Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN LANSIA
Lansia adalah manusia yang berumur di atas usia 60 tahun dan merupakan suatu
kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai usia panjang,
terjadinya tidak bisa dihindari oleh siapapun. Pada usia lanjut akan terjadi berbagai
kemunduran pada organ tubuh sehingga kadang kala lansia juga didefinisikansebagai
manusia dengan kondisi fisik yang relatif lemah rentan dan kondisi psikis yang kesepian
dan seringkali merasa diterlantarlan. Dengan kondisi yang demikian maka para lansia
perlu berkumpul untuk saling mengawasi dan agar tidak merasa kesepian. Mereka juga
memerlukan perawatan, perhatian, dan kasih sayang baik dari sesama lansia maupun
dari orang lain (Wijayanti,2008).
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional dalam Wijayanti (2008)
menyebutkan ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu : aspek biologi, aspek
ekonomi dan aspek sosial. Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang
mengalami proses penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya
daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat
menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan
fungsi sel, jaringan, serta sistem organ.
Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada
sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi
memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan
masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga dan
masyarakat.
Secara sosial, penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial sendiri. Di
negara Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal
ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumber daya ekonomi, pengaruh terhadap
pengambilan keputuan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Akan
tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus
dihormati oleh warga muda.
B. PERUBAHAN PADA LANSIA
Perubahan- perubahan yang terjadi pada lansia diantaranya sebagai berikut
(Suhartin, 2010):
a. Sistem Sensoris

Persepsi

sensoris

mempengaruhi

kemampuan

seseorang

untuk

saling

berhubungan dengan orang lain dan untuk memelihara atau membentuk hubungan
baru, berespon terhadap bahaya, dan menginterprestasikan masukan sensoris dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari.
Pada lansia yang mengalami penurunan persepsi sensori akan terdapat
keengganan untuk bersosialisasi karena kemunduran dari fungsi-fungsi sensoris yang
dimiliki. Indra yang dimiliki seperti penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman
dan perabaan merupakan kesatuan integrasi dari persepsi sensori.
a. Penglihatan
Perubahan penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam proses
penuaan termasuk penurunan kemampuan dalam melakukan akomodasi,
konstriksi pupil, perubahan warna serta kekeruhan lansa mata.

Semakan

bertambahnya usia, lemak akan berakumulasi di sekitar kornea dan membentuk


lingkaran berwarna putih atau kekuningan di antara iris dan sklera.
b. Pendengaran
Penurunan pendengaran merupakan kondisi yang secara dramatis dapat
mempengaruhi kualitas hidup. Kehilangan pendengaran pada lansia disebut
presbikusis. Pada telinga bagian dalam dan komponen saraf tidak berfungsi
dengan baik sehingga lansia kehilangan pendengaran secara bertahap. Pada
telinga bagian tengah terjadi pengecilan daya tangkap membran timpani,
pengapuran dari tulang pendengaran, otot dan ligamen menjadi lemah dan kaku.
Implikasi dari hal ini adalah gangguan konduksi suara.
c. Perabaan
Perabaan merupakan sistem sensoris pertama yang menjadi fungsional apabila
terdapat gangguan pada penglihatan dan pendengaran.
d. Pengecapan
Hilangnya kemampuan untuk menikmati makanan seperti pada saat seseorang
bertambah tua mungkin dirasakan sebagai kehilangan salah satu keniknatan
dalam kehidupan.

