Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN
Kanker paru adalah kanker yang paling sering didiagnosa didunia yang
menyebabkan kematian 1,4 juta pertahun serta menjadi penyebab utama kematian
akibat kanker pada laki-laki dewasa pada tahun 2008. Pada wanita di dunia kanker
ini merupakan keganasan ke- 4 tersering terdiagnosa dan penyebab ke-2 kematian
akibat kanker. Secara umum, risiko terserang kanker paru pada laki-laki 1 dari 13
laki-laki dan pada wanita 1 dari 16 wanita. Risiko ini meningkat secara signifikan
pada perokok dan menurun pada yang bukan perokok. (1,2)
Di hongkong kanker paru menjadi the top killer cancer, dimana lebih dari
4000 kasus per tahun dengan the 5 years survival rate hanya sekitar 15 %.(3) Di
Jepang kanker paru menyumbang kematian 20% dari seluruh kematian akibat
kanker dengan the 5 years survival rate sekitar 30%.(4) Di Amerika Serikat
kanker paru menjadi penyebab utama kematian akibat kanker baik pada laki-laki
maupun pada wanita. Pada tahun 2012 diperkirakan terdapat 226.160 kasus baru
kanker paru di Amerika Serikat yang mewakili 14 % dari seluruh diagnosa kanker.
Dengan the 5 years survival rate untuk kasus lanjut adalah 3,5% dan untuk kasus
yang terdiagnosa dini (hanya 15% dari seluruh kasus ) adalah 52,6%. (5) Sementara
di Indonesia berdasarkan data dari WHO yang dipublikasikan pada April 2011
disebutkan bahwa kematian akibat kanker paru di Indonesia mencapai 35.185 atau
2,47% dari total kematian.(6) Berdasarkan global cancer map disebutkan saat ini
insiden kanker paru di Indonesia adalah 19,5 per 100.000 orang dengan kematian
18,1 per 100.000 orang.(7)

Kanker paru merupakan salah satu kanker yang paling menantang dalam
hal pengobatannya, standar terapi antara lain operasi reseksi, kemoterapi berbasis
platinum, terapi radiasi tunggal atau kombinasi. Sayangnya prognosis pasien
dengan kanker paru (ketahanan hidup 5 tahun 15%) tidak berubah secara dramatis
dengan pendekatan terapi ini, sekalipun perbaikan terapeutik terlihat pada model
uji klinis kanker paru. Penemuan inhibitor molekul kecil pada kanker paru selama
dekade terakhir memberikan harapan akan terjadi peningkatan sejumlah obat yang
tersedia dalam waktu dekat untuk menurunkan penderitaan dan mortalitas pada
pasien dengan penyakit yang merusak.(2,4)
Pengobatan berbasis target akan banyak memberi keuntungan bagi pasien
pengidap kanker. Tidak seperti kemoterapi yang dikenal selama ini yang bersifat
sitotoksik dan tidak selektif, yang menyebabkan sel-sel normal ikut mengalami
kerusakan. Pada terapi target karena bersifat selektif maka sel-sel normal tidak
akan terpengaruh. Sehingga efek samping sistemik yang sering dijumpai pada
kemoterapi seperti anemi, trombositopeni dan lekopeni, maupun efek samping
non sistemik seperti nekrosis kutis akibat ekstravasasi dapat dihindari. Ada 4 terpi
target yang telah disetujui untuk pengobatan kanker paru yaitu: Gefitinib tahun
2002, erlotinib tahun 2003, bevacizumab tahun 2006 dan crizotinib tahun 2011. (8)
Dalam referat ini akan mendalami tentang terapi target molekular pada
kanker paru, sehingga kita dapat memahami apakah itu terapi target, apa-apa saja
obat yang tersedia, bagaimana cara pemberiannya serta kriteria pemilihan
pasiennya dan sebagainya.

BAB II
KANKER PARU

Pertumbuhan sel abnormal yang tidak terkontrol pada satu atau


kedua paru. Sel normal direproduksi dan membentuk jaringan paru yang
sehat, sementara sel abnormal ini berkembang secara cepat dan tidak
tumbuh menjadi jaringan paru yang normal. (9)
A. Faktor risiko
1. Dapat mengenai semua orang baik orang muda, perokok ataupun
bukan perokok. (10)
2. Beberapa risiko kanker paru antara lain: (10,11,112)
a. Merokok, baik dengan rokok biasa, pipa atau cerutu: Secara
historis rokok dipandang sebagai faktor utama dalam membangun
risiko kanker paru, angka terakhir di Amerika Serikat menunjukkan
hal tersebut, dimana hanya 13% dari kanker paru yang tidak
berkaitan dengan merokok. Untuk perokok risiko untuk terpapar
kanker paru adalah 10 kali lipat lebih tinggi dibandingkan bukan
perokok seumur hidupnya (didefinisikan sebagai seseorang yang
merokok <100 rokok seumur hidupnya).
b. Perokok pasif, asbestos, radon, kromium, arsenik, nikel,
hidrokarbon polisiklik aromatik, polusi udara, dll.
c. Terapi radiasi untuk dada atau payudara
d. Alkohol, dari 7 studi prospektif dengan 399.767 partisipan dan
3137 kasus kanker paru, risiko kanker paru sedikit lebih besar pada
orang-orang yang mengkonsumsi alkohol 30 gr/hari.
e. Olah raga dan aktifitas fisik, data menunjukkan bahwa aktivitas
fisik sedang hingga tinggi pada waktu senggang dikaitkan dengan
penurunan

risiko

kanker

paru

sebanyak

13-34%.

Secara

keseluruhan aktivitas fisik dapat membantu mengurangi risiko


kanker paru-paru dan mortalitas pada perokok berat.
f. Riwayat penyakit pada keluarga atau personal
B. Klasifikasi

Ada dua bentuk utama kanker paru yaitu non small cell lung cancer
(NSCLC) dan small cell lung cancer (SCLC). Dari kedua bentuk ini kasus
NSCLC lebih sering terjadi yaitu 85% dari seluruh kanker paru sedangkan
SCLC hanya 15 % dari seluruh kanker paru. Sekalipun saat ini telah
terjadi kemajuan dalam deteksi dini dan standar pengobatan, NSCLC
sering didiagnosa dalam stadium lanjut dengan prognosis yang buruk. (9)
1. Non small cell lung cancer (NSCLC)
Lebih dari 80% kanker paru adalah NSCLC dan sekitar 60% pasien
dalam stadium lanjut pada saat pertama kali terdiagnosa. NSCLC
berasal dari epitelium paru-paru, dimana ada 3 bentuk sub tipe NSCLC
yang

berbeda dari ukuran, bentuk dan unsur kimia yang

membangunnya. (13)
Non small cell lung cancer dapat dibagi menjadi tiga utama subtipe
histologis yaitu: squamous cell carcinoma, adenocarcinoma dan large
cell lung cancer. Rokok menyebabkan semua tipe kanker paru namun
yang paling berkaitan adalah small cell carcinoma dan squamous cell
carcinoma sementara adenocarcinoma adalah tipe yang paling sering
muncul pada penderita yang tidak merokok. (14)
a. Squamous cell carcinoma: 25%-30% dari seluruh kanker paru
adalah jenis ini, dimana sangat berkaitan dengan rokok, sering
ditemukan didaereah pertengahan paru didekat bronkus. (13,14)
b. Adenokarsinoma: tipe ini adalah 40% dari kanker paru, yang sering
ditemukan pada bagian terluar dari paru. Jenis kanker paru ini
terutama terjadi pada orang yang merokok, tapi juga paling sering
ditemukan pada penderita yang tidak pernah merokok. Jenis ini
lebih sering pada wanita dibandingkan laki-laki dan lebih sering
ditemukan pada usia muda dibandingkan jenis kanker paru yang
lainnya. Orang-orang dengan adenokarsinoma insitu mempunyai
kecenderungan prognosis yang lebih baik dibandingkan jenis
kanker paru lainnya.(13,14)
c. Large cell (undifferentiated) carcinoma: sekitar 10-15% dari
kanker paru adalah jenis ini, yang dapat mulai dari bagian
manapun dari paru. Jenis ini cepat tumbuh dan menyebar sehinga
sulit untuk diterapi.(13,14)
4

2. Small cell lung cancer (SCLC)


Sekitar 10-15% dari seluruh kanker paru adalah tipe small cell.
Nama lain untuk SCLC adalah oat cell carcinoma dan small cell
undifferentiated carcinoma.(15)
SCLC berasal dari neural crest, dimana kanker ini sering dimulai
dari bronkus didekat bagian tengah dada. Jenis ini kecenderungannya
adalah tumbuh dan berkembang dengan cepat, dan hampir selalu sudah
bermetastase jauh sebelum ditemukan. Sel dapat dengan cepat tumbuh
menjadi tumor yang besar yang dengan cepat dapat menyebar ke otak,
hati dan tulang serta bagian tubuh lainnya. Cepatnya penyebaran
kanker dengan mudah disebabkan oleh karena konstannya alirannya
dan limfe melalui paru-paru. Cairan dapat membawa sel kanker pada
paru lainnya, kelenjar limfe serta organ-organ diluar dada.(15)
Ada tiga jenis berbeda dari small cell lung cancer, yaitu: (9,15)
a. Small cell carcinoma, yang merupakan jenis tersering.
b. Mixed small cell/ large cell carcinoma
c. Combined small cell carcinoma
3. Kanker paru tipe lain
Selain 2 jenis utama kanker paru, tumor lain juga dapat ditemukan
pada paru-paru, dimana beberapa diantaranya bukan kanker sementara
lainnya kanker. Misalnya tumor karsinoid yang biasanya tumbuh
lambat dan disembuhkan dengan operasi. (9,15)

C. Diagnosis
1. Tes pencitraan
a. X-ray thorak: kanker paru jarang memperlihatkan gambaran X ray
thorak yang normal (hanya 2 % dalam satu studi). Pasien dengan
kanker paru selalu memperlihatkan gambaran obstruktif (37%) dan
pleural effusion (22%), yang mengindikasikan investigasi lanjutan
sekalipun tidak terlihatnya massa lesi.(16)
b. CT scan: dapat memberikan gambaran tumor paru yang lebih jelas
dibandingkan X-ray thorak , dengan CT scan dapat dilihat ukuran,
bentuk dan lokasi tumor atau dapat juga untuk melihat
pembekakan kelenjar limfe yang mungkin mengandung sel kanker.

CT scan juga dapat digunakan untuk menemukan tumor di organ


lain untuk kemungkinan penyebaran kanker. CT scan juga dapat
digunakan sebagai penuntun biopsi jarum ke lokasi yang diduga
posisi kanker. CT scan memiliki sensitivitas yang tinggi yaitu 89100 % tapi dengan spesifisitas relatif rendah yaitu 56-63%.(15,16)
c. MRI scan: seperti CT scan, MRI dapat melihat gambaran soft
tissue pada tubuh secara detail. Namun MRI menggunakan
gelombang radion dan magnet yang kuat dibandingkan X ray. MRI
juga dapat digunakan untuk melihat penyebaran kanker pada otak
atau tulang belakang. (15,16)
d. PET scan (positron emission tomography): dimana bentuk gula
radioaktif disuntikkan ke dalam darah. Sel kanker didalam tubuh
akan mengkonsumsi sejumlah besar gula, selanjutnya sebuah
kamera khusus dapat menangkap titik radioaktifitas.
Jika memiliki gejala tahap awal kanker paru, maka pemeriksaan ini
dapat membantu melihat penyebaran sel kanker ke kelenjar limfe
terdekat atau area lainnya, yang selanjutnya dapat membantu
apakah operasi menjadi pilihan terapi. Pemeriksaan ini juga dapat
memperjelas kemungkinan kanker pada area kelainan X ray thorak
dan CT. Studi metaanalisis dari 12 review sistematik, sensitivitas
PET scan adalah 96% dengan spesifisitas 78%. (15,16)
e. Bone scan: dapat membantu melihat penyebaran kanker pada
tulang. Untuk pemeriksaan ini sejumlah kecil substansi radioaktif
disuntikkan ke dalam vena, jumlah yang digunakan sangat sedikit,
selanjutnya substansi ini akan berkumpul pada area tulang yang
tidak normal karena kanker. Akan terlihat hot spot pada bone scan.
Bone scan dilakukan terutama ketika dugaan penyebaran kanker ke
tulang dan pemeriksaan lainnya tidak tuntas. PET scan sering
memperlihatkan gambaran penyebaran kanker ke tulang sehingga
bone scan tidak perlu dilakukan jika PET scan telah dilakukan. (15)
2. Pemeriksaan lain untuk menemukan kanker paru dan penyebarannya
a. Sitologi sputum: pemeriksaan ini lebih mungkin digunakan untuk
menemukan kanker yang dimulai dari saluran-saluran besar dari
paru-paru. Sensitivitas sitologi sputum untuk mendiagnosis kanker

