk tanpa adanya infeksi.

24

Sumber gambar: cholesterolmedications.info

Batu Pigmen
Batu pigmen merupakan sekitar 10 persen dari batu empedu di amerika serikat. Ada
dua bentuk, yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan batu kalsium bilirubinat. Batu
pigmen murni lebih kecil (2 sampai 5 mm), multipel, sangat keras dan penampilannya hijau
sampai hitam. Batu-batu tersebut mengandung dalam jumlah bervariasi kalsium bilirubinat,
polimer bilirubin, asam empedu, dalam jumlah kecil kolesterol (3 sampai 26 persen) dan
banyak senyawa organik lain. Di daerah timur, batu kalsium bilirubinat dominan dan
merupakan 40 sampai 60 persen dari semua batu empedu. Batu ini lebih rapuh, berwarna
kecoklatan sampai hitam serta sering membuat batu diluar vesika biliaris di dalam duktus
koledokus atau di dalam duktus biliaris intrahepatik. Batu kalsium bilirubinat sering
radioopak, sedangkan batu pigmen murni mungkin tidak radioopak, tergantung pada
kandungan kalsiumnya.
Patogenesis batu pigmen berbeda dengan batu kolesterol, kemungkinan mencakup
sekresi pigmen dalam jumlah yang meningkat atau pembentukan pigmen abnormal yang
mengendap di dalam empedu. Sirosis dan stasis biliaris merupakan predisposisi pembentukan
batu pigmen. Pasien dengan peningkatan beban bilirubin tak terkonjugasi. (anemia
hemolitik), lazim membentuk batu pigmen murni.
Patofisiologi batu Pigmen Murni (pigmen Hitam)
Pembentukan batu berpigmen hitam diawali oleh hipersekresi blilirubin
terkonjugat (khususnya monoglukuronida) ke dalam empedu. Pada keadaan
25

hemolisis terjadi hipersekresi bilirubin terkonjugat hingga mencapai 10 kali lipat


dibanding kadar sekresi normal. Bilirubin terkonjugat selanjutnya dihidrolisis oleh
glukuronidase- endogenik membentuk bilirubin tak terkonjugat. Pada waktu
yang sama, defek pada mekanisme asidifikasi empedu akibat daripada radang
dinding mukosa kantung empedu atau menurunnya kapasitas buffering asam
sialik dan komponen sulfat dari gel musin akan menfasilitasi supersaturasi
kalsium karbonat dan fosfat yang umumnya tidak akan terjadi pada keadaan
empedu dengan ph yang lebih rendah. Supersaturasi berlanjut dengan pemendakan
atau presipitasi kalsium karbonat, fosfat dan bilirubin tak terkonjugat. Polimerisasi
yang terjadi kemudian akan menghasilkan kristal dan berakhir dengan
pembentukan batu berpigmen hitam.
Patofisiologi batu pigmen Kalsium Bilirubinat (batu coklat)
Batu berpigmen coklat terbentuk hasil infeksi anaerobik pada empedu, sesuai
dengan penemuaan sitorangka bakteri pada pemeriksaan mikroskopik batu.
Infeksi traktus bilier oleh bakteri Escherichia coli, Salmonella typhii dan spesies
Streptococcus atau parasit cacing seperti Ascaris lumbricoides dan Opisthorchis
sinensis serta Clonorchis sinensis mendukung pembentukan batu berpigmen.
patofisiologi batu diawali oleh infeksi bakteri/parasit di empedu. Mikroorganisma
enterik ini selanjutnya menghasilkan enzim glukuronidase-, fosfolipase A dan
hidrolase asam empedu terkonjugat. Peran ketiga-tiga enzim tersebut didapatkan
seperti berikut:

Glukuronidase menghidrolisis bilirubin terkonjugat hingga menyebabkan

pembentukan bilirubin tak terkonjugat.


Fosfolipase A menghasilkan asam lemak bebas (terutamanya asam stearik dan

asam palmitik).
Hidrolase asam empedu menghasilkan asam empedu tak terkonjugat.

Hasil produk enzimatik ini selanjutnya dapat berkompleks dengan senyawa


kalsium dan membentuk garam kalsium. Garam kalsium dapat termendak lalu
berkristalisasi sehingga terbentuk batu empedu. Proses litogenesis ini didukung
oleh keadaan stasis empedu dan konsentrasi kalsium yang tinggi dalam empedu.
Bakteri mati dan glikoprotein bakteri diduga dapat berperan sebagai agen perekat,
yaitu sebagai nidus yang menfasilitasi pembentukan batu, seperti fungsi pada
musin endogenik.
26

Batu Pigmen Hitam

sumber gambar: anatomy.med.umich.edu

Batu Pigmen Coklat

5. Riwayat Alamiah Batu empedu


Riwayat alamiah batu empedu masih belum sepenuhnya dipahami. Penentuan umur
karbon telah memperlihatkan bahwa batu bisa memerlukan waktu selama 8 tahun untuk
mencapai ukuran maksimum. Lebih lanjut, bisa memerlukan waktu bertahun tahun untuk
timbulnya gejala setelah batu mulai terbentuk. Jelas dengan luasnya prevalensi batu empedu,
gejala yan mengharuskan dilakukannya kolesistektomi hanya timbul dalam sedikit pasien.
Hanya sekitar 30 persen pasien batu empedu yang memerlukan kolesistektomi.
27

