Anda di halaman 1dari 5

TINJAUAN PUSTAKA

Diagnosis dan Manajemen


Amyotrophic Lateral Sclerosis
Dito Anurogo
Neuroscience Department, Brain Circulation Institute of Indonesia (BCII),
Surya University, Tangerang, Banten

ABSTRAK
Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) merupakan penyakit neuron motorik degeneratif yang progresif. Memahami etiopatogenesis dan biomaker
adalah cara terbaik untuk memulai manajemen ALS. Temuan biomaker ALS baru-baru ini memunculkan harapan bagi penderita ALS. Aspekaspek komprehensif ALS dipaparkan, meliputi sejarah, epidenologi, etiopatogenesis, gambaran klinis, kriteria diagnostik, penekan penunjang,
diagnosis banding, penatalaksanaan, biomaker, dan komplikasi.
Kata Kunci: amyotrophic lateral sclerosis, etiopatogenesis, manajemen, biomaker

ABSTRACT
Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) is a progressive, degenerative motor neuron disease. Understanding of etiopathogenesis and biomarker
is the best ways towards ALS management. The recent finding of biomarker ALS offers hope to ALS sufferers. A comprehensive aspects of
ALS have been discussed, including history, epidemiology, etiopathogenesis, clinical pictures, diagnostic criteria, supporting examination,
differential diagnosis, management, biomarker, and complication.
Key words: amyotrophic lateral sclerosis, etiopathogenesis, management, biomarker
INTRODUKSI
Penyakit amyotrophic lateral sclerosis (ALS)
disebut juga motor neuron disease (MND),
Charcot disease, Lou Gehrig disease. ALS
adalah penyakit neurologis progresif yang
dikarakterisasikan oleh degenerasi UMN dan
LMN (upper and lower motor neuron). ALS
pertama kali diobservasi oleh neurologist JeanMartin Charcot pada tahun 1869, barulah pada
tahun 1874, terminologi ALS diperkenalkan.
Penyakit ini menjadi populer setelah pemain
baseball, Lou Gehrig, didiagnosis menderita
ALS pada tahun 1939. Sejumlah 90-95% kasus
penyebabnya belum diketahui.1
EPIDEMIOLOGI
Di seluruh dunia, ALS dialami oleh 1 dari 3
orang per 100.000 ribu. Di Eropa, insiden
tahunan adalah 2,16 per 100 ribu orang/
tahun. Di Indonesia, belum ada data pasti.
Rasio pria:wanita adalah 1,5:1, pada ALS familial
rasio ini hampir sama. Sekitar 5-10% kasus
ALS diwariskan. Pada ALS tipe familial, usia
terbanyak adalah 4752 tahun. Pada ALS tipe
sporadik, usia terbanyak adalah 5863 tahun.2,3
Kematian dapat terjadi dalam rentang waktu
3-5 tahun setelah diagnosis. Hanya 1 dari 4
Alamat korespondensi

352

penderita ALS yang dapat bertahan hidup


lebih dari 5 tahun setelah diagnosis. Sebagian
besar penderita ALS meninggal dunia karena
gagal nafas (respiratory failure), rata-rata 3
tahun atau sekitar 2-4 tahun setelah onset,
beberapa penderita dapat bertahan hidup
hingga satu dasawarsa atau lebih.4
ETIOPATOGENESIS
Penyebab pasti ALS belum diketahui. Terdapat
beragam hipotesis tentang etiologi yang masih
kontroversial: merokok sigaret, diet tinggi lemak
atau tinggi glutamat, berpartisipasi di perang
Teluk.5,6 Faktor lingkungan intoksikasi timah dan
merkuri juga diduga penyebab ALS. Asumsi ini
bermula dari tingginya insiden ALS di pulau
Guam pada tahun 1945. Begitu pula kondisi
eksitotoksik asam-asam amino, terutama
glutamat, sempat diduga kuat menyebabkan
ALS. Hipotesis ini memerlukan riset lanjutan,
mengingat beberapa paparan lingkungan
dapat mengubah genetic programming melalui
mekanisme epigenetik. 5-7
Beberapa studi menunjukkan bahwa pada
ALS terjadi degenerasi neuron motorik akibat
apoptosis, yang dipicu oleh stres oksidatif dan
disfungsi mitokondria. Disfungsi kemampuan

