Anda di halaman 1dari 48

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERBICARA MELALUI METODE BERMAIN PERAN

PADA SISWA
PENINGKATAN KEMAMPUAN BERBICARA MELALUI METODE BERMAIN
PERAN PADA SISWA

OLEH
CITRA AULIA WULANDARI
NIM E1C 113 024
A II

PEROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH


JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur hanya bagi Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat
menyelesaikan penulisan karya ilmiah yang berjudul Peningkatan Kemampuan Berbicara
Melalui Metode Bermain Peran Pada Siswa. Shalawat dan salam selalu tetap tercurahkan
kepada junjungan alam Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam
kegelapan menuju alam yang terang benderang seperti sekarang ini.
Penulisan karya ilmiah ini dalam rangka memenuhi tugas akhir mata kuliah Berbicara.
Saya menyadari bahwa penulisan karya ilmiah ini tidak lepas dari dorongan, bimbingan serta
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya mengucapkan terima
kasih kepada:
1.
Prof. Ir. H. Sunarpi, Ph.D., selaku Rektor Universitas Mataram.
2.
Dr. H. Wildan, M.Pd., selaku Dekan FKIP Universitas Mataram.
3.
Dra. Siti Rohana Hariana Intiana, M.Pd., selaku Ketua Jurusan FKIP Universitas
Mataram.
4.
Drs. I Nyoman Sudika, M.Humi., selaku Ketua Prodi Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia FKIP Universitas Mataram.
5.
Drs. Syahbuddin. Selaku Dosen Pembimbing Akademik.
6.
Drs. H. Nasaruddin, M.Ali., selaku dosen Pembina Mata Kuliah Berbicara.
7.
Dosen-dosen dan Seluruh Staf Universitas Mataram yang namanya tidak bisa
disebutkan satu persatu.

8.
Kedua Orang Tua dan semua keluarga yang telah memberikan dukungan moral,
material, kasih saying yang melimpah serta kesabaran dalam menyusun karya tulis ilmiah ini.
9.
Semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Semoga Allah SWT, selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada kita.
Semoga penulisan karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat untuk menunjang
perkembangan ilmu pengetahuan, tentunya bagi saya peribadi dan pembaca. Dalam penulisan
karya ilmiah ini jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun
sangat diharapkan untuk penulisan ini.

Mataram, 8 Juni 2014


Penulis

DAFATAR PUSTAKA
JUDUL

......................................................................................................

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

...............................................................................

.............................................................................................

ii

BAB 1 PENDAHULUAN

........................................................................

.................................................................................

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................

1.3 Tujuan Penelitian

............................................................................

1.3.1 secara umum

............................................................................

1.3.2 secara khusus ............................................................................

1.1 Latar Belakang

1.4 Manfaat Penelitian

..........................................................................

1.4.1 Manfaat Teoritis

........................................................................

1.4.2 Manfaat Praktis

........................................................................

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA .....................................................................


2.1 Metode Bermain Peran

...................................................................

2.2 Kemampuan Berbicara

...................................................................

2.2.1 Pengertian Berbicara ................................................................


BAB 3 PEMBAHASAN

..........................................................................

3.1 Keterampilan Berbicara

...................................................................

3.1.1 Pengertian Keterampilan Berbicara

.........................................

3.12 Aspek-aspek Keterampilan Berbicara

......................................

3.1.3 Faktor-Faktor Pengaruh Keterampilan Berbicara


3.2 Bermain

....................

..........................................................................................

3.2.1 Pengertian Bermain

................................................................

2
2
2
3
3
4
4
5
5
5
6
8
9
9

3.2.2 Teori Bermain

..........................................................................

3.2.3 Fungsi Bermain


3.3 Metode Bermain Peran

........................................................................
...................................................................

3.3.1 Tujuan Metode Bermain Peran


3.3.2 Jenis Metode Bermain Peran

................................................
..................................................

