Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada umumnya, baik laki-laki maupun perempuan mencapai usia akil baligh
atau puber adalah ketika usia mereka mencapai belasan tahun. Pubernya laki-laki
ditandai dengan pengalaman mimpi basah, sedangkan perempuan ditandai
dengan menstruasi. Disamping itu laki-laki dan perempuan pun akan mengalami
beberapa perubahan fisik. Diantara perubahan itu adalah perkembangan fungsi
serta fisik organ reproduksi laki-laki dan perempuan. Ketika seseorang baru
mencapai akil baligh yang ditandai dengan keluarnya cairan dari dzakarnya atau
sering kita sebut dengan mimpi basah maka biasanya akan timbul kebingungan
bagaimana cara menghadapinya.
Islam sebagai sebuah ajaran dan tatanan baru, memperbaiki
pola kehidupan masyarakat Jahiliyah pada peradapan Arab
membawa pengaruh besar terhadap kehidupan. Islam hadir
sebagai pembawa lentera kehidupan tidak hanya mengatur
masalah ketuhanan dengan berbasiskan ketauhidan, akan
tetapi mangatur segala sendi kehidupan yang bertujuan agar
nilai kemanusiaan tidak terkikis oleh sifat buruk manusia.
Dengan demikian, Islam sebagai agama yang diyakini oleh
semua pemeluknya dimaknai sebagai jalan kehidupan untuk
menemukan jalan kebahagiaan dan kesejatian hidup baik di
dunia dan akhirat.
Manusia lazimnya sebagai makhluk yang bersifat fana tentu
akan mengalami peristiwa hukum dalam hidup yaitu kematian.
Dengan peristiwa ini, manusia akan meninggalkan segala hal
yang bersifat keduniaan, baik meninggalkan handai tolan,
kerabat, saudara, pekerjaan, dan harta materiil yang dimiliki.
Oleh karena itu, peristiwa hukum (kematian) seseorang menjadi
sebuah

kewajaran

apabila

setelah

meninggalnya

timbul
Page | 1

permasalahan terhadap harta yang ditinggalkan. Tidak jarang


terjadi

persengketaan

antar

keluarga

akibat

perselisihan

tentang siapa yang paling berhak atas semua harta milik


pewaris dalam keluarga, dan disinilah letak urgensi aturan
hukum Islam tentang harta peninggalan harus diterapkan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini diantaranya adalah :
1. Apa yang dimaksud mandi wajib?
2. Hal hal apa saja yang menyebabkan seseorang harus mandi wajib?
3. Bagaimana tata cara mandi wajib?
4. Apa yang dimaksud waris?
5. Bagaimana konsep hukum waris dalam islam?
C. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini ialah:
1. Untuk mengetahui pengertian mandi wajib.
2. Untuk mengetahui hal - hal apa saja yang menyebabkan seseorang harus
mandi wajib.
3. Untuk mengetahui tata cara mandi wajib.
4. Untuk mengetahui pengertian waris.
5. Untuk mengetahui konsep hukum waris dalam islam.
Adapun kegunaan dari penulisan adalah sebagai berikut :
Untuk memenuhi tugas perkuliahan yang diberikan oleh dosen
pembimbing kami.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Mandi wajib.
1. Pengertian Mandi Wajib.

Page | 2

Mandi wajib atau mandi besar adalah mandi yg bertujuan untuk


menghilangkan hadast besar, baik karena junub maupun haid, yaitu dengan
cara mambasuh seluruh tubuh mulai dari atas kepala hingga ujung kaki.
2. Hal Hal Yang Menyebabkan Diharuskannya Mandi Wajib.
Adapun Hal hal yang menyebabkan diharuskannya mandi wajib yaitu:
Keluarnya mani secara tidak sengaja ( Mimpi basah ).
Keluarnya mani secara tidak sengaja adalah ketika mengalami
mimpi yang sering kita sebut dengan mimpi basah, kemudian cara
mensucikannya adalah dengan mandi wajib.
Melakukan onani / masturbasi.
Ketika seseorang telah melakukan onani/masturbasi, maka dia tetap
diwajibkan untuk mandi, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Said Al-Khudri yang mengatakan bahwa sesungguhnya air itu
dari sebab air, artinya seseorang diwajibkan untuk mandi karena
keluarnya air (mani), jadi keluarnya mani karena bantuan tangan alias
onani/masturbasi tetap dikenai hukum mandi wajib, karena dilakukan
secara sadar dan keluarnya mani secara fisik dan tentu dibarengi

dengan rasa nikmat.