paru sangat lebar yaitu 10-97%. Sensitivitas yang tinggi hanya


dapat diperoleh dengan penggunaan protokol tertentu dan
pengambilan sampel yang hati-hati serta dikendalikan. Dalam
pemeriksaan rutin hasil diagnostik sangat rendah, sehingga terknik
ini terbaik digunakan bagi lesi dengan pusat massa yang besar
dimana bronkoskopi dan tes diagnostik lainnya kontraindikasi. (16)
b. Biopsi jarum (transthoracic needle aspiration [TTNA]),
pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan jarum yang
panjang dan berongga untuk mengambil sampel sel dari area yang
diduga kanker. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendapatkan
diagnostik sampel dari lesi yang tidak dapat diambil melalui
bronchial tree dan jika tidak ada keterlibatan jelas kelenjar limfe,
biasanya dilakukan bila terdapat satu atau lebih lesi yang terdapat
di perifer. CT digunakan untuk menuntun biopsi jika sulit mencapai
lokasi lesi. USG dilakukan jika lesi berbatasan dengan dinding
dada dan terlihat pada USG. (17)
c. Bronkoskopi: pipa yang berlampu dan fleksibel dimasukkan
melalui mulut atau hidung kedalam saluran besar paru-paru. Mulut
dan tenggorokan sebelumnya disemprotkan obat anastesi. Atau
dapat juga diberikan obat melalui intravena untuk membuat pasien
menjadi relaks. Pemeriksaan ini dapat membantu melihat tumor
atau dapat digunakan untuk mengambil contoh jaringan atau cairan
untuk melihat sel kanker jika ada. (15,16,17)
d. Endobronchial utrasound(EBUS): bronkoskopi dilengkapi dengan
alat ultrasound pada ujungnya dan dimasukkan ke tenggorokan
untuk melihat kelenjar limfe dan struktur lain di dada. Pemeriksaan
ini dilakukan dengan obat anastesi dan obat sedasi ringan. Jika
kelenjar limfe yang membengkak terlihat pada alat ultrasound,
jarum berongga dapat melewati bronkoskopi dan menuntun pada
area untuk pengambilan sample biopsi. Pemeriksaan ini dilakukan
jika dokter berfikir bahwa operasi adalah bagian dari pengobatan,
dimana tidak sering dilakukan pada kasus small cell lung cancer.
(15,17)

e. Endocopic esophageal ultrasound (EUS): pemeriksaan ini banyak


kemiripannya dengan endobronchial ultrasound, kecuali ada
endoskopi (suatu pipa fleksibel berlampu) yang dimasukkan
melewati tenggorokan kedalam esofagus. Pemeriksaan dilakukan
dengan obat anastesi dan sedasi. Gambar ultrasound diambil dari
dalam esofagus untuk menemukan pembesaran kelenjar limfe di
dada yang mungkin mengandung sel kanker. Jika kelenjar limfe
yang membengkak ditemukan pada ultrasound, jarum berongga
dimasukkan ke dalam endoskopi untuk mendapatkan sampel
biopsi. Pemeriksaan ini dilakukan jika dokter berfikir operasi
adalah bagian dari pengobatan yang jarang dilakukan pada kasus
small cell lung cancer. (17)
f. Mediastinoscopy dan mediastinotomy: kedua pemeriksaan ini
dilakukan agar dokter dapat melihat dan mengambil contoh dari
struktur didaerah mediastinum. Pemeriksaan ini dilakukan dibawah
anastesi umum. Perbedaan utama diantara keduanya adalah tempat
serta besarnya insisi yang dibutuhkan. Pemeriksaan ini dilakukan
jika dokter mempertimbangkan operasi merupakan bagian dari
pengobatan dan tidak sering dilakukan pada kasus small cell lung
cancer.(15,17)
g. Thoracosintesis:

jika

cairan

terdapat

disekitar

paru-paru,

pemeriksaan ini dilakukan apakah cairan disebabkan oleh karena


kanker atau penyebab lainnya, seperti gagal jantung atau infeksi.
Cairan diperiksa sel-sel kankernya. (16,17)
h. Thoracoscopy: pemeriksaan ini dilakukan untuk menemukan
apakah kanker menyebar pada ruang diantara paru dan dinding
dada. Pemeriksaan ini dapat dilkukan pada tumor yang berada
dibagian luar paru. Dilakukan dibawah anastesi umum. Dokter
akan membuat sayatan kecil pada kulit di dada dan dengan
menggunakan tabung tipis yang berlampu dihubungkan pada video
kamera dan layar untuk melihat ruangan diantara paru dan dinding
dada. Sampel tumor atau kelenjar limfe dapat diambil dan periksa
sel kankernya. (15,16,17)

i. Aspirasi sum-sum tulang dan biopsi: pemeriksaan ini dilakukan


untuk melihat penyebaran sel kanker pada sum-sum tulang
belakang, tapi sekarang pemeriksaan ini jarang dilakukan untuk
small cell lung cancer. (15)
3. Pemeriksaan Lanjutan Kanker Paru
Pemeriksaan tambahan yang dibutuhkan selain menemukan sel kanker
dibawah mikroskop adalah pemeriksaan biomarker spesifik untuk
beberapa jenis kanker paru. Biomarker ini merupakan protein
abnormal dan mutasi gen yang dapat ditemukan pada kanker. Jika
ditemukan, biomarker ini dapat digunakan untuk pertimbangan
pengobatan. Biomarker yang sering diperiksa pada kanker paru adalah
mutasi

EGFR dan translokasi ALK. Ini adalah area yang cepat

berubah pada penelitian kanker paru dan daftar biomarker diduga akan
berkembang dengan cepat. (17)

Tabel 1: Sensitivitas dan spesifitas berbagai jenis tes diagnostik (17)

D. Staging Kanker Paru


Sistem staging adalah standar yang digunakan oleh dokter
mendeskripsikan

seberapa

besar

kanker

dan

seberapa

untuk
jauh

penyebaranannya. Untuk membantu menegakkan staging kanker paru


dengan sistem TNM (Tumor, Nodes, Metastasis) dibutuhkan beberapa
modalitas pemeriksaan penunjuang dengan sensitivitas

san spesifitas

dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.(16,17)

Tabel 2: Sensitivitas dan spesifisitas berbagai jenis staging test(17)

1. Staging untuk small cell carcinoma ada 2 yaitu:


a. Limited vs Extensive stage (16,17)

10

Limited stage (LD) berarti kanker terbatas hanya pada satu paru
dan mungkin kelenjar limfe sisi dada yang sama. Kanker hampir
selalu berada pada area yang sangat kecil untuk dilakukan terapi
radiasi. Hanya1 dari 3 orang dengan stadium limited stage SCLC
saat pertama kali ditemukan
Extensive stage berarti kanker telah menyebar ke luas di paruparu, pada paru lainnya, pada kelenjar limfe sisi dada berbeda
atau pada organ yang jauh. Sekitar 2 dari 3 penderita SCLC
memiliki stadium ini ketika pertama kali didiagnosa.
b. TNM staging system (15,16,17)
Sistem yang lebih resmi untuk mendeskripsikan pertumbuhan
dan penyebaran kanker paru adalah American Joint Committe
on Cancer (AJCC) TNM staging system, yang didasarkan pada
tiga informasi kunci yaitu:
Ukuran tumor utama dan apakah telah tumbuh ke area

terdekat.
Apakah kanker telah mencapai kelenjar limfe terdekat
Apakah kanker telah menyebar kebagian lain tubuh

Namun sistem ini lebih digunakan untuk NSCLC dan lebih


jarang digunakan untuk SCLC karena pilihan terapi tidak terlalu
bervariasi dalam tiap stadiumnya.

2. Staging untuk non small cell carcinoma adalah TNM staging system
yang dapat dilihat pada tabel 3 berikut.
Tabel 3: TNM ke 7 klasifikasi kanker paru (17)

11

T= Besar tumor

Tx : ukuran tumor tidak diketahui, atau sel kanker hanya

ditemukan didalam sputum


T0 : tidak ada bukti tumor primer
Tis : tumor hanya terdapat pada lapisan sel saluran nafas dan

tidak menyebar ke jaringan terdekat.


T1 : tumor kurang dari atau sama dengan 3 cm (1,5 inchi)
o T1a : kurang dari atau sama dengan 2 cm
o T1b : lebih dari 2 cm namun kurang dari atau sama
dengan 3 cm
T2 : tumor besar dari 3 cm namun kurang dari 7 cm, tumor
ukuran ini dapat menghambat bagian dari saluran nafas, namun
tidak menimbulkan pneumonia atau menyebabkan atelektasis.
Tumor ini dapat menyebar pada lapisan saluran nafas, dapat juga
sangat dekat dengan bronkus utama, tetapi berjarak kurang dari
2 cm pada area dimana bronkus terpisah menuju masing-masing
paru-paru.
o T2a : lebih dari 3 cm tapi kurang dari atau sama dengan
5 cm

12

o T2b : lebih dari 5 cm tapi kurang dari atau sama dengan

7 cm
T3 : tumor lebih dari 7 cm, atau kurang dari 7 cm namun nodul
terpisah di satu lobus. Tumor T3 juga termasuk tumor yang
ukurannya kurang dari 7 cm namun menyerang lapisan pleura,
dinding dada dan diafragma, bronkus utama atau terdapat pada
area 2 cm dimana bronkus terbagai menuju masing-masing paru.
Tumor juga diklasifikasikan sebagai T3 jika kurang dari 7 cm

namun menyebabkan pneumonia atau atelektasis.


T4 : tumor dengan ukuran berapapun, tapi dengan nodul
lainnya pada lobus yang berbeda pada sisi yang sama, atau
tumor menyerang struktur dada seperti area jantung, pembuluh
darah utama jantung, trakea, nervus recurrent laryngeal,
mediastinum, esophagus atau area dimana bronkus terbagi
menuju kedua paru.

: keterlibatan kelenjar limfe.

N0 : tidak ada penjalaran ke kelenjar limfe


N1 : tumor menyebar ke kelenjar limfe terdekat pada sisi tubuh

yang sama
N2 : tumor menyebar pada kelenjar limfe yang jauh, namun

pada sisi dada yang sama


N2 : tumor menyebar pada kelenjar limfe pada sisi dada yang
lain dari asal tumor, atau telah menyebar ke kelenjar limfe
didekat otot leher.

: Metastasis pada regio lain


M0 : tumor tidak menyebar pada organ jauh
M1 :
o M1a: tumor telah menyebar ke paru yang berlawanan, ke
lapisan paru-paru (malignan efusi pleura) atau telah
membentuk nodul pada pleura.

13

o M1b: tumor telah menyebar ke organ yang jauh misalnya


otak dan tulang.
E. Pengobatan
Pengobatan pada kanker paru dapat disimpulkan pada tabel 4 dibawah ini.
Dan selanjutnya akan dibahas pengobatan untuk ke-2 kelompok kanker
paru NSCLC dan SCLC.

Tabel 4:pendekatan terapi pada kanker paru (8)

1. Small cell lung carcinoma


Sekitar 35% pasien dengan SCLC pada saat pertama didiagnosis pada
stadium LD SCLC. Tanpa pengobatan rata-rata ketahanan hidup untuk
kelompok pasien ini kurang dari 4 bulan. SCLC biasanya adalah tumor
yang sensitiv dengan kemoterapi dan radioterapi, dan saat ini
kombinasi radioterapi dan kemoterapi menjadi stadar lini pertama
pengobatan LD SCLC dengan median ketahanan hidup 14-18 bulan.
Hanya sebagian kecil pasien (<20%) yang selamat dan mampu
bertahanan hingga 5 tahun.(17)
a. Operasi
Secara umum, operasi rutin untuk stadium limited SCLC
tidak direkomendasikan. Sebuah studi uji klinis acak oleh Lad T et
al tahun 1994 yang menguji peranan operasi pada pasien yang telah
memperlihatkan respon dengan kemoterapi 5 siklus siklofosfamid,
doxorubicin dan vincristin gagal menunjukkan keuntungan dari
operasi.(16,18)
Ada 2 situasi spesifik dimana operasi akan memberikan
keuntungan: (16,17)

14

Pasien dengan stadium klinik T1-2 N0 SCLC harus


dievaluasi potensi operasi reseksi. Untuk mengevaluasinya
adalah melalui pemeriksaan CT scan thorak, scan
radionuklir tulang, CT scan kepala dan aspirasi sum-sum
tulang. Jika konfirmasi hanya kelainan lokal, operasi harus
dipertimbangkan.

