Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH PROFESI PENDIDIK

SERTIFIKASI GURU DAN KUALITAS PENDIDIK

A.
B.
C.

AHMAD JAYADI
1329040100
PTIK 01

PENDIDIKAN TEKNIK INFORMATIKA DAN KOMPUTER


JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Ada yang berpendapat bahwa sertifikasi adalah alat untuk
meningkatkan kesejahteraan guru. Bahkan yang lebih berani mengatakan
bahwa sertifikasi adalah akal-akalan pemerintah untuk menaikkan gaji guru.
Kata sertifikasi hanyalah kata pembungkus agar tidak menimbulkan
kecemburuan profesi lain. Pemahaman seperti itu tidak terlalu salah sebab
dalam Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) pasal 16 disebutkan bahwa
guru yang memiliki sertifikat pendidik, berhak mendapatkan insentif yang
berupa tunjangan profesi. Besar insentif tunjangan profesi yang dijanjikan
oleh UUGD adalah sebesar satu kali gaji pokok untuk setiap bulannya.
Sertifikasi guru merupakan sebuah terobosan dalam dunia pendidikan
untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas seorang guru, sehingga ke
depan semua guru harus memiliki sertifikat sebagai lisensi atau ijin
mengajar. Dengan demikian, upaya pembentukan guru yang profesional di
Indonesia segera menjadi kenyataan dan diharapkan tidak semua orang
dapat menjadi guru dan tidak semua orang menjadikan profesi guru sebagai
batu loncatan untuk memperoleh pekerjaan seperti yang terjadi belakangan
ini.
Namun, persepsi seperti itu cenderung mencari-cari kesalahan suatu
program pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Peningkatan kesejahterann guru dalam kaitannya dengan sertifikasi harus
dipahami dalam kerangka peningkatan mutu pendidikan nasional , baik dari
segi proses (layanan) maupun hasil (luaran) pendidikan. Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan secara
eksplisit mengisyaratkan adanya standarisasi isi, proses, kompetensi lulusan,
pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan,

pembiyaan, dan penilaian pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan


nasional.
Di samping itu, menurut Samami dkk. (2006), yang perlu disadari
adalah bahwa guru adalah subsistem pendidikan nasional. Dengan adanya
sertifikasi, diharapkan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran akan
meningkat sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan kompetensi
guru yang memenuhi standar minimal dan kesejahteraan yang memadai
diharapkan kinerja guru dalam mengelola proses pembelajaran dapat
meningkat. Kualitas pembelajaran yang meningkat diharapkan akan
bermuara akhir pada terjadinya peningkatan prestasi hasil belajar siswa.
Pada dasarnya terdapat barbagai faktor yang mempengaruhi
keberhasilan pendidikan, antara lain: guru, siswa, sarana dan prasarana,
lingkungan pendidikan,dan kurikulum. Dari beberapa faktor tersebut, guru
dalam kegiatan proses pembelajaran di sekolah nemempati kedudukan yang
sangat penting dan tanpa mengabaikan faktor penunjang yang lain, guru
sebagai subjek pendidikan sangat menentuksn keberhasilan pendidikan itu
sendiri. Studi yang dilakukan Heyneman dan Loxley pada tahun 1983 di 29
negara bahwa di antara berbagai masukan yang menentukan mutu
pendidikan (yang ditunjukan oleh prestasi belajar siswa) sepertiganya
ditentukan oleh guru. Peranan guru makin penting lagi di tengah
keterbatasan sarana dan prasarana sebagaimana dialami oleh negara-negara
sedang berkembang. Fasli Jalal (2007) mengatakan bahwa pendidikan yang
bermutu sangat tergantung pada keberadaan guru yang bermutu, yakni guru
yang profesional, sejahtera dan bermatabat. Oleh karena itu keberadaan guru
bermutu merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan praktik pendidikan
yang

bermutu.
Program sertifikasi tersebut dapat diterapkan untuk guru-guru agar

dapat memiliki standar kompetensi yang telah diterangkan di atas. Guru


diharapkan mampu memahami dan menguasai materi ajar yang ada dalam

kurikulum, memahami struktur, konsep dan metode keilmuan yang koheren


dengan materi ajar, memahami hubungan konsep antar mata pelajaran yang
terkait dan menginternalisasikan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari (life
skill). Selain itu melalui sertifikasi guru diharapkan mampu menguasai
langkah-langkah

penelitian

dan

kajian

kritis

untuk

memperdalam

pengetahuan kompetensinya.

1.2

RUMUSAN MASALAH
Sudah barang tentu, setelah cukup lama melakukan sosialisasi UUGD,

patut mulai dipertanyakan apakah sertifikasi akan secara otomatis


meningkatkan kualitas kompetensi guru, dan kemudian akan meningkatkan
mutu pendidikan di Indonesia, dan adakah jaminan bahwa dengan memiliki
sertifikasi, guru akan lebih bermutu. Pertanyaan ini penting untuk dijawab
secara kritis analitis. Karena bukti-bukti hasil sertifikasi dalam kaitan dengan
peningkatan mutu guru bervariasi. Di Amerika Serikat kebijakan sertifikasi
bagi guru belum berhasil meningkatkan kualitas kompetensi guru, hal antara
lain dikarenakan kuatnya resistensi dari kalangan guru sehingga pelaksanaan
sertifikasi berjalan amat lambat. Sebagai contoh dalam kurun waktu sepuluh
tahun, mulai tahun 1997 2006, Amerika Serikat hanya mentargetkan
100.000 guru untuk disertifikasi. Bandingkan dengan Indonesia yang dalam
kurun waktu yang sama mentargetkan mensertifikasi 2,7 juta guru.
Sebaliknya kebijakan yang sama telah berhasil meningkatkan kualitas
kompetensi guru di Singapore dan Korea Selatan.