3.3.3 Perbedaan Metode Bermain Peran


3.3.4 Fungsi Metode Bermain Peran

.........................................

................................................

3.3.5 Kelebihan dan Kekurangan Metode Bermain Peran


BAB 4 PENUTUP
4.1 Simpulan
4.2 Saran-saran

...............

...................................................................................
........................................................................................
......................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

...............................................................................

9
10
11
11
11
12
13
13
15
15
15

16

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang Masalah


Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan kualitas manusia
seutuhnya adalah misi pendidikan yang menjadi tanggung jawab profesioanl tiap guru.
Pengembangan kualitas manusia ini menjadi suatu keharusan terutama dalam memasuki era
globalisasi dewasa ini agar generasi muda tidak menjadi korban dari globalisasi itu sendiri.
Pendidikan yang berorientasi pada kualitas itu menghadapi berbagai tantangan yang tidak
bisa ditanggulangi dengan paradigma yang lama. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berkembang cepat tidak dapat dikejar dengan cara-cara lama yang dipakai dalam sekolah.
Ibarat mengejar mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi di atas tol dengan delman.
Guru tidak cukup hanya menyampaikan materi pengetahuan kepada siswa di kelas
karena materi yang diperolehnya tidak selalu sesuai dengan perkembangan masyarakatnya.
Yang dibutuhkannya adalah kemampuan untuk mendapatkan dan mengelola informasi yang
sesuai dengan kebutuhan profesinya. Mengajar bukan lagi usaha untuk menyampaikan ilmu
pengetahuan melainkan juga usaha menciptakan sistem lingkungan yang membelajarkan
siswa agar tujuan pengajaran dapat tercapai dengan optimal. Mengajar dalam pemahaman

seperti itu perlu suatu strategi belajar mengajar yang tepat. Mutu pengajaran tergantung pada
pemilihan strategi yang tepat bagi tujuan yang ingin dicapai, terutama dalam upaya
mengembangkan kreativitas dan sikap siswa. Untuk itu, perlu dibina dan dikembangkan
kemampuan profesional guru untuk mengelola program pengajaran dengan strategi belajar
mengajar.
Bertitik tolak dari uraian di atas, guru dituntut untuk menentukan pendekatan tertentu
guna melaksanakan KBM. Salah satunya adalah model pembelajaran teknik bermain peran.
Sudjana (2000 : 89) mengartikan bermain peran adalah pura-pura atau berbuat seolaholah, melalui proses tingkah laku, imitasi, bermain mengenai suatu tingkah laku yang
dilakukan seolah-olah dlam keadaan yang sebenarnya. Tujuan bermain peran adalah agar
siswa dapat menghargai dan menghayati perasaan orang lain, memupuk rasa tanggung jawab
pada diri siswa.
Artinya siswa dipersiapkan oleh guru menghayati perasaan orang lain agar siswa
mengerti bahwa kedudukan orang lain itu lebih penting dari diri siswa di samping itu siswa
dapat mengungkapkan perasaan orang lain
Dari fenomena itulah, maka perlulah diadakan suatu penelitian guna membantu
menyelesaikan masalah yang ada dengan mengadakan penelitian dengan judul Peningkatan
Kemampuan Berbicara Melalui Metode Bermain Peran Pada Siswa.
1.2

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah bagaimana respon siswa terhadap teknik bermain peran dalam
materi pembelajaran berbicara?