Suatu

seri

kasus

yang

menguji

kemoterapi setelah reseksi pada stadium dini SCLC


merekomendasikan bahwa kemoterapi adjuvan memberikan

keuntungan terhadap kelangsungan hidup.


Kadang-kadang massa perifer tanpa histologi preoperatif
ditemukan menjadi SCLC setelah reseksi. Kecenderungan
ini terjadi pada pasien dengan penyakit stadium dini yang
memiliki kanker yang bersifat operabel. Untuk kanker ini
adjuvan

kemoterapi

dapat

memberikan

keuntungan

kelangsungan hidup.
b. Radioterapi
1) Radioterapi thorax paliativ pada pasien kanker paru stadium
lanjut terlokalisir simptomatik.(15,16)
Tidak ada uji klinis acak yang spesifik dalam mengidentifikasi
efektifitas radioterapi paliatif pada pasien SCLC, sehingga
mengakibatkan ketidak jelasan dalam efektivitas radioterapi
paliatif untuk kelompok pasien ini. Pengalaman dari beberapa
kelompok yang membentuk guideline menyatakan bahwa
SCLC adalah tumor yang radio responsif dengan demikian
setidaknya radioterapi paliativ efektif untuk kelompok ini
sebagaimana kelompok NSCLC.
Pasien dengan SCLC dipertimbangkan untuk radioterapi
thorak paliativ bila memiliki gejala yang signifikan dan terapi
lain tidak efektif atau dianggap tidak tepat.
2) Radioterapi paliativ pada pasien dengan gejala metastase.(16,17)
Banyak pasien dengan kanker paru menunjukkan gejala
metastase yang dapat diobati dengan menggunakan radioterapi.
Sistematik review yang mengidentifikasi 11 percobaan yang
melibatkan 3435 pasien, secara keseluruhan tidak ada
perbedaan antara yang menggunakan radioterapi satu fraksi
15

(biasanya 8 Gy) dengan multifraksi, namun pasien yang diobati


dengan fraksi tunggal mengalami tingkat pengulangan terapi
yang signifikan lebih tinggi serta memiliki risiko lebih tinggi
untuk mengalami fraktur patologis (3,0% dan 1,6%). Uji klinis
acak lainnya adalah suatu analisis radioterapi fraksi tunggal
dibandingkan radioterapi multifraksi dalam mengobati nyeri
neuropati tulang dan disarankan bahwa radioterapi memainkan
peranan positif dalam mengobati nyeri ini. (16)
c. Kemoterapi
1) Limited disease SCLC
Dengan kemoterapi kombinasi dibandingkan tunggal dinilai
lebih bermanfaat baik untuk megontrol gejala ataupun untuk
meningkatkan rata-rata harapan hidup, dengan rata-rata respon
objektif 90%, namun meskipun dengan terapi kombinasi yang
optimal harapn hidup 2 tahun hanya sekitar 25% di United
Kingdom (UK). Tidak ada penelitian yang membandingkan
efektifitas

kemoterapi

dibandingkan

dengan

perawatan

supportive terbaik, hingga kini kemoterapi masih menjadi


standar pertama dalam terapi SCLC sejak tahun 1970. (16)
2) Extensive disease SCLC
Pasien dengan Extensive disease SCLC tidak dapat diobati. Di
UK angka harapan hidup 2 tahun kurang dari 5%. Pemilihan
pasien penting untuk menghindari toksisitas yang tidak
diharapkan.

(16,17)

2. Non small cell lung carcinoma


a. Operasi
Operasi tetap pilihan pengobatan tunggal yang paling konsisten
dan paling sukses

untuk mengobati pasien yang didiagnosa

memilki kanker paru. Untuk kelayakan pilihan ini, kanker haruslah


benar-benar resectable dan pasien harus dalam kondisi mampu
mentolerir tindakan intervensi pembedahan. Untuk menentukan
resectable tentulah merujuk pada staging preoperativ termasuk tes
pencitraan dan biopsi. Sedangkan masalah operabilitas berkaitan
dengan evaluasi faktor-faktor pasien dan pendekatan operasi untuk
16

meminimalkan risiko pembedahan dan morbiditas. Memang


pembedahan untuk kanker paru menonjol untuk diagnosis, staging,
pengobatan kuratif, palliative care. Staging tetap menjadi bagian
dan esensial untuk manajemen pasien dengan kanker paru. Staging
mediastinum

khususnya

sangat

penting

karena

informasi

prognostik yang diberikannya dalam menentukan terapi yang


sesuai. (17)
Pengobatan

dengan

pembedahan

pada

kanker

paru

potensinya tergantung dari tercapainya reseksi lengkap (reseksi


R0). Kriteria standar saat ini untuk reseksi luas paru adalah
lobektomi untuk tumor yang resectable pada pasien yang dianggap
mampu mentolerir reseksi tersebut. Standar ini berdasarkan dari
temuan

prospective

randomized

controlled

trial

yang

memperlihatkan peningkatan harapan hidup dan penurunan


kekambuhan lokal pada pasien yang menjalani reseksi terbatas.
(15,16,17)

b. Kemoterapi
Hampir 70% pasien dengan kanker paru datang dengan
dengan diagnosa lanjut dan metastase. Kemoterapi bermanfaat
untuk paliatif pada pasien dengan stadium lanjut lokal dan
metastase. Kemoterapi adjuvan secara umum dilakukan pada
pasien resectable pada stadium IIA hingga IIIA NSCLC. (16,17)
Meskipun kemoterapi sesuai bagi banyak pasien dengan
kanker paru-paru, ada rasa bahwa penggunaan kemoterapi telah
mencapai efek terapi yang mendatar. Peningkatan pemahaman
tentang biologi kanker telah menghasilkan berbagai strategi terapi,
termasuk terapi target EGFR dan transduksi sinyal lain dan jalur
angiogenesis.
1) Kemoterapi adjuvan untuk stadium dini NSCLC: pasien
dengan kanker paru yang resectable berisiko tinggi untuk
kambuh. Dari metaanalisis yang dilakukan tahun 1995 yang
menggunakan data dari 52 uji klinis acak dibandingkan luaran
setelah operasi saja dengan luaran operasi diikuti dengan

17

kemoterapi. Memperlihatkan angka harapan hidup 5 tahun pada


batas signifikan untuk pasien yang mendapatkan kemoterapi
berbasi platinum dan mendorong beberapa uji inisiasi adjuvan
kanker paru.(12)
The International Adjuvant Lung Cancer Trial telah
memeriksa 1867 pasien dengan kanker resectable stadium IA
hingga IIIA. Pasien dirandom untuk mendapatkan kemoterapi
berbasis platinum atau observasi. Setelah 5 tahun mutlak
manfaat kelangsungan hidup adalah 4,1% dan penurunan risiko
kematian relatif adalah 14% (hazard ration 0,86; 95% CI 0,760,98; p<0,03). (19)
The National Cancer Institute of Canada and Intergroup
Study JBR.10 memasukkan 482 pasien pada stadium kanker IB
dan II. Pasien dalam percobaan ini dirandom untuk menerima 4
siklus dari adjuvan vinorelbine dan cisplatin atau hanya
observasi saja. Secara keseluruhan kelangsungan hidup jelas
lebih banyak terjadi pada pasien yang mendapatkan kemoterapi
adjuvan dengan angka absolut manfaat kelangsungan hidup
adalah 15% untuk 5 tahun dan menurunkan risiko relatif
kematian sebanyak 30% (p=0,03). (20)
The Adjuvant Navelbine International Trialist Association
trial randomized 840 pasien dengan kanker resectable stadium
IB, II atau IIIA NSCLC untuk menerima adjuvan terapi dengan
vinorelbine dan cisplatin atau hanya observasi. Setelah rata-rata
di follow up selama lebih dari 70 bulan signifikan secara
statistik kelangsungan hidup yang diamati pada pasien yang
mendapatkan kemoterapi adjuvan dengan angka absolut
manfaat keselamatan selama 5 tahun adalah 8,6%.(21)
2) Pengobatan untuk kanker paru metastasis
Beberapa studi fase 3 memperlihatkan

keunggulan

kemoterapi sistemik sebagai perawatan suportif terbaik pada


pasien dengan stadium lanjut lokal atau kanker paru metastasis.
Kemoterapi berbarbasis platinum telah diterima secara luas

18

sebagai standar perawatan. Beberapa uji klinis acak serta


metaanalisis telah menyarankan keunggulan therapi berbasis
platinum dibandingkan non platinum. Obat obat seperti
docetaxel, gemcitabine dan vinorelbine telah dimasukkan
dalam terapi ganda berbasis platinum dan telah terbukti efektif.
(12)

c. Terapi radiasi
Percobaan besar pertama yang menguji terapi radiasi dalam
pengobatan kanker paru yang unresectable dilakukan oleh the
Veterans Administration Lung Cancer Study Group. Pasien dengan histologi
small cell dirandom untuk menerima radio terapi atau plasebo. Pengobatan
terdiri dari pemberian 40-50 Gy yang diberikan perhari terbagi dalam 1,75
sampai 2,0 Gy menggunakan orthovoltage atau kobal-60 RT. Keselamatan
signifikan tinggi pada radioterapi dibandingkan plasebo (1 tahun dan rata-rata
kelangsungan hidup 18,2% dan 142 hari dengan radioterapi dibandingkan
dengan 13,9% dan 111 hari dengan plasebo). (12)

The

Radiation

Therapy

Oncology

Group

(RTOG)

melakukan percobaan 3 fase untuk mengevaluasi luaran dosis,


yaitu membandingkan 40 Gy dalam 20 fraksi sehari, 50 Gy dalam
25 fraksi dan 60 Gy dalam 30 fraksi. Tingkat kegagalan lokal
adalah 48% dengan 40 Gy, 38% dengan 50 Gy dan 27% dengan
60 Gy. Sekalipun perbedaan kelangsungan hidup tidak berbeda
secara signifikan, 60 Gy dalam 30 fraksi sehari menjadi dosis
fraksi radioterapi standar yang digunakan untuk stadium III
NSCLC. (22) Radioterapi konvensional saja menghasilkan ratarata kelangsungan hidup 10 bulan dan angka kelangsungan hidup 5
tahun adalah 5 %. Banyak fase 3 penelitian mengkonfirmasi bahwa
kemoterapi

dasar

cisplatin

ditambah

dengan

radioterapi

menghasilkan kelangsungan hidup yang lebih baik dibandingkan


radioterapi saja. selanjutnya RTOG9410 dan percobaan yang
dilaporkan oleh Furuse et al melaporkan perbaikan kelangsungan
hidup secara signifikan kombinasi radioterapi dan kemoterapi
dibandingkan bila diberikan bergantian. (12)
d. Terapi Target

19

Perubahan utama pada sinyal sel dan pengaturan jalur baik


oleh karena over ekspresi atau variasi gen berurutan sering terjadi
pada kanker paru. Perubahan ini antara lain pada reseptor tirosin
kinase (TK), seperti EGFR dan perubahan pada jalur angiogenesis,
apoptosis, regulasi proteosom dan kontrol siklus sel. (12)
Pada bab selanjutnya pada referat ini akan dikupas secara dalam
mengenai terapi target ini.

F. Prognosis
1. SCLC
Faktor penting untuk prognosis adalah stadium penyakit pada saat
ditemukan. Pasien dengan keterlibatan susunan saraf pusat atau hati
saat diagnosa ditemukan signifikan memiliki luaran yang buruk.
Terlepas dari stadium prognosis pasien dengan SCLC sekalipun
terdapat perbaikan dalam diagnosa dan terapi selama 25 tahun adalah
buruk. Secara keseluruhan angka harapan hidup selama 5 tahun hanya
sekitar 5-10%. (23)
Untuk pasien dengan stadium penyakit limited, rata-rata harapan
hidup adalah 16-24 bulan dan angka harapan hidup selama5 tahun
dengan bentuk terapi saat ini telah ada dilaporkan sebanyak 14%.
Sedangkan untuk pasien dengan stadium extensive, angka harapan
hidup 6-12 bulan telah dilaporkan dengan regimen terapi saat ini, tapi
angka harapan hidup yang panjang jarang. Sebagian besar pasien yang
mampu bertahan selama 2 tahun adalah dari kelompok stadium
penyakit limited. (23)
2. NSCLC
Di Eropa ketahanan hidup selama 5 tahun pada NSCLC adalah 8%,
sama dengan negara-negara berkembang di dunia. Ketahanan hidup
selama 5 tahun tertinggi ditemukan di Amerika Serikat yaitu sekitar
15,7%. Namun angka harapan hidup selama 5 tahun tergantung
seberapa lanjut penyakit saat ditemukan, yaitu: (24)
49 % untuk penyakit lokal

20

16% untuk penyakit regional


2% untuk penyakit stadium lanjut.

