Anda di halaman 1dari 6

Good Governance

United Nations Development Programme (UNDP) mendefinisikan Governance sebagai


pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah
bangsa. Governance dikatakan baik (good atau sound) apabila sumber daya dan masalahmasalah publik dikelola secara efektif, efisien yang merupakan respon terhadap kebutuhan
masyarakat[1]. Pada dasarnya konsep Good Governance memberikan rekomendasi pada sistem
pemerintahan yang menekankan kesetaraan antara lembaga-lembaga negara baik di tingkat pusat
maupun daerah, sektor swasta, dan masyarakat madani (Civil Society). Good Governance
berdasar pandangan ini berarti suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang
diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat madani, dan sektor swasta. Kesepakatan
tersebut mencakup keseluruhan bentuk mekanisme, proses dan lembaga-lembaga di mana warga
dan kelompok masyarakat mengutarakan kepentingannya, menggunakan hak hukum, memenuhi
kewajiban dan menjembatani perbedaan di antara mereka[2].
Good Governance sebagai sebuah paradigma dapat terwujud bila ketiga pilar pendukungnya
dapat berfungsi secara baik, yaitu negara, masyarakat madani, dan sektor swasta. Negara dengan
birokrasi pemerintahannya dituntut untuk merubah pola pelayanan dari birokrasi elitis menjadi
birokrasi populis. Sektor swasta sebagai pengelola sumber daya di luar negara dan birokrasi
pemerintahan pun harus memberikan kontribusi dalam usaha pengelolaan sumber daya tersebut.
Penerapan cita Good Governance pada akhirnya mensyaratkan keterlibatan organisasi
kemasyarakatan sebagai kekuatan penyeimbang negara[3].
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) sebagaimana dikutip oleh Koesnadi mengemukakan,
bahwa prinsip-prinsip Good Governance terdiri atas:
1. Participation (partisipasi). Semua pria dan wanita mempunyai suara dalam pengambilan
keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang
mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan
kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi
secara konstruktif.

2. Rule of Law. Kerangka hukum harus adil dan diperlakukan tanpa pandang bulu, terutama
hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia. Menurut Santosa, setidaknya konsep
rule of law harus memenuhi karakter-karakter, yaitu: 1) Supremasi hukum; 2) Kepastian
hukum; 3) Hukum yang responsif; 4) Penegakan hukum yang konsisten dan
nondiskriminatif; 5) Keberadaan independensi peradilan[4].
3. Tranparancy (transparansi). Transparansi dibangun atas arus informasi yang bebas.
Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga, dan informasi perlu dapat diakses oleh
pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat
dimengerti dan dipantau.
4. Responsiveness. Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha
melayani semua pihak yang berkepentingan (masyarakat).
5. Consensus Orientation. Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingankepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa
yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam
hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur. Contohnya melalui forum musyawarah.
6. Equity (kesetaraan atau keadilan). Semua pria dan wanita mempunyai kesempatan
memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
7. Effektiveness and Efficiency. Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga
membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan
sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
8. Accountability. Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasiorganisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada
lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung-jawaban tersebut berbeda
satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan dan dari apakah
bagi organisasi itu, keputusan tersebut, bersifat kedalam atau keluar.

9. Strategic Visions. Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh
ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan
akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu
mereka juga harus memiliki pemahaman akan kompleksitas kesejahteraan, budaya dan
sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut[5].
Lebih lanjut menurut Santosa, untuk mencapai Good Governance, maka elemen-elemen negara
yang meliputi pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat maupun lembaga peradilan harus berfungsi
optimal dan efektif. Masyarakat sipil harus mampu menjalankan peranannya sebagai penyalur
aspirasi rakyat dan public watchdog. Sektor swasta harus diberikan jaminan bahwa kegiatan
ekonomi dapat berjalan dengan baik, dan menaati norma-norma sosial serta aturan hukum.
Dengan demikian, good governance mensyaratkan lima hal, sebagai berikut:
1. Lembaga perwakilan yang mampu menjalankan fungsi kontrol dan penyalur aspirasi
rakyat yang efektif (effective representative system). Fungsi kontrol yang optimal
terhadap penggunaan kekuasaan negara dan keberadaan wakil rakyat yang aspiratif akan
sangat menentukan penyelenggaraan pemerintah yang efisien, tidak korup dan selalu
berorientasi pada aspirasi rakyat (yang diwakilinya).
2. Pengadilan yang independen (judicial independence). Pengadilan yang independen
(mandiri, bersih dan profesional) merupakan komponen strategis dari sistem penegakan
hukum dan rumah keadilan bagi korban ketidakadilan untuk mendapatkan pemulihan hak
yang terlanggar.
3. Aparatur pemerintah (birokrasi) yang memiliki integritas yang kokoh dan responsif
terhadap kebutuhan masyarakat (strong, reliable and responsive bureaucracy).
4. Masyarakat sipil yang kuat sehingga mampu melaksanakan fungsi kontrol publik (strong
and participatory civil society).
5. Desentralisasi dan lembaga perwakilan di daerah yang kuat (democratic desetralization).
Kebijaksanaan lokal sebagai konsekuensi dari desentralisasi dan atau otonomi daerah
diasumsikan akan lebih mudah menyerap aspirasi sertsa kebutuhan masyarakat lokal