1.3

Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tersebut
adalah :
1.3.1 Tujuan Penelitian Secara Umum
Untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan kemampuan berbicara melalui teknik
bermain peran pada siswa.
1.3.2 Tujuan Penelitian Secara Khusus
Meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa pada pembelajaran Berbicara dengan
menerapkan metode bermain peran pada siswa.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Secara Teoritis
Secara teoritis penelitian diharapkan bermanfaat sebagai sumbangan dalam
pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya peningkatan kemampuan berbicara dengan
menggunakan metode bermain peran.
1.4.2 Secara Praktis
Manfaat secara praktis yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai masukan bagi
guru bahwa kemampuan berbicara siswa dapat meningkat melalui metode bermain peran.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1

Metode Bermain Peran


Sudjana (1989 : 61) menyatakan bermain peran/sosio drama adalah sandiwara tanpa
naskah, tanpa latihan lebih dulu sehingga dilakukan secara spontan, masalah yang
didramakan adalah mengenai situasi sosial.
Hamalik (2006 : 214) menjelaskan bahwa pengajaran berdasarkan pengalaman lainnya
adalah bermain peran karena pada umumnya siswa menyenangi penggunaan strategi ini
karena berkenaan dengan isu-isu sosial dan kesempatan komunikasi interpersonal di dalam
kelas. Di dalam bermain, peran guru menerima petan noninterpersonal di dlam kela, siswa
menerima karakter, perasaan, dan ide-ide orang lain dalam situasi yang khusus.
Sudjana (2000 : 90), sosiodrama adalah bermain peranan yang ditujukan untuk
menentukan alternatif pemecahan masalah sosial.
Metode sosio drama dan bermain peran merupakan salah satu metode dalam kegiatan
belajar. Metode adalah suatu cara yang dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai
tujuan. Makin baik metode itu, makin efektif pula pencapaian tujuan. Untuk menetapkan
apakah suatu metode dapat disbeut baik, diperlukan patokan yang bersumber dari beberapa
faktor (Surakhmad, 1986 : 75).
Lain halnya dengan Subari (1994 : 93) yang menjelaskan bahwa metode sosiodrama
atau bermain peran adalah mendramatisasi cara bertingkah laku di dalam hubungan sosial dan
menekankan penghayatan di mana para siswa turut serta dalam memainkan peranan di dalam
mendramatisasikan masalah-masalah sosial.
Dalam metode bermain peran unrus yang menonjol adalah unsur hubungan sosial,
dalam bermain peran menempatkan diri sebagai tokoh atau pribadi tertentu misalnya sebagai
pahlawan, petani, dokter, guru, sopir, dan sebagainya (Semiawan, 1993 : 82).
Menurut pendapat dari Shaftel dalam Rianto (2000 : 107) menyatakan bahwa metode
bermain peran diartikan sebagai suatu metode pemecahan masalah yang melibatkan dua
orang atau lebih untuk mengambil keputusan secara terbbuka dalam situasi yang dilematis.
Pemeranan diakhiri pada saat mencapai titik dilema dan masing-masing pemeran bebas
menganalisa apa yang terjadi melalui diskusi yang melibatkan para pengamat untuk mencari
pemecahannya.
Sosiodrama adalah suatu kelompok yang bertindak memecahkan masalah terutama
pemecahan masalah yang berkenaan dengan hubungan antar insani. Masalah itu dapat
dihubungkan dengan kerja sama siswa di sekolah, keluarga, atau di masyarakat umumnya.
Sosiodrama memberikan kesematan kepada para siswa untuk menyelidiki alternatif
pemecahan masalah yang berkenaan dengan keluarga (Hamalik, 2002 : 138).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka disimpulkan bahwa bermain peran /
sosiodrama adalah suatu metode dengan cara memainkan suatu peran yang menekankan
penghayatan di mana para siswa turut serta dalam memainkan peranan di dalam
mendramatisasikan masalah-masalah sosial.