BAB II
PEMBAHASAN
A. SERTIFIKASI GURU
1. PENGERTIAN DAN IMPLEMENTASI SERTIFIKASI
Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru.
Sertifikat pendidik ini diberikan kepada guru yang memenuhi standar
profesional guru. Standar profesioanal guru tercermin dari uji
kompetensi. Uji kompetensi dilaksanakan dalam bentuk penilaian
portofolio. Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman
profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen
yang mendeskripsikan kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan,
pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran,
penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya
pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman
organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan penghargaan yang
relevan.
Ternyata implementasi sertifikasi guru dalam bentuk penilaian
portofolio ini kemudian menimbulkan polemik baru. Banyak para
pengamat pendidikan yang menyangsikan keefektifan pelaksanaan
sertifikasi dalam rangka meningkatkan kinerja guru. Bahkan ada yang
berhipotesis bahwa sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tak
akan berdampak sama sekali terhadap peningkatan kinerja guru, apalagi
dikaitkan dengan peningkatan mutu pendidikan nasional. Apa yang
menjadi keprihatinan banyak pihak ini dapat dimaklumi. Hal ini
dikarenakan pelaksanaan sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio
tidak lebih dari penilaian terhadap tumpukan kertas. Kelayakan profesi
guru dinilai berdasarkan tumpukan kertas yang mampu dikumpulkan.
Padahal untuk membuat tumpukan kertas itu pada zaman sekarang
amatlah mudah. Tidak mengherankan jika kemudian ada beberapa

kepala sekolah yang menyetting berkas portofolio guru di sekolahnya


tidak mencapai batas angka kelulusan. Mereka berharap guru-guru
tersebut dapat mengikuti diklat sertifikasi. Dengan mengikuti diklat
sertifikasi, maka akan banyak ilmu baru yang akan didapatkan secara
cuma-cuma. Dan pada gilirannya, ilmu yang mereka dapatkan di diklat
sertifikasi akan diterapkan di sekolah atau di kelas.
Hipotesis bahwa pelaksanaan sertifikasi dalam bentuk penilaian
portofolio tidak akan berdampak sama sekali terhadap peningkatan
mutu pendidikan nasional terasa akan menjadi kenyataan bila
dibandingkan dengan pelaksanaan sertifikasi di beberapa negara maju,
khususnya dalam bidang pendidikan. Hasil studi Educational Testing
Srvice (ETS) yang dilakukan di delapan negara menunjukkan bahwa
pola-pola pembinaan profsesionalisme guru di negara-negara tersebut
dilakukan dengan sangat ketat. Sebagai contoh, Amerika Serikat dan
Inggris yang menerapkan sertifikasi secara ketat bagi calon guru yang
baru lulus dari perguruan tinggi. Di kedua negara tersebut, setiap orang
yang ingin menjadi guru harus mengikuti ujian untuk memperoleh lisensi
mengajar. Ujian untuk memperoleh lisensi tersebut terdiri dari tiga
praksis, yaitu tes keterampilan akademik yang dikenakan pada saat
seseorang masuk program penyiapan guru, penilaian terhadap
penguasaan materi ajar yang diterapkan pada saat yang bersangkutan
mengikuti ujian lisensi, dan penilaian performa di kelas yang diterapkan
pada tahun pertama mengajar
.
2. UNDANG-UNDANG GURU DAN DOSEN
Indonesia pada tahun 2005 telah memiliki Undang-Undang Guru dan
Dosen, yang merupakan kebijakan untuk intervensi langsung
meningkatkan kualitas kompetensi guru lewat kebijakan keharusan guru
memiliki kualifikasi Strata 1 atau D4, dan memiliki sertifikat profesi.
Dengan sertifikat profesi ini pula guru berhak mendapatkan tunjangan

profesi sebesar 1 bulan gaji pokok guru. Di samping UUGD juga


menetapkan berbagai tunjangan yang berhak diterima guru sebagai
upaya peningkatan kesejahteraan finansial guru. Kebijakan dalam UUGD
ini pada intinya adalah meningkatkan kualitas kompetensi guru seiring
dengan peningkatkan kesejahteraan mereka.
3. KOMPETENSI GURU
Kompetensi profesi pendidik meliputi kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
Kompetensi guru merupakan perpaduan antara kemampuan personal,
keilmuan, teknologi, sosial, dan spiritual yang secara kaffah membentuk
kompetensi standar profesi guru, yang mencakup:
1) Penguasaan materi, yang meliputi pemahaman karakteristik dan
substansi ilmu sumber bahan pembelajaran, pemahaman disiplin ilmu
yang bersangkutan dalam konteks yang lebih luas, penggunaan
metodelogi ilmu yang bersangkutan untuk mempverivikasi dan
memantpkan pemahaman konsep yang dipelajari, serta pemahaman
manajemen pembelajaran.
2) Pemahaman terhadap peserta didik meliputi berbagai karakteristik,
tahap-tahap perkembangan dalam berbagai aspek dan penerapanya
(kognitif,

afektif,

dan

psikomotor)

dalam

mengoptimalkan

perkembangann dan pembelajaran.


3) Pembelajaran yang mendidik, yang terdiri atas pemahaman konsep
dasar proses pendidikan dan pembelajaran bidang studi yang
bersangkutan,

serta

penerpanya

dalam

pelaksanaan

dan

pengembangan pembelajaran.
4) Pengembangan

kepribadian

profesionalisme,

yang

mencakup

pengem- bangan intuisikeagamaan yang berkepribadian, sikap dan


kemampuan mengaktualisasikan diri, serta sikap dan kemampuan

mengembangkan profesionalisme kependidikan. Selain standar


kompetensi profesi di atas, guru juga perlu memiliki standar mental,
moral, sosial, spiritual, intelektual, fisik, dan psikis.Hal ini dipandang
perlu karena dalam melaksanakan tugasnya guru diibaratkan sebagai
pembimbing perjalanan (guide of journey) yang bertanggung jawab
atas

kelancaran

perjalanan

berdasarkan

pengetahuan

dan

pengalamannya.

4. SERTIFIKASI PROFESI GURU


Undang-Undang Guru dan Dosen merupakan suatu ketetapan politik
bahwa pendidik adalah pekerja profesional, yang berhak mendapatkan
hak-hak sekaligus kewajiban profesional. Dengan itu diharapkan,
pendidik dapat mengabdikan secara total pada profesinya dan dapat
hidup layak dari profesi tersebut.
Dalam UUGD ditentukan bahwa seorang pendidik wajib memiliki:
1) Kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik sebagai agen
pembelajaran.
2) Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program
sarjana (S1) atau program diploma empat (D-IV) yang sesuai
dengan tugasnya sebagai guru untuk guru dan S-2 untuk dosen.
3) Kompetensi profesi pendidik meliputi kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi
sosial.
Pengertian profesi pendidik tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
a.

Kompetensi Pedagogik
Kompetensi

pedagogik

adalah

kemampuan

mengelola

pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap

peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran,


evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
b.

Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang harus dimiliki
oleh setiap pendidik yaitu kepribadian yang mantap, stabil,
dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik,
dan berakhlak mulia.

c.

Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik berkomunikasi
dan berinteraksi secara efektif dengan peserta didik, sesama
pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan
masyarakat.

d.

Kompetensi Profesianal
Kompetensi professional adalah kemampuan pendidik dalam
penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang
memungkinkannya membimbing peserta didik memperoleh
kompetensi yang ditetapkan.

