Anda di halaman 1dari 5

Artikel Medis Med Link Med News Persiapan Anestesi dan Premedikasi Add Comment anastesi

Pada umumnya persiapan anestesi diawali dengan persiapan psikologis / mental bagi pasien yang
akan diberikan anestesi. Serta pemberian obat-obat yang dipilih untuk tujuan tertentu sebelum
induksi dimulai. Kedua macam persiapan ini yang sebetulnya dinamakan premedikasi. Dengan
premedikasi ini diharapkan bahwa saat memasuki prabedah, pasien akan bebas dari rasa cemas,
cukup mengalami sedasi tetapi mudah dibangunkan dan kooperatif. KUNJUNGAN
PRABEDAH DAN ANAMNESA Komponen psikologis berupa kunjungan prabedah (preoperatif
visit). Setiap pasien yang akan mengalami anestesi harus dilihat dan diperiksa dulu oleh dokter
yang akan melakukan pemberian anestesi setidak-tidaknya 1 hari sebelum operasi apabila
tindakan pembedahan terencana atau pada waktu dikonsulkan oleh ahli bedah untuk pembedahan
darurat. dokter-anestesi Semua dokumen medik baik yang baru maupun yang terdahulu (bila
pasien pernah MRS ulang) harus dipelajari secara teliti. Harus diperhatikan masalah-masalah
pengalaman operasi dan anestesi yang pernah dijalani dan perubahan-perubahan fisiologik yang
ditimbulkan oleh penyakitnya, baik penyakit untuk mana pembedahan tersebut direncanakan,
maupun penyakit lain yang menyertainya. Kemampuan toleransi terhadap efek obat anestesi
sangat tergantung pada normalnya respirasi dan sirkulasi, fungsi hemostatik dari hepar, endokrin
dan saraf pusat. Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui dan menilai semua yang tersebut di
atas, maka hanya mungkin apabila dilakukan dengan mengunjungi pasien. Kunjungan prabedah
dan melakukan dialog dengan pasien tidak dapat diganti dengan cara lain, misalnya dengan
pemberian obat penenang. Kunjungan prabedah ini merupakan proses belajar baik bagi pasien
maupun dokternya. Oleh karena itu pada waktu melakukan anamnesa tidak boleh tergesa-gesa.
Masalah obat-obat yang digunakan oleh pasien harus dicatat dengan baik. Hal-hal lain yang
harus diperhatikan ialah masalah emosi/keadaan psikis pasien. Dengan kunjungan prabedah ini
maka dokter dapat memberi pengertian pada pesien apa yang dialami sebelum dianestesi
(misalnya mengapa harus puasa + 6 jam, diberi obat pencahar, pendapat suntikan/obat
premedikasi dipasang infus dll) dan setelah pembedahan (akan berada di suatu ruangan yang
belum dikenal yaitu ruang pulih sadar , timbul rasa sakit, mungkin terasa pusing atau mual dsb).
Kepada pasien dilatihkan bagaimana cara mengambil napas panjang dan batuk yang efektif agar
tidak terjadi penyulit paru (atelektasis) pasca bedah. Dapat dijelaskan pula masalah nyeri pasca
bedah, dan bagaimana perjalanan hilangnya nyeri tersebut. Dari kontak pertama dengan pasien,
dapat dilihat kemungkinan masalah yang dapat timbul selama anestesi misalnya : Bila pasien
dengan leher pendek kemungkinan dapat terjadi penyulit jalan napas (obstruksi) Anak atau bayi
yang gemuk, kemungkinan akan menimbulkan kesulitan pada waktu memasang infus.