2.2
2.2.1

Kemampuan Berbicara
Pengertian berbicara
Tarigan (1990 : 3), berbicara adalah suatu keterampilan berbahasa yang berkembang
pada kehidupan yang didahului oleh keterampilan menyimak dan pada masa tersebutlah
kemampuan berbicara mulai dipelajari.
Selanjutnya Tarigan (1990 : 15) mengatakan bahwa berbicara adalah kemampuan
mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan,
serta menyampaikan gagasan dan perasaan.
Berbicara merupakan tindakan penggunan bahasa secara lisan. Manusia, sebagai
makhluk sosial selalu menggunakan bahasa dalam berkomunikasi dengan sesamanya dalam
hidup bermasyarakat. Jadi dapat disimpulkan bahwa berbicara adalah bagian dari
keterampilan berbahasa oleh karena itu kemampuan berbicara harus diberikan kepada siswa
agar siswa memiliki kemampuan berbicara. Aspek kemampuan berbicara bukan hanya
berbicara saja tetapi keterampilan menyimak, keterampilan membaca, dan keterampilan
menulis juga termasuk dalam aspek keterampilan berbahasa. Untuk membentuk siswa yang
terampil berbahasa, maka keempat aspek tersebut harus diberikan secara terpadu dalam
pembelajaran bahasa dan di samping itu tiap aspek keterampilan tersebut juga harus diberikan
dengan proporsi yang seimbang.
Kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau
mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran,
gagasan, dan perasaan. pendengar menerima informasi melalui rangkaian nada, tekanan, dan
penempatan persendian (juncture). Jika komunikasi berlangsung secara tatap muka, ditambah
lagi dengan gerakan tangan dan mimik pembicara (Arsyad Mukti, 2005 : 17).

BAB III
PEMBAHASAN
3.1
3.1.1

3.1.2

1)

2)
3)

Keterampilan Berbicara
Pengertian Keterampilan Berbicara
Perkembangan bahasa merupakan aspek perkembangan yang penting untuk dikuasai.
Bahasa terdiri dari bahasa lisan dan bahasa tertulis. Bahasa lisan merupakan unsure penting
dalam interaksi atau sosialisasi (Dardjowidjojo, 2003:17). Menurut djiwandono (2008) dalam
halida (2011) berbicara adalah mengungkapkan pikiran secara lisan. Sejalan dengan pendapat
djiwandono, Tarigan dalam Suhartono (2005:20) mengatakan bahwa berbicara merupakan
kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi untuk mengekspresikan serta
menyampaikan pikiran dan perasaan.
Keterampilan berbicara pada hakikatnya merupakan keterampilan mereproduksi arus
system bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan perasaan, dan keinginan
pada orang lain. Keterampilan ini juga didasari oleh kepercayaan diri untuk berbicara,
sehingga dapat menghilangkan rasa malu, berat lidah, dan rendah diri (Iskandarwassid,
2008).
Tujuan berbicara adalah untuk memberitahukan, melaporkan, menghibur, membujuk,
dan meyakinkan seseorang yang terdiri dari aspek kebahasaan dan nonkebahasaan (Dhieni,
2007:3.6) dalam Halida (2011). Menurut teori belajar (Rachmat 1986:282) dalam siska
(2011), anak-anak memperoleh pengetahuan bahasa melalui tiga proses: asosiasi, imitasi dan
pengetahuan. Asosiasi berarti melazimkan suatu bunyi dengan obyek tertentu. Imitasi berarti
menirukan pengucapan dan struktur kalimat yang didengarnya. Pengetahuan dimaksudkan
sebagai ungkapan kegembiraan yang dinyatakan ketika anak mengucapkan kata-kata dengan
benar.
Berdasarkan uraian mengenai ketermapilan berbicara, dapat disimpulkan bahwa
ketermapilan berbicara merupakan salah satu keterampilan dalam aspek bahasa yang sangat
penting sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan lawan bicara. Ketermapilan berbicara ini
perlu distimulus melalui kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kosakata yang dimiliki
anak.
Aspek-aspek Keterampilan Berbicara
Kemampuan berbicara merupakan pengungkapan diri secara lisan. Unsur-unsur
kebahasaan yang dapat menunjang keterampilan berbicara diungkapkan oleh Djiwandono
(1996) dalam Halida (2011) yaitu unsur kebahasaan, unsur nonkebahasaan meliputi:
Keberanian yaitu keberanian dalam mengemukakan pendapat, seperti anak mampu
menceritakan pengalaman yang dialami. Selain itu, keberanian untuk berpihak terhadap
gagasan yang sudah diyakini kebenarannya.
Kelancaran yaitu lancar dalam berbicara sangat ditunjang oleh penguasaan materi/bahan
yang baik. Penguasaan kosakata akan membantu dalam penguasaan materi pembicaraan.
Ekspresi/Gerak-gerik Tubuh yaitu ekspresi tubuh sangat diperlukan dalam menunjang
keefektifan berbicara. Arti pembicaraan tersebut dapat dipahami melalui ekspresi tubuh yang
ditunjukkan pembicara.