Estimasi ketahanan hidup selama 5 tahun berdasarkan spesifitas


stadium adalah sebagai berikut: (24)

Stadium 1A
Stadium 1B
Stadium IIA
Stadium IIB
Stadium IIIA
Stadium IIIB
Stadium IV

: 75%
: 55%
: 50%
: 40%
: 10-35%
: kurang dari 5%
: kurang dari 5%

Faktor-Faktor prognostik untuk NSCLC dan SCLC dapat disimpulkan


dalam tabel 5 dibawah ini.

Tabel 5: Prognostik faktor untuk kanker paru.(17)

21

BAB III
TERAPI TARGET KANKER PARU

Kanker paru adalah penyebab utama kematian akibat kanker diseluruh


dunia, dengan angka kematian hampir 1,4 juta per tahun. Dari 1,6 juta kasus baru
yang terdiagnosa per tahunnya, sekitar 220.000 didiagnosa di Amerika Serikat.
Secara keseluruhan terjadi penurunan insiden kanker paru pada laki-laki dan
perempuan namun kecenderungan ini hanya tercatat baru-baru ini di Amerika
Serikat. Bertolak belakang dengan hal tersebut pada banyak tempat diberbagai
belahan dunia jumlah kasus dan kematian akibat kanker paru malah meningkat.
Kanker paru juga menjadi penyakit pada orang tua, dengan rata-rata umur saat

22

didiagnosis sekitar 70 tahun. Kanker paru didiagnosis pada stadium lanjut pada
mayoritas pasien, yang akhirnya menjadi alasan utama tingginya kematian akibat
penyakit ini. Pendeteksian dini menjadi tujuan yang sulit untuk dipenuhi dan
sejumlah pasien yang didiagnosa penyakit pada stadium lokal sering tidak dapat
dilakukan operasi kuratif akibat penyakit komorbid.(1)
Kanker paru bersifat agresif dan pengobatannya tetap menjadi tantangan
di dunia medis. Terapi konvensional meliputi operasi, radioterapi dan kemoterapi
seperti yang telah dibicarakan pada bab sebelumnya. (5) Namun kemoterapi
memiliki keterbatasan dalam memperbaiki ketahanan hidup penderita kanker
paru.(25)

Dimana sekalipun telah memakai kemoterapi modern lini pertama

ataupun lini kedua respon ratenya masih rendah. Ketahanan hidup selama 5 tahun
oleh program Surveilance Epidemiologi and End Results (SEER) di Amerika
Serikat adalah 15% yang merupakan populasi terbaik yang tercatat. Rata-rata
ketahanan hidup di Eropa adalah 10%, tidak lebih baik dari 8,9% yang diamati
pada populasi negara berkembang. Informasi ini yang mengindikasikan bahwa
kemoterapi secara substansi belum mampu memberikan hasil jangka panjang
untuk sebagian besar pasien kanker paru pada dekade terakhir dan sepertinya hasil
ini menunjukkan bahwa kemoterapi telah mencapai hasil yang mendatar.(8) Oleh
karena itu dibutuhkan strategi lain yang harus dilancarkan untuk peperangan
melawan kanker paru.(25) Telah terjadi peningkatan besar dalam memahami
mekanisme molekuler yang mendasari kanker paru yang telah menyebabkan
berkembangnya diagnostik molekuler yang canggih dan cerita tentang terapi
target. Selain faktor klinis konvensional, keputusan pengobatan saat ini dapat
diambil berdasarkan pendekatan sub tipe molekular tumor minimal untuk subset
pasien dengan NSCLC.(1,26)
mengendalikan tumor pada pasien secara individual. Ini adalah jalan untuk
mengevaluasi strategi untuk memodulasi terapi target molekular untuk
pengobatan NSCLC. Selain pendekatan terapi target molekular, obat kemoterapi
baru dengan indeks terapi yang diinginkan juga telah dikembangkan. Hal ini
untuk meningkatkan kemampuan untuk membuat penyempurnaan terhadap

23

strategi terapi sistemik yang mapan dan membangun metoda baru untuk mencapai
kontrol penyakit.(1)
Penemuan dan pengembangan obat inhibitor molekul memiliki dampak
besar untuk pengobatan NSCLC. Pada dekade terakhir, 4 obat target molekul yang
telah disetujui untuk pengobatan kanker paru adalah: gefinitib (2002), erlotinib
(2003), bevacizumab (2006) dan crizotinib (2011). Ketahanan hidup 1 tahun untuk
kanker paru adalah 43% 2003-2006. Namun secara keseluruhan ketahan hidup 5
tahun untuk seluruh stadium masih rendah yaitu sekitar 16-17% untuk NSCLC
dan bahkan lebih rendah lagi untuk SCLC yaitu 6 %. Sekalipun ketahanan hidup 5
tahun dapat mencapai 53% bila pasien didiagnosa pada stadium dini, namun
hanya 15 % kasus yang ditemukan pada stadium dimana tumor masih terlokalisir.
(5)

A. Definisi dan Tujuan Terapi Target


Berdasarkan regulasi definisi terapi target adalah: obat dengan label
persetujuan mengacu pada tes spesifik yang dilakukan secara simultan
atau sebelumnya, sebelum pasien dapat dianggap memenuhi syarat untuk

menerima obat. (27)


Untuk banyak ilmuwan dan onkologis, terapi target didefinisikan sebagai
obat yang fokus pada mekanisme dengan kerja spesifik pada yang
didefinisikan sebagai target atau jalur biologik, yang bila di-inaktifkan

akan menyebabkan regresi atau perusakan proses ganas. (27)


Tujuan dari terapi target adalah untuk memperbaiki gejala dan
menyembuhkan penyakit dengan menekean molekul spesifik yang
terlibat dalam perkembangan dan progresifitas penyakit

B. Strategi Pengobatan Umum Kanker Paru


Sebagaimana pengobatan pada kanker lainnya, arah dasar pengobatan
kanker paru adalah berdasarkan tipe histologis dan stadium progresifitas
kanker. Khususnya, 2 tipe histologis yaitu small cell lung cancer dan non
small cell lung cancer merupakan faktor penting dalam protokol pengobatan
kanker paru. (4,5)
Pengobatan kanker paru ditunjukkan dalam guidelines pengobatan kanker
paru melalui metoda Evidence Based Medicine ( EBM)

2005 yang

24

dipublikasikan oleh the Japan Lung Cancer Society. Kaitan antara tipe
histologi dan stadium kanker paru diperlihatkan pada gambar 1. Oleh karena
itu pembedahan, radioterapi dan kemoterapi tidak diatur hanya berdasarkan
satu basis histologis dan stadium melainkan dengan berbagai agen kemoterapi
dan beberapa metode.(4)

Gambar 1: Kaitan antara tipe histologi dan stadium kanker paru dengan
pengobatan (4)
Saat ini, terapi target molekuler praktis hanya pada non small cell lung
cancer. Obat terapi target molekular hanya digunakan untuk NSCLC yang
inoperable (stadium III dan IV pada gambar 1) atau pada yang recurrent.
Dilain pihak, terapi target molekular tidak digunakan untuk SCLC olek
karena kurang efektifnya obat-obat terapi target pada jenis kanker ini. Untuk
SCLC kemoterapi dengan menggunakan obat-obat sitotoksik yang biasa
digunakan dan radioterapi adalah metoda yang efektif.(4,5)
C. Target Molekular
Teknik biologi molekular terkini telah mengalami kemajuan besar dalam
memahami biologi kanker. Penerapan teknologi serupa ini untuk penelitian
kanker paru telah melahirkan pengakuan bahwa kanker paru memiliki

25

beragam molekular yang berbeda dimana kesamaannya adalah bahwa


keberadaan mereka original di paru-paru. Klasifikasi kanker paru ternyata
lebih jauh dari sekedar pengklasifikasian sederhana yaitu NSCLC dan SCLC
yang sebelumnya dianggap mewakili populasi homogen tumor yang akan
menghasilkan luaran yang sebanding bila diterapi dengan cara yang sama.
Saat ini diakui bahwa pembagian histologis sub divisi kanker paru
berdasarkan mikroskop cahaya hanyalah satu dari sekian banyak manifestasi
fenotipe dari perubahan genetik yang mendasari perkembangan kanker paru.
(1)

Ada banyak heterogenitas molekular yang terlibat dalam kanker paru


seperti terlihat dalam gambar 2 dibawah ini.

gambar 2: Jalur sinyal yang terlibat dalam kanker paru-paru. (26)


1. Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR)
Perubahan receptor tyrosine kinase (RTKs) antara lain over
ekspresi, amplifikasi atau mutasi sepertinya menjadi peran kunci dalam
patogenesis kanker paru. Dalam beberapa tahun terakhir, perhatian
ditujukan kepada sesuatu yang disebut pengendali mutasi dalam
pembentukan tumor untuk penggunaan terapi target. Pengendali mutasi
tersebut antara lain EGFR dan anaplastic lymphoma kinase (ALK). (29)

26

EGFR Adalah anggota dari ErbB family dari sel surface receptor
tyrosine kinase (RTK). Family EGFR terdiri dari 4 jenis yaitu EGFR (or
ErbB-1), HER-2 (or ErbB-2), HER-3 (or ErbB-3), dan HER-4 (or ErbB4).
RTK merupakan protein yang terlibat dalam berbagai proses fisiologis
antara lain modulasi proliferasi sel, apoptosis, motilitas sel dan
neovaskularisasi, sehingga mampu menginduksi mekanisme penting yang
berkaitan dengan karsinogenesis.(5,28,29) Epidermal growth factor (EGF)
dan transforming growth factor (TGF)-

berikatan dengan EGFR

untuk dapat menimbulkan efek biologik dan efek mitogenik. Ligan yang
berikatan dengan EGFR menginduksi sub satuan reseptor dan
mengaktifkan RTK (kecuali HER-2) (gambar 3). Langkah ini selanjutnya
menyebabkan autofosforilasi reseptor, mulainya dua jalur transduksi
sinyal yaitu PI3KCA/AKTI/MTOR dan RAS/RAFI/MAP2KI/MAPKI
kinase yang akhirnya menimbulkan proliferasi sel, inhibisi apoptosis dan
angiogenesis.

Disregulasi jalur ini dapat menyebabkan pembentukan

tumor dan progresifitas kanker. Banyak tumor terutama NSCLC


memperlihatkan

peningkatan

ekspresi

EGFR-TK

atau

ligannya.

Overekspresi EGFR dilaporkan pada 40-80% kasus NSCLC. Beberapa


studi melaporkan bahwa kadar ekspresi EGFR berkaitan dengan buruknya
prognosis. (5,28,29)

27

Gambar 3: Jalur Sinyal EGFR. Akt = anti-apoptotic downstream cellular


kinase; PI3K= hosphatidylinositol 3 kinase; PKC = protein
kinase C; Grb2 = growth factor receptor bound protein-2; Sos
=son of sevenless; MAPK = mitogen-activated protein
kinase.(28)
Pendekatan pengobatan NSCLC dengan menginhibisi sinyal EGFR
berbeda dengan menggunakan kemoterapi sitotoksik yang biasa
digunakan. Dimana kemoterapi dapat mempengaruhi semua bagian sel,
sementara obat target EGFR secara selektif bekerja pada sel kanker
akibat terbatasnya peranan EGFR pada jaringan nonembrionik normal.
Obat

ini

selanjutnya

menjadi

potensial

dipertimbangkan

untuk

menurunkan toksisitas dibandingkan obat sitotoksik yang non spesifik.


(28).