Untuk dapat menetapkan bahwa seorang pendidik sudah memenuhi


standard profesional maka pendidik yang bersangkutan harus mengikuti
uji sertifikasi guru untuk pendidikan dasar dan menengah, serta uji
sertifikasi dosen untuk pendidikan tinggi.
Sertifikasi pendidik atau guru dalam jabatan dilaksanakan dalam
bentuk penilaian portofolio. Penilaian portofolio merupakan pengakuan

10

atas pengalaman profesional guru dalam bentuk kumpulan dokumen yang


mendeskripsikan:
1) Kualifikasi akademik
2) Pendidikan dan pelatihan
3) Pengalaman mengajar
4) Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran
5) Penilaian dari atasan dan pengawas
6) Prestasi akademik
7) Karya pengembangan profesi
8) Keikutsertaan dalam forum ilmiah
9) Pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan social
10)Penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Guru yang memenuhi penilaian portofolio dinyatakan lulus dan
mendapat sertifikat pendidik. Sedangkan guru yang tidak lulus penilaian
portofolio

dapat

melakukan

kegiatan-kegiatan

untuk

melengkapi

portofolio agar mencapai nilai lulus, atau Mengikuti pendidikan dan


pelatihan profesi guru yang diakhiri dengan evaluasi/penilaian sesuai
persyaratan yang ditentukan oleh perguruan tinggi penyelenggara
sertifikasi.
Guru yang lulus pendidikan dan pelatihan profesi guru mendapat
sertifikat pendidik. Apa yang harus dilakukan? Menyimak dari pengalaman
pelaksanaan sertifikasi di berbagai negara, maka akan muncul pertanyaan.
"Bagaimana agar sertifikasi bisa meningkatkan kualitas kompetensi guru?"
Dan apabila gagal, "Mengapa sertifikasi gagal meningkatkan kualitas guru?
Sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk meningkatkan
kualitas kompetensi guru. Sertifikasi bukan tujuan, melainkan sarana
untuk mencapai suatu tujuan, yakni keberadaan guru yang berkualitas.
Kegagalan dalam mencapai tujuan ini, terutama dikarenakan menjadikan

11

sertifikasi sebagai tujuan itu sendiri. Bagi bangsa dan pemerintah


Indonesia harus senantiasa mewaspadai kecenderungan ini, bahwa jangan
sampai sertifikasi menjadi tujuan. Oleh karenanya, semenjak awal harus
ditekankan khususnya di kalangan pendidik, guru, dan dosen, bahwa
tujuan utama adalah kualitas, sedangkan kualifikasi dan sertifikasi
merupakan sarana untuk mencapai kualitas tersebut.
B. KUALITAS PENDIDIK
1. KUALITAS PENDIDIKAN
Hasil penelitian United Nation Development Programe (UNDP) pada
tahun 2007 tentang Indeks Pengembangan Manusia menyatakan
Indonesia berada pada peringkat ke-107 dari 177 negara yang diteliti
(diakses 7 Desember 2008). Indonesia memperoleh indeks 0,728. Dan
jika Indonesia dibanding dengan negara-negara ASEAN yang dilibatkan
dalam penelitian, Indonesia berada pada peringkat ke-7 dari sembilan
negara ASEAN. Salah satu unsur utama dalam penentuan komposit
Indeks Pengembangan Manusia ialah tingkat pengetahuan bangsa atau
pendidikan bangsa. Peringkat Indonesia yang rendah dalam kualitas
sumber daya manusia ini adalah gambaran mutu pendidikan Indonesia
yang rendah.
Keterpurukan mutu pendidikan di Indonesia juga dinyatakan oleh
United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization
(UNESCO), Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurus bidang
pendidikan. Menurut Badan PBB itu, peringkat Indonesia dalam bidang
pendidikan pada tahun 2007 adalah 62 di antara 130 negara di dunia.
Education development index (EDI) Indonesia adalah 0.935, di bawah
Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965). Rendahnya mutu
pendidikan di Indonesia juga tercermin dari daya saing di tingkat
internasional. Daya saing Indonesia menurut Wordl Economic Forum,
2007-2008, berada di level 54 dari 131 negara. Jauh di bawah peringkat

12

daya saing sesama negara ASEAN seperti Malaysia yang berada di urutan
ke-21 dan Singapura pada urutan ke-7.
2. KUALITAS GURU
Salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah
komponen mutu guru. Rendahnya profesionalitas guru di Indonesia dapat
dilihat dari kelayakan guru mengajar. Menurut Balitbang Depdiknas,
guru-guru yang layak mengajar untuk tingkat SD baik negeri maupun
swasta ternyata hanya 28,94%. Guru SMP negeri 54,12%, swasta 60,99%.
Guru SMA negeri 65,29%, swasta 64,73%. Guru SMK negeri 55,91 %,
swasta 58,26 %. Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk
mengatasi permasalahan rendahnya kualitas guru ini adalah dengan
mengadakan sertifikasi. Dengan adanya sertifikasi, pemerintah berharap
kinerja guru akan meningkat dan pada gilirannya mutu pendidikan
nasional akan meningkat pula.
Keterpurukan mutu pendidikan Indonesia di dunia internasional
memang amat memprihatinkan. Akan tetapi, keprihatinan ini jangan
sampai membuat kita putus harapan. Keterpurukan ini hendaknya
membuat kita sungguh-sungguh terdorong mencari jalan yang tepat,
bukan dengan cara-cara instan dan mengutamakan kepentingan pribadi.
Salah satu jalan yang ditempuh oleh pemerintah dalam mengatasi mutu
pendidikan yang rendah ini adalah dengan meningkatkan kualitas
gurunya melalui sertifikasi guru.
Pemerintah berharap, dengan disertifkasinya guru, kinerjanya akan
meningkat sehingga prestasi siswa meningkat pula. Namun dalam
pelaksanaannya, sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio memberi
banyak peluang pada guru untuk menempuh jalan pintas. Hal ini
disebabkan profesionalisme guru diukur dari tumpukan kertas. Indikator
inilah yang kemudian memunculkan hipotesis bahwa pelaksanaan
sertifikasi dalam wujud penilaian portofolio tidak akan berdampak sama

13

sekali terhadap kinerja guru, apalagi terhadap peningkatan mutu


pendidikan nasional.
Di samping itu, berkaca pada pelaksanaan sertifikasi negara-negara
maju, terutama dalam bidang pendidikan, peningkatkan mutu pendidikan
hanya dapat dicapai dengan pola-pola dan proses yang tepat. Pola-pola
instan hanya akan menghambur-hamburkan dana dan waktu menjadi
terbuang percuma. Sedangkan apa yang menjadi substansi sama sekali
tidak tersentuh.
3. FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN SERTIFIKASI GURU
Adakah jaminan bahwa sertifikasi akan meningkatkan kualitas
kompetensi guru? Ada beberapa hal yang perlu untuk dikaji secara
mendalam

untuk

memberikan

jaminan

bahwa

sertifikasi

akan

meningkatkan kualitas kompetensi guru.


