Itu bukanlah yang pertama kali tukang sepatu itu berbantah-bantahan dan bersoaljawab. Dia berbantah-bantah dan bersoal jawab dengan dirinya.
Pandangannya, melewati kaca pajangan toko ke arah sana terganggu karena ada seor
ang perempuan sedang menggendong anaknya dan seorang anak perempuan kecil dengan
rambutnya dikelabang. Antara anak perempuan itu dan ibunya agaknya terjadi perc
akapan. Kelihatan anak perempuan itu merengek-rengek menunjuk-nunjuk ke sebuah s
epatu kecil.
Bu, belikan yang itu, Bu.
Sssh, sshh.
Bu, belikan, Bu. Semua anak-anak di kelas pakai sepatu.
Biarkan mereka semua mereka pakai sepatu.
Tapi aku ingin juga seperti mereka.
Aku ingin seperti mereka, barangkali itulah yang dikatakan anak perempuan kecil
itu. Tukang sepatu itu sebenarnya tidak mendengar percakapan ibu dan anak itu. P
erdebatan mereka berdua antara ibu dan anak itu tidak ada. Tukang sepatu itu han
ya melihat mata anak perempuan kecil itu menatapi sepatu kecil, dan sebelah tang
annya menarik-narik baju ibunya. Mereka: ibu dan anak, tidak berkata-kata. Kedua
mereka tenggelam oleh lautan kata-kata, sehingga keduanya tidak bisa berkata la
gi sebab sudah lama tenggelam.
Tapi dia itu, seorang anak perempuan kecil berumur lima tahun, tampak sekali dal
am matanya yang hitam bilam itu, menginginkan sepatu. Memang, sepatu yang satu i
tu kecil dan bagus, dibuat oleh tangan yang mengabdikan dirinya untuk kebagusan.
Sepatu itu dibikin oleh tukang sepatu itu. Anak itu ingin seperti anak-anak yang
lain, punya sepatu. Dan tukang sepatu itu ingin seperti orang-orang muda yang l
ain, punya wajah yang tidak buruk karena cacar, punya keinginan yang besar untuk
kawin.
Tukang sepatu itu melihat anak kecil itu meneguk air liurnya. Air liur itu lewat
di lehernya yang kecil, masuk di usus-ususnya yang kecil. Tukang sepatu itu tid
ak bisa melupakan wajah anak kecil itu, karena ia melihatnya dengan teliti. Ia t
idak akan lupa dengan mata hitam bilam itu. Lalu tukang sepatu itu berjanji, sua
tu waktu ia akan memberikan sepasang sepatu untuk anak itu.
Pikirannya segera berkacau. Tukang sepatu itu tiba-tiba ingin menjadi pencuri. I
a ingin menjadi pencuri dari sepatu yang dibuatnya sendiri.
Kini dipandangnya sepatu kecil itu. Sepatu itu memang kecil. Dan tangannya menja
mah. Alangkah bagus, alangkah bagus sepatu yang kubuat. Alangkah cantik, alangka
h cantik bila anak perempuan kecil itu memakai sepatu kecil ini. Tangan tukang s
epatu itu memegang sepatu itu. Ketika matanya berpaling sekeliling, anak perempu
an itu, juga ibunya, juga bayi yang sedang digendong ibunya, tidak ada lagi diba
lik kaca pajangan itu.
Apa kerjamu?
Ketika matanya bersua dengan mata majikannya, ia merasa malu. Tapi ia diam saja,
sambil menaruh kembali sepatu dipajangannya.
Sejak itu, tukang sepatu itu merasa ada seorang yang senasib dengan dia. Tiap ia
pulang dari kerja jam enam sore, ia bertemu dengan anak perempuan itu, sedang b
erdiri di depan toko lain, berdiri melihat sepatu-sepatu. Tentu yang dilihatnya
sepatu-sepatu kecil.
Tapi ia melihat kejadian itu bukan tahun itu saja. Tiap tahun, menjelang lebaran
, ia melihat anak itu sering-sering berdiri-diri di depan toko-toko sepatu. Tuka
ng sepatu itu makin kenal baik-baik dengan wajah anak perempuan itu, terutama pa
da bentuk mata-nya yang hitam bilam itu.
Kota kami adalah kota yang subur dengan angan-angan. Ketika kota itu sepertiga t
ubuhnya hancur dibom oleh Belanda, penduduknya berangan-angan akan membangunnya
kembali menjadi sebuah kota yang baik. Walikota kami adalah walikota yang dicint
ai rakyatnya, karena ia telah merubah kota itu sedemikian rupa, sehingga dalam t
empo lima belas tahun kota itu seakan-akan bertukar rupa. Cuma sebuah tugu kemer
dekaan yang tidak ditukar oleh arsitek-arsitek itu.
Tukang sepatu itu masih menjadi tukang sepatu. Tapi ia bukan saja menjadi tukang
sepatunya, juga pemilik toko sepatu. Ia menyuruh anak buahnya, tukang-tukang se
patu yang lain, membikin sepatu-sepatu yang terbaik. Anak-anak buahnya, membikin
sepatu-sepatu terbaik, sebab pemilik toko mereka telah membikin contoh, bagaima
na membuat sepatu yang sebaik-baiknya.
Kalau sore hari, toko-toko itu terang oleh lampu-lampu neon. Banyak orang berbel
anja dan banyak juga yang tidak berbelanja.
Bagi tukang sepatu yang mukanya capuk-capuk cacar itu, tidak menjadi soal apakah
orang berbelanja atau tidak berbelanja.
Memang, kebanyakan pemilik-pemilik toko agak kurang senang hati terhadap orang-o
rang yang ke luar-masuk toko dengan tidak ada kepentingan berbelanja kecuali mel
ihat-lihat saja.
Pemilik toko itu, yang masih juga bekerja sebagai buruh dirinya sendiri, sebenar
nya belum berapa tua, biarpun ia merasa dirinya sudah tua. Orang yang belum kawi
n pada umumnya suka mengira dirinya semakin tua dari umurnya yang sebenarnya. Me
reka seakan-akan bermusuh dengan waktu.
Ia melihat gadis-gadis yang masuk. Ada banyak gadis-gadis yang masuk, dan ia men
dengar dan melihat bagaimana cara kebanyakan gadis-gadis itu memilih. Gadis-gadi
s umumnya suka memilih dan meniru. Ia ingin memiliki yang pernah dimiliki orang
lain, kalau tidak persis benar, bahkan kepingin melebihi. Gadis-gadis suka berta
nding memang.
Berapa harga sepatu itu?
Dua ratus lima puluh,
Ada dua jam ia di rumah itu. Dan pada saat akan pulang, ia berkata,
Bu. Besok saya datang lagi.
Terima kasih
Dan ketika ia berdiri di pekarangan, ia berkata lagi dengan sangat terharu sebab
gembira, Terima kasih, Bu.
Pada waktu itu ia tidak pernah berpikir, bahwa ia telah berusia empat puluh tahu
n.Yang dipikirnya ketika itu ialah, akhirnya ia suatu waktu bisa juga menjadi se
orang suami.
Di simpang jalan, ia hampir saja ditabrak mobil.
Terima kasih!
TAMAT