PEMERIKSAAN FISIK Setelah anemnesa dilakukan secara lengkap, dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik, sesuai dengan urutan pemeriksaan sistem secara legeartis. Besarnya cadangan
sistem kardiovaskuler dapat diperkirakan dengan menanyakan toleransi pasien terhadap latihan
fisik. Pasien juga dapat diminta untuk berjalan di lorong atau naik tangga, untuk mendeteksi
terjadinya napas pendek atau nyeri di tungkai (claudicatio) apabila ada riwayat infark miokard
maka tidak adanya keluhan angina tidak dapat dipakai sebagai patokan tentang baiknya aliran
darah koroner. Sementara itu hasil pemeriksaan laboratorium diteliti, bila ada hal-hal yang perlu
untuk diperiksa, maka dapat diminta pemeriksaan labortorium tambahan. Apabila pemeriksaan
telah selesai, diberikan penerangan tentang cara anestesi yang akan dilakukan, tentang apa yang
akan dilami pasien selama waktu pasca anestesi/bedah. Penjelasan dilakukan dengan bahasa
awam, sehingga pasien dapat mengerti. Pasien berhak untuk mengetahui apa yang dilakukan oleh
dokter. Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan laboratorium yang ada,
maka baru dapat ditentukan status fisik pasien serta dinilai resiko pasien terhadap anestesi. Status

Fisik (Physical Status = PS) Pasien yang akan mengalami anestesi dan pembedahan dapat
dikategorikan dalam beberapa kelas status fisik, yang semula diusulkan dan digunakan oleh
American Society of Anestesiologist (ASA), karena itu status fisik diberi nama ASA. Status fisik
diklasifikasikan menjadi 5 kelas, yaitu ASA 1 sampai dengan ASA 5, dengan uraian sebagai
berikut : M Klas 1 Pasien tanpa gangguan organik, fisiologik, biokemik maupun psikiatrik.
Proses patologis yang akan dilakukan operasi terbatas lokasinya dan tidak akan menyebabkan
gangguan sistemik. Contoh : Seorang dewasa muda sehat akan menjalani operasi hernia
inguinalis Seorang wanita muda sehat dengan myoma uteri akan dilakukan myomektomi M Klas
2 Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai sedang, yang disebabkan baik oleh keadaan
yang harus diobati dengan jalan pembedahan maupun oleh proses patofisiologis Contoh : Pasien
dengan penyakit jantung organik tanpa pembatasan aktivitas atau dengan pembatasan ringan,
direncanakan untuk operasi hernia Pasien dengan DM ringan direncanakan untuk operasi
appendektomi Pasien dengan anemia Pasien dengan hipertensi esensial Dalam klas ini dapat juga
dimasukkan : Pasien dengan umur ekstrim (neonatus atau geriatri) tanpa penyakit sistemik
Obesitas, bronchitis kronis M Klas 3 Pasien dengan gangguan sistemik yang berat, apapun
penyebabnya Contoh : DM berat dengan komplikasi vaskuler yang memerlukan tindakan
pembedahan Insufisiensi paru sedang sampai berat, perlu pembedahan misalnya hernia Angina
pectoris atau myocard infarct lama M Klas 4 Pasien dengan gangguan sistemik berat yang
mengancam jiwa, yang tidak selalu dapat dikoreksi dengan pembedahan Contoh : Pasien dengan
dekompensasi jantung Angina pectoris yang terus-menerus Insufisiensi berat dari faal paru,
hepar, ginjal atau endokrin M Klas 5 Pasien yang hanya mempunyai peluang hidup yang kecil
Contoh : Pasien shock karena perdarahan Trauma kepala hebat dengan tekanan intrakranial yang
meningkat Pada umumnya pasien-pasien ini memerlukan operasi untuk resusitasi dan umumnya
hanya perlu anestesi sedikit atau bahkan tanpa obat anestesi. Operasi Darurat (D) : Setiap pasien
dari masing-masing klas tersebut di atas yang mengalami pembedahan darurat dipertimbangkan
menjadi dalam kondisi fisik yang jelek. Dibelakang angka yang menunjukkan kelasnya, ditulis
huruf D yang berarti darurat (dalam buku berbahasa Inggris ditulis E = Emergency) Contoh :
Pasien dewasa sehat dengan hernia incarcerata : PS 1 D Dengan menggunakan klasifikasi ini
maka seseorang dapat berbicara dengan bahasa yang sama baik di forum nasional, maupun
internasional. PERSIAPAN FARMAKOLOGIK PRABEDAH (premedikasi dalam arti
sempit/khusus) Setelah penilaian prabedah selesai dengan menghasilkan antara lain penentuan
status fisik pasien, langkah berikutnya ialah menentukan macam obat premedikasi yang akan