EGFR mutasi spesifik antibodi


Prediktor respon yang poten dibutuhkan untuk membantu dokter
memprediksi pasien mana yang akan memiliki respon terhadap EGFR
TKIs. Prediktor ini digunakan untuk mencapai pengobatan yang

28

optimal disamping menghindari resistensi. Pada April 2011, the


American society of clinical oncology (ASCO) telah mengeluarkan
opini klinis sementara yang menyarankan memulai terapi lini pertama
dengan EGFR TKI haruslah berdasarkan tes mutasi EGFR yang
positif.(5)
Saat ini telah tersedia secara komersial pemeriksaan antibodi yang
mengenali dua mutasi EGFR yang paling sering yaitu delE746_A750
di exon 19 dan L858R di exon 21. Antibodi ini sukses mendeteksi
perubahan EGFR pada 51 dari 217 kasus adenokarsinoma dan 1 dari
217 squamous cell carcinoma. Namun ada kekhawatiran terbatasnya
tipe mutasi yang dapat dikenali tes antibodi dan praktis belum ada cut
of point yang tetap untuk menyatakan positif atau negatif, sehingga
diusulkan antibodi yang komersial mungkin lebih bermanfaat untuk
skrining awal. pada pasien yang baru didiagnosa dengan NSCLC
stadium lanjut. Mutasi EGFR lebih sering terjadi pada wanita asia
timur yang tidak merokok dan pada mereka yang ditemukan
histologinya adenokarsinoma (95% ditemukan pada adenokarsinoma)
sementara pada tipe kanker paru lainnya jarang terjadinya mutasi
EGFR yaitu 5% pada squamous cell carcinoma dan hampir tidak ada
pada large cell carcinoma .(5,30)

Total EGFR
Beberapa namun tidak semua studi menunjukkan bahwa jumlah gen
EGFR dikaitkan dengan signifikannya ketahanan hidup setelah teapi
dengan

TKI.

Meskipun

fakta

dari

sebagian

besar

studi

memperlihatkan tingginya jumlah kopi gen EGFR berkaitan dengan


respon yang lebih baik dan peningkatan keselamatan pada pasien
adenokarsinoma yang diterapi dengan EGFR TKI. Telah terjadi
perdebatan

berkaitan

dengan

kebenaran

nilai

prognostiknya.

Overekspresi dari total EGFR terlihat pada 40-80% tumor dari


berbagai sub tipe tumor paru, namun penggunaan overekspresi
sebagai prognostik marker tidak memperlihatkan keberhasilan.
Banyak studi yang menganjurkan pemeriksaan dengan dasar
imunohistokimia tidak memberikan prediktor kuat untuk menilai
29

respon terhadap terapi TKI. Studi dari Li et al selanjutnya


menekankan bahwa overekspresi EGFR adalah independen dari
mutasi EGFR. Dengan demikian total EGFR tidaklah berkorelasi
dengan EGFR mutasi, sehingga ini belum diterima sebagai marker
untuk pengobatan dengan EGFR TKI. (30)

2. EML 4- ALK
ALK tirosin kinase inhibitor reseptor telah mendapatkan banyak perhatian
akhir-akhir ini sebagai biomarker relevan yang baru dan terapi target pada
NSCLC. ALK adalah satu dari anggota keluarga reseptor insulin yang
berlokasi pada kromosom 2 dan mengkode suatu trans-membrane reseptor
tirosin kinase. Aktivasi ALK terutama melalui pembentukan fusi gen
(gambar 1). Translokasi EML-ALK adalah penata ulangan gen ALK
dinama yang tersering ditemukan. Kinase intraseluler domain ALK fusi
dengan N terminal dari EML 4 dan kemudian mengkode sitoplasmik
simerik protein dengan aktivitas kinase, yang selanjutnya mengendallikan
pertumbuhan tumor. penataulangan EML 4-ALK pada pasien NSCLC
terutama ditemukan pada pasien muda yang tidak merokok dengan
adenokarsinoma. Penata ulangan EML4+ALK saling eksklusif dengan
mutasi EGFR atau KRAS. Telah dilaporkan bahwa 2%-11% tumor positif
EML4-ALK yang jarang ditemukan pada squamous cell carcinoma
(SCC).(4,5,29,30)

3. KRAS
Mutasi KRAS merupakan prediktor negatif terhadap respon EGFR.
Terutama dihitung untuk resistensi primer. Sebagian besar mutasi KRAS
pada adenokarsinoma dikaitkan dengan rokok. Mutasi KRAS positif
terbatas pada NSCLC (terutama adenokarsinoma) dan secara mutual
eksklusif terhadap mutasi EGFR dan ALK. Dibeberapa negara, pasien
dengan mutasi KRAS dikeluarkan dari terapi EGFR TKI.(4,5,30)
4. Target potensial yang sedang dalam pengembangan.

30

Mammalian target of rapamycin (mTOR) dengan serin/threonine kinase


activity, sepertinya menjadi pencetus aktivasi jalur PI3K melalui ikatan
ligan dan akhirnya mengatur siklus sel. Pengembangan mTOR inhibitor
memberikan banyak peluang untuk menolong pasien dengan tumor padat.
Saat ini penelitian yang menggunakan inhibitor mTOR pada pasien
NSCLC telah mencapai fase I/II uji klinis baik sebagai monoterapi
maupun kombinasi. Inhibitor mTOR ini dikenal dengan nama sirolimus,
tensirolimus, everolimus dan lainnya.(5,30)
Amplifikasi fibroblas growth factor receptor 1 (FGFR 1), terutama
pada SCC (sampai dengan 20%)

dipertimbangkan menjadi target

potensial untuk pengobatan dengan FGFR1. Dy et al melaporkan dosis


terkait dengan kematian sel tumor (6 dari 9 garis sel kanker paru) karena
pengobatan Y15 (1,2,4,5-benzentetraamin tetra hydrochloride). Y15
adalah inhibitor bermolekul kecil dari focal adhesion kinase (FAK), yang
merupakan reseptor tirosin kinase. Mutasi di gen DDR2 kinase
diindikasikan menjadi pengendali SCC. (5,30)
D. Obat-Obat terapi target
Terapi target molekuler untuk kanker menggunakan obat-obat target molekul
yang menekan/menghambat fungsi dari biologi molekular yang terlibat dalam
patogenesis, progresifitas dan metastase kanker (gambar 4 dan gambar 5). (4)

31

Gambar 4: contoh terapi target molekular dan obat-obat target molekular pada
kanker. (4)

Gambar 5: Terapi target potensial relevan terhadap jalur sinyal NSCLC (8)
32

Obat-obat terapi target yang baru telah dibuat dan menjadi terapeutik
nyata. Obat-obat ini antara lain dapat dibagi menjadi beberapa tipe yaitu:
1. Terapi target EGFR
Ada 2 pendekatan utama untuk menginhibisi sinyal EGFR, yaitu:
a. Anti EGFR monoklonal antibodies (Mabs) (Cetuximab)
Monoklonal antibodi cetuximab adalah IgG1 Mab yang berikatan
secara

spesifik dan dengan

afinitas

tinggi terhadap bagian

ekstraseluler EGFR dan sebagai antagonis kompetitif, yang mencegah


ikatan ligan endogen. Blokade EGFR ini berdampak terhadap seluruh
fungsi seluler yang terlibat dalam biologi tumor seperti proliferasi sel,
ketahanan sel, perbaikan DNA, tumor angiogenesis, kematian sel dan
invasi sel. Internalisasi EGFR dapat menurunkan regulasi reseptor
surface dan menurunkan sinyal reseptor. Obat ini juga mengeluarkan
antibody-dependent cellmediated cytotoxicity (ADCC). Obat juga
berguna sebagai obat tunggal ataupun kombinasi dengan obat
kemoterapi lainnya. Diberikan sebagai dosis inisial infus 400 mg/m2
selama 2 jam. Pada hari pertama, minggu pertama dan minggu
selanjutnya infus selama 1 jam dengan dosis mulai minggu ke-2 dosis
diturunkan menjadi 250/m2 . kesemua EGFR antagonist ditoleransi
dengan baik dengan profil keamanan yang baik. Satu-satunya efek
samping yang penting adalah ruam kulit dengan derajat ringan sampai
sedang.(4,8)

Cetuximab sebagai monoterapi


Pada fase II studi cetuximab sebagai monoterapi pada recurrent
atau EGFR metastase yang terdeteksi pada pasien NSCLC dengan
1 atau lebih riwayat regimen kemoterapi menunjukkan 2 dari 9
(6,9%) menunjukkan respon parsial dan 5 pasien (17,2%) dengan
penyakit yang stabil.(31) Respon yang sama juga diperlihatkan
pada uji fase II selanjutnya pada pasien dengan stadium IIIB/IV
recurrent atau metastase. Studi menunjukkan bahwa cetuximab
ditoleransi dengan baik dengan rash sebagai keluhan toksik paling

sering.(32)
Cetuximab kombinasi dengan kemoterapi
33

Efikasi cetuximab dengan kemoterapi juga memperlihatkan


hasil yang baik. Pada fase 1 studi pada NSCLC lanjut 2 dari 19
pasien (10,5%) menerima dosis multi yaitu cetuximab ditambah
cisplatin yang memperlihatkan respon parsial.(33) Suatu uji acak
terkontrol pada pasien stadium lanjut yang belum diterapi
sebelumnya, EGFR memperlihatkan NSCLC memberikan tingkat
respon yang tinggi untuk regimen cetuximab plus cisplatin plus
vinorelbine dibandingkan dua obat saja (31,7% vs 20 %). (34) Pada
studi lainnya, cetuximab kombinasi dengan docetaxel pada
kemoterapi refraktori /NSCLC resisten memperlihatkan 28%
respon

parsial

dan

17%

penyakit

stabil.(35)

Cetuximab

ditambahkan ke paclitaxel plus carboplatin atau gemcitabine plus


carboplatin pada NSCLC yang belum diterapi menunjukkan
tingkat respon 26% dan 28,6% masing-masingnya.(36)
Cetuximab memperlihatkan toleransi yang baik disemua uji
klinis hingga sekarang. Efek samping pengobatan yang muncul
pada sebagian besar pasien adalah rash menyerupai jerawat yang
bersifat self limiting yang secara umum muncul pada 2 dan 3
minggu pertama. Rash stabil atau sembuh dengan melanjutkan
terapi dan menghilang dengan sempurna tanpa sikatrik ketika
pengobatan

dihentikan.

Munculnya

rash

pada

pemakaian

cetuximab mencerminkan distribusi EGFR yang luas di epitel


jaringan, dan sejumlah penelitian telah melaporkan kaitan antara
rash dan respon terhadap cetuximab. Yang jarang adalah reaksi
yang masuk ke dalam yang terjadi pada beberapa pasien. Reaksi
ini secara umum adalah respon pengobatan dengan kortikosteroid,
antihistamin dan bronkodilator dengan pemberian sendiri-sendiri
atau kombinasi dan jarang bersifat fatal (<1 dalam 1000). (8)
Namun obat kelas ini pengobatannya hanya dengan menghambar
ligan-aktivasi tergantung pada EGFR dan tidak menghambat
autofosforilasi domain tirosin kinase melalui aktivasi konstitusi.
Mutasi-mutasi masih dapat mengaktifkan jalur diujung dan dapat

34

terjadi progresifitas siklus sel upregulasi, pertumbuhan sel dan


angiogenesis. (30)
b. Menghambat aktivitas tirosin kinase intraseluler dengan molekul
kecil TKI.
Molekul kecil Tki adalah kelas lain dari terapi target EGFR. Dapat
diberikan per oral dengan onset yang cepat dan potensialnya utnuk
penetrasi ke tumor lebih baik dibandingkan mAbs. Yang termasuk
kelompok obat ini adalah gefitinib dan erlotinib. Keduanya
memperlihatkan aktivitas terhadap NSCLC. Pada studi pre klinik
semua obat ini menginhibisi pertumbuhan EGFR dan menunjukkan
efek inhibis pertumbuhan yang sinergis ketika dikombinasi dengan
obat kemoterapi atau radioterapi.(8)
Gefitinib
adalah suatu anilinoquinazolin yang merupakan TKI selektif untuk
EGFR yang dievaluasi pada NSCLC. Aktif secara oral dan diberikan
sekali sehari.(13,37)
Gefitinib monoterapi: 2 uji randomised double blind gefitinib
monoterapi dengan dosis 250 mg perhari atau 500 mg yang
diberikan pada pasien dengan NSCLC stadium lanjut yang
sebelumnya telah mendapat regimen kemoterapi,

the Iressa

Dose Evaluation in Advanced Lung Cancer (IDEAL)-1 and


IDEAL-2 memperlihatkan respon objektif 10 %-19%. Pada
kedua studi terjadi perbaikan gejala pada 35-43% pasien.
Sekalipun tidak ada perbedaan efikasi yang signifikan yang
ditemukan antara dosis 250 mg dan 500 mg sehari. Efek
samping yang terjadi lebih sering muncul pada dosis yang lebih
tinggi.

(38,39)

Pada studi pertama, efikasi yang lebih besar

ditemukan di pasien berkebangsaan Jepang dibandingkan pasien


non jepang (27,5% vs 10,4%). (38)
Hasil dari studi multisenter random fase III yang meneliti
gefitinib pada NSCLC lanjut yang refrakter, yaitu penelitian the
Iressa

Survival

Evaluation

in

Lung

Cancer

(ISEL).