sel-sel saraf untuk mengendalikan stres oksidatif


juga terjadi pada ALS familial yang disebabkan
karena mutasi gen yang mengkode cytosolic
antioxidant enzyme copper/zinc superoxide
dismutase (SOD1). 5,6 Neuroinflamasi
jelas
berperan pada ALS. Sitokin proinflamasi yang
meningkat pada neuron-neuron motorik
berdegenerasi juga memicu inflamasi
mikroglia. Pada ALS sporadis, terjadi akumulasi
proses neurodegeneratif yang kompleks.8
Terdapat neuron-neuron motorik yang rentan,
dibuktikan dengan adanya neuronal inclusions,
termasuk untai ubikuitin (ubiquitinated skeins)
atau Lewy-like formations dan Bunina bodies.
Struktur ini dijumpai pada sebagian besar
penderita ALS sporadik. Pada ALS familial,
dijumpai bentuk berbeda, yaitu hyaline
conglomerate yang termasuk neurofilamen
dan tidak mengandung ubiquitin.8Antigen
neuron di dalam inclusions yang dikenal oleh
antibodi untuk ubiquitin telah teridentifikasi
sebagai TDP-43 (protein yang dijumpai pada
HIV). Mutasi pada gen TDP-43 (TARDBP)
telah teridentifikasi sebagai penyebab ALS
tipe sporadik dan familial. Identifikasi TDP43 penting di dalam menegakkan diagnosis
postmortem ALS.8

email: ditoanurogo@gmail.com

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA
Penemuan mutasi patogenik pada TARDBP
mengimplikasikan TDP-43 sebagai mediator
aktif neurodegenerasi pada proteinopati TDP43, termasuk ALS.9 Hal lain yang menarik, terjadi
kehilangan selektif EAAT 2, astrocyte-selective
glutamate transporter, di bagian motor cortex
dan spinal cord penderita yang meninggal
dunia karena ALS.10 Riset molekuler berhasil
mengungkap 12 gen/lokus kausatif pada
ALS familial, misalnya: (1) ALS1/21q22.1, (2)
ALS2/2q33-35, (3) ALS3/18q21, (4) ALS4/9q34,
(5) ALS5/15q15-q22, (6) ALS6/16q15-q22, (7)
ALS7/20ptel, (8) ALS8/20q13.33, (9) ALS9/14q11,
(10) ALS10/1q36, (11) ALS-FTD/9q21-22, (12)
ALS-FTD/9p13.2-21,3. Sedangkan untuk ALS
sporadik, beberapa gen yang rentan, misalnya:
SOD1, HFE (human hemochromatosis protein),
MAPT (microtubule-associated protein tau),
NEFH (neurofilament, heavy polypeptide), PRPH
(peripherin), DCT1 (divalent cation transporter
1), PON 1-3 (paroxonase 1-3), Progranulin, ANG
(angiogenin, ribonuclease, RNase A family, 5),
APEX, SMN1 (survival of motor neuron-1), SMN2,
TDP-43, UNC13A.1
BIOMARKER
Biomarker yang ideal dapat mendeteksi ciri
atau karakteristik fundamental patofisiologi
suatu penyakit sekaligus mampu membedakan
penyakit dari kondisi lainnya dengan nilai
prediktif positif dan negatif yang diterima.
Uji dan pemeriksaan biomarker haruslah
sederhana dan mudah, relatif noninvasive,
murah, terpercaya, akurat, mudah direproduksi
di semua laboratorium.42 Teknologi terbaru
dengan platform (teknik) omics, seperti:
genomics, transcriptomics, proteomics dan
metabolomics berupaya menemukan biomarker
ALS.43 Beragam teknologi ini, memungkinkan
identifikasi biomarker yang tervalidasi, yang
berasal dari jaringan otak, sel-sel, dan cairan
tubuh.44
Untuk memeriksa klasifikasi pola protein yang
canggih pada cairan serebrospinal, digunakan
alat liquid chromatography-Fourier transform
ion cyclotron resonance mass spectrometry (LCFTICR-MS) kapiler.46 Ditemukan mutasi genetik
dan perubahan protein spesifik pada cairan
biologis atau biofluids (misalnya: cerebrospinal
fluid dan darah) dan/atau jaringan penderita
ALS. Contoh biomarker ALS adalah TDP43 (TAR DNA-binding protein 43 kDa),
phosphorylated neurofilament heavy subunit
(pNF-H), neurofilament light chain (NFL).47 TAR
DNA binding protein of 43 kDa (TDP-43) adalah