Cara terbaik untuk memeriksa riwayat alamiah batu empedu adalah dengan membagi
pasien batu empedu ke

dalam dua kategori, simtomatik dan asimtomatik. Pasien batu

empedu simtomatik membentuk kelompok dengan insiden yang tinggi untuk mendapatkan
masalah nantinya. Beberapa seri besar dari swedia yang diikuti dari 1.300 pasien batu
empedu berusia 5 sampai 20 tahun. Walaupun lebih dari 90 persen mempunyai gejala waktu
diagnosis, namun mereka bukan sasaran kolesistektomi. Sekitar setengah pasien kemudia
mengalami kekambuhan dan komplikasi parah seperti kolesistisis akuta, ikterus, pankreatitits
atau karsinoma vesika biliaris. Lebih lanjut, mortalitas bedah meningkat dengan tindakan
gawat darurat atau komplikasi serius. Saat ini kebanyakan doktr menerima konsep bahwa
pasien batu empedu simtomatik merupakan calon kolesistektomi jika mereka sudah sehat dan
mempunyai harapan hidup paling sedikit 5 tahun.
Pasien batu empedu asimtomatik bisa benar-benar mengalami perjalan yang berbeda.
Dampak yang ditarik dari penelitian pasien simtomatik yang disebutkan diatas bahwa
sebagian pasien asimtomatik, jika diikuti cukup lama akan menderita gejala atau komplikasi
parah. Tetapi sebagian besar pasien simtomatik telah menderita penyakit vesika biliaris lanjut
pada waktu diagnosis, sehingga tidak menampilkan populasi pembanding yang adil. Lebih
lanjut, kita mengetahui dari penelitian autopsi bahwa banyak pasien batu empedu tak pernah
memerlukan kolesistektomi dan jelas tetap asimtomatik. Dua penelitian yang baik telah
menyebutnya sebagai batu empedu tenang asimtomatik. Batu empedu ditemukan secara
kebetulan atau selama program penyaringan berskala besar dalam 235 pasien asimtomatik.
Hanya 15 persen kemudian menderita kolik biliaris dan hanya 3 persen menderita komplikasi
serius dalam pengawasan jangka lama (10 tahun).
Saat ini, dengan kemampuan penyaring diagnostik efektif (misalnya USG), banyak pasien
batu empedu asimtomatk akan diketahui. Dalam kelompok ini, ada parameter tertentu yang
mungkin membenarkan kolesistektomi profilaktik. Pengalaman masa lampau telah
memperlihatkan bahwa pasien dengan batu empedu besar (2,5 cm), vesika biliaris
berkalsifikasi atau vesika biliaris tidak berfungsi atau pasien diabetes dengan batu empedu,
mempunyai risiko peningkatan komplikasi yang serius yang berhubungan langsung dengan
batu empedu; kolesistektomi berencana dibenarkan dalam subkelompok pasien dengan batu
empedu asimtomatik ini.

6. Diagnosis penyakit saluran empedu


28

Gambaran klinis
Pasien dengan batu empedu, dapat dibagi menjadi 3 kelompok : pasien dengan
batu asimptomatik, pasien dengan batu dengan batu empedu simptomatik, dan pasien
dengan komplikasi batu empedu (kolesistitis akut, ikterus, kolangitis dan
pankreatitis). Sebagian besar (80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala baik
waktu dengan diagnosis maupun selama pemantauan. Hampir selama 20 tahun
perjalanan penyakit, sebanyak 50% pasien tetap asimptomatik, 30% mengalami kolik
bilier dan 20% mendapat komplikasi.
Pada penderita batu kandung empedu yang asimtomatik keluhan yang
mungkin bisa timbul berupa dispepsia yang kadang disertai intoleransi pada makananmakanan yang berlemak.
Gejala batu empedu yang khas adalah kolik bilier, keluhan ini didefinisikan
sebagai nyeri di perut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam,
biasanya lokasi nyeri di perut atas atau epigastrium tetapi bisa juga di kiri dan
prekordial. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan, tetapi pada sepertiga kasus
timbul tiba-tiba.
Gejala kolik ini terjadi jika terdapat batu yang menyumbat duktus sistikus atau
duktus biliaris komunis untuk sementara waktu, tekanan di duktus biliaris akan
meningkat

dan

peningkatan

kontraksi

peristaltik

di

tempat

penyumbatan

mengakibatkan nyeri viscera di daerah epigastrium, mungkin dengan penjalaran ke


punggung yang disertai muntah.
Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak
bahu, disertai mual dan muntah. Jika terjadi kolesistitis, keluhan nyeri menetap dan
bertambah pada waktu menarik napas dalam dan sewaktu kandung empedu tersentuh
ujung jari tangan sehingga pasien berhenti menarik napas, yang merupakan tanda
rangsangan peritoneum setempat.
Pruritus ditemukan pada ikterus obstruktif yang berkepanjangan dan lebih
banyak ditemukan di daerah tungkai daripada dibadan.
Pemeriksaan Fisik