Perubahan yang terjadi pada pengecapan

akibat proses

menua yaitu penurunan jumlah dan kerusakan papila atau kuncup-kuncup perasa
lidah. Implikasi dari hal ini adalah sensitivitas terhadap rasa (manis, asam, asin,
dan pahit) berkurang
e. Penciuman
Sensasi penciuman bekerja akibat stimulasi reseptor olfaktorius oleh zat kimia
yang mudah menguap. Perubahan yang terjadi pada penciuman akibat proses
menua yaitu penurunan atau kehilangan sensasi penciuman kerena penuaan dan
usia. Penyebab lain yang juga dianggap sebagai pendukung terjadinya kehilangan
sensasi penciuman termasuk pilek, influenza, merokok, obstruksi hidung, dan
faktor lingkungan. Implikasi dari hal ini adalah penurunan sensitivitas terhadap
bau

b. Sistem Integumen
Sedikit kolagen yang terbentuk pada proses penuaan, dan terdapat penurunan
jaringan elastik, mengakibatkan penampiln yang lebih keriput. Tekstur kulit lebih kering
karena kelenjar eksokrin lebih sedikit dan penurunan aktivitas kelenjar eksokri dan
kelenar sebasea. Degenerasi menyeluruh jaringan penyambung, disertai penurunan
cairan tubuh total, menimbulkan penurunan turgor kulit.
c. Sistem Muskuloskeletal
Otot mengalami atrofi

sebagai akibat dari berkurangnya aktivitas, gangguan

metabolik, atau denervasi saraf. Dengan bertambahnya usia, pembentukan tulang


melambat. Tulang-tulang trabekulae menjadi lebih berongga, mikro-arsitektur berubah
dan seiring terjadi patah tulang baik akibat benturan ringan maupun spontan.
d. Sistem Neurologis
Pada penuaan otak kehilangan 100.000 neuron / tahun. Neuron dapat
mengirimkan

signal kepada

sel lain dengan kecepatan 200 mil/jam. Terjadi

penebalan atrofi cerebral (berat otak menurun 10%) antar usia 30-70 tahun. Secara
berangsur-angsur tonjolan dendrit di neuron hilang disusul membengkaknya batang
dendrit dan batang sel. Secara progresif terjadi fragmentasi dan kematian sel.
e. Sistem Kardiovaskuler
Penebalan dinding ventrikel kiri karena peningkatan densitas kolagen dan
hilangnya fungsi serat-serat elastis. Jumlah sel-sel

peacemaker

mengalami

penurunan dan berkas his kehilangan serat konduksi yang yang membawa impuls ke
ventrikel. Sistem aorta dan arteri perifer menjadi kaku dan tidak lurus karena
peningkatan serat kolagen dan hilangnya serat elastis dalam lapisan medial arteri.
f.

Sistem Pulmonal
Perubahan anatomis seperti penurunan komplians paru dan dinding dada turut
berperan dalam peningkatan kerja pernapasan sekitar 20% pada usia 60 tahun.

g. Sistem Renal dan Urinaria


Seiring bertambahnya usia, akan terdapat perubahan pada ginjal, bladder,
uretra, dan sisten nervus yang berdampak pada proses fisiologi terlait eliminasi
urine.Hal ini

dapat mengganggu

kemampuan

dalam

mengontrol

berkemih,

sehingga dapat mengakibatkaninkontinensia.


h. Sistem Gastrointestinal
Banyak masalah gastrointestinal yang dihadapi oleh lansia berkaitan dengan
gaya hidup. Mulai dari gigi sampai anus terjadi perubahan morfologik degeneratif,
antara lain perubahan atrofi pada rahang, mukosa, kelenjar dan otot-otot pencernaan.
C. MASALAH PADA LANSIA

