Jurusan:Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Nostalgia Pers Indonesia Pada zaman penjajahan kolonial, ada beberapa pemuda Indonesia menempuh sekolah tinggi di berbagai negara. Pada tahun 1908 para pemuda tersebut mendirikan sebuah organisasi bernama Indisce. Organisasi yang terdiri oleh Sultan Syahrir dan kawan-kawan didirikan untuk mengkaji serta menumbuhkan sikap politisi. Setelah sukses sebagai tempat pengkajian, organisasi tersebut akhirnya membuat terbitan yang bernama Hindia Putra. Terbitan tersebut diciptakan sebagai alat propaganda. Pada zaman penjajahan Jepang, semua organisasi yang tidak dipimpin oleh jepang dan melakukan pemberontakan terhadap jepang dibekukan. Namun ada beberapa masyarakat yang membuat gerakan antipasif. Gerakan tersebut tetap melakukan diskusi bahkan melakukan penolakan terhadap Jepang, serta membuat paham anti koloni. Pada tahun 1950, muncul beberapa Universitas di Indonesia. Dengan adanya universitas, maka muncul lembaga-lembaga kampus yang salah satunya bernama Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Pers Mahasiswa merupakan satu dari beberapa UKM yang berada di lingkungan kampus. Maraknya pers pada saat itu membuat mereka mendirikan Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). Pada zaman Ir. Soekarno, semua berita harus mencantumkan manifesto politik. Yang lebih mengenaskan lagi, saat itu lembaga yang berhak mengeluarkan berita hanyalah Tentara Negara Indonesia (TNI). Namun akibat kebijakan tersebut, maka timbullah perpecahan pers. Sebagian pers ada yang tunduk terhadap pemerintahan dan sebagian lagi menolak kebijakan tersebut. Perpecahan pers pada saat itu nyatanya dimanfaatkan oleh Suharto sebagai alat politik. Beliau memanfaatkan hal tersebut untuk menurunkan Ir. Soekarno. Akibat dari kelicikannya, maka keluarlah rezim penurunan Ir. Soekarno dan membuat Suharto menjadi pemimpin Negara pada saat itu. Pada masa kepimimpinan Suharto, beliau mengeluarkan ideologi pers yang bernama Pers Pancasila. Tidak seperti yang diharapkan, mahasiswa bukannya tunduk tetapi malah murka akibat ideologi tersebut. Nyatanya di era Suharto, pers bukannya menjadi bebas melainkan lebih terkekang. Awal mula kemurkaan mahasiswa terjadi pada tahun 1972-1974. Kemurkaan mahasiswa semakin memuncak pada saat terjadinya Mala Petaka Lima Belas Januari (MALARI). Terlalu banyaknya dampak negatif pers pada zaman Suharto ternyata tersimpan beberapa ibrah. Salah satunya adalah adanya tatanan hokum yang membuat pers semakin tertata. Walaupun mungkin, tatanan-tatanan hukum tersebut malah mengekang kebebasan pers di Indonesia. Puncak kemurkaan mahasiswa semakin menjadi-jadi pada tahun 1998. Pada tahun itu, adanya unjuk rasa besar di seluruh Indonesia yang menuntut penurunan Suharto. Usaha mahasiswa tersebut berbuah manis. Akibat kerusuhan dan unjuk masa besar itu, maka lengserlah pemerintahan Suharto dan terciptalah masa reformasi.