Pertama, sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk
mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Seperti yang telah
dikemukakan di atas, perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua
fihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju kualitas. Sertikasi
bukan tujuan itu sendiri. Kesadaran dan pemahaman ini akan melahirkan
aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk
mencapai kualitas. Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk
kualifikasi, maka belajar kembali ini untuk mendapatkan tambahan ilmu
pengetahuan dan ketrampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1. Ijazah S1 bukan tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara
yang tidak benar melainkan konsekuensi dari telah belajar dan telah
mendapatkan tambahan ilmu dan ketrampilan baru. Demikian pula kalau
guru mengikuti uji sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan
tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang
bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam
standard kemampuan guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis
yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud. Dengan menyadari

14

hal ini maka guru tidak akan mencari jalan lain guna memperoleh
sertifikat profesi kecuali mempersiapkan diri dengan belajar yang benar
untuk menghadapi uji sertifikasi.
Kedua, konsistensi dan ketegaran pemerintah. Sebagai suatu
kebijakan yang merentuhan dengan berbagai kelompok masyarakat akan
mendapatkan berbagai tantangan dan tuntutan. Paling tidak tuntutan dan
tantangan akan muncul dari 3 sumber yaitu:
1) Sumber pertama adalah dalam penentuan lembaga yang berhak
melaksanakan uji sertifikasi. Berbagai lembaga penyelenggara
pendidikan tinggi, khususnya dari fihak Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan

Swasta

akan

menuntut

untuk

diberi

hak

menyelenggarakan dan melaksanakan uji sertifikasi. Demikian juga,


akan muncul tuntutan dari berbagai LPTK negeri khususnya di daerah
luar jawa akan menuntut dengan alasan demi keseimbangan
geografis. Tuntutan ini akan mempengaruhi penentuan yang
mendasarkan pada objektivitas kemampuan suatu perguruan tinggi.
Ketegaran dan konsistensi pemerintah juga diperlukan untuk
menghadapi tuntutan dan sekaligus tantangan bagi pelaksana
Undang-Undang yang muncul dari kalangan guru sendiri.
2) Sumber kedua adalah mereka yang sudah senior atau
3) Sumber ketiga adalah mereka para guru yang masih jauh dari
pensyaratan akan menentang dan menuntut berbagai kemudahan
agar bisa memperoleh sertifikat profesi tersebut.
Ketiga, tegas dan tegakkan hukum. Dalam pelaksanaan sertifikasi,
akan muncul berbagai penyimpangan dari aturan main yang sudah ada.
Adanya penyimpangan ini tidak lepas dari adanya upaya berbagai fihak,
khususnya guru untuk mendapatkan sertifikat profesi dengan jalan
pintas. Penyimpangan yang muncul dan harus diwaspadai adalah
pelaksanaan sertifikasi yang tidak benar. Oleh karenanya, begitu ada

15

gejala penyimpangan, pemerintah harus segera mengambil tindakan


tegas. Seperti mencabut hak melaksanakan sertifikasi dari lembaga yang
dimaksud, atau menetapkan seseorang tidak boleh menjadi penguji
sertifikasi, dan lain sebagainya.
Keempat, laksanakan UU secara konsekuen. Tuntutan dan tantangan
juga akan muncul dari berbagai daerah yang secara geografis memiliki
tingkat pendidikan yang relatif tertinggal. Kalau UUGD dilaksanakan
maka sebagian besar dari pendidik di daerah ini tidak akan lolos
sertifikasi.
Pemerintah harus konsekuen bahwa sertifikasi merupakan standard
nasional yang harus dipatuhi. Toleransi bisa diberikan dalam pengertian
waktu transisi. Misalnya, untuk Jawa Tengah transisi 5 tahun, tetapi untuk
daerah yang terpencil transisi 10 tahun. Tetapi standard tidak mengenal
toleransi.
Kelima pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyediakan
anggaran yang memadai, baik untuk pelaksanaan sertifikasi maupun
untuk pemberian tunjangan profesi.
4. PEMBINAAN PASCA SERTIFIKASI
Pembinaan guru harus berlangsung secara berkesinambungan, karena
prinsip mendasar adalah guru harus merupakan a learning person, belajar
sepanjang hayat masih dikandung badan. Sebagai guru profesional dan
telah menyandang sertifikat pendidik, guru berkewajiban untuk terus
mempertahankan prosionalitasnya sebagai guru.
Pembinaan

profesi

guru

secara

terus

menerus

(continuous

profesional development) menggunakan wadah guru yang sudah ada,


yaitu kelompok kerja guru (KKG) untuk tingkat SD dan musyawarah guru
mata pelajaran (MGMP) untuk tingkat sekolah menengah. Aktifitas guru
di KKG/MGMP tidak saja untuk menyelesaikan persoalan pengajaran
yang dialami guru dan berbagi pengalaman mengajar antar guru, tetapi

16

dengan strategi mengembangkan kontak akademik dan melakukan


refleksi diri.
Desain jejaring kerja (networking) peningkatan profesionalitas guru
berkelanjutan melibatkan instansi Pusat, Pusat Pengembangan dan
Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK), Lembaga
Penjaminan

Mutu

Pendidikan

(LPMP)

dan

Dinas

Pendidikan

Propinsi/Kabupaten/Kota serta Perguruan Tinggi setempat. P4TK yang


berbasis

mata

pelajaran

membentuk

Tim

Pengembang

Materi

Pembelajaran, bekerjasama dengan Perguruan Tinggi bertugas:


1) menelaah dan mengembangkan materi untuk kegiatan KKG dan
MGMP
2) mengembangkan model-model pembelajaran.
3) mengembangkan modul untuk pelatihan instruktur dan guru inti.
4) memberikan pembekalan kepada instruktur pada LPMP.
5) mendesain pola dan mekanisme kerja instruktur dan guru inti dalam
kegiatan KKG dan MGMP.
LPMP bersama dengan Dinas Pendidikan Propinsi melakukan seleksi
guru utk menjadi Instruktur Mata Pelajaran Tingkat Propinsi per mata
pelajaran dengan tugas :
1) menjadi narasumber dan fasilitator pada kegiatan KKG dan MGMP
2) mengembangkan inovasi pembelajaran untuk KKG dan MGMP
3) menjamin keterlaksanaan kegiatan KKG dan MGMP
Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota melakukan seleksi Instruktur Mata
Pelajaran Tingkat Kab/Kota dan membentuk Guru Inti per mata pelajaran
dengan tugas:
1) motivator bagi guru untuk aktif dalam KKG dan MGMP
2) menjadi fasilitator pada kegiatan KKG dan MGMP
3) mengembangkan inovasi pembelajaran