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

protein khas utama pada penderita ALS. TDP-43


diukur dari cairan serebrospinal dengan metode
ELISA. Rendahnya kadar TDP-43 menunjukkan
akumulasi TDP-43 di neuron motorik kortikal
dan spinal sehingga kelangsungan hidup
menjadi lebih pendek, meskipun hasil ini
memerlukan riset prospektif lanjutan. Proses
immunoreactivity TDP-43 di jaringan otak yang
berkaitan dengan penyakit direfleksikan oleh
peningkatan kadar TDP-43 di CSF. Dengan
analisis receiver operating characteristic (ROC),
diketahui bahwa sensitivitas TDP-43 mencapai
59,3% dan spesifisitasnya mencapai 96%.48,49
pNF-H adalah suatu komponen struktural
utama di akson motorik. Pada ALS, dijumpai
peningkatan konsentrasi pNF-H di plasma,
serum, dan cairan serebrospinal. Hal ini berkaitan
erat dengan laju perkembangan penyakit.50
Kadar neurofilament light chain (NFL) pada
cairan serebrospinal digunakan sebagai
parameter aktivitas dan proses perjalanan
penyakit. Tingginya kadar NFL pada penderita
ALS menunjukkan proses neurodegenerasi
yang terjadi pada ALS.51
Penggunaan berbagai protein biomarker
bertujuan untuk menegakkan diagnosis secara
cepat, memfasilitasi intervensi terapeutik yang
efektif dan memantau efektivitas obat. Selain
itu, kombinasi berbagai biomarker bermanfaat
sebagai efek terapeutik dini.
GAMBARAN KLINIS
Secara klinis, ALS dapat diketahui dari
adanya gangguan LMN (lower motor neuron)
berupa: kelemahan, otot mengecil (wasting),
kedutan (fasciculation) dan gangguan UMN
(upper motor neuron) berupa: refleks tendon
hiperaktif, tanda Hoffmann, tanda Babinski,
atau klonus di anggota gerak yang sama.8
ALS dimulai dengan fasikulasi, kelemahan
ekstremitas, salah bicara (keseleo lidah). Pada
akhirnya, ALS mempengaruhi kemampuan
untuk mengendalikan otot yang diperlukan
untuk bergerak, berbicara, makan, dan bernafas.11
Kondisi sistem saraf penderita (neurological
status) dapat dinilai dengan kuesioner revised
ALS Functional Rating Scale (ALSFRS-r).19
Disfungsi kognitif dialami oleh 2050%
penderita ALS, dan 315% berkembang
menjadi dementia yang dikategorikan sebagai
frontotemporal lobar degeneration (FTLD).12

Gejala ALS biasanya belum tampak hingga


penderita berusia 50 tahun, namun bisa
muncul perlahan di usia muda. Penderita ALS
biasanya kehilangan kekuatan dan koordinasi
otot sehingga sulit melakukan aktivitas harian,
seperti: naik tangga, berdiri dari kursi, menelan,
dsb. Otot-otot menelan dan pernafasan
adalah yang pertama kali diserang ALS.
Makin memburuk, makin banyak kelompok
otot yang terkena. ALS tidak mempengaruhi
panca indera (penglihatan, penghidu, perasa/
pengecap, pendengaran, peraba). ALS jarang
menyerang fungsi kandung kemih, organ
perut, gerak mata, kemampuan berpikir. Gejala
ALS antara lain: sulit bernafas, sulit menelan,
mudah merasa tercekik, mengeluarkan air liur,
tersumbat, kram otot, kepala lunglai (mudah
terkulai) karena lemahnya otot leher, kontraksi
otot (fasciculation), kelemahan otot yang
memburuk, umumnya pertama kali terkait
dengan satu anggota tubuh seperti lengan atau
tangan; menjadi paralisis, sulit mengangkat,
menaiki anak tangga, berjalan. Kesulitan
berbicara, seperti: pola bicara abnormal atau
perlahan, perkataan menyatu/kacau (slurring
of words), perubahan suara, serak/parau
(hoarseness). Berat badan turun.13-14
Potret klinis gangguan pernafasan pada
penderita ALS terdiri dari beberapa tanda dan
gejala seperti: bernafas cepat, penggunaan
otot-otot bantu pernafasan, pergerakan
abdomen yang berlawanan (paradox),
berkurangnya gerakan dada, batuk encer atau
melemah, berkeringat, takikardi, penurunan
berat badan, bingung (confusion), halusinasi,
pusing atau sensasi berputar (dizziness),
papilloedema (jarang), pingsan (syncope),
mulut kering. Gejala lain, seperti: sesak nafas
saat beraktivitas atau berbicara, orthopnoea,
sering terbangun di malam hari, mengantuk
berlebihan dan lelah di siang hari, sulit
membersihkan sekresi, nyeri kepala di pagi
hari, nocturia, depresi, selera makan berkurang
bahkan hilang, konsentrasi dan/atau memori
berkurang.15
KRITERIA DIAGNOSTIK16,17
Kriteria positif
Diagnosis ALS memerlukan adanya: (1) Tandatanda LMN (termasuk gambaran EMG di otot
yang tidak terpengaruh secara klinis). (2)
Tanda-tanda UMN. (3) Perkembangan gejala
dan tanda klinis. Diagnosis ALS didukung
oleh: (1) Fasikulasi pada satu bagian atau
lebih. (2) Perubahan neurogenik pada EMG. (3)