Berkesimpulan bahwa gefitinib tidak memberikan manfaat


ketahanan hdup yang signifikan diatas supportive care dari

35

seluruh total populasi pasien penelitian.(40) Namun ketahanan


hidup yang signifikan dapat diobservasi pada sub populasi
spesifik pasien keturunan asia (n=342; rata bertahan hidup 9,5
vs 5,5 bulan) dan pasien tanpa riwayat merokok (n=375; ratarata bertahan hidup 8,9 vs 6,1 bulan).
menilai

gefitinib

menunjukkan

pada

respon

pasien

pada

(40).

3 uji fase II yang

dengan

55-75%

EGFR

pasien.(37)

mutasi,
Penelitian

INTEREST mencoba membandingkan secara langsung gefitinib


dibandingkan

kemoterapi

pada

pasien

stadium

lanjut

NSCLCyang sebelumnya mengalami kemajuan dengan terapi


berbasis platinum. Pada fase III studi dari 1433 pasien dirandom
untuk

menerima

docetaxel

atau

gefitinib.

Uji

korelasi

menyatakan tidak ada manfaat ketahanan hidup pada pasien


dengan amplifikasi EGFR yang diterapi dengan gefitinib
dibandingkan docetaxel.(41)
Selanjutnya untuk lebih mengerti gambaran klinikopatologi
vs selektif molekular, fase III penelitian IPASS menggunakan
beberapa kriteria klinikopatologi untuk mengidentifikasi pasien
yang akan mendapatkan manfaat dari terapi gefitinib. Penelitian
multisenter ini (yang dilakukan di Asia timur) mencakup
kemoterapi

naive,

tidak

pernah

merokok

dengan

adenokarsinoma paru. Total 1217 pasien dirandom untuk


mendapatkan gefitinib atau carboplatin paclitaxel. Ternyata
didapatkan progression free survival (PFS) lebih tinggi pada
kelompok yang diterapi dengan gefitinib (HR 0,74, 95% CI
0,65-0,85 p<0,001). Dalam analisis subset pasien dengan EGFR
mutasi akan memiliki PFS yang lebih tinggi bila diterapi dengan
gefitinib, sementara pasien dengan EGFR tipe wild PFS lebih
tinggi bila diterapi dengan kemoterapi. Ini adalah studi pertama
menjelaskan identifikasi status mutasi sebagai faktor marker
prediktif yang penting untuk terapi EGFR-TKI. (42)
Selanjutnya pada uji fase III yang dilakukan di Jepang
(WJTOG3405) yang mengikutkan hanya pasien dengan

36

kemoterapi naive untuk NSCLC stadium lanjut dengan


menyembunyikan mutasi EGFR. Pasien dirandom untuk
mendapatkan gefitinib atau cisplatin-docetaxel. Endpoin primer
dari studi adalah PFS, dan dari 177 pasien yang dirandom,
kelompok gefitinib signifikan memiliki PFS yang lebih panjang
(9,2 vs 6,3 bulan, p<0,0001). Kelompok docetaxel cisplatin
meningkatkan

mielosupresi,

alopecia,

fatig,

sementara

kelompok gefitinib meningkat toksisitas kulit, disfungsi hati dan


diare. Studi ini selanjutnya mendukung penggunaan gefitinib
pada populasi terpilih. (37)

Gefitinib kombinasi dengan regimen kemoterapi.


Dua double-blind, placebo-controlled trials, the Iressa
NSCLC Trial Assessing Combination Therapy (INTACT)-1 and
INTACT-2 trials mengevaluasi apakah penambahan gefitinib
kedalam gemcitabine plus cisplatin atau paclitaxel plus
carboplatin

memberikan

efikasi

klinis

tambahan

dalam

mengkometerapi pasein naive NSCLC stadium lanjut. Keduanya


mengindikasikan tidak ada manfaat gefitinib dalam tingkat
respon objektif atau ketahanan hidup. Satu potensi yang
dijelaskan dari kegagalan gefitinib untuk memberikan manfaat
adalah terjadinya kehilangan efikasi obat sitotoksik secara
langsung ataupun tidak langsung akibat perubahan ekspresi
EGFR. (8,37)
Erlotinib
Seperti halnya gefitinib, erlotinib diberikan secara oral,

Erlotinib sebagai monoterapi.


Fase II studi erlotinib 150 mg perhari pada 57 pasien
NSCLC stadium lanjut memperlihatkan respon komplit pada 4%
pasien dan parsial respon pada 9% pasien. Rata-rata overall
survival (OS) 8,4 bulan dengan 40% tingkat ketahanan hidup 1
tahun. Pasien dengan ruam kulit ketahanannya signifikan lebih
37

tinggi, diduga ruam kulit adalah marker potensial respon erlotinib.


Respon erlotinib lebih baik ditemuakan pada bukan perokok
(37%) dan adenokarsinoma dengan gambaran karsinoma sel
bronkoloalveolar(.43)
Percobaan The subsequent National Cancer Institute of
Canada Clinical Trials Group (NCLC-CTG) BR 21 merandom
731 NSCLC stadium lanjut yang menerima satu atau dua regimen
kemoterapi sebelumnya untuk selanjutnya menerima erlotinib dan
plasebo, hasilnya terjadi perbaikan dengan terapi erlotinib dengan
respon rate (RR) (8,9% vs <1% )p<0,001) dan median OS (6,7 vs
4,7 bulan, p<0,01). Lebih lanjut gejala seperti batuk, sesak nafas
dan nyeri yang disebutkan sebagai perbaikan kualitas hidup
ditemukan pada kelompok terapi dengan erlotinib. Analisa
multivariat

menilai

gambaran

klinikopatologi

histologi

adenokarsinoma, tidak pernha merokok dan ekspresi EGFR


berkaitan dengan respon. (8,37)
Pada percobaan BR 21, evaluasi molekular ekspresi EGFR
dengan IHC, FISH atau analisis mutasi tidak menunjukkan
keuntungan ketahanan hidup yang signifikan melalui analisa
multivariat. Percobaan prospekti

EGFR mutasi skrining yang

dilakukan oleh the Spanish Lung Cancer Group, dari total 2105
pasien NSCLC stadium lanjut, mutasi EGFR terlihat pada 350
pasien (16,6%). 217pasien yang dievaluasi

memperlihatkan

mutasi EGFR dan selanjutnya diterapi dengan erlotinib, dimana


PFS dan OS adalah 14 bulan dan 27 bulan masing-masingnya.
Mutasi EGFR lebih sering terjadi pada wanita (69,7%), tidak
pernah merokok (66,6%) dan pasien dengan adenokarsinoma
(80,9%). Mutasi exon 19 lebih sering daripada mutasi L858R
(62,2% vs 37,8%). Pada analisis multivariat ditemukan asosiasi
PFS yang buruk dengan jenis kelamin laki-laki (HR 2,94, 95% CI
1,72-5,03, p<0,001) dan adanya mutasi L858R (HR 1,92, 95% CI
1,19-3,10, P=0,02). (44)

38

Manfaat erlotnib sebagai monoterapi telah diteliti melalui


beberap subset pasien dengan NSCLC lanjut. Dari sebuah analisis
pasien berumur lebih dari 70 tahun yang diikutkan dalam NCICCTG BR 21, sepertinya pada orang tua juga mendapatkan PFS
dan OS yang sama dengan terapi erlotinib. Analisis prospektif
erlotinib monoterapi terutama telah dilakukan pada pasien
kemoterapi naive berumur 70 tahun atau lebih. Pada 88 pasien,
median overall survival (OS) adalah 10,9 bulan. Terapi erlotinib
juga telah dilakukan pada pasien dengan performance status (PS)
yang buruk. Sekalipun hanya pasien dengan The Eastern
Cooperative Oncology Group (ECOG) PS 0-1 yang diikutkan
pada NCIC-CTG BR 21, pasien dengan PS 2 dinilai secara
terpisah. Dengan menggunakan sistem random, disain fase II,
pasien tanpa pengobatan sebelumnya untuk penyakit stadium
lanjut menerima erlotinib atau kemoterapi berbasis platinum.
Perbaikan yang signifikan dengan median OS ditemukan pada

pasien yang dikemoterapi (9,7 vs 6,5 bulan, p=0,018; ref 85).(37)


Erlotinib kombinasi dengan kemoterapi
Sampai saat ini, penelitian pada populasi yang tidak selektif
mendapatkan kombinasi erlotinib dan kemoterapi hasilnya
mengecewakan. Pada fase III studi TALENT,

pasien dengan

NSCLC stadium lanjut dirandom untuk mendapatkan cisplatin


dan gemcitabine dengan erlotinib atau plasebo. Pada studi ini
tidak ada perbedaan respon rate (RR), lamanya progresifitas, dan
median OS.(45) Percobaan TRIBUTE mencoba disain yang sama
pada 1059 pasien dengan NSCLC stadium lanjut, namun dengan
menggunakan dosis ganda carboplatin dan gemcitabine. Sekali
lagi tidak ada perbaikan OS yang dapat diamati pada studi ini.
Aktifitas sinyal terlihat pada pasien dengan karakteristik tidak
pernah merokok, dimana manfaat ketahanan hidup didapat
dengan terapi erlotinib (22,5 vs 1,01 bulan).(46) Oleh karena itu
manfaat kombinasi kemoterapi dengan erlotinib masih diragukan
hingga sekarang.

39

Selanjutnya, erlotinib telah diteliti manfaat terapinya pada


studi fase II SATURN. Dimana pasien yang telah lengkap
kemoterapi 4 siklus untuk NSCLC stadium lanjut menerima
erlotinib atau plasebo. Dapat diamati manfaat pada PFS dengan
erlotinib manintenance (HR 0,71, 95% CI 0,62-0,82, p<0,0001).
(47)

2. Target angiogenesis dan proliferasi sel yaitu anti vascular endothelial


growth factors (VEGF)
a. Antibodi monoklonal
Bevacizumab
Merupakan antibody monoklonal dengan spesifik untuk
VEGF, yang telah memperlihatkan perbaikan luaran klinik dengan
spektrum luas untuk malignansi, termasuk kanker payudara,
multiforme glioblastoma, carcinoma colon, dan carcinoma
ovarium.

Sejumlah

studi

telah

mensupport

penggunaan

bevaxizumab pada NSCLC. Penelitian fase II memperlihatkan


perbaikan respon rate (RR:31,5% vs 18%), dan median OS (OS:
17,7 vs 14,9 bulan) dengan penambahan bevacizumab pada
kemoterapi carboplatin dan paclitaxel. Percobaan fase III the
Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) 4599 merandom
878 pasien untuk mendapatkan carboplatin-paclitaxel dengan atau
tanpa bevacizumab, pasien dengan riwayat squamous cell
dieksklusi

karena

meningkat

risiko

terjadinya

perdarahan

pulmonari. Pasien dengan NSCLC stadium lanjut atau rekuren non


squamous menerima 6 siklus kemoterapi. Pada pasien yang
menerima bevacizumab, pengobatan diberikan sebagai terapi
maintanance setelah kemoterapi lengkap sampai ada bukti
progresifitas penyakit atau efek samping yang tidak dapat ditolerir.
sama dengan penelitian fase II OS perbaikan dengan penambahan
bevacizumab (12,3 vs 10,3 bulan, p=0,003). Publikasi ECOG 4599
ditandai sebagai laporan pertama dari uji random fase III dimana
ketahanan hidup meningkat hingga 1 tahun pada kasus NSCLC

40

metastase. Kriteria eksklusi pada studi ini antara lain metastase ke


otak, histologi squamous cell dan adanya hemoptisis. (37)
Beberapa studi bertujuan untuk meneliti efikasi platinum
double dalam kombinasi dengan bevacizumab. Fase III AVAIL,
percobaan yang membandingkan cisplatin dan gemcitabine dengan
placebo atau dosis rendah bevacizumba (7,5mg/kg) atau dosis
tinggi (15 mg/kg) bevacizumab. Hasilnya dari 1043 pasien yang
diikutkan dan selama follow up sejauh ini tidak cukup untuk
menilai

OS.