digunakan. Untuk penentuan ini ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan yaitu : Macam
operasi Posisi pasien waktu dilakukan operasi Perkiraan lama operasi dan sebagainya Tujuan
utama dari pemberian obat premedikasi ialah untuk memberikan sedasi psikis, mengurangi rasa
cemas dan melindungi keadaan basal fisiologis dalam melawan bahaya stress mental atau faktorfaktor yang tidak ada hubungannya dengan anestesi yang spesifik. Hasil akhir yang diharapkan
dari pemberian premedikasi yaitu induksi anestesi yang lancar. Oleh karena itu dapat
disimpulkan secara singkat, bahwa tujuan dari premedikasi dan anestesi ialah untuk melindungi
pasien terhadap akibat segera dari trauma pembedahan (misalnya rasa takut, sakit, aktivitas saraf
simpatis, ketegangan otot). Oleh karena itu premedikasi ini harus memenuhi kebutuhan masingmasing pasien yang untuk setiap pasien dapat berbeda-beda. Mengapa masalah takut dan nyeri
ini harus diperhatikan betul pada prabedah, dapat dijelaskan sebagai berikut : Reaksi fisiologis
terhadap nyeri dan rasa takut terdiri atas 2 bagian : Somatik (voluntary) Simpatetik (involuntary)
Efek somatik ini timbul dalam kecerdasan dan menumbuhkan dorongan untuk bertahan atau
menghindari kejadian tsb. Kebanyakan pasien akan melakukan modifikasi terhadap menifestasi

efek somatik tersebut dan menerima keadaan yaitu dengan tampak tenang. Reaksi saraf simpatis
terhadap rasa takut atau nyeri tidak dapat disembunyikan oleh pasien. Rasa takut dan nyeri
mengaktifkan saraf simpatis untuk menimbulkan perubahan dalam berbagai derajat yang
mengenai setiap sistem dalam tubuh. Banyak dari perubahan ini yang disebabkan oleh suplai
darah ke jaringan, sebagian karena stimulasi eferen simpatis yang ke pembuluh darah, dan
sebagian karena naiknya katekolamin dalam sirkulasi. Impuls adrenergik dari rasa takut timbul di
korteks serebri dan dapat ditekan dengan tidur atau dengan sedatif yang mencegah kemampuan
untuk menjadi takut bila ada penyebab takut yang sesuai. Reaksi kardiovaskuler terhadap nyeri
secara neurologis berbeda dengan rasa takut, karena arkus refleks yang tersangkut seluruhnya
ada di batang otak di bawah level sensoris thalamus. Ini berarti bahwa pendekatan klinis untuk
menghilangkan kedua hal tersebut harus berbeda. Tanda akhir dari reaksi adrenergik terhadap
rasa takut ialah meningkatnya detak jantung dan tekanan darah. Maka tujuan pemberian obat
premedikasi dapat disimpulkan sebagai berikut : Menghilangkan kecemasan Mendapatkan sedasi
Mendapatkan analgesi Mendapatkan amnesi Mendapatkan efek antisialogoque Disamping itu
pada keadaan tertentu juga : Menaikkan pH cairan lambung Mengurangi volume cairan lambung
Mencegah terjadinya reaksi alergi (dimodifikasi dari Miller R.D : Anesthesia 2nd. Ed. 1986)
Premedikasi ini tidak boleh diberikan secara otomatis/rutin, tetapi harus berdasar pada keadaan
psikis dan fisiologis pasien yang ditetapkan setelah kunjungan prabedah dilakukan. Dengan
demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan memperhitungkan : Umur pasien Berat badan Status fisik Derajat kecemasan Riwayat hospitalisasi
sbelumnya (terutama pada anak) Riwayat reaksi terhadap obat premedikasi sebelumnya (bila
pasien pernah diberi anestesi sebelumnya) Riwayat penggunaan obat-obat tertentu yang
kemungkinan dapat berpengaruh pada jalannya anestesi (misalnya MAO inhibitor,
kortikosteroid, antibiotik tertentu) Perkiraan lamanya operasi Macamnya operasi (misalnya
terencana, darurat pasien rawat inap atau rawat jalan) Rencana obat anestesi yang akan
digunakan OBAT-OBAT PREMEDIKASI YANG DIGUNAKAN Sesuai dengan tujuannya maka
obat-obat yang dapat digunakan sebagai obat premedikasi dapat digolongkan seperti dibawah ini
(beberapa contoh yang terdapat di Indonesia) Golongan Obat Contoh Barbiturat Luminal
Narkotik Morfin Petidin Benzodiazepin Diazepam Midazolam Butyrophenon Droperidol
Antihistamin Promethazine Antikolinergik Atropin Antasida Gelusil H2 reseptor antagonis
Cimetidin Dalam praktek sehari-hari sering diberikan kombinasi beberapa obat untuk mendapat
hasil yang diinginkan, misalnya : 1. Kombinasi Narkotik Benzodiazepin Antikolinergik 2.