353

TINJAUAN PUSTAKA
Konduksi nervus sensoris dan motoris normal.
(4) Ketiadaan conduction block.
DIAGNOSIS EKSKLUSI
Pada ALS tidak dijumpai: (1) Gangguan
sensoris. (2) Gangguan sphincter (3) Gangguan
visual. (4) Gangguan otonom. (5) Disfungsi
ganglia basal. (6) Demensia tipe Alzheimer.
Diagnosis ALS ditegakkan secara klinis yang
memerlukan waktu beberapa bulan.
DIAGNOSIS BANDING
Beberapa penyakit yang menyerupai ALS,
seperti: 18,21-23
A. Ketidaknormalan
anatomis/sindrom
kompresi, seperti: (1) Arnold-Chiari1 dan
malformasi hindbrain lainnya, (2) tumor
regio fossa posterior, servikal, atau foramen
magnum, (3) herniasi diskus servikal dengan
osteokondrosis, (4) meningioma servikal, (5)
tumor retrofaring, (6) kista spinal epidural, (7)
mielopati spondilotik dan/atau radikulopati
motorik, (8) syringomyelia.
B. Defek enzim (acquired), seperti: (9)
gangliosidosis GM2 dewasa (defisiensi
hexosaminidase-A atau -B), (10) polyglucosan
body disease.
C. Sindrom otoimun, seperti: (11) gamopati
monoklonal dengan neuropati motorik,
(12) neuropati motorik multifokal dengan/
tanpa hambatan konduksi, (13) sindrom LMN
disimun (dengan antibodi GM1, GD1b, dan
asialo-GM1), (14) sindrom LMN dys-immune
lainnya termasuk CIDP, (15) multiple sclerosis,
(16) myasthenia gravis (terutama varian antiMuSK positif ).
D. Abnormalitas endokrin, seperti: (17)
sindrom Allgrove, (18) diabetic amyotrophy,
(19) insulinoma menyebabkan neuropati,
(20) hipertiroidisme dengan miopati,
(21) hipotiroidisme dengan miopati,
(22) hiperparatiroidisme (primer), (23)
hiperparatiroidisme
(sekunder
karena
defisiensi vitamin D), (24) hipokalaemia
(sindrom Conn).
E. Infeksi, seperti: (25) poliomielitis akut,
(26) sindrom atrofi muskuler progresif paskapoliomielitis, (27) HIV-1 (dengan mielopati
vakuolar), (28) HTLV-1 associated myelopathy
(HAM, tropical spastic paraplegia), (29)
neuroborreliosis, (30) syphilitic hypertrophic
pachymeningitis, (31) spinal encephalitis
lethargica, (32) varicella-zoster, (33) trichinosis,
(34) brucellosis, (35) cat-scratch disease, (36)
prion disorders.

354

F. Miopati, seperti: (37) miopati cachectic,


(38) miopati karsinoid, (39) dystrophin-deficient
myopathy, (40) inclusion body myositis (IBM),
(41) inflammatory myopathies, (42) miopati
nemaline, (43) polimiositis, (44) miositis
sarkoid.
G. Sindrom neoplastik, seperti: (45) leukemia
limfositik kronis, (46) glioma intrameduler,
(47) gangguan limfoproliferatif dengan
paraproteinaemia dan/atau oligoclonal bands
di cairan serebrospinal, (48) sindrom tumor
Pancoast, (49) paraneoplastic encephalomyelitis
(PEM) dengan keterlibatan anterior horn cell,
(50) sindrom stiff-person-plus (SPS).
H. Cedera fisik, seperti: (51) electric shock
neuronopathy, (52) radiation-induced radiculoplexopathies dan/mielopati.
I. Gangguan
vaskuler,
seperti:
(53)
arteriovenous malformation (AVM), (54)
Dejerine anterior bulbar artery syndrome, (55)
stroke, (56) vaskulitis.
J. Kondisi neurologis lainnya, seperti: (57)
bentuk atipikal MND/ALS Pasifik barat (Guam,
New Guinea, Kii Peninsula Jepang), (58)
bentuk atipikal Karibia dari MND-dementiapsp (Guadeloupe), (59) bentuk Madras dari
MND/ALS onset anak (India selatan), (60)
demensia frontotemporal dengan MND/ALS
(termasuk penyakit Pick dengan amiotrofi),
(61) multiple system atrophy (MSA), (62)
sindrom OPCA (olivo-ponto cerebellar atrophy),
(63) primary lateral sclerosis (PLS; beberapa
subtipe tidak berkaitan dengan ALS), (64)
progressive encephalomyelitis with rigidity
(PER), (65) progressive supranuclear palsy (PSP),
(66) hereditary spastic paraplegia (HSP; banyak
varian, beberapa subtipe dengan amiotrofi
distal), (67) progressive spinal muscular atrophy
(PMA; beberapa subtipe tidak berkaitan
dengan ALS), (68) spinobulbar muscular atrophy
(SBMA) dengan/tanpa dynactin atau mutasi
reseptor androgen, (69) SMA (spinal muscular
atrophy) I-IV, (70) sindrom Brown-Vialetto-van
Laere (ALS spinal dan bulbar onset dini dengan
tuli sensorineural), (71) sindrom Fazio-Londe
(PBP infantil), (72) sindrom Harper-Young (SMA
distal dan laringeal), (73) monomelic sporadic
spinal muscular atrophy (termasuk sindrom
Hirayama), (74) polineuropati dengan dominasi
gejala motorik (seperti HMSN tipe 2, HMN tipe
5), (75) familial amyloid polyneuropathy (FAP),
(76) benign fasciculations, (77) myokymia.
K. Toksin eksogen, misalnya: (78) intoksikasi
timah, (79) intoksikasi merkuri, (80) intoksikasi
kadmium, (81) intoksikasi aluminium, (82)
intoksikasi arsen, (83) intoksikasi thallium, (84)