1)

2)

3)

3.1.3

1)
2)
3)
4)
5)
6)

1)
a.

Unsur isi dalam pembicaraan merupakan bagian yang lebih penting. Tanpa isi yang
diidentifikasi secara jelas, pesan yang ingin disampaikan melalui kegiatan berbicara tidak
akan tersampaikan secara jelas pula, dalam aspek isi dari berbicara terdiri dari kerincian dan
kejelasan dalam menyampaikan isi dari pembicaraan.
Senada dengan pendapat Djiwandono (1996), Dhieni (2007) dalam Halida (2011)
mengungkapkan bahwa aspek keterampilan berbicara terdiri dari aspek kebahasaan dan aspek
nonkebahasaan. Aspek kebahasaan meliputi keterampilan ucapan, penempatan tekanan, nada,
sendi, dan durasi yang sesuai, pilihan kata, dan ketepatan sasaran pembicaraan. Sedangkan
aspek nonkebahasaan meliputi sikap tubuh, kesediaan menghargai pembicaraan maupun
gagasan orang lain, kenyaringan suara dan kelancaran dalam berbicara, relevansi, penalaran,
dan penguasaan terhadap topik tertentu.
Hal serupa diungkapkan oleh Hurlock (1978:185-189) bahwa keterampilan berbicara
meliputi beberapa aspek, yaitu :
Pengucapan
Setiap anak berbeda-beda dalam ketepatan pengucapan dan logatnya. Perbedaan
ketepatan pengucapan bergantung pada tingkat perkembangan mekanisme suara, serta
bimbingan yang diterima dalam mengaitkan suara ke dalam kata yang berarti. Perbedaan
logat disebabkan karena meniru model yang pengucapannya berbeda dengan yang biasa
digunakan anak.
Pengembangan Kosakata
Anak harus belajar mengaitkan arti dengan bunyi dalam mengembangkan kosakata
yang dimiliki. Peningkatan jumlah kosakata tidak hanya karena mempelajari kata-kata baru,
tetapi juga karena mempelajari arti baru bagi kata-kata lama.
Pembentukan Kalimat
Pada mulanya anak menggunakan kalimat satu kata yakni kata benda atau kata kerja.
Kemudian kata tersebut digabungkan dengan isyarat untuk mengungkapkan suatu pikiran
utuh yang dapat dipahami orang lain.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Berbicara
Keterampilan berbicara dapat dipengaruhi oleh beberapa factor baik factor dari dalam
diri maupun dari luar. Menurut Hurlock (1978:185) ketermapilan berbicara dipengaruhi oleh
beberapa hal, yaitu:
Persiapan Fisik untuk Berbicara
Kesiapan Mental untuk Berbicara
Model yang Baik untuk ditiru
Kesempatan untuk Berpraktik
Motivasi
Bimbingan
Ungkapan lain mengenai factor-faktor yang mempengaruhi keterampilan berbicara
dikemukakan oleh (Rahayu, 2007:216) yang terdiri dari beberapa hal, yaitu:
Gaya berbicara, secara umum gaya berbicara ditandai dengan tiga cirri, yaitu:
Gaya Ekspresif

b.
c.
2)
a.
b.
c.
d.

