Anda di halaman 1dari 4

Dari Kumpulan Cerpen "Keberanian Manusia"

Lima Belas Tahun Tidak Lama


Kota kami telah hampir berusia setengah abad, dan hampir saja hanyut karena kece
lakaan gunung berapi. Beberapa tahun belakangan ini orang-orang sudah tidak lagi
memikirkan apakah bahaya itu akan datang lagi, sehingga orang-orang sudah tidak
memikirkan soal waktu. Kota itu terbentang di pinggir pantai, dengan sebuah jal
an panjang sembilan kilometer ke arah barat laut, dan tepat di pintu kota ada se
buah kantor bank. Orang-orang pegawai bank tidak memikirkan waktu, mereka banyak
berhubungan dengan angka-angka. Di sebelah bank itu ada sebuah restoran Cina da
n orang-orang Cina itu juga tidak memikirkan waktu. Belakangan mereka malah kesu
sahan, karena pemeliharaan babi kurang memuaskan, sebab banyak orang-orang Islam
yang jadi tukang gembala babi-babi itu diganggu keamanannya oleh penduduk sekit
arnya.
Di sebelah restoran Cina itu ada sebuah toko kecil, toko sepatu, di mana banyak
sepatu-sepatu. Sepatu-sepatu itu dikerjakan oleh tukang-tukang sepatu dan mereka
berjumlah enam orang. yang termuda dari tukang-tukang sepatu ini berumur dua be
las tahun, tidak perlu disebutkan namanya, karena lebih penting apa yang menyeba
bkan ia menjadi tukang sepatu. Ia menjadi tukang sepatu karena hendak memberi ma
kan lima orang adik-adiknya, hendak membantu penghasilan ibunya yang bekerja seb
agai tukang cuci.
Ia adalah yang paling pendiam. Yang tertua dari tukang-tukang sepatu itu adalah
seorang lelaki, yang mengabdikan pikirannya dan anggota-anggota badannya untuk m
embuat sepatu-sepatu yang baik. Dari keenam pekerja itu, dia inilah yang paling
banyak ditegur oleh majikannya, karena ia tidak cepat bekerja, karena ia membuat
sepatu-sepatu itu sebaik-baiknya. Pemilik toko sepatu itu tidak memikirkan memb
ikin sepatu yang kuat dan baik lebih menguntungkan. Ia lebih banyak memikirkan b
agaimana bisa menghasilkan sepatu sebanyak-banyaknya, tidak peduli jahitan atau
lim-lim sepatu itu akan berumur tiga bulan saja.
Tukang sepatu yang tertua ini, yang tertua karena dialah yang telah berumur dua
puluh lima di antara kelima orang yang lain, juga sangat pendiam, dan sangat tid
ak penting untuk menyebutkan namanya. Dia memikirkan sepatu dan waktu. Yang juga
banyak dipikirkannya adalah wajahnya yang buruk itu, bekas-bekas cacar waktu za
man Jepang. Dia juga merupakan seorang pendiam. Dia pendiam karena panggilan kea
daan.
Suatu kali ia berkata,

Kapan kau akan kawin?

Kawin? Aku tidak memikirkan hal itu.


Apakah selamanya kau tidak akan kawin?
Barangkali begitu. Aku tidak punya alis mata.
Gila kau!
Jangan ganggu aku. Aku sedang melihat sepasang suami-istri yang sedang berbelanja
itu.
Dia sedang melihat sepasang suami-istri yang sedang berbelanja, jauh di seberang
jalan. Saat itu dia tak mau berkata pada dirinya sendiri lagi. Tapi hatinya men
gusik-usiknya lagi dan bertanya,
Kau tidak ingin kawin seperti mereka?
Jangan ganggu aku. Aku sedang memperhatikan sepasang suami istri yang sedang berb
elanja itu. Mereka sedang berbantah agaknya. Mereka sedang berembuk barangkali.
Mereka mempunyai apa yang aku sendiri tidak punya.