a. Biologis
Teori biologi mencakup teori genetik dan mutasi, immunology slow theory, teori
stres, teori radikal bebas, dan teori rantai silang.
Teori genetik dan mutasi. Menurut teori genetik dan mutasi, semua terprogram
secara genetik untuk spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari
perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul DNA dan setiap sel pada
saatnya akan mengalami mutasi.
Immunology slow theory. Menurut immunology slow theory, sistem imun menjadi
efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus ke dalam tubuh yang dapat
menyebabkan kerusakan organ tubuh.
Teori stres. Teori stres mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya sel-sel
yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan
kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stres yang menyebabkan selsel tubuh lelah terpakai.
Teori radikal bebas. Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak
stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahanbahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak
dapat melakukan regenerasi.
Teori rantai silang. Pada teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi kimia selsel yang tua menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini
menyebabkan kurangnya elastisitas kekacauan, dan hilangnya fungsi sel.
b. Psikologi
Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan keakuratan
mental dan keadaan fungsional yang efektif. Adanya penurunan dan intelektualitas
yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan belajar pada usia lanjut
menyebabkan mereka sulit untuk dipahami dan berinteraksi.
Persepsi merupakan kemampuan interpretasi pada lingkungan. Dengan adanya
penurunan fungsi sistem sensorik, maka akan terjadi pula penurunan kemampuan
untuk menerima, memproses, dan merespons stimulus sehingga terkadang akan
muncul aksi/reaksi yang berbeda dari stimulus yang ada.
c. Sosial
Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu teori
interaksi sosial (social exchange theory), teori penarikan diri (disengagement theory),
teori aktivitas (activity theory), teori kesinambungan (continuity theory), teori
perkembangan (development theory), dan teori stratifikasi usia (age stratification
theory).
o Teori interaksi sosial. Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lansia bertindak
pada suatu situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat.
Pada lansia, kekuasaan dan prestasinya berkurang sehingga menyebabkan

interaksi sosial mereka juga berkurang, yang tersisa hanyalah harga diri dan
o

kemampuan mereka untuk mengikuti perintah.


Teori penarikan diri. Teori ini menyatakan bahwa kemiskinan yang diderita lansia
dan menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan seorang lansia secara

perlahan-lahan menarik diri dari pergaulan di sekitarnya.


Teori aktivitas. Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung
bagaimana seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktivitas serta
mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting dibandingkan kuantitas dan

aktivitas yang dilakukan.


Teori kesinambungan. Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam

siklus kehidupan lansia. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat


merupakan gambarannya kelak pada saat ia menjadi lansia. Hal ini dapat terlihat
bahwa gaya hidup, perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak berubah

meskipun ia telah menjadi lansia.


Teori perkembangan. Teori perkembangan menjelaskan bagaimana proses
menjadi tua merupakan suatu tantangan dan bagaimana jawaban lansia terhadap
berbagai tantangan tersebut yang dapat bernilai positif ataupun negatif. Akan
tetapi, teori ini tidak menggariskan bagaimana cara menjadi tua yang diinginkan

atau yang seharusnya diterapkan oleh lansia tersebut.


Teori stratifikasi usia. Keunggulan teori stratifikasi usia adalah bahwa pendekatan
yang dilakukan bersifat deterministik dan dapat dipergunakan untuk mempelajari
sifat lansia secara kelompok dan bersifat makro. Setiap kelompok dapat ditinjau
dari sudut pandang demografi dan keterkaitannya dengan kelompok usia lainnya.
Kelemahannya adalah teori ini tidak dapat dipergunakan untuk menilai lansia
secara perorangan, mengingat bahwa stratifikasi sangat kompleks dan dinamis
serta terkait dengan klasifikasi kelas dan kelompok etnik.

d. Spiritual
Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian hubungan
individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang arti kehidupan.
D. POST POWER SYNDROME
a. Definisi
Menjalani masa tua dengan bahagia dan sejahtera adalah harapan semua
orang. Kondisi ini hanya dapat tercapai apabila orang tersebut merasa sehat secara
fisik, mental, dan sosial, merasa dibutuhkan, dicintai, dan merasa memiliki harga diri
sehingga tetap dapat berpartisipasi dalam kehidupan walaupun telah memasuki masa
pensiun. Tetapi pada kenyataannya, banyak orang yang mengalami gangguan
psikologis saat memasuki masa pensiun. Stres, depresi, tidak bahagia, merasa
kehilangan harga diri dan kehormatan merupakan hal-hal yang sering dikeluhkan oleh