Kombinasi Narkotik Butyrophenon Antikolinergik 3. Kombinasi Narkotik Antihistamin
Antikolinergik Pada keadaan tertentu (misalnya pasien obstetrik) perlu diberikan antasida (lihat
kuliah/buku tentang anestesi untuk tindakan kebidanan). Barbiturat Kebanyakan pasien yang
telah direncanakan untuk menjalani operasi akan lebih baik bila diberikan hipnotik malam
sebelum hari operasi, karena rasa cemas, hospitalisasi atau keadaan sekitar yang tidak biasa
dapat menyebabkan insomnia. Untuk itu dapat digunakan golongan barbiturat per oral sebelum
waktu tidur Selain itu barbiturat juga digunakan untuk obat premedikasi. Keuntungan
penggunaan obat ini ialah dapat menimbulkan sedasi, efek terhadap depresi respirasi minimal
(ini dibuktikan dengan tidak berubahnya respon ventilasi terhadap CO2), depresi sirkulasi
minimal dan tidak menimbulkan efek mual dan muntah. Obat ini efektif bila diberikan per oral.
Sayang untuk bangsa Indonesia, premedikasi per oral belum dapat dibudayakan (terutama bagi
golongan menengah/bawah) karena masih ditakutkan bila disamping minum obat, pasien tidak
dapat menahan diri untuk tidak minum lebih banyak. Kerugian penggunaan barbiturat termasuk
tidak adanya efek analgesi, terjadinya disorientasi terutama pada pasien yang kesakitan, serta

tidak ada antagonisnya. Narkotik Morfin dan petidin merupakan narkotik yang paling sering
digunakan untuk premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini ialah memudahkan induksi,
mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesia pra dan pasca-bedah, memudahkan
melakukan pemberian pernafasan buatan, dapat diantagonisir dengan naloxon. Narkotik ini dapat
menyebabkan vasodilatasi perifer, sehingga dapat menyebabkan hipotensi ortostatik. Hal ini akan
lebih berat lagi bila digunakan pada pasien dengan hipovolemia. Berlawanan dengan barbiturat,
narkotik ini dapat menyebabkan depresi pusat pernapasan di medulla oblongata yang akan dapat
ditunjukkan dengan turunnya respon terhadap CO2. Mual dan muntah menunjukkan adanya
stimulasi narkotik pada pusat mundah di medulla. Bila pasien dalam posisi tidur akan
mengurangi efek tersebut. Morfin diberikan dengan dosis 0,1 2,2 mg/kg BB, sedang petidin
dengan dosis 1 2 mg/kg BB. Pada orang tua dan anak-anak dosis diberikan lebih kecil.