Gaya Perintah
Gaya Pemecahan Masalah
Metode Penyampaian, terdiri dari:
Penyampaian mendadak
Penyampaian tanpa persiapan
Penyampaian dari naskah
Penyampaian dari ingatan
Berdasarkan uraian mengenai factor-faktor yang mempengaruhi keterampilan berbicara,
dapat disimpulkan bahwa keterampilan berbicara dapat dipengaruhi oleh model yang baik
untuk ditiru serta adanya kesempatan yang diberikan pada anak untuk berbicara. Hal tersebut
dapat dilakukan melalui bermain peran.

3.2
3.2.1

1)

2)
3)

4)

5)

3.2.2

1)

2)

3)

4)
5)

6)
3.2.3

Bermain
Pengertian Bermain
Beberapa ahli peneliti member batasan arti bermain dengan memisahkan aspek-aspek
tingkah laku yang berbeda dalam bermain. Dikemukan lima criteria dalam bermain
(Moeslichatoen, 1996:26) yaitu:
Motivasi Instrinsik
Tingkah laku bermain dimotivasi dari dalam diri anak, karena itu dilakukan demi
kegiatan itu sendiri dan bukan karena adanya tuntutan masyarakat atau fungsi-fungsi tubuh.
Pengaruh Positif
Tingkah laku itu menyenangkan atau menggembirakan untuk dilakukan.
Bukan dikerjakan sambil lalu
Tingkah laku itu bukan dilakukan sambil lalu, karena itu tidak memiliki pola atau
aturan yang sebenarnya, melainkan lebih bersifat pura-pura.
Cara/tujuan
Cara bermain lebih diutamakan dari pada tujuannya. Anak lebih tertarik pada tingkah
laku itu sendiri dari pada keluaran yang dihasilkan.
Kelenturan
Bermain itu perilaku yang lentur. Kelenturan ditunjukkan baik dalam bentuk maupun
dalam hubungan serta berlaku dalam setiap situasi.
Teori Bermain
Bermain diartikan oleh banyak ahli dalam teori bermain. Joan dalam Yus (2011:134-135)
mengutip pendapat beberapa para ahli tentang teori bermain, yaitu:
Anak mempunyai energy berlebih karena terbebas dari segala macam tekanan, baik tekanan
ekonomis maupun social sehingga mengungkapkan energinya dalam bermain (Schiller &
Spencer).
Melalui kegiatan bermain, seorang anak menyiapkan diri untuk kehidupan dewasa kelak.
Misalnya, tanpa disadari dengan bermain peran anak menyiapkan diri untuk peran pekerjaan
pada masa depan (Karl Groos).
Melalui bermain anak melewati tahap-tahap perkembangan yang sama dari perkembangan
sejarah umat manusia (teori rekapitulasi). Kegiatan-kegiatan seperti lari, melempar,
memanjat, dan melompat merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari dari generasi ke
generasi (Stanley Hall).
Anak bermain untuk membangun kembali energy yang telah hilang. Bermain merupakan
medium untuk menyegarkan badan kembali setelah bekerja berjam-jam (Lazarus).
Melalui kegiatan bermain, anak memuaskan keinginan-keinginannya yang terpendam atau
tertekan. Dengan bermain anak seperti mencari kompensasi untuk apa yang tidak diperoleh
dalam kehidupan nyata, untuk keinginan-keinginan yang tidak mendapatkan kepuasan
(Mazhab psikoanalisis).
Kepribadian terus berkembang dan untuk pertumbuhan yang normal, perlu ada rangsangan
(stimulus), dan bermain memberikan stimulus untuk pertumbuhan (Appleton).
Fungsi Bermain

3.3

3.3.1

3.3.2

1)

2)