dibandingkan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Secara teori, oleh
karena kebijaksanaan publik produk desentralisasi akan lebih partisipatoris dan
aspiratif[6].
Dalam kaitannya dengan lingkungan hidup, pemerintahan yang baik di bidang lingkungan
merupakan bagian dari Good Governance. Tolak ukur ciri-ciri pemerintahan yang baik yang
memiliki visi tentang keterbatasan daya dukung ekosistem, adalah pengakuan terhadap 8
(delapan) parameter dalam kebijaksanaan pemerintahan, yaitu:
(1) Pemberdayaan, pelibatan masyarakat dan akses informasi;
(2) Transparansi;
(3) Desentralisasi yang demokratis;
(4) Pengakuan terhadap keterbatasan daya dukung ekosistem dan keberlanjutan;
(5) Pengakuan hak masyarakat adat dan masyarakat setempat;
(6) Konsistensi dan harmonisasi;
(7) Kejelasan (clarity);
(8) Daya penegakan (enforceability).
Poin nomor satu (1) sampai dengan tiga (3), merupakan elemen pokok dalam mewujudkan tata
pemerintahan yang baik,
sedangkan poin empat (4) dan lima (5) merupakan elemen pokok dari pengakuan aspek
berkelanjutan.
Adapun poin enam (6) sampai delapan (8) merupakan elemen pokok dari rule of law[7].
Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Baik

Dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup, terdapat kaitan yang erat dengan
penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Menurut Koesnadi dalam rangka mewujudkan
pemerintahan yang baik di bidang lingkungan hidup maka perlu diperhatikan asas-asas umum
pemerintahan yang baik (the principles of good administration) yang meliputi asas-asas:
(a) Kepastian hukum;
(b) Keseimbangan;
(c) Kesamaan;
(d) Bertindak cermat;
(e) Motivasi untuk setiap keputusan;
(f) Jangan mencampuradukkan kewenangan;
(g) Permainan yang layak;
(h) Keadilan atau kewajaran;
(i) Menanggapi harapan yang ditimbulkan;
(j) Meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal;
(k) Perlindungan atas pandangan hidup;
(l) Kebijakan; dan
(m) Penyelenggaraan kepentingan umum[8].
Senada dengan Koesnadi, menurut Sony Keraf, penyelenggaraan pemerintahan yang baik akan
mempengaruhi dan menentukan pengelolaan lingkungan hidup yang baik. Oleh karena itu
pengelolaan lingkungan hidup yang baik mencerminkan tingkat penyelenggaraan pemerintahan
yang baik. Ini disebabkan, penyelenggaraan pemerintah yang baik akan menentukan komitmen
penyelenggaran pemerintahan terhadap lingkungan hidup[9].

[1] Achmad Santosa, Hlm.86


[2] Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani,.
[3] Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Bahan
Ajar Mata Kuliah Hukum Kenegaraan dan Perundang-Undangan, UGM.
[4] Achmad Santosa, Good Governance, Hlm. 87
[5] Koesnadi, Ekologi, Manusia, dan Kebudayaan, Hlm.71-72.
[6] Icel, Lingkungan hidup dan Sumber Daya Alam Pasca Orde Baru, Hlm.4
[7] Icel, Hlm. 12-13
[8] Koesnadi, Hlm. 72-73.
Asas kebijaksanaan (kebijakan) dan asas penyelenggaraan kepentingan umum merupakan asas
yang hanya dikenal di negara Indonesia, yang diintroduksi oleh Kuntjoro Purbopranoto, dalam
Ridwan, Op. Cit, Hlm. 278.
[9] A. Sony Keraf, 2002, Etika Lingkungan, Kompas, Jakarta, Hlm.201

Anda mungkin juga menyukai