Itu bukanlah yang pertama kali tukang sepatu itu berbantah-bantahan dan bersoaljawab. Dia berbantah-bantah dan bersoal jawab dengan dirinya.
Pandangannya, melewati kaca pajangan toko ke arah sana terganggu karena ada seor
ang perempuan sedang menggendong anaknya dan seorang anak perempuan kecil dengan
rambutnya dikelabang. Antara anak perempuan itu dan ibunya agaknya terjadi perc
akapan. Kelihatan anak perempuan itu merengek-rengek menunjuk-nunjuk ke sebuah s
epatu kecil.
Bu, belikan yang itu, Bu.
Sssh, sshh.
Bu, belikan, Bu. Semua anak-anak di kelas pakai sepatu.
Biarkan mereka semua mereka pakai sepatu.
Tapi aku ingin juga seperti mereka.
Aku ingin seperti mereka, barangkali itulah yang dikatakan anak perempuan kecil
itu. Tukang sepatu itu sebenarnya tidak mendengar percakapan ibu dan anak itu. P
erdebatan mereka berdua antara ibu dan anak itu tidak ada. Tukang sepatu itu han
ya melihat mata anak perempuan kecil itu menatapi sepatu kecil, dan sebelah tang
annya menarik-narik baju ibunya. Mereka: ibu dan anak, tidak berkata-kata. Kedua
mereka tenggelam oleh lautan kata-kata, sehingga keduanya tidak bisa berkata la
gi sebab sudah lama tenggelam.
Tapi dia itu, seorang anak perempuan kecil berumur lima tahun, tampak sekali dal
am matanya yang hitam bilam itu, menginginkan sepatu. Memang, sepatu yang satu i
tu kecil dan bagus, dibuat oleh tangan yang mengabdikan dirinya untuk kebagusan.
Sepatu itu dibikin oleh tukang sepatu itu. Anak itu ingin seperti anak-anak yang
lain, punya sepatu. Dan tukang sepatu itu ingin seperti orang-orang muda yang l
ain, punya wajah yang tidak buruk karena cacar, punya keinginan yang besar untuk
kawin.
Tukang sepatu itu melihat anak kecil itu meneguk air liurnya. Air liur itu lewat
di lehernya yang kecil, masuk di usus-ususnya yang kecil. Tukang sepatu itu tid
ak bisa melupakan wajah anak kecil itu, karena ia melihatnya dengan teliti. Ia t
idak akan lupa dengan mata hitam bilam itu. Lalu tukang sepatu itu berjanji, sua
tu waktu ia akan memberikan sepasang sepatu untuk anak itu.
Pikirannya segera berkacau. Tukang sepatu itu tiba-tiba ingin menjadi pencuri. I
a ingin menjadi pencuri dari sepatu yang dibuatnya sendiri.
Kini dipandangnya sepatu kecil itu. Sepatu itu memang kecil. Dan tangannya menja
mah. Alangkah bagus, alangkah bagus sepatu yang kubuat. Alangkah cantik, alangka
h cantik bila anak perempuan kecil itu memakai sepatu kecil ini. Tangan tukang s
epatu itu memegang sepatu itu. Ketika matanya berpaling sekeliling, anak perempu
an itu, juga ibunya, juga bayi yang sedang digendong ibunya, tidak ada lagi diba
lik kaca pajangan itu.
Apa kerjamu?

bahunya ditepuk oleh majikan tokonya.

Ketika matanya bersua dengan mata majikannya, ia merasa malu. Tapi ia diam saja,
sambil menaruh kembali sepatu dipajangannya.
Sejak itu, tukang sepatu itu merasa ada seorang yang senasib dengan dia. Tiap ia

pulang dari kerja jam enam sore, ia bertemu dengan anak perempuan itu, sedang b
erdiri di depan toko lain, berdiri melihat sepatu-sepatu. Tentu yang dilihatnya
sepatu-sepatu kecil.
Tapi ia melihat kejadian itu bukan tahun itu saja. Tiap tahun, menjelang lebaran
, ia melihat anak itu sering-sering berdiri-diri di depan toko-toko sepatu. Tuka
ng sepatu itu makin kenal baik-baik dengan wajah anak perempuan itu, terutama pa
da bentuk mata-nya yang hitam bilam itu.
Kota kami adalah kota yang subur dengan angan-angan. Ketika kota itu sepertiga t
ubuhnya hancur dibom oleh Belanda, penduduknya berangan-angan akan membangunnya
kembali menjadi sebuah kota yang baik. Walikota kami adalah walikota yang dicint
ai rakyatnya, karena ia telah merubah kota itu sedemikian rupa, sehingga dalam t
empo lima belas tahun kota itu seakan-akan bertukar rupa. Cuma sebuah tugu kemer
dekaan yang tidak ditukar oleh arsitek-arsitek itu.
Tukang sepatu itu masih menjadi tukang sepatu. Tapi ia bukan saja menjadi tukang
sepatunya, juga pemilik toko sepatu. Ia menyuruh anak buahnya, tukang-tukang se
patu yang lain, membikin sepatu-sepatu yang terbaik. Anak-anak buahnya, membikin
sepatu-sepatu terbaik, sebab pemilik toko mereka telah membikin contoh, bagaima
na membuat sepatu yang sebaik-baiknya.
Kalau sore hari, toko-toko itu terang oleh lampu-lampu neon. Banyak orang berbel
anja dan banyak juga yang tidak berbelanja.
Bagi tukang sepatu yang mukanya capuk-capuk cacar itu, tidak menjadi soal apakah
orang berbelanja atau tidak berbelanja.
Memang, kebanyakan pemilik-pemilik toko agak kurang senang hati terhadap orang-o
rang yang ke luar-masuk toko dengan tidak ada kepentingan berbelanja kecuali mel
ihat-lihat saja.
Pemilik toko itu, yang masih juga bekerja sebagai buruh dirinya sendiri, sebenar
nya belum berapa tua, biarpun ia merasa dirinya sudah tua. Orang yang belum kawi
n pada umumnya suka mengira dirinya semakin tua dari umurnya yang sebenarnya. Me
reka seakan-akan bermusuh dengan waktu.
Ia melihat gadis-gadis yang masuk. Ada banyak gadis-gadis yang masuk, dan ia men
dengar dan melihat bagaimana cara kebanyakan gadis-gadis itu memilih. Gadis-gadi
s umumnya suka memilih dan meniru. Ia ingin memiliki yang pernah dimiliki orang
lain, kalau tidak persis benar, bahkan kepingin melebihi. Gadis-gadis suka berta
nding memang.
Berapa harga sepatu itu?
Dua ratus lima puluh,