17

4) menjadi narasumber pada kegiatan KKG dan MGMP


KKG dan MGMP sebagai wadah pengembangan profesi guru
melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi profesi guru. Selain itu perlu
adanya pemberdayaan guru yang telah memperoleh sertifikat. Hal ini
dapat dilakukan dengan adanya pemberian tugas yang sesuai dengan
kompetensi guru maupun adanya dorongan dari pihak manajemen
sekolah yang mampu menumbuhkan motivasi kerja bagi para guru.
Meningkatnya kompetensi guru yang didukung dengan adanya motivasi
kerja yang tinggi akan dapat meningkatkan kinerja guru. Meningkatnya
kinerja guru akan meningkatkan kualitas pembelajaran, yang pada
akhirnya akan meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan,
karena ujung tombak dari kegiatan pendidikan adalah pada kegiatan
pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan oleh guru.
C. PENGARUH SERTIFIKASI TERHADAP KUALITAS PENDIDIK
1. PENGARUH NEGATIF SERTIFIKASI GURU BERBASIS PORTOFOLIO
TERHADAP KOMPETENSI GURU
Fakta dilapangan sangat jelas bahwa untuk memperoleh sertifikasi
guru, hanya dengan menyerahkan portofolio. Padahal jika dilihat dari
aspek evaluasi, uji portofolio tidak menggambarkan kompetensi atau
kemampuan para guru sesuai dengan Undang-undang No. 14 tahun 2005
pasal 8 yang menyatakan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional.
Pelaksanaan program sertifikasi tujuan dasarnya adalah untuk
meningkatkan mutu pendidikan. Karena dengan meningkatnya kualitas
pendidikan, maka akan dapat pula mendongkrak kualitas pendidikan
bangsa Indonesia saat ini. Meski proses sertifikasi guru sudah memasuki
periode keempat, bukan berarti kendala dan permasalahan yang
menyertai sertifikasi guru sirna. Bahkan, problematika yang berasal dari

18

para peserta sertifikasi sendiri bermunculan, karena para guru saling


berlomba melengkapi berbagai persyaratan sertifikasi dengan cara yang
tidak benar. Terlebih, syarat sertifikasi hanya menyusun portofolio yang
di dalamnya berisi berbagai dokumen mengenai kompetensi guru dalam
berbagai bidang.
Adapun dampak negatif dari sertifikasi guru berbasis portofolio
terhadap kinerja dan kompetensi guru adalah:
1) Menjadi Sosok yang Certificate-Oriented
Ternyata implementasi sertifikasi guru dalam bentuk penilaian
portofolio ini kemudian menimbulkan polemik baru. Banyak para
pengamat pendidikan yang menyangsikan keefektifan pelaksanaan
sertifikasi dalam rangka meningkatkan kinerja guru. Bahkan ada yang
berhipotesis bahwa sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tak
akan berdampak sama sekali terhadap peningkatan kinerja guru,
apalagi dikaitkan dengan peningkatan mutu pendidikan nasional. Hal
ini berkaitan dengan temuan-temuan dilapangan bahwa adanya
indikasi kecurangan dalam melengkapi berkas portofolio oleh para
guru peserta sertifikasi. Kecurangan dengan memalsukan dokumen
portofolio itu memang ada. Indikasinya kuat sekali. Temuan ini nanti
akan diklasifikasi ke guru hingga kepala sekolah yang bersangkutan,
Rochmat Wahab, Ketua Panitia Pelaksana Uji Sertifikasi dari
Universitas Negeri Yogyakarta (Kompas 18/9). Semua guru ribut ikut
seminar dan lokakarya agar mendapat sertifikat, legalisasi ijazah
dengan cara scan, lengkap dengan tanda tangan kepala sekolah dan
cap sekolah, termasuk ijazah S-1 yang entah berasal dari perguruan
tinggi mana. Salah satu penyebab terjadinya penyimpangan tersebut
adalah lemahnya pengarsipan data sehingga pada saat dokumen
tertentu dibutuhkan, para guru kerepotan karena tidak terbiasa
mengarsip. Hal seperti ini bisa saja lulus dalam proses sertifikasi.

19

Sebab tidak dapat dipungkiri bahwasannya asesor sebagai orang yang


menilai portofolio melakukan kesalahan dan tidak cermat dalam
melakukan penilaian. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah
guru sebagai cermin siswa itu jujur, apakah layak untuk mendapat
sertifikat pendidik sebagai pendidik profesional? Apa tidak malu jika
bersertifikat profesional, tetapi ijazah yang dimiliki ditempuh dengan
cara seperti itu?. Sebagian guru menjadi seorang yang certificateoriented bukannya programa-oriented yang seharusnya sibuk
memikirkan teknik pengajaran apa yang akan digunakan di dalam
kelas agar hasil pembelajaranya maksimal.
2) Miskin Keterampilan dan Kreatifitas
Guru bukanlah bagian dari sistem kurikulum, tetapi keberhasilan
pelaksanaan kurikulum akan bergantung pada kemampuan, kemauan,
dan sikap professional tenaga guru (Soedijarto, 1993). Kalau dikaitkan
persyaratan professional seorang guru yang sesuai dengan Standar
Nasional Pendidikan yaitu, mampu merencanakan, mengembangkan,
melaksanakan, dan menilai proses belajar secara relevan dan efektif
maka seorang guru yang professional akan dengan mudah lolos
sertifikasi berbasis portofolio tanpa harus memanipulasi berkasnya.
Karena sebelumnya guru tersebut telah giat mengembangkan dirinya
demi anak didiknya. Namun yang menjadi persoalan adalah mereka,
para guru yang melakukan kecurangan dalam sertifikasi. Temuan
kecurangan dalam sertifikasi tersebut jelas membuktikan bahwa guru
yang lolos sertifikasi dengan cara memanipulasi berkas portofolio,
akan tetap mengajar dengan seadanya. Guru yang terampil dan kreatif
akan mampu menguasai dan membawa situasi pembelajaran dengan
bekal keterampilan dan ide-ide kreatifnya. Sehingga peserta didik pun
lebih menarik mengikuti pelajaran, tidak jenuh dan berpikiran bahwa
guru tersebut adalah orang yang handal dan mempunyai banyak