Benzodiazepin Golongan ini sangat spesifik untuk menghilangkan rasa cemas. Diazepam bekerja
pada reseptor otak yang spesifik, menghasilkan efek antiansietas yang selektif pada dosis yang
tidak menimbulkan sedasi yang berlebihan, deperesi napas, mual atau muntah. Kerugian
penggunaan diazepam untuk premedikasi ini ialah kadang-kadang pada orang tertentu dapat
menyebabkan sedasi yang berkepan-jangan. Selain itu juga rasa sakit pada penyuntikan
intramuskular. Serta absorbsi sistemik yang jelek setelah pemberian IM. Sekarang sudah ada obat
baru dari golongan Benzodiazepin IM, yaitu Midazolam. Keuntungan obat ini tidak
menimbulkan rasa nyeri pada penyuntikan baik secara IM maupun IV. Diazepam dapat diberikan
pada orang dewasa dengan dosis 10 mg, sedang pada anak kecil 0,2 0,5 mg/kg BB. Midazolam
dapat diberikan dengan dosis 0,1 mg/kg BB. Penggunaan midazolam ini harus dengan
pengawasan yang ketat, karena kemungkinan terjadi depresi respirasi. Butyrophenon Dari
golongan ini Droperidol dengan dosis 2,5 5 mg IM digunakan sebagai obat premedikasi
dengan kombinasi narkotik. Keuntungan yang sangat besar dari penggunaan obat ini ialah efek
antiemetik yang sangat kuat, dan bekerja secara sentral pada pusat muntah di medulla. Obat ini
ideal digunakan untuk pasien-pasien dengan resiko tinggi, misalnya pada operasi mata, pasien
dengan riwayat sering muntah dan obesitas. Dapat juga diberikan secara intravena dengan dosis
1 1,25 mg. Kadang-kadang pada pasien tertentu Droperidol ini dapat menimbulkan dysphoria
(pasien merasa takut mati). Droperidol juga mempunyai efek blokade terhadap dopaminergik
pada pasien yang normal. Selain itu juga mempunyai efek alfa adrenergik antagonis yang ringan,
sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer. Efek ini dapat digunakan pada
pasien hipertermi sebelum diberikan kompres basah seluruh tubuh. Namun perlu diingat akan
terjadinya relatif hipovolemia. Pada pasien dengan riwayat alergi/rinitis vasomotorika sebaiknya
penggunaan obat ini dihindari. Antihistamin Dari golongan ini yang sering digunakan sebagai
obat premedikasi ialah Promethazin (phenergan) dengan dosis 12,5 25 mg intramuskular pada
orang dewasa. Digunakan pada pasien dengan riwayat asma bronchiale. Antikolinergik Atropin
mempunyai efek kompetitif inhibitor terhadap efek muskarinik dari asetilkolin. Atropin ini dapat
menembus barier lemak misalnya Blood-Brain Barrier, Placenta Barrier, dan Gastrointestinal
tract. Reaksi tersering dari pemakaian obat ini ialah : Menghasilkan efek antisialogog
Mengurangi sekresi ion H asam lambung Menghambat refleks bradikardia Efek sedativa dan
amnesik (terutama scopolamin) Efek yang kurang menyenangkan dari golongan obat ini ialah :
CMS toxicity (gelisah, agitasi) Naiknya nadi Mydriasis dan cycloplegia Kenaikan suhu
tubuh Mengeringkan sekret jalan napas Antasida Pemberian antasida 15-30 menit pra induksi
hampir 100% efektif untuk menaikkan pH asam lambung di atas 2,5. Seperti diketahui, aspirasi
cairan asam lambung dengan pH yang rendah dapat menimbulkan apa yang dinamakan Acid
Aspiration Syndrome atau disebut juga Mendelson Syndrome (lihat kuliah anestesi untuk

obstetri). Yang dianjurkan adalah preparat yang mengandung Mg-trisilikat. Histamin H2-reseptor
antagonis Obat ini melawan kemampuan histamin dalam meningkatkan sekresi cairan lambung
yang mengandung ion H tinggi. Dari kepustakaan disebutkan bahwa pemberian cimetidin oral
300 mg 1 1,5 jam pra induksi dapat menaikkan pH cairan lambung di atas 2,5 sebanyak lebih
dari 80% pasien. Dapat pula diberikan secara intravena dengan dosis yang sama 2 jam sebelum
induksi
dimulai.
Read more at: http://www.medicinestuffs.com/2014/02/persiapan-anestesi-dan-premedikasi.html
Copyright MedStuffs

Anda mungkin juga menyukai