para lansia dalam memasuki masa pensiun dalam istilah medis hal tersebut disebut
dengan post-power syndrome.
Istilah Post Power Syndrome merupakan salah satu istilah dalam ilmu psikologi
yang merupakan suatu gejala yang dialami oleh seseorang yang pernah mengalami
masa keemasan / kesuksesan di dalam hidupnya.Berdasarkan arti secara bahasa,
post dapat diartikan pasca, power berarti kekuatan / kekuasaan, sedangkan Syndrome
adalah gejala-gejala. Jadi dapat diartikan bahwa Post Power Syndrome adalah gejala
yang muncul pasca masa kekuasaan. Atau lebih tepatnya suatu gejala kejiwaan yang
kurang stabil yang cenderung muncul ketika seseorang turun dari jabatan yang
dipegang sebelumnya. Selain itu hal ini juga terjadi pada saat seseorang itu baru saja
kehilangan kekuasaan maupun kelebihan-kelebihan lainnya, baik karena pensiun,
PHK, mutasi, kehilangan popularitas, atau karena sebab lainnya.
Menurut Semium (2010: 501) post power syndrome adalah reaksi somatis dalam
bentuk sekumpulan simptom penyakit, luka luka, serta kerusakan fungsi fungsi
jasmaniah dan rohaniah yang bersifat progresif dan penyebabnya ialah pensiun atau
karena sudah tidak mempunyai jabatan dan kekuasaan lagi. Individu yang mengalami
gangguan post power syndrome berpandangan bahwa pekerjaan dan bekerja itu
merupakan kebutuhan dasar dan merupakan bagian yang sangat penting dari
kehidupan manusia. Pekerjaan dan bekerja itu memberikan kesenangan dan arti
tersendiri bagi kehidupan manusia. Lingkungan kerja itu sebagai sentrum sosial,
sedangkan bekerja merupakan aktivitas sosial yang memberikan kepada individu
penghargaan atau respek, status sosial dan prestise sosial. Bekerja itu selain
memberikan ganjaran material dalam bentuk gaji, kekayaan dan bermacam macam
fasilitas material, juga memberikan ganjaran sosial yang non material, yaitu berupa
status sosial dan prestise sosial. Dengan demikian kebanggaan dan minat besar
terhadap pekerjaan dengan segala pangkat, jabatan dan simbol kebesaran berupa
intensif yang kuat untuk mencintai suatu pekerjaan.
b. Tanda dan Gejala
Gejala Gejala Post Power Syndrome Seseorang yang mengalami post power
syndrome biasanya dapat diketahui dari gejala gejala yang dialaminya. Kartono (2000:
234 ) membagi gejala post power syndrome menjadi dua yaitu:
1. Gejala Fisik
Gejala fisik yang sering muncul yaitu layu, sayu, lemas, tidak bergairah dan mudah
sakit sakitan
2. Gejala Psikis
Gejala psikis yang sering tampil antara lain ialah apatis, depresi, semuanya serba
salah; tidak pernah merasa puas dan berputus asa, atau tanda tanda sebaliknya,
yaitu menjadi mudah ribut, tidak toleran, cepat tersinggung, gelisah, gemas,