Melakukan hubungan suami istri.
Sama halnya dengan onani/masturbasi ataupun mimpi basah, mani
yang keluar karena melakukan hubungan suami istri wajib untuk
mandi, akan tetapi muncul pertanyaan, bagaimana jika melakukan
hubungan suami istri tapi tidak keluar mani? Khusus untuk kasus ini,
meskipun tidak sempat mengeluarkan mani hukumnya tetap wajib

disebabkan semata karena tengelamnya hasyafah kedalam faraj.


Setelah selesai Menstruasi.
Melahirkan dan pasca melahirkan.
Meninggal dunia yang bukan mati syahid.

3. Tata Cara Mandi Wajib.


a. Syarat sah mandi wajib.
Untuk membedakan mandi biasa dengan mandi wajib terletak pada
niatnya dan tidak usah diucapkan, cukup dalam hati.

Page | 3

b. Rukun mandi wajib.


Untuk melakukan mandi wajib, maka ada beberapa hal yang harus
dikerjakan karena merupakan rukun (pokok), diantaranya adalah:
Mengguyur air keseluruh badan.
Mengguyur kepala 3 kali, kemudian guyur bagian tubuh yang
lain.
Dengan seseorang memenuhi rukun mandi diatas, maka mandinya
dianggap sudah sah, dengan disertai niat untuk mandi wajib (al
ghuslu). Jika seseorang mandi dipancuran (shower) dan air mengenai
seluruh tubuhnya, maka mandinya dianggap sudah sah.
c. Tata cara mandi sempurna.
Berikut adalah tata cara mandi yang disunnahkan, ketika seorang
muslim melakukannya, maka akan membuat mandi wajib tadi lebih
sempurna. Yang menjadi dalil dari bahasan ini adalah dua dalil, yaitu
hadits dari Aisyah dan hadits dari Maimunah.
Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum tangan

tersebut dimasukkan dalam bejana atau sebelum mandi.


Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan tangan kiri.
Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan

menggosokkan ke tanah atau dengan menggunakan sabun.


Berwudhu dengan wudhu yang sempurna seperti ketika hendak

sholat.
Mengguyur air pada kepala sebanyak 3 kali hingga sampai ke

pangkal rambut.
Memulai mencuci kepala bagian kanan, lalu kepala bagian kiri.
Menyela-nyela rambut.
Mengguyur air pada seluruh badan dimulai dari sisi yang kanan
setelah itu tang kiri.

B. Waris.
1. Pengertian Waris.
Kata waris berasal dari bahasa Arab Al-miira>ts, dalam
bahasa arab adalah bentuk masdar (infinititif) dari kata waritsa- yaritsu-

Page | 4

irtsan- miira>tsan. Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu


dari seseorang kepada orang lain. Atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Ilmu yang mempelajari warisan disebut ilmu mawaris atau lebih dikenal
dengan istilah fara>id}. Kata fara>id} merupakan bentuk jamak dari
farid}ah, yang diartikan oleh para ulama farrid}iyun semakna dengan kata
mafrud}ah, yaitu bagian yang telah ditentukan kadarnya.
Warisan berarti perpindahan hak kebendaan dari orang meninggal kepada
ahli warisnya yang masih hidup.
Sedangkan secara terminologi hukum, kewarisan dapat diartikan sebagai
hukum yang mengatur tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan
ahli waris, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari peninggalan untuk
setiap ahli waris yang berhak menerimanya.
Harta warisan yang dalam istilah fara>id} dinamakan tirkah
(peninggalan) adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal,
baik berupa uang atau materi lainya yang dibenarkan oleh syariat Islam untuk
diwariskan kepada ahli warisnya.
2. Konsep Hukum Waris Dalam Islam.
Sistem kewarisan Islam secara umum tidak dapat dipisahkan dari jenis
kekeluargaan yang dianut masyarakat serta paraturan yang berlaku (hukum
positif Islam). Akan tetapi sistem kewarisan, sebagai berikut:
a. Kewarisan dengan bagian pokok (ashhabul furudhin nasabiyah).
Bagian pokok yang dijelaskan dalam Al-Quran terdiri atas enam
golongan dan dikelompokkan menjadi dua macam yaitu :
Golongan yang mendapat bagian sebesar setengah, seperempat, dan
seperdelapan. Dari ketiga golongan ini termasuk jenis yang pertama

karena penyebutannya saling memasuki antara satu dengan lain.


Golongan yang mendapat bagian sebesar dua sepertiga, sepertiga,
dan seperenam. Tiga golongan ini termasuk bagian jenis kedua

karena penyebutannya saling masuk antara satu dengan lain.


Pembagian golongan di atas dapat dilakukan dengan dua cara untuk
mengetahuinya. Pertama membagi dengan cara kelipatan. Kedua,
mengalikan dengan cara kelipatan. Selanjutnya untuk mengetahui bagian
ahli waris tersebut ada beberapa syarat yang harus di penuhi. Adapun
persyaratan tersebut adalah sebagai berikut :
Page | 5

a) Syarat bagi ahli waris yang mendapat bagian setengah.


