Anda di halaman 1dari 6

BAB IV

PEMBAHASAN
Operasi dilakukan pada pasien Nn. W yang berusia 15 tahun. Sebelum
pembedahan, dilakukan anestesi untuk menghilangkan rasa sakit pasien selama
proses operasi. Anestesi dilakukan mulai dari pemeriksaan pre anestesi hingga
penatalaksanaan pasien pasca operasi.
Pasien datang pada hari Kamis tanggal 26 November 2015 dengan keluhan
adanya benjolan pada leher sebelah kanan. Benjolan timbul sejak 4 hari yang lalu
sebelum masuk rumah sakit. Awalnya benjolan membesar pada daerah leher namun
menyusut menjadi benjolan kecil. Benjolan nyeri saat ditekan dan saat menggerakkan
leher. Sebelum terjadi benjolan, pasien mengaku diawali sakit gigi pada geraham
kanan bawah. Pasien juga mengeluh sakit saat menelan. Setelah dirawat 3 hari di
rumah sakit pasien hanya mengeluh nyeri tekan pada benjolan. Keluhan nyeri saat
menggerakkan leher, sakit saat menelan, dan sakit gigi disangkal. Pasien kemudian
direncanakan operasi pencabutan gigi pada hari senin tanggal 30 November 2015.
Berdasarkan anamnesis pada pasien tersebut pasien mengaku tidak memiliki
riwayat diabetes melitus, hipertensi, alergi maupun asma. Pasien juga mengaku tidak
memiliki riwayat operasi sebelumnya Penilaian riwayat penyakit ini penting untuk
mengetahui pemilihan obat apa yang tepat serta mempertimbangkan pemilihan teknik
anestesi untuk mengurangi kemungkinan terburuk, baik selama operasi maupun pasca
operasi. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan hasil dalam batas normal pada breath,
blood, brain, bladder, bowel dan bone.
Pada saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat intubasi sering
menimbulkan hipertensi. Hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena
efek dari obat anestesi berupa vasodilatasi perifer. Hipertensi yang terjadi biasanya
diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea. Durasi
laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi

hemodinamik dan tekanan darah yang terkontrol dengan baik juga membantu
meminimalkan gangguan hemodinamik seperti ketika intubasi.
Pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan laboratorium hematologi pada
pasien dalam batas normal, kecuali pada jumlah leukosit yaitu 19.600/mm 3. Leukosit
yang tinggi pada pemeriksaan tanggal 29 November 2015 ini diakibatkan adanya
faktor penyebaran infeksi ke kelenjar getah bening secara hematogen. Berdasarkan
temuan tersebut maka diputuskan kondisi fisik pasien termasuk ASA II dengan
gangguan sistemik ringan berupa leukositosis, dan rencana anestesi yang dilakukan
yaitu anestesi umum dengan teknik intubasi endotrakeal.
Sebelum dilakukan operasi, pasien dipuasakan 6 jam sebelum operasi.
Operasi direncanakan tanggal 30 November 2015 pukul 17.00 WIB. Pada pasien ini
dilakukan tindakan anestesi umum dengan intubasi endotrakeal karena operasi pada
pada mulut merupakan indikasi untuk pembedahan pada jalan napas sehingga
penggunaan anestesi umum dengan intubasi endotrakeal lebih tepat.
Untuk mencapai trias anestesi yaitu analgesi, sedasi dan relaksasi otot maka
setelah dipasang jalur intravena dengan cairan RL mulai dimasukkanlah obat-obat
premedikasi: sulfas atropin 0,25 mg yang bertujuan untuk menekan/menghambat
aktivitas kolinergik atau parasimpatis yaitu untuk mengurangi sekresi kelenjar: saliva,
saluran cerna dan saluran napas; mencegah spasme laring dan bronkus; mencegah
bradikardi; mengurangi motilitas usus; dan melawan efek depresi narkotik terhadap
pusat napas dan diberikan secara intravena dimasukkan midazolam 5 mg bertujuan
untuk memberikan efek sedasi dan amnesia retrograde serta diberikan fentanyl 10 cc
sebagai analgetik. Untuk induksi diberikan propofol 10 cc yang memiliki efek sedasi.
Pasien juga diberikan atrakurium besilat. Dosis atrakurium besilat yang digunakan
untuk intubasi adalah sebanyak 0,5-0,6 mg/kgBB sehingga pemberian atrakurium
besilat sebanyak 25 mg pada pasien ini sudah tepat. Atrakurium besilat merupakan
obat pelumpuh otot non depolarisasi untuk memudahkan proses intubasi pasien. Pada
pasien ini, maintenance

anestesi dilakukan dengan pemberian kombinasi antara

antara O2 dan sevofluran dimana keduanya diberikan secara inhalasi. Sementara

sevofluran bersifat merelaksasi otot skelet sehingga dosis sevofluran dan pelumpuh
otot dapat dikurangi. Kombinasi antara kedua gas ini akan menghasilkan suatu
sinergitas sebagai rumatan anestesi. Jumlah O2 yang diberikan pada pasien ini 4 lpm,
sementara isofluran sebesar 2,0 %.
Setelah operasi selesai, idealnya pasien segera dipindahkan ke ruang recovery
room. Segera dinilai tingkat pulih-sadarnya menggunakan Aldrette score. Penilaian
tersebut mencakup penilaian terhadap kesadaran, warna kulit, aktivitas, respirasi dan
kardiovaskuler. Pasien dapat dipindahkan ke bangsal bila skor total 9. Pasien ini
mendapat nilai 9 yang berarti pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan.
Perincian skor Aldrete pasien ini adalah sebagai berikut:
a
b
c
d