Namun

publikasi

hasil

penelitian

studi

ini

menyebutkan adanya indikasi perbaikan PFS dengan dosis tinggi


bevacizumab (6,7 bulan vs 6,1 bulan, p=0,003) dibandingkan
dengan plasebo dan dosis rendah bevacizumab dibandingkan
plasebo ( 6,5 vs 6,1 bulan, p= 0,03). Penggunaan 2 tingkat dosis
bevacizumab menghasilkan efikasi yang sebanding, hal ini
akhirnya menimbulkan kontroversi tentang kadar berapa yang
mewakili pendekatan yang optimal. Platinum double lainnya juga
menjanjikan dalam kombinasi dengan bevacizumab. Misalnya
penelitian fase II untuk kombinasi carboplatin, pemetrexed dan
bevacizumab (dilaporkan RR 55%) telah menolak usaha penilaian
3 kombinasi obat fase III. (37)
Sejumlah usaha berfokus untuk mengidentifikasi sub group
pasien yang mungkin mendapat manfaat bevacizumib dalam
kemoterapi. Studi biomarker menyertain studi ECG 4599 yang
menyatakan adanya singel nucleotide polimorphism pada VEGF,
EGF, intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan WNK lysine
deficient protein kinase (WNK-1) dapat memprediksi respon. Sama
dengan keganasan lainnya (kanker payudara atau kanker pankreas),
hipertensi yang muncul dianggap sebagai biomarker manfaat klinik
befacizumab. Pasien peserta studi ECOG 4599 yang mengalami
hipertensi dengan terapi bevacizumib mengalami perbaikan OS
yang signifikan tinggi dibandingkan pasien yang tidak mengalami
hipertensi (hazard ratio (HR) 0,60, 95% CI 0,43-0,81; p=0,001; ref
18).(37)

41

Aflibercept
Merupakan antibodi monoklonal yang dibangun dari
domain yang dicakup dalam VEGFR1dan VEGFR2 dengan
afinitas tinggi untuk VEGF. Fase 1 uji klinis aflibercept
memperlihatkan toksisitas yang bergantung dosis yaitu ulserasi
rektum dan proteinuria pada dosis 7 mg/kg bb intravena setiap 2
minggu, selanjutnya dosis 4 mg/kg BB menjadi dosis tetap yang
direkomendasikan pada fase II. Pada studi ini (47 pasien dengan
tumor solid stadium lanjut), ditemukan ada 3 respon resisten. Pada
uji klinis fase II pasien sebelumnya telah diterapi dengan
kemoterapi berbasis platinum dan erlotinib, ada 33 safety data
pasien. Oleh karena itu selanjutnya dosis 4 mg/kgBB intravena
setiap 2 minggu aman dan dapat ditoleransi tanpa hemoptisis yan
signifikan. Yang sedang diusahakan saat ini adalah mengeksplorasi
peranan aflibercept pada kanker paru kombinasi dengan platinum
based ganda dan obat tunggal docetaxel.(37,48)

b. Molekul kecil tirosin kinase inhibitor


Sunitinib
Obat target molekul kecil inhibitor sunitinib memiliki membran
reseptor yang luas, mencakup VEGF receptor (VEGFR)-1,
VEGFR-2, fetal liver tyrosine kinase receptor 3 (FLT3), stem cell
factor receptor (SCF receptor, or KIT), platelet-derived growth
factor receptor-alpha (PDGFR-alpha), and PDGFR-beta. Obat ini
telah disetujui untuk renal cell carcinoma (RCC) berdasarkan data
fase II. Pada NSCLC, studi fase II pasien yang gagal dengan
kemoterapi berbasis platinum secara keseluruhan menghasilkan RR
11,1% dengan sunitinib, sebanding dengan obat lain yang disetujui
untuk

lini

kedua

terapi

(contohnya

docetaxel,

erlotinib,pemetrexed). Percobaan yang menilai kombinasi sunitinib


dengan terapi sitotoksik sedang berlangsung, contohnya kombinasi

42

cisplatin dan gemcitabine dengan sunitinib sepertinya dapat


ditolerir.

Sorafenib.
Sorafenib memiliki afinitas membran respon yang luas, antara lain
VEGFR-2, VEGFR-3, KIT dan FLT-3. Berdasarkan data fase III,
sekarang penggunaannya disetujui untuk hepatoseluler karsinoma
dan RCC metastasis, peranan sorafenib dalam NSCLC sedang
dalam penelitian. Dalam studi window opportunity pasien yang
sebelumnya tidak diterapi dengan terapi NSCLC metastase diterapi
dengan sorafenib, dosis 400 mg 2 kali sehari. Pada studi ini pasien
diperiksa tiap minggu selama siklus 4 minggu, dan mereka yang
memperlihatkan progresifitas menerima kemoterapi standar. Dari
25 pasien yang didaftar, median PFS adalah 29 bulan dan secara
keseluruhan RR adalah 12%. Studi didisain menjadi 2 stadium,
namun tidak ditemukan kriteria efikasi stadium 1 untuk diproses
memasuki fase II.
Penelitian fase III ESCAPE menilai kombinasi carboplatin dan
paclitaxel dengan atau tanpa sorafenib. Namun sayangnya dari
analisis menyatakan tidak ada perbaikan OS dan kemungkinan
peningkatan mortalitas pada pasien dengan histologi squamous.
Percobaan Nexus juga mencoba memeriksa penggunaan terapi
sorafenib, ini merupakan percobaan random fase III yang
membandingkan cisplatin dan gemcitabine dengan sorafenib vs
plasebo. Pasien mendapatkan 6 siklus terapi dengan maintenance

sorafenib versus plasebo setelah kemoterapi.


Vandetanib
Vandetanib adalah dual TKI target VEGFR2 dan EGFR, meskipun
aktivitasnya kemungkinan dimediasi terutama melalui VEGFR-2.
Terapi tunggal vandetanib telah dinilai pada studi jepang suatu
studi random, double blind-blind dose-finding trial. Pada studi ini
diidentifikasi dosis vandetanib pada dosis 100, 200 dan 300 mg
menimbulkan RR 17,6%, 5,6 % dan 16,7% masing-masingnya.
Yang terbaru bahwa vandetanib monoterapi telah dibandingkan

43

dengan carboplatin-paclitaxel dan carboplatin-paclitaxel plus


vandetanib sebagai terapi lini pertama. Dalam randomisasi 2:1:1,
pasien menerima vandetanib, vandetanib dengan kemoterapi atau
kemoterapi saja. Dalam suatu analisis disebutkan bahwa vandetinib
tunggal tidak memperlihatkan perbaikan PFS dibandingkan
kemoterapi saja. Kesimpulannya tidak ada perbaikan FPS atau OS
yang terlihat dengan penambahan vandetanib ke dalam carboplatin

paclitaxel.
Pazopanib
Sama dengan sunitinib, sorefanib dan vandetanib, pazopanib
merupakan multi target tirosin inhibitor yang memperlihatkan
aktivitas terhadap NSCLC, target VEGFR-1, 2 dan 3, PDGFRalpha dan beta dan c-kit. Percobaan neo adjuvan pazopanib pada
stadium I-II NSCLC menggunakan volumetric reduction melalui
CT untuk mengevaluasi respon. Menggunakan pendekatan ini,
penurunan volume tumor terlihat pada 20 dari 26 pasien (87%). 3
pasien mendapatkan respon parsial dengan kriteria RECIST. Pasien
menerima 2 sampai 6 minggu terapi pazopanib. Kesuksesan
VEGFR-TKI dimasa depan mungkin akan terjadi dengan
pemahaman yang lebih baik dari pemilihan pasien dan target obat
ini.

3. Translokasi ALK-induksi NSCLC.


PF-02341066 memperlihatkan molekul kecil inhibitor dari domain MET
tirosin kinase domain. namun aktivita PF-02341066 tidak hanya
menginhibisi MET tetapi juga ALK. Beberapa gambaran yang dikaitkan
dengan fusi EML-ALK antara lain tidak pernah merokok, jenis kelamin
laki-laki, usia muda, adenocarcinoma (khususnya dengan histologi
acinar), dan kurangnya mutasi EGFR atau KRAS. Fusi ini terjadi pada 38% pasien dengan histologi adenokarsinoma, frekuensi dapat meningkat
melalui tambahan beberapa gambaran klinis. Dalam analisis 141 pasien
yang terpilih dengan keberadaan 2 atau 4 kriteria klinis (jenis kelamin
wanita, orang Asia, tidak pernah merokok atau riwayat merokok yang

44

tidak jelas dan histologi adenokarsinoma), fusi EML4-ALK terjadi pada


19 pasien (13 %).
.
4. IGF-IR-Targeting Therapies
Konsep aktivasi IGF-IR adalah melalui mekanisme sinyal langsung Erb-B
pada beberapa keganasan. Pada kasus NSCLC, peningkatan ekspresi IGFIR terjadi pada 70% pasien, dan dapat berkorelasi dengan prognostik
marker. IGF-IR sendiri mungkin merupakan prognostik marker. Agen
target IGF-IR antara lain CP-751,871, merupakan antibodi monoklonal
yang diniilai pada study random fase II dimana pasien belum mendapat
terapi sebelumnya untuk NSCLC stadium lanjut. Pasien menerima
carboplatin dan paclitaxel dengan atau tanpa CP-751,871. Dengan 156
pasien yang dirandom, tercatat sejumlah RR diantara pasien yang
menerima anti bodi. IMC-A12 adalah monoklonal antibodi yang
memperlihatkan aktifitas pada tumor padat pada uji fase I. Obat ini dan
lainnya seperti

19D12, EM164, R1507, and AMG47 dapat berperan penting

dalam terapi NSCLC. Beberapa molekul kecil inhibitor domain IGF-IR tirosin
kinase saat ini dalam pengembangan klinik dalam kombinasi dengan
kemoterapi dan EGFR-TKI.

5. mTOR inhibitor
mTOR oral everolimus inhibitor memperlihatkan aktivitas pada VEGFTKI refrakter metastatik RCC. Namun data fase 1 evorilimus
menunjukkan aktivitas sinyal pada NSCLC. Namun data fase II yang
mengevaluasi everolimus monoterapi mengecewakan. Pada Simon twostage design, studi tidak dilanjutkan pada tahap II karena hasil yang
buruk. Sekalipun everolimus monoterapi tidak memberikan hasil yang
menjanjikan , data awal telah tersedia dari studi yang menilai kombinasi
obat dengan erlotinib atau gefitinib.
6. COX-2 inhibitor
Pada model pre klinik, diamati bahwa inhibisi COX 2 dapat merangsang
interferon (IFN)-gamma-dependent antitumor immunity. Dengan rasional
ini, peranan COX-2 inhibitor dalam NSCLC stadium lanjut sedang
dievaluasi dalam beberapa studi. Beberap penelitian berskala besar telah
mengevaluasi peranan COX-2 inhibitor celecoxib dalam NSCLC. Pada

45

penelitian fase II menggunakan randomisasi 2x2 untuk gemcitabineirinotecan atau docetaxel-irinotecan dengan atau tanpa celecoxib. Hanya
133 pasien yang dapat dinilai pada penelitian ini. Interpretasi dari hasil
studi menjadi tantangan. Namun ketahanan hidup dengan celecoxib
bernilai rendah (6,31 vs 8,99 bulan).
7. HDAC inhibitor
Laboratorium menduga sinergis antara HDAC inhibitor dan kemoterapi
berbasis platinum. Data ini didukung oleh studi random fase II yang
membandingkan carboplatin-paclitaxel dengan atau tanpa HDAC
inhibitor vorinostat. Dengan 94 pasien yang diikutkan memperlihatkan
RR yang signifikan tinggi secara keseluruhan (34% vs 12,5%, p=0,02)
yang diamati dengan penambahan vorinostat. Kecenderungan perbaikan
PFS (6,0 vs 4,1bulan, p=0,48) dan OS (13,0 vs 9,7bulan, p=0,17) juga
ditemukan.
8. Arah masa depan
Dengan perkembangan list terapi target untuk tumor, menigkat sejumlah
tantangan. Pertama, dibutuhkan data untuk mengetahui kombinasi
rasional obat-obatan ini. Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya yang mengkombinasi obat sitotoksik dengan terapi target,
sinergi tidak selalu dapat diprediksi dari model preklinik dan
membutuhkan validasi klinik. Sejumlah studi telah menilai per mutasi
dari antiangiogenik, EGFR TKI danCOX-2 inhibitor memberikan variasi
yang luas pada NSCLC sebagai mana diperlihatkan pada tabel 6 dibawah.
Diluar kombinasi yang optimal, dibutuhkan usaha lebih untuk
menemukan biomarker yang dapat memprediksi respon terapi target.
BATTLE studi mempresentasikan randomisasi pasien untuk terapi target
(sorafenib, erlotinib, vandetinib atau erlotinib-bexarotene) dengan dasar
prediktor multipel molekular antara lain mutasi KRAS, mutasi EGFR,
mutasi BRAF dan lain-lain). Dengan total 255 pasien yang dirandom,
kontrol penyakit rata-rata 8 minggu adalah 46%. Median OS adalah 9
bulan dan ketahanan hidup 1 tahun adalah 39 %. Kontrol penyakit yang
lebih baik dapat diamati pada (1) mutasi EGFR pada terapi erlotinib (2)

46

cyclin D1 positive dan EGFR FISH amplifikasi dengan bexacarotene dan


erlotinib, (3) VEGFR2 IHC-positif dengan terapi vandetinib dan (4) tidak
adanya mutasi EGFR atau polisomi tinggi dengan sorafenib, LCMC
berkolaborasi

dengan

14

akademik

menskrining

pasien

dengan

adenokarsinoma paru untuk mengetahui mutais dan menemukan mutasi


baru. LCMC berencana memeriksa genotipe 1000 pasien dengan
adenokarsinoma paru stadium lanjut untuk menemukan mutasi yang
penting.
Melihat perkembangan diatas, MET/ALK inhibitor dan obat yang
bekerja langsung pada T790M mutasi EGFR sepertinya strategi
menjanjikan untuk menghindari resisten. Berkaitan dengan gambar 4 dan
5 ada beberapa terapi target yang perlu dieksplorasi misalnya inhibisi
PI3K dan atau sinyal AKT yang menjanjikan untuk keganasan lain dan
mungkin berperan penting dalam terapi NSCLC.
Tabel 6: Beberapa Penelitian yang mengkombinasi Terapi Target.