29

Batu kandung empedu. Kalau ditemukan kelainan, biasanya berhubungan


dengan komplikasi, seperti kolesistisis akut dengan peritonitis lokal atau umum.
Hidrops kandung empedu, empiema kandung empedu atau pankreatitis.
Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum di
daerah letak anatomi kandung empedu. Tanda murphy positif bila nyeri tekan
bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang
meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.
Batu saluran empedu. Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala atau
tanda dalam fase tenang. Kadang teraba hati agak membesar dan sklera ikterik. Perlu
diketahui bila kadar bilirubin darah kurang dari 3mg/dl, gejala ikterik tidak jelas.
Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, baru akan timbul ikterik klinis.
Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai dengan obstruksi, akan
ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut. Kolangitis
akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial nonpiogenik yang
ditandai dengan trias Charcot, yaitu demam dan menggigil, nyeri di daerah hati dan
ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangiolitis piognik
intrahepatik, akan timbul lima gejala pentade reynold, berupa tiga gejala tria charcot,
ditambah shock dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma.
Kelainan batang saluran empedu sering bisa dicurigai atas dasar riwayat penyakit saja.
Nyeri kuadran kanan atas, intoleransi makanan berlemak, demam dan kedinginan
serta riwayat ikterus, urin berwarna gelap dan feses berwarna terang. Semuanya
menggambarkan penyakit saluran empedu. Di samping itu, gambaran fisis ikterus,
nyeri tekan kuadran kanan atas dan massa pada kuadan kanan atas sangat bermanfaat
dalam memusatkan diagnosis pada batang saluran empedu. Tetapi gambaran ini tidak
patognomonik bagi penyakit saluran empedu dan kadang-kadang bisa timbul
sekunder terhadap penyakit dalam sistem organ lain. Lebih lanjut karena lokasi
anatominya, maka batang saluran empedu tidak memberikan kemungkinan dengan
pemeriksaan palpasi luar (kecuali vesika biliaris yang berdistensi). Sehingga berbeda
dari banyak sistem tubuh lain, sebenarnya diagnosis pasti sebagian besar kasus
saluran empedu selalu memerlukan bantuan pemeriksaan laboratorium dan/atau
teknik pembuatan gambar radiografi, sonografi atau radionuklir. Tes diagnostik ini
telah dirancang secara primer untuk mendeteksi adanya batu empedu dan/atau untuk
30

menentukan adanya obstruksi atau halangan aliran empedu dengan analisis kimia
berbagai fungsi hati dan ekskresi empedu atau dengan visualisasi langsung anatomi
batang saluran empedu.
Tes laboratorium
Penyaringan bagi penyakit saluran empedu melibatkan penggunaan banyak tes
biokimia yang menunjukkan disfungsi sel hati yaitu yang dinamai tes fungsi hati.
Bilirubin serum yang difraksionasi sebagai komponen tak langsung dan langsung dari
reaksi van den bergh, dengan sendirinya sangat tak spesifik. Walaupun sering
peningkatan biirubin serum menunjukkan kelainan hepatobiliaris pada banyak jenis
kelainan yang mencakup episode bermakna hemolisis intravaskular dan sepsis
sistemik. Tetapi lebih lazim peningkatan bilirubin serum timbul sekunder terhadap
kolestasis intrahepatik, yang menunjukkan disfungsi parenkim hati atau kolestasis
ekstrahepatik sekunder terhadap obstruksi saluran empedu akibat batu empedu,
keganasan atau penyakit pankras jinak. Bila obstruksi saluran empedu lengkap, maka
bilirubin serum memuncak 25 sampai 30 mg per 100 ml, yang pada waktu itu ekskresi
bilirubin urin sama dengan produksi harian. Nilai lebih dari 30 mg per 100 ml berarti
terjadi bersamaan dengan hemolisis atau disfungsi ginjal atau sel hati. Keganasan
ekstrahepatik paling sering menyebabkan obstruksi lengkap (bilirubin serum 20 mg
per 100 ml) sedangkan batu empedu biasanya menyebabkan obstruksi sebagian,
dengan bilirubin serum jarang melebihi 10 sampai 15 mg per 100 ml. Alanin
aminotransferase (SGOT) dan aspartat aminotransferase (SGPT) merupakan enzim
yang disintesis

dalam konsentrasi tinggi di dalam hepatosit. Peningkatan dalam

aktivitas serum sering menunjukkan kelainan sel hati; tetapi peningkatan enzim ini
(satu sampai tiga kali dari normal atau kadang-kadang sangat tinggi tetapi sepintas)
bisa timbul bersamaan dengan penyakit saluran empedu. Fosfatase alkali merupakan
enzim yang disintesis dalam epitel saluran empedu. Pada obstruksi saluran empedu,
aktivitas serum meningkat karena sel duktus meningkatkan sintesis enzim ini. Kadar
yang sangat tinggi, sangat menggambarkan obstruksi saluran empedu. Tetapi fosfatase
alkali juga ditemukan di dalam tulang dan dapat meningkat pada kerusakan tulang.
Juga selama kehamilan, fosfatase alkali serum meningkat terhadap sintesis plasenta.
Dengan adanya penyakit tulang dan kehamilan, leusin aminopeptidase dan 5nukleotidase disintesis oleh sel duktus biliaris (tetapi tak ada dalam tulang dan