eksplosif mudah meledak meledak, agresif dan suka menyerang baik dengan kata
kata atau ucapan ucapan maupun dengan benda benda dan lain sebagainya.
Bahkan tidak jarang menjadi beringas setengah sadar. Seniati dkk, (2006: 18)
membagi gejala gejala post power syndrome menjadi tiga tipe yaitu:
1. Gejala fisik
Tampak lebih tua dibandingkan pada waktu bekerja, rambutnya menjadi putih
semua, berkeriput, pemurung, badannya menjadi lemah dan sakit sakitan
2. Gejala Psikis
Merasa cepat tersinggung, merasa tidak berharga, menarik diri dari lingkungan
pergaulan, ingin bersembunyi dan lain sebagainya
3. Gejala Perilaku
Umumnya malu bertemu orang lain, suka melakukan kekerasan atau menunjukkan
kemarahan baik di rumah atau di tempat lain. Kondisi fisik dan psikis sedemikian ini
jika tidak bisa dikendalikan oleh individu sendiri, bahkan juga tidak bisa diperingan
dengan bantuan medis dan psikiatri, maka menjadi semakin gawat dan pasti akan
memperpendek umur penderitanya.
c. Penyebab Post Power Syndrome
Turner dan Helms (Supardi, 2002) menyebutkan penyebab terjadinya Post-Power
Syndrome banyak diakibatkan akan kasus kehilangan pekerjaan, yaitu:
1. Kehilangan harga diri, hilangnya jabatan menyebabkan hilangnya perasaan akan
2.
3.
4.
5.

pengakuan diri.
Kehilangan fungsi eksekutif, fungsi yang memberikan kebanggaan diri.
Kehilangan perasaan sebagai orang yang memiliki arti dalam kelompok tertentu.
Kehilangan orientasi kerja.
Kehilangan sumber penghasilan tertentu dari jabatan terdahulu.

Menurut Kartono (2000: 234) penyebab post power syndrome ialah:


1) Individu merasa terpotong / tersisih dari orbit resmi, yang sebenarnya ingin
dimiliki dan dikuasai terus menerus
2) Individu merasa sangat kecewa, sedih, sengsara berkepanjangan, seolah olah
dunianya lorong lorong buntu yang tidak bisa ditembus lagi.
3) Emosi emosi negatif yang sangat kuat dari kecemasan kecemasan hebat yang
berkelanjutan itu langsung menjadi reaksi somatisme yang mengenai sistem
peredaran darah, jantung dan sistem syaraf yang sifatnya serius, yang bisa
menyebabkan kematian.
Pengangguran atau kondisi menganggur memang mudah menimbulkan
perasaaan tidak berguna , tanpa tempat berpijak, tanpa tanah air atau tanpa rumah
yang menyebabkan orang merasa sangat sengsara dan merasa malu sekali. Oleh
karena itu para pensiunan yang biasanya energik dan kini menganggur, mereka lebih
suka mencari pekerjaan/ kesibukan apa saja, sekalipun kualitas pekerjaan dan gajinya
tidak sebesar dulu. Kegiatan tadi khususnya dipakai sebagai kompensasi bagi emosi
emosi kekosongan dan untuk mendapatkan kelanjutan dari pengakuan status