Bagian setengah merupakan ketentuan yang berlaku terhadap satu ahli
waris dari pihak laki-laki dan empat dari pihak wanita. Diantaranya
adalah suami, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki,
saudara perempuan seibu seayah serta saudara perempuan seayah.
Adapun persyaratan untuk mendapatkan bagian setengah adalah sebagai
berikut :
1. Suami mendapatkan bagian setengah apabila pewaris tidak memiliki
anak dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.
2. Anak perempuan bisa mendapatkan bagian setengah apabila tidak ada
saudara laki-laki dan seorang diri.
3. Cucu perempuan dari anak laki-laki bisa mendapatkan bagian
setengah apabila tidak bersama-sama dengan saudara laki-laki
(ashabah), sendirian dan tidak ada anak perempuan kandung maupun
anak laki-laki.
4. Saudara perempuan

seayah

dan

seibu

bisa

mendapatkan

bagiansetengah dengan syarat tidak bersama-sama dengan saudara


laki-laki yang menjadi ashabah, seorang diri dan pewaris tidak
mempunyai ayah atau kakek serta tidak mempunyai anak, baik lakilaki maupun perempuan.
5. Saudara perempuan seayah mendapat mendapat bagian setengah
apabila tidak bersama-sama dengan saudara laki-laki seayah, seorang
diri, pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek serta tidak
mempunyai anak baik laki-laki maupun perempuan.
b) Syarat bagi ahli waris yang mendapat bagian seperempat.
Dalam ketentuan faraid bagian seperempat merupakan hak dari suami
dan istri. Adapun untuk mendapatkan bagian ini adalah sebagai berikut :
1. Suami mendapat bagian seperempat apabila istri mempunyai anak
atau cucu laki-laki.
2. Istri mendapat bagian seperempat apabila suami tidak mempunyai
anak atau cucu dari anak laki-laki.
c) Syarat bagi ahli waris yang mendapat bagian seperdelapan.
Bagian seperdelapan merupakan bagian tertentu terhadap seorang istri
dengan syarat suami mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki.
Page | 6

d) Syarat bagi ahli waris yang mendapat bagian dua sepertiga.


Bagian waris dua pertiga merupakan bagian terhadap golongan
tertentu yang semua ahli warisnya adalah perempuan. Adapun golongan
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Dua anak perempuan atau lebih berhak mendapat bagian dua
sepertiga apabila tidak bersama-sama dengan saudara laki-laki (anak
laki-laki dari pewaris).
2. Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki mendapat bagian
dua sepertiga apabila tidak ada anak dari pewaris, tidak ada dua anak
perempuan dan bersama-sama dengan saudara laki-laki (ashabah).
3. Dua saudara perempuan seibu seayah atau lebih mendapat bagian
dua sepertiga dengan syarat tidak ada anak, ayah, kakek, tidak ada
anak laki-laki yang menjadi ashabah dan tidak ada anak perempuan
atau cucu perempuan dari anak laki-laki.
4. Dua atau lebih saudara perempuan seayah mendapat bagian dua
sepertiga dengan syarat tidak ada anak laki-laki, ayah, kakek, tidak
ada yang menjadi ashabah (saudara laki-laki seayah), tidak ada anak
perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki.
e) Syarat bagi ahli waris yang mendapatkan bagian sepertiga.
Ketentuan tentang ahli waris yang mendapat bagian sepertiga adalah
ibu dan saudara seibu. Adapun persyaratan untuk mendapatkan bagian ini
adalah sebagai berikut :
1. Ibu mendapat bagian sepertiga apabila pewaris tidak mempunyai
anak atau cucu dari anak laki-laki dan pewaris tidak mempunyai
saudara laki-laki maupun saudara perempuan yang seayah seibu.
2. Seorang saudara atau lebih yang seibu baik laki-laki maupun
perempuan mendapat bagian sepertiga dengan syarat tidak ada ahli
waris ke atas dan ke bawah. Jumlah saudara adalah dua orang atau
lebih, baik laki-laki maupun perempuan.
f) Syarat bagi ahli waris yang mendapatkan bagian seperenam.
Ketentuan seperenam merupakan bagian yang diperuntuk kanbagi
ayah, kakek (ayah dari ayah), ibu, cucu perempuan dari anak lakilaki,