47

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Terapi target molekular merupakan terapi baru yang spesifik
menghambat aktifitas kanker.
2. Obat-obat terapi target baru dapat diberikan berdasarkan strategi
seleksi pemilihan pasien dengan mutasi positif.
3. Pengobatan dengan EGFR TKI pada pasien dengan mutasi positif
mencapai respon rate 50%-75% .
48

4. Fenomena terapi target terutama ditemukan pada jenis NSCLC


adenocarcinoma.
5. Terapi target saat

ini

secara

keseluruhan

belum

dapat

menggantikan peranan kemoterapi standar untuk kanker paru.


B. Saran
Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menemukan terapi target
yang poten dan biomarker yang dapat memvalidsai optimisme lebih
terhadap terapi target.

DAFTAR PUSTAKA

1. Suresh S, Ramalingam, Taofeek K, Owonikoko, Fadlo R., Khuri M. Lung


Cancer: New Biological Insight and Recent Therapeutic Advances. CA
Cancer J Clin 2011;61:91-112.
2. Cagle PT, Lucian R, Chirleac R. Advances in Tretment of Lung Cancer
with Targeted Therapy. Arch Pathol Lab Med 2012;136: 504-509.
3. Chung-man J. Targeted Therapy for Non small Cell Lung Cancer. The
Hongkong Medical Diary 2011;3:19-21.
4. Hiromi O. Trends in Molecular Target Therapy for Lung Cancer. Quarterly
Rev Science and Technology Trends 2011;38: 9-22.
5. Wu K, House L, Liu W, Willian CS, Cho. Personalized Targeted Therapy
for Lung Cancer. Int J Mol Sci 2012;13:11471-11496.
49

6. World Health Rankings. Indonesia Lung Cancer. Available in:


http://www.worldlifeexpectancy.com/indonesia-lung-cancers

7. Cancer Global Footprint. Available in: http://globalcancermap.com/


8. Behera D. New Approach to the Treatment of Lung Cancer: The
Molecular Targeted Therapy. The Indian journal of Chest Disease
2007;49:149-158.
9. Carney D, Byrne KO, Pomeroy M, Young V, Toner S, ODea P. Dalam:
Walker A, editors. Texbook of Understanding Cancer of The Lung. 2011:749.
10. Centers for Disease Control and Prevention. Lung Cancer: What are the
Risk

Factor.

Available

in:

http://www.cdc.gov/cancer/lung/basic_info/risk_factors.htm.

11. Cancer Research UK. Lung Cancer Risk Facotor. Available in:
http://www.cancerresearchuk.org/cancerinfo/cancerstats/types/lung/riskfactors/

12. Molina JR, Yang P, Stephen D, Steven E, Alex A, Adjei. Non Small Cell
Lung Cancer: Epidemiology, Risk Factor, Treatment and Survivorship.
Mayo Clin Proc.2008;83:584-594.
13. Papaetis GS, Roussos C, Syrigos KN. Targeted Terapies for Non Small
Cell Lung Cancer. Current Pharmaceutical Design 2007; 13: 1-22
14. Roy S, Herbst, Jhon V, Heymach, Scott, Lippman. Lung Cancer. The New
Eng J Med 2008;359:1367-1380.
15. American Cancer Society. Lung Cancer (Small Cell) Overview. Available
in:
http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/00
3061-pdf.pdf

16. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of Patients with


Lung Cancer. A National clinical guideline 2005: 1-43.
17. National Collaborating Centre for Cancer. The diagnosis and Treatment of
Lung Cancer (update). Full guideline 2011: 1-198.
18. Lad T, Piantadosi S, Thomas P, Payne D, Ruckdeschel J, Giaccone G.A
prospective randomized trial to determine the benefit of surgical resection
of residual disease following lresponse of small cell lung cancer to
combination chemotherapy. Chest 1994;106:320S-3S.
19. International Adjuvant Lung Cancer Trial Collaborative Group. Cisplatinbased adjuvant chemotherapy in patients with completely resected nonsmall-cell lung cancer. N Engl J Med 2004;350:351360.

50

20. Winton T, Livingston R, Johnson D, et al. National Cancer Institute of


Canada Clinical Trials Group,National Cancer Institute of the United
States Intergroup JBR. 10 Trial Investigators. Vinorelbine and cisplatin vs.
observation in resected non-small-cell lung cancer. N Engl J Med
2005;352:25892597.
21. Douillard J-Y, Rosell R, Delena M, et al. Adjuvant Navelbine International
Trialist Association.ANITA: phase III adjuvant vinorelbine (N) and
cisplatin (P) versus observation (OBS) in completely resected (stage I-III)
non-small-cell lung cancer (NSCLC) patients (pts): final results after 70month median follow-up [abstract 7013]. J Clin Oncol 2005;23:624.
22. Sause WT, Scott C, Taylor S, et al. Radiation Therapy Oncology Group
(RTOG) 88-08 and Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) 4588:
preliminary results of a phase III trial in regionallyadvanced, unresectable
non-small-cell lung cancer. J Natl Cancer Inst 1995;87(3):198205
23. Wallace Elaine. Small Cell Lung Cancer: Staging, Treatment and
Prognosis.Clinical Focus 2012;20: 43-44.
24. Winston WT. Prognosis Non Small Cell Lung Cancer. Available in:
http://emedicine.medscape.com/article/279960overview#aw2aab6b2b6aa

25. Hong WK. Biomarker based Approaches of Targeted Therapy for Lung
Cancer Elimination. Annual Report 2011: 4-108.
26. West L, Vidwans SJ, Campbell NP, Shrager J, Simon GR, Bueno R,et al.
A Novel Classification of Lung Cancer into Molecular Sub Tipe. Plos one
2012;7: 1-11.
27. Ross JS. Targeted Therapy for Cancer: Integrating Diagnostic and
Therapeutics. Dalam: Kurzrock, Razelle, Markman, Maurie, editors. Text
book of Targeted Cancer Therapy. 2008: 192-206.
28. Gerard A. Silvestri, Patricia M. Targeted Therapy for the Treatment of
Advanced Non Small Cell Lung Cancer. Chest 2006;128:3975-3984.
29. Antonicelli A, Cafarotti S, Indini A, Galli A, Russo A, Cesario A, et al.
EGFR Targeted Therapy for NSCLC: Focus on EGFR Oncogenic
Mutation. Int J Med Sci 2013;10:320-330.
30. Cheng L, Alexander RE, Maclennan GT, Cumming OW, Montironi R,
Beltran AL, et al. Molecular pathology of lung cancer:key to personalized
medicine. Modern Pathology 2012;25:347-369.

51

31. Lynch TJ, Lilenbaum R, Bonomi P. A phase II trial of cetuximab as


therapy for recurrent non-small cell lung cancer (NSCLC). J Clin Oncol
2004; 22: 629s.
32. Lilenbaum R, Bonomi P, Ansari R, Lynch T, Govindan R,Janne P, et al. A
phase II t trial of cetuximab as therapy for recurrent non-small cell lung
cancer (NSCLC): final results. Presented at Annual Meeting of the
American Society of Clinical Oncology, Orlando, Florida. 2005 (abstract
no.7036).
33. Baselga J, Pfister D, Cooper MR, Cohen R, Burtness B, Bos M, et al.
Phase I studies of anti-epidermal growth factor receptor chimeric antibody
C225 alone and in combination with cisplatin. Clin Oncol 2000; 18: 904914.
34. Rosell R, Daniel C, Ramlau R. Randomized phase II study of cetuximab in
combination with cisplatin (C) and vinorelbine (V) vs. CV alone in the
first-line treatment of patients (pts) with epidermal growth factor receptor
(EGFR)-expressing advanced non-smaIl-cell lung cancer (NSCLC). J Clin
Oncol 2004; 22: 7012a.
35. Kim ES, Mauer AM, Tran HT. A phase II study of cetuximab, an
epidermal

growth

factor

receptor

(EGFR)

blockingantibody,

in

combination with docetaxel in chemotherapy refractory/resistant patients


with advanced non-small cell lung cancer: final report. Proc Am Soc Clin
Oncol 2003; 22: 642.
36. Thienelt.CD, Bunn PA Jr, Hanna N, Rosenberg A, Needle MN, Long ME,
et al. Multicenter phase I/II study of cetuximab with paclitaxel and
carboplatin in untreated patients with stage IV non-smaIl-cell lung cancer.
J ClinOncol 2005; 23: 8786-93.
37. Sumanta Kp, Figlin RA, Karen R. Targeted therapies for non small cell
lung cancer; an evolving lendscape. Mol Canceer Ther 2010;9:1931-1944.
38. Fukuoka M, Yano S, Giaccone G, Tamura T, Nakagawa K, Douillard JY,
et al. Multi-institutional randomized phase II trial of gefit inib for
previously treated patients with advanced non-small-cell lung cancer. J
Clin Oncol 2003; 21: 2237-2246.
39. Kris MG, Natale RB, Herbst RS, Lynch TJ Jr, Prager D, Belani CP, et al.
Efficacy of gefitinib, an inhibitor of the epidermal growth factor receptor
52

tyrosine kinase, in symptomatic patients with non-small cell lung cancer: a


randomized trial. JAMA 2003; 290: 2149-2158.
40. Thatcher N, Chang A. Parikh P, Rodrigues PJ, Ciuleanu T, von Pawel J, et
al. Gefitinib plus best supportive care in previously treated patients with
refractory advanced non-small cell lung cancer: results from a randomised,
placebo-controlled, multicentre study (Iressa Survival Evaluation in Lung
Cancer). Lancet 2005; 366: 1527-1537.
41. Kim ES, Hirsh V, Mok T, et al. Gefitinib versus docetaxel in previously
treated non-small-cell lung cancer (INTEREST): a randomised phase III
trial. Lancet 2008;372:18091818.
42. Mok TS, Wu Y-L, Thongprasert S, et al. Gefitinib or carboplatinpaclitaxel
in pulmonary adenocarcinoma. N Engl J Med 2009;361:947957.
43. Shepherd FA, Rodrigues Pereira J, Ciuleanu T, Tan EH, Hirsh V,
Thongprasert S, et al. Erlotinib in previously treated nonsmall-cell lung
cancer. N Engl J Med 2005; 353: 123-132.
44. Rosell R, Moran T, Queralt C, et al. Screening for epidermal growth factor
receptor mutations in lung cancer. N Engl J Med 2009;361:958967.
45. Gatzemeier U, Pluzanska A, Szczesna A, et al. Phase III study of erlotinib
in combination with cisplatin and gemcitabine in advanced non-small-cell
lung cancer: The Tarceva Lung Cancer Investigation Trial. J Clin Oncol
2007;25:15451552.
46. Herbst RS, Prager D, Hermann R, et al. TRIBUTE: a phase III trial of
erlotinib hydrochloride (OSI-774) combined with carboplatin and
paclitaxel chemotherapy in advanced non-small-cell lung cancer. J Clin
Oncol 2005;23:58925899.
47. Brugger W, Triller N, Blasinska-Morawiec M, et al. Biomarker analyses
from the phase III placebo-controlled SATURN study of maintenance
erlotinib following first-line chemotherapy for advanced NSCLC. J Clin
Oncol 2009;27:8020.

53

Anda mungkin juga menyukai