intoksikasi mangan, (85) intoksikasi pestisida


organik, (86) intoksikasi neurolathyrism, (87)
intoksikasi konzo.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang
direkomendasikan untuk diperiksa pada dugaan
ALS, antara lain: (1) darah [laju endap darah,
C-reactive protein, screening hematologi, SGOT,
SGPT, LDH, hormon TSH, FT4, FT3, vitamin B12
dan folat, serum protein elektroforesis, serum
imunoelektroforesis, creatine kinase, kreatinin,
elektrolit (Na+, K+, Cl-, Ca2+, PO43-), glukosa], (2)
neurofisiologi (EMG, kecepatan konduksi saraf ),
(3) radiologi [MRI/CAT (kepala/servikal, torakal,
lumbal), rontgen dada].18
Pemeriksaan
laboratorium
yang
direkomendasikan pada kasus ALS tertentu: (1)
darah: angiotensin converting enzyme (ACE),
laktat, assay hexoaminidase A dan B, antibodi
ganglioside GM-1, anti-Hu, anti-MAG, RA, ANA,
anti-DNA, antibodi anti-AChR, anti-MUSK,
serologi (Borrelia, virus termasuk HIV), analisis
DNA. (2) Pemeriksaan cairan serebrospinal,
seperti: hitung sel, sitologi, konsentrasi
protein total, glukosa, laktat, elektroforesis
protein termasuk indeks IgG, serologi
(Borrelia, virus), antibodi gangliosida. (3)
Pemeriksaan urin: kadmium, timah (sekresi 24
jam), raksa, mangan, imunoelektroforesis urin.
(4) Pemeriksaan neurofisiologi, seperti: MEP.
Pemeriksaan elektrodiagnostik berkontribusi
terhadap ketepatan diagnosis. (5) Pemeriksaan
radiologi, seperti: mammography. (6) Biopsi;
otot, saraf, sumsum tulang, limfonodi.18
Tidak ada abnormalitas laboratorium yang
patognomonik untuk ALS. Diagnosis klinis
sebaiknya dikonfirmasikan dengan EMG yang
menunjukkan bukti active denervation pada
sekurangnya tiga anggota gerak. Kecepatan
konduksi saraf normal atau hampir normal.
Protein cairan serebrospinal meningkat di atas
50 mg/dL pada 30% penderita dan di atas 75
mg/dL pada 10% penderita; angka yang lebih
tinggi dapat dijumpai pada kasus monoclonal
gammopathy atau limfoma. Gammopathy
dijumpai pada 5-10% penderita dengan
metode sensitif, seperti: immunofixation
electrophoresis.8
Untuk kepentingan riset, dapat diperiksa IgG
antibodies against light (NFL) and medium (NFM)
subunits dari neurofilamen menggunakan
ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA
dari contoh serum dan cerebrospinal fluid (CSF)
penderita ALS. Dijumpai peningkatan kadar
serum anti-NFL. OX40 (CD134) adalah sitokin
anggota keluarga reseptor TNF (tumor necrosis
factor) dan diekspresikan secara selektif pada
limfosit T yang teraktivasi. Penurunan kadar
serum soluble OX40 (sOX40) pada penderita
ALS membuktikan bahwa sitokin ini berperan
pada perjalanan penyakit (pathomechanisms)
ALS.20
PENATALAKSANAAN
Direkomendasikan riluzole (suatu antagonis
glutamat) 50 mg dua kali sehari, dengan
pemantauan teratur. Pemberian 100 mg
riluzole oral setiap hari setelah 18 bulan
memperpanjang harapan hidup penderita
ALS sekitar tiga bulan. Efek samping riluzole
adalah fatigue dan asthenia. Hingga kini,
belum ada terapi efektif untuk ALS.24-25
Berbagai obat yang sedang memasuki
trial fase II/III: arimoclomol, ceftriaxone,
edaravone, IGF-1 polypeptide, minocycline,
sodium
phenylbutyrate,
tamoxifen,
thalidomide. Sedangkan obat yang sedang
dipertimbangkan
dan
direncanakan
memasuki trial fase III: AEOL 10150, celastrol,
coenzyme Q10, copaxone, IGF-1 viral delivery,
memantine, NAALADase inhibitor, nimesulide,
ritonavir, hydroxyurea, scriptaid, talampanel,
trehalose.18
Status nutrisi penderita ALS juga perlu
dievaluasi, mengingat sering terjadi disfagia,
hipermetabolisme, serta beragam penyakit.
Tatalaksana nutrisi termasuk diet, strategi
menelan, kemungkinan dipasang selang