3.3.3

Kegiatan bermain merupakan kegiatan yang bermanfaat pada anak. Bermain


memberikan pengaruh positif pada kemampuan mental serta perilaku anak. Kegiatan bermain
sangat penting untuk mendukung perkembangan anak pada semua aspek perkembangan,
yang meliputi aspek psikomotor, kognitif, bahasa, serta social emosional.
Metode Bermain peran
Defini metode bermain peran dikemukakan oleh Supriyati dalam Winda Gunarti, dkk,
(2008:10.10) bahwa metode bermain peran adalah permainan yang memerankan tokoh-tokoh
atau benda sekitar anak sehingga dapat mengembangkan daya khayal (imajinasi) dan
penghayatan terhadap bahan kegiatan yang dilaksanakan. Tedjasaputra (1995:43) memili
pendapat yang sejalan dengan Supriyati bahwa bermain peran merupakan salah satu jenis
bermain aktif, diartikan sebagai pemberian atribut tertentu terhadap benda, situasi, dan anak
memerankan tokoh yang ia pilih. Apa yang dilakukan anak melibatkan penggunaan bahasa
yang dapat diamati dalam tingkah laku yang nyata.
Berdasarkan uraian diatas mengenai metode bermain peran, dapat ditarik kesimpulan
bahwa bermain peran merupakan permainan dimana anak memainkan peran dari tokoh yang
dimainkannya untuk mengembangkan daya imajinasi anak serta keterampilan berbicara pada
anak.
Tujuan Metode Bermain Peran
Tujuan bermain peran adalah melatih keterampilan terutama keterampilan berbicara.
Selain itu, dengan bermain peran pembelajaran berlangsung secara aktif sehingga anak dapat
belajar dengan suasana yang menyenagkan.
Jenis Metode Bermain Peran
Metode bermain peran dilihat dari jenisnya terdiri dari dua jenis yang berbeda. Hal ini
sejalan dengan pendapat dari Ericson (1963) dalam magfiroh (2011) bahwa metode bermain
peran terdiri dari:
Metode Bermain Peran Mikro
Anak memainkan peran melalui tokoh yang diwakili oleh benda-benda berukuran kecil,
contoh kandang dengan binatang-binatangan dan orang-orangan kecil.
Metode Bermain Peran Makro
Anak bermain menjadi tokoh menggunakan alat berukuran besar yang digunakan anak untuk
menciptakan dan memainkan peran-peran, contoh memakai baju dan menggunakan kotak
kardus yang dibuat menjadi mobil-mobilan.
Metode bermain peran terdiri dari dua jenis yang berbeda dalam pelaksanaannya.
Kedua jenis tersebut adalah metode bermain peran makro dan mikro. Metode bermain peran
makro adalah bermain yang sifatnya kerjasama lebih dari dua orang dengan menggunakan
alat_alat main berukuran sesungguhnya. Sedangkan dalam bermain peran mikro, anak
menggunakan alat-alat main yang berukuran kecil yang dilakukan oleh dua orang bahkan
sendiri.
Perbedaan Metode Bermain Peran Makro Dan Mikro
Metode bermain peran makro dan mikro memiliki definisi yang berbeda sehingga
terdapat
perbedaan
antara metode bermain
peran
makro
dan
mikro.
Perbedaan tersebut terletak pada objek pemain dan peran anak. Dalam metode

3.3.4
1)

2)

3)

3.3.5

1)
2)
3)
4)
5)