tanya seorang gadis.

jawab tukang sepatu pemilik toko itu.

Oh, kata gadis itu. Sebenarnya ia akan mengucapkan kata-kata,


k terbeli olehku.

Oh mahal sekali, tida

Ucapan oh itu menarik perhatian gadis-gadis di sebelahnya, sehingga mata gadis-gad


is itu sama menunduk, melihat ke kaki gadis-gadis itu. Mulanya maksud mereka mem
ang tidak melihat ke arah sepatu gadis yang dilihatnya, mereka sebenarnya mau me
lihat betis gadis itu. Jadi, tidak benarlah juga anggapan umum, hanya anak-anak
bujanglah yang suka memperhatikan betis gadis.
Gadis-gadis juga menyukainya, untuk ditandingi dengan betisnya sendiri.
Pemilik toko sepatu itu kini terbawa. Ia melihat ke kaki gadis itu. Tidak ada se
patu melekat di kakinya. Pemilik toko itu mengangkat kepalanya. Ia melihat wajah
nya. Ia melihat matanya. Mata itu seakan-akan kekal dalam ingatannya. Waktu lima
belas tahun seakan-akan tidak menjadi soal buatnya untuk mengenang.

Anak itu masih tidak bersepatu.


Anak itu telah menjadi seorang gadis berusia dua puluh tahun.
Ketika gadis itu cepat-cepat ke luar dari toko, pemilik toko mengikutinya. Ia me
ngikuti terus seperti orang tidak waras, sampai ke rumahnya. Di rumah itu ia ber
temu dengan ibunya.
Adiknya yang dulu digendong kini sudah besar.
Lalu ia melamar anak gadis itu kepada ibunya. Ibunya mentertawakan, sebab anak g
adisnya separuh dari usianya. Lalu ia merasa sedih. Sedih sekali dan kembali ke
tokonya.
Ia telah berada di toko.
Memang ia berada di toko sejak tadi. Ia tidak pergi. Angan-angannyalah yang perg
i mengikuti gadis itu, dan angan-angannyalah yang menemui ibunya dan angan-angan
nyalah yang menolak dirinya sendiri dengan lamarannya.
Tapi, demi malunya yang besar terhadap dirinya sendiri itu, ia berjanji pada dir
inya sendiri untuk benar-benar melaksanakan angan-angannya itu. Di saat main yan
g paling hebat, terutama malu pada diri sendiri, seorang manusia menjadi sangat
berani.
Tukang sepatu itu, yang kini telah memiliki toko sepatu itu, suatu ketika didata
ngi keberanian yang hebat, dan dia pergi ke rumah perawan itu dan benar-benar me
lamarnya pada ibu anak perawan itu.
Saya telah mengenal anak ibu selama lima belas tahun,

katanya untuk pertama kali.

Ada dua jam ia di rumah itu. Dan pada saat akan pulang, ia berkata,
Bu. Besok saya datang lagi.

Terima kasih

Dan ketika ia berdiri di pekarangan, ia berkata lagi dengan sangat terharu sebab
gembira, Terima kasih, Bu.
Pada waktu itu ia tidak pernah berpikir, bahwa ia telah berusia empat puluh tahu
n.Yang dipikirnya ketika itu ialah, akhirnya ia suatu waktu bisa juga menjadi se
orang suami.
Di simpang jalan, ia hampir saja ditabrak mobil.
Terima kasih!
TAMAT

katanya pada sopir yang tidak jadi menabraknya itu.

Anda mungkin juga menyukai