makanan langsung ke lambung (gastrostomy


tube placement), dan suplementasi berupa
vitamin dan mineral.26
Medikasi simtomatis untuk mengatasi
spastisitas yang mengganggu aktivitas harian
adalah pemberian baclofen atau diazepam.
Untuk mengatasi produksi saliva berlebihan
(sialorrhea) dapat diberi trihexyphenidyl atau
amitriptyline. Bila refrakter, dapat diberi injeksi
botulinum toxin type B di kelenjar parotid
dan submandibular, amitriptyline, atau
antikolinergik. Terapi radiasi dengan dosis
77,5 Gy bilateral efektif mengurangi produksi
saliva, namun ada efek samping, seperti:
erythema, sore throat, dan mual. 27-30
Depresi diatasi dengan antidepresan, misalnya:
amitriptyline atau golongan SSRI. Insomnia
diatasi dengan amitriptyline atau golongan
hipnotik, seperti: zolpidem, diphenhydramine.
Cemas (anxiety) diatasi dengan bupropion
atau diazepam 0,5 mg 2-3 kali sehari, atau
lorazepam sublingual.31
Pseudobulbar affect,
menangis-tertawa
berlebihan, atau gangguan ekspresi emosional
involunter dialami 2050% penderita ALS,
terutama pada kasus pseudobulbar palsy.32 Kombinasi 30 mg dextromethorphan dan 30 mg
quinidine BID efektif mengatasi pseudobulbar
affect. Efek samping yang sering terjadi adalah
dizziness, nausea, dan somnolen.33
Gunakan oksigen hanya pada kasus hipoksia
simtomatis. Untuk mengatasi terminal
restlessness dan confusion karena hypercapnia,
digunakan neuroleptik (chlorpromazine 12,5

mg setiap 4 hingga 12 jam p.o., i.v. atau p.r.).


Untuk dyspnoea dan/atau nyeri refrakter,
digunakan opioid dosis tunggal atau dikombinasi dengan benzodiazepine jika disertai
cemas. Titrasi dosis tidak akan mengakibatkan
depresi saluran pernapasan.34-35
Komplikasi pernafasan adalah penyebab
umum morbiditas dan mortalitas penderita
ALS.
Tatalaksana
insufisiensi
saluran
pernapasan dengan ventilasi noninvasif
meningkatkan kualitas dan kelangsungan
hidup penderita ALS.36
Terapi Recombinant human insulin-like growth
factor (rhIGF-I) - protein manusia yang
dimodifikasi secara genetik - diharapkan
dapat meningkatkan dan memperkuat
kelangsungan hidup neuron motorik pada
ALS. Diberikan setiap hari melalui injeksi
subkutan.37 Terapi stem cell menjanjikan,
namun efektivitasnya masih memerlukan riset
lanjutan.38
KOMPLIKASI
ALS dapat menyebabkan terjadi berbagai
komplikasi, yaitu: aspirasi, penurunan
kemampuan perawatan diri, gagal paru-paru,
berat badan menurun, pressure sores, dan
pneumonia.52
RINGKASAN
Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) adalah
penyakit degeneratif motor neuron yang
progresif.
Pemahaman
etiopatogenesis
penting dalam penatalaksanaan penyakit ini.
Studi biomarker diharapkan dapat memberi
harapan baru bagi penderitanya.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Hardiman, Orla (February 2010) Amyotrophic Lateral Sclerosis. In: Encyclopedia of Life Sciences (ELS). John Wiley & Sons, Ltd: Chichester. DOI: 10.1002/9780470015902.a0000014.pub2

2.

Ringholz GM, Appel SH, Bradshaw M, Cooke NA, Mosnik DM, Schulz PE. Prevalence and patterns of cognitive impairment in sporadic ALS. Neurology 2005;65(4):586590.

3.

Haverkamp LJ, Appel V, Appel SH. Natural history of amyotrophic lateral sclerosis in a database population. Validation of a scoring system and a model for survival prediction. Brain.
1995;118:70719.

4.

Forsgren L, Almay BG, Holmgren G, Wall S. Epidemiology of motor neuron disease in northern Sweden. Acta Neurol Scand. 1983;68:209.

5.

Beal FM. Mitochondria take center stage in aging and neurodegeneration. Ann Neurol 2005;58:495505.

6.

Rosen DR, et al. Mutations in Cu/Zn superoxide dismutase gene are associated with familial amyotrophic lateral sclerosis. Nature 1993;362:5962.

7.

Stefanska B, Karlic H, Varga F, Fabianowska-Majewska K, Haslberger AG. Epigenetic mechanisms in anti-cancer actions of bioactive food components the implications in cancer prevention. British J Pharmacol 2012;167:279297.

8.

Rowland LP, Mitsumoto H, Przedborski S. Amyotrophic Lateral Sclerosis, Progressive Muscular Atrophy, and Primary Lateral Sclerosis. In: Rowland LP, Pedley TA (Ed.) Merritts Neurology,

9.