20

pengalaman. Berbeda halnya dengan guru yang tidak kreatif. Mereka


miskin keterampilan dan kreatifitas sehingga apa yang disampaikan
serasa kaku tanpa pengembangan konsep pembahasan. Penyajian
pelajaran hanya sebatas penyampaian secara tekstual. Dan menurut
hemat penulis hal ini lah yang dialami oleh para guru yang
memanipulasi berkas portofolio mereka dalam sertifikasi.
3) Degradasi Semangat Mengembangkan Diri
Jika dalam Standar Nasional Pendidikan menyebutkan bahwa guru
harus mengembangkan kepribadiannya ke arah profesionalisme.
Maka sertifikasi berbasis portofolio dipandang dapat menghambat
proses pengembangan tersebut. Karena seperti yang penulis paparkan
di atas, bahwa sertifikasi selain untuk meningkatkan kualitas guru dan
pendidikan di Indonesia juga untuk meningkatkan kesejahteraan guru
itu sendiri. Dengan memberikan tunjangan satu kali gaji pokok. Kalau
proses sertifikasi hanya dinilai dengan berkas portofolio maka guru
pun akan dengan instant melengkapinya. Pengembangan diri yang
meliputi standar profesi dan standar mental, moral, sosial, spiritual,
intelektual, fisik, dan psikis membutuhkan proses yang panjang, tidak
bisa secara instant. Apalagi hanya dibuktikan dengan sertifikat
kegiatan-kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan kependidikan jelas
tidak bisa dijadikan standar pengembangan diri seorang guru. Pada
akhirnya para guru pun enggan untuk berusaha mengembangkan
dirinya sebagaimana yang dituntut dalam Undang-Undang Guru dan
Dosen serta Standar Pendidikan Nasional.
4) Merosotnya Kompetensi Profesi
Hasil penelitian United Nation Development Programe (UNDP) pada
tahun 2007 tentang Indeks Pengembangan Manusia menyatakan
Indonesia berada pada peringkat ke-107 dari 177 negara yang diteliti

21

Peringkat Indonesia yang rendah dalam kualitas sumber daya


manusia ini adalah gambaran mutu pendidikan Indonesia yang
rendah. Keterpurukan mutu pendidikan di Indonesia juga dinyatakan
oleh United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization
(UNESCO)-Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurus bidang
pendidikan. Salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di
Indonesia adalah komponen mutu guru. Rendahnya profesionalitas
guru di Indonesia dapat dilihat dari kelayakan guru mengajar. Salah
satu cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi
permasalahan

rendahnya

kualitas

guru

ini

adalah

dengan

mengadakan sertifikasi berbasis portofolio. Dengan adanya sertifikasi,


pemerintah berharap kinerja guru akan meningkat dan pada
gilirannya mutu pendidikan nasional akan meningkat pula. Namun
sertifikasi yang berbasis portofolio tersebut menjadi keprihatinan
banyak pihak. Hal ini dikarenakan pelaksanaan sertifikasi dalam
bentuk penilaian portofolio tidak lebih dari penilaian terhadap
tumpukan kertas. Kelayakan profesi guru dinilai berdasarkan
tumpukan kertas yang mampu dikumpulkan. Padahal untuk membuat
tumpukan kertas itu pada zaman sekarang amatlah mudah. Tidak
mengherankan jika kemudian ada beberapa kepala sekolah yang
menyetting berkas portofolio guru di sekolahnya tidak mencapai
batas angka kelulusan. Mereka berharap guru-guru tersebut dapat
mengikuti diklat sertifikasi. Dengan mengikuti diklat sertifikasi, maka
akan banyak ilmu baru yang akan didapatkan secara cuma-cuma. Dan
pada gilirannya, ilmu yang mereka dapatkan di diklat sertifikasi akan
diterapkan di sekolah atau di kelas. Fenomena ini menerangkan
bahwa sertifikasi berbasis portofolio menyebabkan merosotnya
kompetensi profesi guru.

22

2. ANTISIPASI PENGARUH NEGATIF SERTIFIKASI GURU BERBASIS


PORTOFOLIO TERHADAP KINERJA DAN KOMPETENSI GURU
Berdasarkan gejala-gejala yang ditimbulkan dari sertifikasi berbasis
portofolio di atas, cara untuk mengantisipasi pengaruh negatif yang lahir
akibat gejala-gejala tersebut. Diharapkan cara yang dimaksud dapat
mendatangkan hasil positif bagi permasalahan yang diangkat. Sehingga
yang menjadi masalah dapat dikendalikan. Cara yang dapat dilakukan
sebagai langkah awal untuk membendung pengaruh negatif sertifikasi
guru berbasis portofolio adalah sebagai berikut :
1) Mensosialisasikan dan Meningkatkan Pengawasan Sertifikasi
Terkait dengan indikasi adanya kecurangan dokumen portofolio yang
diserahkan guru yang terpilih dalam kuota, maka perlu kiranya, Dinas
Pendidikan di daerah selaku lembaga fasilitator kaum Umar Bakri
ini agar dapat terus mensosialisasikan program sertifikasi, supaya
guru tidak panik dalam menghadapi proses penilaian portofolio. Hal
Ini harus disosialisasikan oleh dinas pendidikan setempat bahwa guru
tetap punya kesempatan untuk lulus melalui pendidikan dan
pelatihan. Bagi yang sudah dapat sertifikat pendidik pun perlu
diingatkan supaya bertanggung jawab terhadap kualifikasi yang sudah
diraih. Selain itu sosialisasi terkait sertifikasi ini dapat membantu para
guru yang belum mengerti apa yang harus dilakukan agar lolos
sertifikasi

dengan

jalan

yang

benar.

Para pengawas sertifikasi dalam hal ini tim asesor juga perlu
meningkatkan kejelian dan ketelitian dalam mensertifikasi para
peserta, agar tidak meloloskan peserta yang memanipulasi berkas
portofolionya. Serta meningkatkan kewaspadaan terhadap indikasi
kecurangan-kecurangan yang mungkin terjadi.
2) Meningkatkan Suguhan Up Grading untuk Para Guru

23

Suguhan Up Grading yang penulis maksud berupa peningkatanpeningkatan kualitas guru diberbagai kompetensi. Up Grading ini
dapat berupa Kegiatan-kegiatan training, penataran, workshop, dan
apapun istilah lainnya. Cara ini dapat mengubah rahasia umum para
guru, bahwa yang dapat menikmati suguhan Up Grading tersebut
hanyalah segelintir dari mereka. Diutamakan yang dapat bekerjasama
dengan pimpinan atau dianggap berprestasi di mata atasan.
Sehingga, yang dapat mengikuti sertifikasi dengan baik dan benar juga
akan menjadi sedikit saja. Sementara kuota yang demikian besar
membuat, lagi-lagi, menyediakan celah penyimpangan. Terjadilah
pemalsuan sertifikat, berkas-berkas terkait, data-data dan sebagainya.
Proses Up Grading harus sesuai dengan tujuan, yaitu meningkatkan
empat kompetensi guru sebagaimana amanat Undang-undang Guru
dan Dosen No. 14 Tahun 2005 Pasal 10 tentang kompetensi guru dan
pasal 32 tentang pembinaan dan pengembangan. Pengembangan
jangan terfokus pada pengembangan kompetensi profesional yang
lebih bersifat managerial kelas dan administratif. Kompetensi lain
yang meliputi paedagogis, kepribadian dan sosial juga harus
ditingkatkan.

Selain

itu

pengembangan

kompetensi

tersebut

dilakukan tidak hanya dalam bentuk himbauan atau ceramah saja.