Warna Kulit : Warna kulit cerah bernilai 2


Kesadaran : Kesadaran bernilai 1 yaitu pasien bangun ketika dipanggil.
Pernafasan : Bernafas dalam dan teratur bernilai 2
Sirkulasi : Sirkulasi bernilai 2 berarti tekanan darah 20 % dari tekanan darah pre

anestesi
Motorik : Aktivitas bernilai 2 yaitu ektremitas atas dan bawah dapat digerakkan
dengan bebas.
Pemberian obat-obatan analgesik diberikan secara drip bersama cairan infuse

yaitu ketorolac dan tramadol hingga pasien kembali di ruangan untuk mengurangi
rasa sakit atau nyeri pada luka pasca operasi, serta ondansetron sebagai antimuntah.
Sementara untuk terapi paska operasi, pasien diberikan ketorolac untuk mengurangi
rasa nyeri dan ranitidine untuk mengurangi asam lambung sebagai efek samping obatobat anestesi umum dan pemberian ketorolac. Selain obat-obatan, terapi cairan juga
diberikan secara tepat untuk mengoreksi kehilangan darah selama operasi. Terapi
cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti ,dalam batas-batas fisiologis
dengan cairan kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander). Pembedahan
dengan anastesia memerlukan puasa sebelum dan sesudah pembedahan. Terapi cairan
parenteral diperlukan untuk mengganti defisit cairan saat puasa sebelum dan sesudah
pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti perdarahan

yang terjadi, dan mengganti cairan pindah ke ruang ketiga (ke rongga peritoneum, ke
luar tubuh).
Selama puasa, pasien diberikan cairan pengganti puasa Ringer Dextrose 33 tpm
makro sesuai dengan perhitungan kebutuhan cairan pengganti puasa dan kebutuhan
Na per hari pasien. Sebelum pembedahan, dilakukan juga pemberian cairan kristaloid
sebanyak 500 cc untuk mencegah hipotensi yang timbul. Selama pembedahan terapi
cairan yang harus diberikan sebanyak:
a
b

Defisit cairan karena puasa 6 jam adalah = 2 x 50 x 6 = 600 mL


Kebutuhan cairan selama operasi sedang selama 1 jam = kebutuhan dasar selama
operasi + kebutuhan stress operasi sedang) = (2 mL x 50 x 1) + (6 ml x 50 x 2) =

100 + 600 = 700 mL


Perdarahan yang terjadi kira-kira 100 mL
EBV = 60 mL x 50 = 3.000 mL
EBL = 100/3.000 x 100% = 3,3 % EBV
Bila perdarahan 10% dari EBV maka dapat diberikan kristaloid subsitusi dengan
perbandingan 1 : 2-4 mL cairan kristaloid. Jadi pada pasien ini :
= 1 : 2-4 mL
(10%) 100 mL : (200 ml-400 ml) kristaloid subtitusi
Jadi perdarahan saat operasi yang keluar sekitar 100 mL dapat diganti dengan

kristaloid sebesar 200 mL 400 mL


Kebutuhan cairan total (defisit cairan karena puasa + kebutuhan dasar selama
operasi sedang + kebutuhan kristaloid) = 600 + 700 + (200 400) = 1.500 mL

1.700 mL
Cairan yang sudah diberikan
Pra anestesi = 500 mL kristaloid
Saat operasi = 500 mL kristaloid
Total cairan yang masuk = 1.000 mL
Jadi kekurangan cairan sebesar 500 700 mL (kebutuhan cairan total dikurangi
total cairan yang masuk) maka penambahan cairan masih diperlukan saat pasien

dibangsal ditambah kebutuhan cairan per hari selama 24 jam.


Terapi cairan pasca bedah
Memenuhi kebutuhan air, elektrolit nutrisi

Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah (cairan lambung, febris)
Melanjutkan penggantian defisit pre operatif dan durante operatif
Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan

Kebutuhan cairan maintenance pasien 30-50ml/kgBB/24 jam (BB = 50 kg)


Kebutuhan cairan maintenance = 1.500 2.500 ml/24 jam
Kebutuhan Elektrolit
Na+ = 2-4 mEq / kgbb
Na = 50 x 2-4 mEq = 100 200 mEq
K+ = 1-3 mEq / kgbb
K = 50 x 1-3 mEq = 50 150 mEq
Kebutuhan Kalori Basal
Dewasa
= 50 x 20-30
= (50 x 20) (50 x 30)
= 1.000 1.500 kkal/hari
Kekurangan Kebutuhan cairan selama operasi : 500 700 mL
Kebutuhan per hari (maintenance) : 1.500 2.500 ml
Jenis cairan : 2 kolf Ringer Dextrose + 3 kolf D5%
2 kolf RD Na = 130 mEq
K = 4 mEq
Kalori = 50 kkal
3 kolf D5% Na = 0 mEq
K = 0 mEq
Kalori = 150 kkal
Pada pasien post operasi pemberian cairan diberikan berupa cairan
maintenance selama di ruang pulih sadar (RR). Apabila keluhan mual, muntah,
dan bising usus sudah ada maka pasien dicoba untuk minum sedikit-sedikit.
Setelah kondisi baik dan cairan oral adekuat sesuai kebutuhan, maka secara
perlahan cairan maintenance parenteral dikurangi. Apabila sudah cukup cairan
hanya diberikan lewat oral saja.

Anda mungkin juga menyukai