Van Deerlin VM, Leverenz JB, Bekris LM, Bird TD, Yuan W, Elman LB, et al. TARDBP mutations in amyotrophic lateral sclerosis with TDP-43 neuropathology: a genetic and histopathological

12th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2010. Chapter 128, page 803-8.
analysis. The Lancet Neurology. May 2008;7(5):409-416.
10. Squire L, Berg D, Bloom F, du Lac S, Ghosh A, Spitzer N. (Ed.) Fundamental Neuroscience. 3rd Edition. Elsevier. 2008. page 284.
11. Jokelainen M. Amyotrophic lateral sclerosis in Finland. II: Clinical characteristics. Acta Neurol Scand. 1977;56:194204.
12. Abrahams S, Goldstein LH, Kew JJ, Brooks DJ, Lloyd CM, Frith CD, et al. Frontal lobe dysfunction in amyotrophic lateral sclerosis. A PET study. Brain. 1996;119:210520.

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

355

TINJAUAN PUSTAKA
13. Murray B, Mitsumoto H. Disorders of upper and lower motor neurons.In: Daroff RB, Fenichel GM, Jankovic J, eds. Bradleys Neurology in Clinical Practice. 6th ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2012:chapter 74.
14. Shaw PJ. Amyotrophic lateral sclerosis and other motor neuron diseases. In: Goldman L, Schafer AI, eds. Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011:chapter 418.
15. Leigh PN, Abrahams S, Al-Chalabi A, Ampong MA, Goldstein LH, Johnson J, et al., Kings MND Care and Research Team. The management of motor neuron disease. J Neurol Neurosurg
Psychiatry.2003;70(Suppl 4):3247.
16. Brooks BR, Miller RG, Swash M. El Escorial revisited: revised criteria for the diagnosis of amyotrophic lateral sclerosis. Amyotroph Lateral Scler Other Motor Neuron Disord. 2000;1:2939.
17. Miller RG, Rosenberg JA, Gelinas DF, Mitsumoto H, Newman D, Sufit R. et al. Practice parameter: the care of the patient with amyotrophic lateral sclerosis (an evidence-based review): report
of the Quality Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology: ALS Practice Parameters Task Force. Neurology. 1999;52:131123.
18. Andersen PM, Borasio GD, Dengler R, Hardiman O, Kollewe K, Leigh PN, Pradat PF, Silani V, Tomik B. EFNS task force on management of amyotrophic lateral sclerosis: guidelines for diagnosing and clinical care of patients and relatives. An evidence-based review with good practice points. European Journal of Neurology 2005;12:92138.
19. Fialov L, Svarcov J, Bartos A, Ridzon P, Malbohan I, Keller O, Rusina R. Cerebrospinal fluid and serum antibodies against neurofilaments in patients with amyotrophic lateral sclerosis. Eur
J Neurol. 2010 Apr;17(4):562-6. Epub 2009 Nov 24.
20. Izecka J. Serum soluble OX40 in patients with amyotrophic lateral sclerosis. Acta Clin Croat. 2012 Mar;51(1):3-7.
21. Evangelista T, Carvalho M, Conceicao I, Pinto A, de Lurdes M, Luis ML. Motor neuropathies mimicking amyotrophic lateral sclerosis/motor neuron disease. J Neurol Sci
1996;139(Suppl):958.
22. Traynor BJ, Codd MB, Corr B, Forde C, Frost E, Hardiman O. Amyotrophic lateral sclerosis mimic syndromes. Arch Neurol 2000;57:10913.
23. Belsh JM, Schiffman PL. The amyotrophic lateral sclerosis (ALS) patient perspective on misdiagnosis and it repercussions. J Neurol Sci 1996;139(Suppl):1106.
24. Bensimon G, Lacomblez L, Meininger V. A controlled trial of riluzole in amyotrophic lateral sclerosis. ALS/Riluzole Study Group N Engl J Med 1994;330:58591.
25. Lacomblez L, Bensimon G, Leigh PN, Guillet P, Meininger V. Dose-ranging study of riluzole in amyotrophic lateral sclerosis: Amyotrophic Lateral Sclerosis/Riluzole Study Group II. Lancet
1996;347:142531.
26. Braun MM, Osecheck M, Joyce NC. Nutrition assessment and management in amyotrophic lateral sclerosis. Phys Med Rehabil Clin N Am. 2012 Nov;23(4):751-71.
27. Andersen PM, Gronberg H, Franze L, Funegard U. External radiation of the parotid glands significantly reduces drooling in patients with motor neuron disease with bulbar paresis. J Neurol
Sci 2001;191:1114.
28. Jackson CE, Gronseth G, Rosenfeld J, et al. Randomized double-blind study of botulinum toxin type B for sialorrhea in ALS patients. Muscle Nerve 2008;39:13743.
29. Levitsky G. Pharmacological therapy of sialorrhea in patients with motor neuron disease. ZH Neurol Psikhiar Im SS Kovsakova 2005;105:19 22.
30. Harriman M, Morrison M, Hay J, Revonta M, Eisen A, Lentle B. Use of radiotherapy for control of sialorrhea in patients with amyotrophic lateral sclerosis. J Otolaryngol 2001;30:2425.