D. ULASAN

Selama tahun 2000-2014 tidak terjadi peningkatan kualitas kompetensi


guru dan kualitas pendidikan meski pemerintah mengalokasikan anggaran
bagi guru pegawai negeri sipil sekitar Rp 70 triliun setiap tahun. Padahal, niat
awal pemberian tunjangan profesi atau program sertifikasi adalah untuk
meningkatkan

kualitas

kompetensi

peningkatan kualitas pendidikan.

guru

yang

berpengaruh

pada

24

Sertifikasi belum banyak berpengaruh terhadap kualitas guru. Buktinya,


hasil kajian Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) menyatakan
sekitar 40 persen guru yang lulus sertifikasi memiliki nilai di bawah lima.
"Dengan hasil itu, masih banyak guru yang kualitasnya belum meningkat
walaupun telah menerima tunjangan profesi pendidik (TPP),".
Kajian tersebut dilakukan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah
Kemendiknas terhadap sejumlah guru yang bersertifikasi dan menerima TPP.
Dari kajian itu disimpulkan, hanya 29,6 persen kompetensi guru yang naik
setelah

sertifikasi.

"Pemberian

tunjangan

setelah

sertifikasi

hanya

berdampak kecil bagi kualifikasi guru," ungkapnya. Meski demikian, Salamun


mengatakan Kemendiknas akan membuat program diklat terakreditasi.
Diklat tersebut bersifat wajib diikuti oleh seluruh guru yang telah lulus
sertifkasi dan menerima TPP. "Jika tidak ada program pendidikan dan
latihan, proses sertifikasi semakin tidak berdampak pada kualifikasi guru,".
Guru sekarang menjadi sebuah profesi, dulunya orang mengenal guru itu
dengan seorang yang memiliki harkat dan martabat lebih tinggi. Atau orang
menyebutnya dengan pahalawan tanpa tanda jasa. Memang guru memberi
peranan

besar

dalam

memajukan

pendidikan.

Pendidikan

yang

mengarahakan manusia untuk mengembangkan dirinya, menjadikan apa


yang dulu tak mengerti menjadi mengerti dan juga memanusiakan manusia
dengan mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai kehidupan. Dan sekarang
ini rasanya guru menjadi pilihan pekerjaan yang diburu banyak orang.
Tentunya karena berbagai alasan, mulai dari kesejahteraan yang bisa lebih
baik sampai niat suci untuk memajukan pendidikan. Guru memberikan
jaminan hidup, dengan gaji dan tunjangan, pensiunan layaknya PNS, dan yang
tak kalah menariknya yaitu tunjangan profesi.
Dengan deretan rincian gaji seperti itu seharusnya memberikan nilai
tambah guru. Artinya apa yang sudah diberikan haruslah sebanding dengan
apa yang harus dilaksanakan. Sertifikasi guru, adalah salah satu upaya yang

25

dilakukan

oleh

pemerintah

yang

secara

umum

bertujuan

untuk

meningkatkan kualitas guru sehingga akan berdampak positif bagi kemajuan


pendidikan. Konsekwensinya bagi guru yang lolos sertifikasi adalah
mendapatkan tunjangan yang besar. Sehingga seorang guru berharap atau
ingin bisa lolos dalam sertifikasi. Tapi sertifikasi guru ini tidak begitu besar
dampaknya dalam meningkatkan kemajuan pendidikan. Memang pemerintah
selain terus menambah jumlah guru juga harus meningkatkan kualitasnya.
Tapi tentunya ada skala prioritas, dan rasanya sertifikasi tidak memberikan
dampak maksimal.
Proses sertifikasi guru. Untuk bisa dikatakan profesional tentunya harus
ada evaluasi, indikator yang harus nampak pada guru profesional. Fakta yang
ada di lapangan, guru itu banyak yang membuatkan atau secara instan
menyusun portofolio. Dan jika pun lewat DIKLAT yang dilakukan beberapa
minggu tidak bisa memberikan perubahan yang begitu terlihat. Setelah guru
dinyatakan lolos sertifikasi, apakah dia mau mengembangkan terus
kemampuannya dalam mengajar atau mendidik? Hanya sedikit yang mau,
misal dengan mengikuti seminar, workshop atau melanjutkan pendidikan
formalnya. Yang ada mereka berpikir, apa yang diinginkan sudah didapat ya
sudah.
Selain itu tentunya proses sertifikasi ini harus berkelanjutan, guru
dikatakan profesional harus ada tenggang waktunya, misalnya dengan 3
tahun sekali diadakan evaluasi guru kembali. Kenyataannya tidak, hanya
sekali dan berlaku untuk waktu sampai kapan tidak jelas. Produknya tak
jelas, dengan tunjangan sertifikasi yang besar seharusnya menghasilkan
sesuatu yang jelas. Misalnya saja bagi guru yang sudah sertifikasi haruslah
mengantarkan anak didiknya mencapai tujuan apa yang dipelajarinya dengan
baik, misalnya dengan patokan nilai. Atau bagi guru yang sudah sertifikasi
harus secara berkala membuat karya tulis ilmiah yang dipublikasikan.

26

Kenyataanya target dan beban tugasny sama saja dengan guru yang belum
sertifikasi. Semangat kerja dan dedikasi yang kurang.
Faktanya guru yang sudah sertifikasi tidak lebih berdedikasi dari guru
sukarelawan (guru sukwan). Banyak beban mengajar atau diluar mengajar
yang masih ada hubungannya dengan sekolah malah diberikan kepada guru
sukarelawan. Dengan uang yang sudah banyak dimilikinya dengan mudah ia
memberikan sebagaian uangnya untuk guru sukarelawan tapi dengan beban
pekerjaan yang diberikan kepadanya. Sudah banyak dibahas kenaikan gaji itu
juga akan dibarengi dengan kenaikan harga barang, jadi berapa besar
tambahan gajinya nilainya menjadi sama. Dan tentunya jika ini tidak
dilaksanakan secara jujur dan adil akan menciptakan kecemburuan sosial.
Niatnya sudah baik, yaitu dengan sertifikasi guru akan meningkatkan kualitas
guru dan selanjutnya memperbaiki kualitas pendidikan. Prosesnya yang
harus dilakukan dengan juga profesioanl yang nantinya juga bisa
menghasilkan guru yang profesional. Karena didalam proses itulah tahapan
yang paling penting. Dan tentunya apa yang sudah diberikan haknya terlebih
dahulu berupa tunjangan profesi haruslah diimbangi dengan melaksanakan
kewajiban yang semestinya dilakukan. Sehingga semua tidak menjadi
percuma. Karena masih ada banyak komponen dan sektor pendidikan yang
juga harus diperbaiki untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