31

plasenta) serta sifatnya serupa dengan fosfatase alkali dengan adanya obstruksi
saluran empedu.
Pemeriksaan Radiologi
Foto Polos Abdomen
Foto polos kadang-kadang bisa bermanfaat, tetapi tidak bisa mengenal
kebanyakan patologi saluran empedu. Hanya 15 persen batu empedu mengandung
cukup kalsium untuk memungkinkan identifikasi pasti. Jarang terjadi kalsifikasi hebat
di dalam dinding vesika biliaris (yang dinamai vesika biliaris porselen) atau empedu
susu kalsium, tempat beberapa batu kecil berkalsifikasi atau endapan organik yang
terbukti di dalam vesika biliaris menunjukkan penyakit vesika biliaris. Pneumobilia
(adanya udara dalam saluran empedu atau di dalam lumen atau di dinding vesika
biliaris) bersifat abnormal dan tanpa pembedahan sebelumnya yang merusak atau
memintas mekanisme sfingter koledokus, menunjukkan patologi saluran empedu.
Udara di dalam lumen dan dinding vesika biliaris terlihat pada kolesistisis
emfisematosa yang timbul sekunder terhadap infeksi bakteri penghasil gas. Adanya
massa jaringan lunak yang mengidentasi duodenum atau fleksura koli dekstra bisa
juga menggambarkan vesika biliaris yang terdistensi.

32

Sumber gambar: ceessentials.net


Barium meal
Pemeriksaan kontra lambung dan duodenum jarang memberikan informasi
langsung tentang batang saluran empedu. Tetapi bisa bermanfaat dalam arti negatif
dengan menyingkirkan penyakit yang di tempat lain. Misalnya ulkus duodeni atau
GERD. Refluks kontras ke dalam batang saluran empedu selalu abnormal dan
membawa bentuk identik dengan pneumobilia, karena menggambarkan hubungan
abnormal antara batang saluran empedu dan usus.
Kolesistografi oral
Kolesistogram oral yang dikembangkan graham dan cole dalam tahun 1924,
merupakan standar yang paling baik bagi diagnosis kelainan vesika biliaris. Zat
organik diyodinasi biasanya 6 tablet asam yopanoat (telepaque) diberikan peroral
pada malam sebelumnya dan pasien dipuasakan. Obat ini diabsorpsi diikat ke
albumin, diekstraksi oleh hepatosit, disekresi ke dalam emepedu dan dipekatkan di
dalam vesika biliaris; opasifikasi vesika biliaris terjadi dalam 8 sampai 12 jam. Batu
empedu atau tumor tampak sebagai filling defect. Opasifikasi membutuhkan duktus
sistikus yang paten dan vesika biliaris yag berfungsi. Bila vesika biliaris gagal terlihat
maka tindakan ini diulang dalam 24 jam. Kegagalan opasifikasi pada pengulangan
kembali atau kolesistografi oral dosis ganda bersifat diagnostik penyakit vesika
biliaris dan obstruksi duktus sistikus. Kolesistogram oral sangat sensitif dan spesifik
serta hasilnya mendekati 98 persen bila digunakan dengan tepat. Tes ini tidak dapat
diandalkan bila bilirubin serum meningkat atau dengan adanya muntah, diare atau
malabsorpsi.

33

Sumber gambar: ceessentials.net


Kolangiografi intravena
Tes ini telah dikembangkan dalam tahun 1954 untuk memungkinkan
visualisasi keseluruhan batang saluran empedu ekstrahepatik. Tetapi resolusi
radiografi sering buruk dan tes ini tak dapat diandalkan bila bilirubin serum lebih dari
3 mg per 100 ml. Lebih lanjut yang rekasi yang jarang tetapi munngkin muncul. Tes
ini telah digantikan oleh pemeriksaan yang lebih aman, lebih dapat diandalkan.

Sumber gambar: ceessentials.net

Ultrasonografi
Perkembangan teknik canggih ultrasonografi saluran empedu telah mengganti
kolesistografi oral sebagai tes penyaring bagi kolelitiasis. Karena USG tidak cukup
34

akurat seperti kolesistografi, maka kolesistogram oral tetap merupakan standar terbaik
dalam diagnosis batu empedu. Tetapi USG cepat, tidak invasif dan tanpa radilologic
exposure; lebih lanjut, USG dapat digunakan pada pasien ikterus dan mencegah
ketidakpatuhan pasien dan absorpsi zat kontras oral. Sehingga USG merupakan tes
penyaring yang lebih baik.
Kriteria untuk diagnosis kolelitiasi mencakup terdapatnya gambaran
hiperechoid yang merupakan batunya dan gambaran accoustic shadow yang berada di
bawah batu tersebut, dapat juga terlihat adanya gambaran penebalan dari dinding
kandung empedu yang bila lebih dari 5mm merupakan indikasi adanya cholecystitis
(penebalan dari dinding kandung empedu bisa juga karena fibrosis dari kandung
empedu tapi pada kasus ini volume dari kandung empedu juga ikut berkurang). USG
dapat juga mendeteksi batu yang berada pada duktus dengan terlihat adanya gambaran
dilatasi duktus
Bila USG ada, maka ketepatan mendekati 90 persen. Positif palsu jarang
terjadi (1 sampai 3 persen) tetapi negatif palsu timbul sekitar 10 persen pada
kesempatan sekunder terhadap ketidakmampuan USG mendeteksi 1. Batu dalam
vesika biliaris yang dipadati batu, 2. Batu yang sangat kecil 3. Batu tersangkut dalam
duktus sistikus. Pada keadaan tertentu, kolesistogram oral diperlukan untuk
mengkonfirmasi ada atai tidak adanya penyakit vesika biliaris. Penemuan
koledokolitiasis tidak dapat diandalkan dengan USG.
USG sangat bermanfaat pada pasien ikterus. Sebagai teknik penyaring, tidak
hanya dilatasi duktus intra dan ekstrahepatik yang bisa diketahui secara meyakinkan,
tetapi kelainan dalam parenkim hati atau pankreas (seperti mass atau kista) juga bisa
terbukti. Pada tahun belakangan ini, USG jelas telah ditetapkan sebagai tes penyaring
awal untuk memulai diagnostk bagi ikterus. Bila telah diketahui duktus intrahepatik
berdilatasi, maka bisa ditegakkan diagnosis kolestasis ekstrahepatik. Jika tidak
didapatkan dilatasi duktus, maka ini menggambarkan kolestasis intrahepatik.
Ketepatan USG dalam membedakan antara kolestasis intra atau ekstrahepatik
tergantung pada derajat dan lamanya obstruksi empedu, tetapi jelas melebihi 90
persen.