sosialnya. Sebab setiap orang pasti menginginkan respek dan pengakuan dari
lingkungannya. Setiap mantan yang masih merasa sehat dan kuat, juga masih suka
bekerja atau menyibukkan diri. Bekerja dipakai untuk menumbuhkan emosi masih
berguna, rasa masih diperlukan/dibutuhkan oleh lingkungan dekatnya; khususnya
untuk menegakkan martabat dirinya. Sebenarnya yang menjadi kriterium pokok dalam
kemunculan sindrom purna kuasa itu bukan situasi dan kondisi kepensiunan atau
mengangur itu sendiri, akan tetapi bagaimana caranya seseorang mantan menghayati
atau merasakan keadaan baru itu yaitu dengan perasaan lega, puas, bahagia, karena
sudah melakukan semua tugas kenegaraan atau kewajiban kelembagaan dengan
upaya semaksimal mungkin, sehingga dia bisa merasakan kelegaan dan kebebasan.
Individu sebaliknya merasakan peristiwa pensiun atau selesai tugas itu dengan emosi
emosi negatif yaitu dengan memberontak di batin sendiri, dengan agresi hebat,
eksplosif meledak ledak, tidak bisa menerima keadaan baru, sangat kecewa, dengan
hati yang pedih terluka, dan emosi emosi tidak puas lainnya.
Perasaan perasaan negatif terutama keengganan menerima situasi baru
dengan kebesaran jiwa, pasti menimbulkan banyak stress, keresahan batin, konflik
konflik jiwani, ketakutan, kecemasan, rasa inferior, apatis, melankolis, dan depresi
serta macam macam ketidak puasasan lainnya. Jika semua itu berlangsung berlarut
larut, kronis berkepanjangan, maka jelas akan menyebabkan proses dementia
(kemunduran mental) yang pesat dengan menyandang kerusakan kerusakan pada
fungsi fungsi organis (alat/bagian tubuh) dan fungsi fungsi kejiwaan yang saling
berkaitan dan kita kenal sebagai gejala post power syndrome. Karakteristik perilaku
yang muncul pada individu yang mengalami post power syndrome adalah individu
umumnya malu bertemu dengan orang lain karena merasa dirinya tidak berguna dan
muncul perasaan inferior sebab individu yang bersangkutan telah pensiun, tidak
menjabat atau menganggur. Selain itu dapat pula muncul perilaku sebaliknya yaitu
suka melakukan kekerasan atau menunjukkan kemarahan baik di rumah atau di
tempat lain.
E. CARA MENCEGAH MASALAH PADA LANSIA (POST POWER SYNDROME)
Berikut hal-hal yang perlu kita coba untuk mencegah Post Power Syndrome ini:
1. Sejak dini saat kita masih sibuk-sibuknya menjalankan aktivitas keseharian, kita dapat
menemukan aktualisasi diri yang baru. Misalnya seorang rektor universitas yang telah
habis masa jabatannya, tetapi bisa beraktualisasi diri dengan hobi menulis yang telah
ia tekuni sejak ia aktif menjadi rektor. Maka, ia akan terhindar dari resiko terserang
post-power syndrome kelak.
2. Bentengi diri dengan niatan aktivitas rohani. Bila segala aktivitas kita dilakukan guna
mencapai kebahagiaan di dunia akhirat, maka segala apa yang sudah kita terima dan
dapatkan, baik berupa jabatan, gaji, penghormatan, dan kebanggaan pada diri dalam

kehidupan tentu tidak apa-apanya dengan kebahagiaan yang dijanjikan oleh Allah
SWT di dunia dan akhirat nanti. Sehingga ketika sudah sampai pada masa pensiun,
kita mengetahui bahwasannya segala aktivitas kita di masa lalu itu hanya sementara
dan saatnya untuk meningkatkan aktivitas rohani kita.
3. Habiskan waktu dengan keluarga, anak, dan cucu. Dulu pada saat masih memangku
jabatan mungkin kesibukan membuat waktu kita akan keluarga menjadi berkurang
drastis. Pada masa inilah kita memiliki waktu luang untuk bersama keluarga.
Manfaatkanlah, karena keluarga adalah rahmat terbesar untuk kita.
Terdapat terapi untuk meringankan gejala PPS dan untuk memperoleh kembali
kesehatan jasmani dan rohani yang mengarah pada integritas struktur kepribadian.
Menurut Kartini Kartono (2000) dalam bukunya Hygiene Mental disarankan melakukan
kegiatan sebagai berikut:
1. Mau menerima kondisi baru, yaitu masa pensiun/punakarya dengan perasaan rela
dan ikhlas, lega karena semua tugas pokok selaku manusia dan pejabat telah
selesai. Maka kini tiba saatnya bagi pribadi untuk belajar menyesuaikan diri lebih
baik lagi terhadap tuntutan kondisi baru yang masih penuh dengan tantangan.
2. Membebaskan diri dari nafsu-nafsu dan ambisi yang ada di masa lalu. Membangun
mimpi-mimpi baru di masa yang akan dihadapi dan apa yang didambakan dalam
sisa hidup ini adalah tenang, damai, dan sejuk di hati.
3. Sebaiknya tidak melakukan pembandingan pada siapa dan apapun juga, sebab
usaha demikian itu akan sia-sia dan menjadikan hati sedih.

Anda mungkin juga menyukai