27

BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
Pengaruh sertifikasi guru terhadap kualitas pendidikan mulai tampak
jelas setah 4 tahun pelaksanaan sertifikasi guru baik pengaruh yang bersifat
positif maupun negatif. Secara

garis besar pengaruh tersebut dapat

disimpulkan sebagai berikut:


1. Upaya yang sungguh-sungguh perlu dilaksanakan untuk mewujudkan
guru yang professional, sejahtera dan memiliki kompetensi. Hal ini
merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik
pendidikan yang berkualitas, di mana pendidikan yang berkualitas
merupakan salah satu syarat utama untuk mewujudkan kemakmuran
dan kemajuan suatu bangsa.
2. Dengan disertifkasinya guru, kinerjanya akan meningkat sehingga
prestasi siswa meningkat pula. Namun untuk membentuk guru yang
profesional sangat tergantung pada banyak hal yaitu guru itu sendiri,
pemerintah, masyarakat dan orang tua. Berdasarkan kenyataan yang
ada, pemerintah telah mengupayakan berbagai hal, diantaranya
sertifikasi guru. Dengan adanya program sertifikasi tersebut, kualitas
mengajar guru akan lebih baik.
3. Pelaksanaan program sertifikasi guru pulalah yang memungkinkan
pemberian tunjangan profesi bagi para guru dapat terwujud yang
berimplikasi terhadap peningkatan kesejahteraan guru. Peningkatan
kesejahteraan guru ini penting artinya bagi peningkatan kualitas
pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung, baik jangka
pendek maupun jangka panjang. Dengan peningkatan kesejahteraan
guru dapat bekerja dengan lebih tenang, berpenampilan lebih baik,

28

mempunyai kebanggaan profesi yang disandangnya, dapat membeli


buku-buku sumber yang lebih berkualitas, meningkatkan jenjang
pendidikannya. Pada akhirnya dengan peningkatan kesejahteraan
dapat pula meningkatkan martabat seorang guru. Sehingga profesi
seorang guru tidak dipandang sebelah mata lagi. Tidak lama lagi lagu
Iwan Fals yang berjudul Umar Bakri yang merupakan celenehan
bagi profesi guru tinggal menjadi kenangan masa lampau.
4. Pengaruh jangka panjangnya adalah menumbuhkan minat sumber
daya manusia yang berkualitas di Indonesia untuk menjadi seorang
guru yang profesiaonal. Hal ini sudah terlihat dengan meningkatnya
minat para lulusan SLTA untuk melanjutkan pendidikan di perguruan
tinggi keguruan atau pendidikan. Dengan input yang lebih berkualitas
di harapkan Perguruan Tinggi pencetak guru di Indonesia akan
menghasilkan output yang lebih berkualitas sehingga menghasilkan
outcome yang lebih berkualitas pula.
5. Karena komponen yang menentukan kualitas pendidikan bukan
hanya kualitas guru saja tetapi juga dipengaruhi juga oleh kualiatas
komponen yang lainnya seperti sarana prasarana, manajemen
sekolah,

kurikulum,

kesadaran

masyarakat

akan

pentingnya

pendidikan, niat dan tekat para stake holder termasuk juga tingkat
daya beli masyarakat dan lain-lain maka perlunya pengadaan program
dan kebijakan yang simultan, selaras dan berkesinambungan di setiap
komponen yang kiranya akan saling terkait

dalam mewujudkan

pendidikan di Indonesia yang berkualitas.


6. Pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan yang belum merata bagi
semua guru berdampak keceburuan sosial bagi guru yang belum
tersertifikasi, sehingga akan dapat menurunkan motivasi kerja.
Terdapat pula kesenjangan kesejahteraan yang terlalu jauh antara
guru PNS yang sudah disertifikasi dan guru honorer yang belum
tersertifikasi.

29

B. SARAN
Hal-hal yang harus dilakukan untuk lebih meningkatkan efektifitas
sertifikasi terhadap kualitas pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Program sertifikasi bagi guru harus dilanjutkan dengan percepatan
untuk menjamin pemerataan sertifikasi bagi seruh guru sesuai dengan
jadwal yang telah ditetapkan.
2. Program sertifikasi dengan pendekatan fortopolio harus dihindari dan
difokuskan pada pendakatan diklat untuk melaksanakan up grading
kompetensi guru.
3. Pengawasan pelaksanaan sertifikasi harus berkesinambungan dan
diperketat.
4. Program-program peningkatan kualitas guru melalui pembinaan
pasca sertifikasi harus dilaksanakan.

30

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur penelitian. Jakarta: Rineka Cipta
Blake, David dan Lansdell, Jenny. 2000. Quality in Teacher Education. Jurnal
Internasional.http://www.emeraldlibrary.com/10.1108/09684880010
325501 /2009/06/03 16:30
Depdiknas Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Direktorat Pembinaan
Pendidikan Dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi. 2004. Standar
Kompetensi Guru Pemula Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta.
Depdiknas
Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate denagan program SPSS.
Semarang: BPUNDIP
Handoko, Hani. 1987. Menejemen Personalia dan Sumber Daya Manusia.
Yogyakarta: BPFE.
Karen Burke 2005. Teacher certification exams: What are the predictor of
success. College student Journal. Proquest.umi.com
Lora Cohen-vogel, Thomas M Smith. 2007. Qualification and assignments of
alternatively certified teacher: testing core Assumtions. United States-Us.
Proquest.umi.com.
Mathis , Robert L dan Jackson John. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia
Jakarta: Salemba Empat.
Mendikbud RI. Keputusan Mendikbud RI Nomor 25/0/1995. Tentang
Petunjuk Teknis dan Ketentuan Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru
dan angka kreditnya . Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikdasmen.
Mulyasa E. 2006. Standar kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung:
Rosdakarya

31

Mulyasa E.2006.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung:

Rosdakarya
Mulyasa, E.2004. Menjadi Kepala Sekolah professional : Konsep, strategi:
Dalam konteks menyukseskan MBS dan KBK. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Muslich, Masnur. 2007. Sertifikasi Guru menuju Profesioanal Pendidik.
Malang: Bumi Aksara. Riduwan. 2002. Skala pengukuran variabelvariabel penelitian. Bandung: Alfabeta
Sarimaya, Farida. 2008. Sertifikasi Guru. Bandung: Yrama Widya
Sugiyono. DR. 2002. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: ALFABET
Sukardi. 2008. Pengaruh sertifikasi guru terhadap kinerja guru ekonomi
akuntansi SMA dan SMK Negeri Se Kota Semarang. Semarang
Tri Widodo WU dan Deden Hermawan.1999. Evaluasi Terhadap Sistem
Penilaian Prestasi Kerja menurut DP3
Yamin, Martinis. 2007. Sertifikasi Profesi Keguruan di Indonesia. Jakarta:
Gaung Persada

Anda mungkin juga menyukai