35

Sumber gambar: meddean.luc.edu


ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography)
Tes invasif ini melibatkan opasifikasi langsung saluran empedu dengan
kanulasi endoskopik ampulla vateri dan suntikan retrograd zat kontras. Didaptkan
radiografi yang memuaskan dari anatomi duktus biliaris (dan pankreatikus). Lebih
lanjut, ahli endoskopi akan memvisualisasi mukosa periampulla dan duodenum. Di
samping kelainan pankreas, ERCP digunakan dalam pasien ikterus ringan atau bila
lesi tidak menyumbat seperti batu duktus koledokus, kolangitisi sklerotikan atau
anomali kongenital. Ahli endoskopik berpengalaman dapat mengkanulasi duktus
biliaris dan berhasil pada 90 persen kesempata. Resiko ERCP pada hakekatnya dari
endoskopi dan mencakup sedikit penambahan insidens kolangitis dalam batang
saluran empedu yang tersumbat sebagian. Harus diakui dengan adanya obstruksi
saluran empedu lengkap, hanya luas obstruksi distal yang akan divisualisasi; anatomi
batang saluran empedu proksimal biasanya lebih dikhawatirkan dalam merencanakan
terapi bedah, sehingga sering lebih disukai kolangiografi ekstrahepatik perkutis. Satu
keuntungan ERCP bahwa kadang-kadang terapi sfingterotomi endoskpoi dapat
dilakukan serentak untuk memungkinkan lewatnya batu duktus koledokus secara
spontan atau untuk memungkinkan pembuangan batu dengan instrumentasi retrograd

36

duktus biliaris. Pemasangan stent biliaris retrograd atau endprotesa melintasi striktura
biliaris dapat juga dilakukan dengan menggunakan pendekatan endoskopi ini.

Sumber gambar: ask.com


PTC (Percutaneos Transhepatic Cholangiograph)
Merupakan tindakan invasif yang melibatkan pungsi transhepatik perkutis
pada susunan duktus biliaris intrahepatik yang menggunakan jarum Chibakurus
(ukuran 21) dan suntikan prograd zat kontras. Diperoleh uraian memuaskan dari
anatomi saluran empedu. Penggunaan primernya adalah dalam menentukan tempat
dan etiologi ikterus obstruktif dalam persiapan bagi intervesi bedah. Dengan adanya
dilatasi duktus, PTC sebenrnya berhasil pada 100 persen kesempatan; tanpa dilatasi
(seperti pada kolangitis sklerotikan atau koledokolitiasis non obstruksi), maka
radiograf adekuat dapat diperoleh hanya pada 60 persen kesempatan. Resiko PTC
mencakup perdarahan intraperitoneum atau kebocoran empedu dari tempat tusukan (1
sampai 3 persen), kolangitis ringan (5 sampai 10 persen), hemobilia (,1 persen) dan
tusukan sengaja viskus lokal (vesika biliaris, kavitas pleuralis).

37

Ahli radiologi intervensional telah memperluas konsep PTC dengan


mengembangkan teknik terapi kateterisasi saluran empedu transhepatik perkutis.
Teknik ini memungkinkan dekompresi saluran empedu non bedah pada psien
kolangitis akut toksik, sehingga mencegah pembedahan gawat darurat. Drainas
empedu perkutis dapat digunakan untuk menyiapkan pasien ikterus obstruktif untuk
pembedahan dengan menghilangkan ikterusnya dan memperbaiki fungsi hati. Lebih
lanjut, kateter empedu perkutis ini dapat dimajuka melalui striktura saluran empedu
ganas ke dalam duodenum dan ditinggalkan ditempat secara permanen sebagai cara
peredaan non bedah pada pasien berisiko buruk.

Sumber gambar: http://www.ajronline.org


Pemeriksaan radionuklida
Asama dimetil iminodiasetat ditandai teknetium 99m (99mTc-HIDA) dan asama
parisopropil iminodiasetat (Tc-PIPIDA) merupakan zat pemancar gamma yang bila
diberikan secara intravena, cepat diekstraksi oleh hepatosit dan disekresi di dalam
empedu. Sehingga batang saluran empedu ekstrahepatik dan vesika biliaris dapat
divisualisasi. Fungsi primernya dalam mendiagnosis kolesistisis akuta. Patogenesis
kolesistisis akuta melibatkan obstruksi duktus sistikus. Walaupun radionuklida ini
memasuki empedu dalam pasien kolesistisis akuta, namun tidak mencapai vesika
38

biliaris; kegagalan visualisasi vesika biliaris pada skintiskan sebenarnya bersifat


diagnostik obstruksi duktus sistikus. Resolusi perincian, tidak adekuat untuk
menentukan dari kebanyakn kelainan struktur lain anatomi saluran empedu.