Page | 7

saudara perempuan seayah, saudara seibu serta nenek dari pihak ayah
maupun ibu. Adapaun syarat untuk ketentuan ini adalah sebagai berikut :
1. Ayah mendapat bagian seperenam apabila pewaris mempunyai anak
baik laki-laki maupun perempuan.
2. Kakek (ayah dari ayah) mendapat bagian sepernam apabila pewaris
mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki dan tidak ada ayah.
3. Ibu mendapat bagian seperenam apabila pewaris mempunyai anak
atau cucu dari anak laki-laki serta pewaris tidak mempunyai dua
saudara atau lebih baik yang seyah, seayah seibu, laki-laki atau
perempuan.
4. Cucu perempuan dari anak laki-laki baik seorang maupun lebih
mendapat bagian seperenam apabila pewaris mempunyai seorang
anak perempuan.
5. Saudara perempuan seayah baik seorang maupun lebih mendapat
bagian sepernam apabila pewaris mempunyai seorang saudara
perempuan seibu seayah.
6. Saudara-saudara seibu baik laki-laki maupun perempuan mendapat
bagian seperenam apabila sendirian.
7. Nenek dari pihak ibu maupun ayah mendapat bagian seperenam
dengan ketentuan tidak ada ibu, apabila ada nenek dari pihak ayah
dari pihak ibu ada maka bagian seperenam dibagi rata diantara
keduanya.
b. Kewarisan dengan bagian sisa (ashabah nasbiyah) .
Ahli waris bagian sisa menurut ilmu pembagian waris sering disebut
kerabat laki-laki ayah dan tidak mendapatkan bagian tertentu. contohnya
ialah anak laki-laki, cucu laki-lak dari anak laki-laki, sudara laki-laki seibu
seayah, saudara laki-laki seayah dan paman (saudara lelaki ayah) yang
seibu seayah. Ketentuan ini disebabkan karena kerabat laki-laki ayah
mempunyai hubungan kekerabatan lebih kuat dari keturunan ayah.
Ketentuan mengenai pembagian bagian sisa disebutkan dalam Firman
Allah Surat An-Nisa ayat 11, sebagai berikut :

Page | 8

... Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam


dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga ....
c. Kewarisan

dengan

bagian

tambahan

(golongan

kerabat yang mendapat dua macam bagian).


Adapun yang dimaksud dengan bagian tambahan dalam
kewarisan adalah lebih besarnya jumlah bagian yang harus
dibagikan kepada ahli waris dan lebih kecilnya harta waris
yang akan dibagikan dalam perhitungan. Hal ini terjadi
apabila ahli waris berjumlah banyak. Sehingga dalam
menghindari ahli waris tidak mendapatkan bagian maka
asal masalah (angka yang diperkirakan sebagai jumlah
harta) dinaikkan untuk memenuhi ketentuan tersebut.
d. Kewarisan untuk kerabat jauh (dzawil arham).
Maksud golongan kerabat ini adalah golongan kerabat yang tidak
termasuk pertama dan kedua.

Page | 9

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Mandi wajib atau mandi besar adalah mandi yg bertujuan untuk
menghilangkan hadast besar.
Adapun Hal hal yang menyebabkan diharuskannya mandi wajib yaitu:
Keluarnya mani secara tidak sengaja ( Mimpi basah ).
Melakukan onani / masturbasi.
Melakukan hubungan suami istri.
Setelah selesai haid.
Melahirkan dan pasca melahirkan.
Meninggal dunia yang bukan mati syahid.
Waris adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain. Atau

dari suatu kaum kepada kaum lain.


Sistem kewarisan dibagi menjadi 4, yaitu:
1. Kewarisan dengan bagian pokok (ashhabul furudhin nasabiyah).
2. Kewarisan dengan bagian sisa (ashabah nasbiyah).
3. Kewarisan dengan bagian tambahan (golongan kerabat
yang mendapat dua macam bagian).
4. Kewarisan untuk kerabat jauh (dzawil arham).

Page | 10

DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqolani, Ibnu Hajar. 773-852 H. Bulughul Marram. Hasyim Putra:

Semarang
www.indonesianschool.org
https://id.m.wikipedia.org/wiki/mandi_wajib
http://tripod.com
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema

Insani Press, 1996),33.


Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 11.
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. II, 1995),
13.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
Cet. IV, 2000), 355.
Maman Abd Djalal, Hukum Mawaris, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006 ), 39.
Muhammad Ali Ash Shabuni, Hukum Waris Menurut Alquran dan Hadis, terj.
Zaini Dahlan, (Bandung:Trigenda Karya, Cet. I, 1995), 40.
Departemen Agama RI, (Al-Quran dan Terjemahnya, CV. Diponegoro,
Semarang, 2000), 60.
Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris, (bandung:
Aluni, Cet. I, 1993), 70.

Page | 11

Anda mungkin juga menyukai