31. Kurt A, Nijboer F, Matuz T, Kubler A. Depression and anxiety in individuals with amyotrophic lateral sclerosis: epidemiology and management. CNS Drugs 2007;21:27991.
32. McCullagh S, Moore M, Gawel M, Feinstein A. Pathological laughing and crying in amyotrophic lateral sclerosis: an association with prefrontal cognitive dysfunction. J Neurol Sci
1999;169:438.
33. Brooks BR, Thisted RA, Appel SH, et al. Treatment of pseudobulbar affect in ALS with dextromethorphan/quinidine: a randomized trial. Neurology 2004;63:136470.
34. Sykes N, Thorns A. The use of opioids and sedatives at the end of life. Lancet Oncology. 2003;4:3128.
35. Mitsumoto H, Bromberg M, Johnston W, Tandan R, Byock I, Lyon M, et al. Promoting excellence in end-oflife care in ALS. Amyotroph Lateral Scler. 2005;6:14554.
36. Gruis KL, Lechtzin N. Respiratory therapies for amyotrophic lateral sclerosis: A primer. Muscle Nerve. 2012;46:31331.
37. Beauverd M, Mitchell JD, Wokke JHJ, Borasio GD. Recombinant human insulin-like growth factor I (rhIGF-I) for the treatment of amyotrophic lateral sclerosis/motor neuron disease. Cochrane Database of Systematic Reviews 2012, Issue 11. Art. No.: CD002064. DOI: 10.1002/14651858.CD002064.pub3.
38. Silani V, Cova L, Corbo M, Ciammola A, Polli E. Stem-cell therapy for amyotrophic lateral sclerosis. Lancet. 2004;364:2002.
39. De Gruttola VG, Clax P, DeMets DL, et al. Considerations in the evaluation of surrogate endpoints in clinical trials. Summary of a National Institutes of Health workshop. Control Clin Trials
2001;22:485502.
40. Tokuda T.Biomarkers for amyotrophic lateral sclerosis.Brain Nerve. 2012 May;64(5):515-23.
41. Turck CW (Ed.). Biomarkers for Psychiatric Disorders. Springer. 2008. Chapter 6, page 130.
42. Sunderland T, Gur RE, Arnold SE. The use of biomarkers in the elderly: current and future challenges. Biol Psychiatr 2005;58: 2726.
43. Ludolph AC, Sperfeld AD. Preclinical trials: an update on translational research in ALS. Neurodegener Dis 2005;2(34):2159.
44. Riley CP, Adamec J: Discovery of new biomarkers of cancer using proteomics technology. Current Cancer Therapy Reviews 2010:6.
45. Ekegren T, Hanrieder J, Bergquist J. Clinical perspectives of high-resolution mass spectrometry-based proteomics in neuroscience: exemplified in amyotrophic lateral sclerosis biomarker
discovery research. J Mass Spectrom. 2008 May;43(5):559-71.
46. Ryberg H, Bowser R. Protein biomarkers for amyotrophic lateral sclerosis. Expert Rev Proteomics. 2008 Apr;5(2):249-62.
47. Bowser R, Cudkowicz M, Kaddurah-Daouk R. Biomarkers for amyotrophic lateral sclerosis. Expert Rev Mol Diagn. 2006 May;6(3):387-98.
48. Steinacker P, Hendrich C, Sperfeld AD, Jesse S, von Arnim CAF, Lehnert S, et.al. TDP-43 in Cerebrospinal Fluid of Patients With Frontotemporal Lobar Degeneration and Amyotrophic Lateral
Sclerosis. Arch Neurol 2008 November;65(11):14817.
49. Noto Y, Shibuya K, Sato Y, Kanai K, Misawa S, Sawai S, Mori M, Uchiyama T, Isose S, Nasu S, Sekiguchi Y, Fujimaki Y, Kasai T, Tokuda T, Nakagawa M, Kuwabara S. Elevated CSF TDP-43 levels in
amyotrophic lateral sclerosis: specificity, sensitivity, and a possible prognostic value. Amyotroph Lateral Scler. 2011 Mar;12(2):140-3. Epub 2010 Dec 2.
50. Boylan KB, Glass JD, Crook JE, Yang C, Thomas CS, Desaro P, Johnston A, Overstreet K, Kelly C, Polak M, Shaw G. Phosphorylated neurofilament heavy subunit (pNF-H) in peripheral blood
and CSF as a potential prognostic biomarker in amyotrophic lateral sclerosis. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2012 Oct 31. [Epub ahead of print]
51. Tortelli R, Ruggieri M, Cortese R, DErrico E, Capozzo R, Leo A, Mastrapasqua M, Zoccolella S, Leante R, Livrea P, Logroscino G, Simone IL. Elevated cerebrospinal fluid neurofilament light
levels in patients with amyotrophic lateral sclerosis: a possible marker of disease severity and progression. Eur J Neurol. 2012 Dec;19(12):1561-7.
52. A.D.A.M. Medical Encyclopedia. Amyotrophic lateral sclerosis. Last reviewed: 26 August 2012. Last accessed: 3 January 2013. Cited from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/
PMH0001708

356

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

Anda mungkin juga menyukai