Sumber gambar: brighamrad.harvard.edu

7. Komplikasi
bila kandung empedu terus mengalami obstruksi dan proses inflammasi terus berlanjut,
akan menyebabkan terjadinya empyema yang kemudian akan menyebabkan struktur sekitar
seperti omentum, colon dan dan duodenum mengalami perlengketan dengan kandung
empedu yang kemudian menjadi phlegmon. bila dilakukan pemeriksaan abdomen pada
palpasi akan teraba peningkatan dari tonus otot abdomen. pasien biasanya akan menunjukkan
gejala selama 2-3 hari, dan terdapat demam yang tinggi dan sirkulasi hiperdinamik pada
sepsis. jika proses inflamasi terus dibiarkan tidak ditangani, kelainan selanjutnya adalah
kandung empedu menjadi gangrene dan dapat terjadi perforasi lokal, yang diindikasikan dari
demam yang naik turun. terkadang terjadi kasus yang jarang terjadi dimana gejala-gejala
tersebut mengalami penurunan sampai menghilang, hal ini dikarenakan terbentuknya suatu
fistula biasanya menghubungkan kandung empedu dengan duodenum.

8. Tata Laksana Batu Empedu


Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilangtimbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan
berlemak. Pilihan penatalaksanaak antara lain :
39

a) Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan
kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah
cedera duktus biliarisyang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang
dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
Pada kolesistktomi terbuka, insisi dilakukan di daerah subcostal, biasanya
pada kolesistektomi terbuka dilakukan intraoperatif kolangiogram dengan cara
memasukkan kontras lewat kateter kedalam duktus sistikus untuk mengetahui outline
dari saluran bilier, alasan dilakukannya intraoperatif kolangiogram adalah karena ada
kemungkinan 10 persen terdapat batu pada saluran empedu.
b) Kolesistektomi laparaskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya
kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai
melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu
duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur
konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang
dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan
kosmetik.Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini,
berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang mungkin
dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi.

40

Sumber gambar: aurorahealthcare.org


c) Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah angka
kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya
memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif
acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan
hilangnnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan,
kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien. Pengobatan lazim kedua keadaan ini adalah
pembedahan untuk mengangkat kandung empedu (Kolesistektomi) dan pengangkatan
batu

dari

duktus

koledokus

(Koledokolitotomi),

yang

diharapkan

dapat

menyembuhkan sekita r95% kasus. Pada kasus kolesistitis akut yang disertai gejalagejala berat dan diduga terdapat pembentukan nanah ,beberapa ahli bedah lain hanya
melakukan operasi bila perbaikan tidak terjadi dalam beberapa hari. Akhir-akhir ini
digunakan metode pembedahan abdomen terbuka tradisional pada sekitar 20% kasus
dengan

metode

pembedahan abdomen laparoskopi

yang digunakan untuk

kolesistektomi adalah sekitar 80%.Pada kasus empiema atau bila penderita berada
dalam keadaan buruk, kandung empedu tidak dibuang tetapi hanya di drainage
(Kolesistotomi).
Penatalaksanaan konservatif dapat dilakukan dengan:
1) Diet rendah lemak.
2) Obat-obat antikolinergik dan antispasmodik.
NAMA GENERIK

SEDIAAN

Atropin sulfat
Butropium bromida

0,25 dan 0,5 mg tablet dan injeksi


5mg/tablet

Ekstrak Belladona

10mg/tablet

Fentonium bromida

20mg/tablet

Hiosin n-butilbromida

10mg/tablet

Skopolamin metilbromida

1mg/tablet

Oksifenonium bromida

5mg/tablet

Oksifensiklimin HCL

5mg/tablet

Privinium bromida

15mg/tablet

Propantelin bromida

15mg/tablet

pirenzipen

25mg/tablet
41

3) Analgesik
4) Antibiotik, bila disertai kolesistitis.
5) Asam empedu (asam kenodeoksolat) 6,75-4,5 g/hari, diberikan dalam jangka waktu lama.
Asam ini mengubah empedu yang mengandung banyak kolesterol (lithogenik bile)
menjadi empedu dengan komposisi normal.
d. Disolusi kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang
poten(metil-ter-butil-eter(MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang
diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasienpasien tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka
kekambuhan yang tinggi ( 50% dalam5 tahun).
e. Extracorporeal shock wave lithotripsy ( ESWL)
Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat
ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benarbenar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.

Sumber gambar: bupa.co.uk

9. Cholecystitis

Cholecystitis Akut
Hampir semua kolesistitis akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu yang

terjebak di dalam kantong hartmann. Komplikasi ini terdapat pada lima persen penderita
42

kolelitiasis. Kolesistitis akut tanpa batu empedu disebut kolesistitis akalkulosa, yang dapat
ditemukan pasca pemebedahan.
Pada kolesistitis akut, faktor trauma mukoa kandung empedu oleh batu dapat
menyebabkan pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin di dalam empedu menjadi
lisolesitin, yaitu senyawa toksik yang memperberat proses peradangan. Pada awal penyakit,
peran bakteria agaknya kecil saja meskipun kemudian dapat menjadi supurasi. Komplikasi
kolesistitis akut adalah empiema, gangren dan perforasi.
Perjalanan kolesistitis akut bergantung pada apakah obstruksi dapat hilang sendiri
atau tidak, derajat infeksi sekunder, usia penderita, dan penyakit lain yang memperberat
keadaan, seperti diabetes mellitus.
Perubahan patologik di dalam kandung empedu mengikuti pola yang khas. Proses
awal berupa udem subserosa, lalu perdarahan mukosa dan bercak-bercak nekrosis dan
akhirnya fibrosis. Gangren dan perforasi dapat terjadi setelah hari ketiga setelah serangan
penyakit. Tetapi kebanyakan pada minggu kedua. Pada penderita yang mengalami resolusi
spontan, tanda radang akut baru menghilang setelah empat minggu, tetapi sampai berbulanbulan kemudian sisa peradangan dan nanah masih tetap ada. Hampir 90% kandung empedu
yang diangkat dengan kolesistektomi menunjukkan jaringan parut lama, yang berarti di masa
lalu pernah menderita kolesistitis, tetapi umumnya penderita menyangkal dan dan merasa
tidak pernah ada keluhan.
o Gambaran Klinis
Keluhan utama ialah nyeri akut di perut kuadran kanan atas yang kadang-kadang
menjalar ke belakang di daerah skapula. Biasanya ditemukan riwayat serangan kolik
di masa lalu, yang pada mulanya sulit dibedakan dengan nyeri yang sekarang. Pada
kolesistitis, nyeri menetap dan disertai tanda rangsang peritoneal berupa nyeri tekan,
nyeri lepas, dan defans muskuler otot dinding perut. Kadang kandung empedu yang
membesar dapat diraba. Pada separuh penderita, nyeri disertai mual dan muntah.
Ikterus yang ringan agak jarang ditemukan. Suhu badan sekitar 38 derajat. Apabila
timbul demam dan mengigil, harus dicurigai komplikasi yang lebih berat atau
penyakit lain.
Pada pemeriksaan laboraorium jumlah leukosit meningkat atau dalam batas
normal. Apabila jumlah leukosit melebihi 15.000 harus dicurigai komplikasi yang
43

lebih berat. Kadar bilirubin meningkat sedang, mungkin karena sindrom mirizzi atau
penjalaran radang ke duktus koledokus. Fosfatase alkali sering mengalami kenaikan
sedang, demikian juga kadar amilase darah. Pada sindrom mirizzi, ikterus obstruktif
disebabkan tekanan pada duktus koledokus oleh batu di dalam kandung empedu.
Ultrasonografi dapat memperlihatkan gambaran batu di dalam kandung empedu,
lumpur empedu, dan penebalan dinding kandung empedu. Ultrasonografi juga dapat
memperlihatkan gangren dengan gambaran destruksi dinding dan nanah atau cairan
sekitar kandung empedu pada komplikasi abses perikolesistitis. Apabila secara klinis
sulit menentukan puntum maksimum nyeri dengan palpasi. Terutama pada kolesistitis
gangren, dengan ultrasonografi dapat membantu.
Kandung empedu yang membedar serta dinding dan jaringan sekitar yang
mengalami peradangan, sering terlihat pada foto polos perut sebagai bayangan massa
jaringan lunak lonjong yang menekan dinding kolon transversum yang berisi udara.
Apabila hasil pemeriksaan ultrasonografi tidak jelas atau meragukan, dapat
dilakukan skintisgram radionuklir hepatobilier.
o Penyulit
Komplikasi kolesistisis adalah empyema dan perforasi. Perforasi dapat berupa
perforasi bebas di rongga perut atau perforasi yang dibatasi oleh perlekatan
perikolesistitis yang membentuk massa radang kanan atas. Akhirnya dapat terjadi
fistel ke usus. Kebanyakan di duodenum.
o Diagnosis banding
Diagnosis banding adalah keadaan yang menimbulkan nyeri akut di perut bagian
atas disertai nyeri tekan, seperti pankreatitis akut, tukak peptik, appendisitis akut, atau
abses hati.
Pankreatitis akut kadang-kadang sulit dibedakan dengan kolesistitis akut, apalagi
bila kolesistitis disertai dengan kenaikan kadar amilase darah. Ulkus peptik yang
mengalami perforasi dapat didiagnosis dengan anamnesis riwayat nyeri epigastrik
yang berkurang dengan pemberian makanan atau antasid. Foto polos abdomen pada
perforasi sering memperlihatkan bayangan udara bebas di rongga peritoneum.

44

Appendisitis akut, terutama dengan sekum yang terletak tinggi di kanan atas,
menimbulkan keraguan. Diagnosis tepat dilakukan dengan USG. Abses hati baik oleh
amuba maupun piogenik berbeda pada riwayat penyakitnya. Nyeri tekan antar iga di
sisi lateral dapat menyingkirkan kemungkinan kolesistitis akut.

Cholecystitis Acalculous acute


Lebih kurang 5-10% kolesistitis akut terjadi tanpa adanya batu, karena itu disebut

kolesistitis akalkulus akut. Kelainan ini sering dijumpai pada penderita sakit berat yang
sedang dirawat karena trauma multipel, paska bedah besar, sepsis, keracunan obat, dan gagal
organ multipel. Penyebab lain adalah penderita yang dipuasakan lama dan dirawat dengan
nutrisi intravena. Pada penderita biasnya timbul stasis empedu yang kemudian menjadi
lumpur empedu. Lumpur empedu yang terdiri atas kalsium bilirubinat agaknya ikut berperan
aktif untuk menimbulkan kolesistitis akalkulus. Penyebab lain mungkin invasi kuman secara
primer, misalnya oleh salmonella typhi, E. Coli. Dan clostridium. Gangguan aliran darah
melalui arteri sistika, serta obstruksi duktus sistikus karena penyebab lain agaknya ikut
berperan untuk menimbulkan kolesisititis akalkulus.
o Gambaran Klinis
Keluhan dan gejala klinis kolesistitis akalkulus akut memang serupa dengan
kolesistitis akut pada kolelitiasis, yaitu nyeri pada perut kuadran kanan atas, nyeri
tekan, defans otot, dan demam. Biasanya ditemukan leukositosis dan gangguan faal
hati. Kadar fosfatase alkali meningkat pada setengah jumlah penderita, kadar biliubin
meninggi pada sepertiga penderita, dan kadar transaminase serum meningkat pada
seperempat penderita.
Diagnosis kolesistitis akalkulus akut pada penderita gawat paskabedah berat,
dalam keadaan shock, atau trauma multipel, sangat sulit karena biasanya mereka
dirawat dengan intubasi endotrakea, dan pemakaian obat. Timbulnya kolesistitis
akalkulus akut diantara penderita gawat diatas harus dicurigai apabila timbul demam
yang tidak dapat diterangkan penyebabnya, nyeri perut di kuadran kanan atas disertai
nyeri tekan, sepsis dan gangguan faal hati.

Cholecystitis Chronic

45

Kolesistitis kronik merupakan kelainan kandung empedu yang paling umum ditemukan.
Penyebabnya hampir selalu batu empedu.
Penentu penting untuk membuat diagnosis adalah kolik bilier, dispepsia, dan
ditemukannya batu kandung empedu pada pemeriksaan USG atau kolesistografi oral.
Keluhan dispepsia dicetuskan oleh makanan berat seperti gorengan, yang mengandung
banyak lemak, tetapi dapat juga timbul setelah makan bermacam jenis kol. Kolik bilier yang
khas dapat juga dicetuskan oleh makanan berlemak dan khas kolik bilier dirasakan di perut
kanan atas, dan nyeri alih ke titik boas.
Diagnosis banding adalah semua yang dapat menyebabkan nyeri di epigastrium, perut
kuadran kanan atas, kuadran kiri atas, dan prekordial. Diagnosis banding tersebut antara lain
tukak peptik, gastritis, hernia hiatus dan neoplasma lambung.

Tata laksana
Kolesistektomi merupakan cara pengobatan terbaik untuk kolesistitis akut dan umumnya

dapat dilaksanakan dengan aman pada sekitar 90% penderita. Namun, penanggulangan awal
kolesitits akut adalah perawatan konservatif, sekitar 60% penderita akan sembuh spontan.
Pembedahan dilakukan sesuai dengan perjalanan penyakit. Apabila memburuk, segera
dibedah, bila membaik, pembedahan dilakuan secara elektif.
Terapi nonbedah untuk kolesistitis akut berupa puasa, pemasangan pipa nasogastrik
untuk dekompresi lambung, pemberian cairan intravena untuk mengatasi dehidrasi dan
gangguan elektrolit, dan pemberian antibiotik atau antimikroba untuk kuman gram negatif
dan kuman anaerob.
Pendekatan lain, yaitu kolesistektomi dini. Keadaan umum diperbaiki dan sepsi diatasi
dengan pemberian antibiotik seperti yang dilakukan pada pengobatan konservatif, sambil
memastikan diagnosis, memperbaiki keadaan umum, dan mengatasi penyakit penyerta
seperti pankreatitis. Setelah 24-48 jam, keadaan penderita umumnya lebih baik dan infeksi
telah dapat diatasi. Tindak bedah dini yang dapat dilakukan dalam 72 jam pertama perawatan
ini memberikan keuntungan karena mempersingkat masa rawat di rumah sakit sekitar 30
hari. Insidens penyulit paskabedah dan angka kematian ternyata tidak berbeda antara
pembedahan dini dan pembedahan elektif.

46

Apabila pada masa persiapan pembedahan keadaan umum penderita memburuk karena
komplikasi peritonitis, pembedahan dipercepat sebagai bedah emergensi. Bedah emergensi
diperlukan pada sekitar 10% penderita. Bila keadaan umum terlalu buruk untuk
pembedahan, tindakan sementara berupa kolesistostomi kateter perkutan dengan bimbingan
USG merupakan cara terbaik. Setelah keadaan umum penderita membaik, barulah dilakukan
kolesistektomi elektif, umumnya enam minggu sampai tiga bulan setelah penderita sembuh
dari kolesistitis akut.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC. 2005. 570-9.


Sabiston David C. Jr.. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:EGC.2010.115-128
Tjandra J. J. A.J. Gordon. Dkk. Textbook Of Surgery.Third Edition.New Delhi:Blackwell

Publishing.2006.
Diunduh dari: http://ilmubedah.info/cholelithiasis-patofisiologi-pembentukanbatu-empedu-20110216.html

Diunduh dari: http://www.wikipedia.org/


Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/175667-overview

47

Anda mungkin juga menyukai