1)

bermain peran mikro, anak menjadi sutradara/dalang dan benda-benda menjadi pemainnya,
seperti boneka tangan, boneka jari, dan wayang tanpa skenario.
Sedangkan dalam metode bermain peran makro, anak menjadi pemain yang
memerankan karakter/tokoh yang diperankan, dan guru sebagai sutradaranya.
Metode bermain peran makro dan mikro sama-sama menempatkan anak sebagai
pemain, namun apabila tema atau jalan cerita pada metode bermain peran mikro dapat
bersifat umum, atau imajinatif, sedangkan pada metode bermain peran makro jalan cerita
mengandung konflik sosial yang terselesaikan di akhir cerita.Menurut Feindan
Smilansky dalam Gunarti, dkk (2010:10.21-10.22), dalam metode bermain peran mikro
anak menggunakan simbol, seperti kata-kata, gerakan, dan mainan untuk mewakili dunia
yang sesungguhnya. Dalam metode bermain peran makro, anak mengembangkan permainan
simbolik itu agar bisa bekerja sama dengan anak/pemeran lainnya.
Fungsi Metode Bermain Peran
Kreativitas
Dengan bermain peran kreativitas peserta didik dapat lebih terasah karena dalam dunia
khayalan, anak bisa jadi apa saja dan melaukan apa saja sesuai dengan peran yang
dimainkannya.
Disiplin
Saat bermain peran, biasanya ia mengambil peraturan dan pola hidupnya sehari-hari.
Misalnya, saat ia bermain peran sebagai orangtua yang menidurkan anaknya, ia akan bersikap
dan mengatakan seperti apa yang ia sering dilakukan dan dikatakan oleh orangtuanya.
Sehingga secara tak langsung, ia pun membangun kedisiplinan dan keteraturan pada dirinya
sendiri
Keluwesan
Saat bermain peran, secara tidak langsung anak-anak mulai belajar untuk mengatasi rasa
takut dan hal-hal yang sebelumnya berbeda bagi mereka Dengan bimbingan dan
perumpamaan ini, diharapkan rasa takut atau trauma si kecil akan lebih berkurang.
Kelebihan dan Kekurangan Metode Bermain Peran
Kelebihan Metode Bermain Peran Terdapat beberapa kelebihan pembelajaran dengan
menggunakan metode bermain peran, diantaranya:
Dapat dijadikan sebagai bekal bagi siswa dalam menghadapi situasi yang sebenarnya
kelak, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, maupun menghadapi dunia kerja.
Dapat mengembangkan kreatifitas siswa, karena melalui simulasi siswa diberi kesempatan
untuk memainkan perannya yang disimulsaikan.
Dapat memupuk keberanian dan rasa percaya diri.
Dapat memperkaya pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam
menghadapi berbagai situasi sosial yang problematis.
Dapat meningkatkan gairah siswa dalam pembelajaran (Sanjaya, 2009: 158).
Kelemahan Metode Bermain Peran Selain memiliki banyak kelebihan, metode
bermain peran pun memiliki kelemahan, diantaranya:
Pengalaman yang diperoleh melalui simulasi tidak selalu tepat dan sesuai dengan
kenyataan.

2)

Pengelolaan yang kurang baik sehingga fungsi simulasi menjadi alat hiburan membuat
tujuan pembelajaran terabaikan.
3)
Faktor psikologis seperti rasa takut dan malu sering memengaruhi siswa dalam melakukan
simulasi.

BAB IV
PENUTUP
4.1

Simpulan
Metode bermain peran merupakan permainan dimana siswa memainkan peran dari
tokoh yang dimainkannya guna mengembangkan daya imajinasi serta keterampilan berbicara
pada siswa.
Dengan adanya pembelajaran menggunakan metode bermain peran pada siswa
memiliki banyak manfaat, yaitu:
1)
Pembelajaran dengan menggunakan metode bermain peran yang dilakukan dengan baik
dapat meningkatkan kemampuan berbicara pada siswa.
2)
Kreativitas peserta didik dapat lebih terasah karena dalam dunia khayalan, anak bisa jadi
apa saja dan melaukan apa saja sesuai dengan peran yang dimainkannya.
3)
Secara tidak langsung anak-anak mulai belajar untuk mengatasi rasa takut dan hal-hal yang
sebelumnya berbeda bagi mereka Dengan bimbingan dan perumpamaan ini, diharapkan rasa
takut atau trauma si kecil akan lebih berkurang.
4.2
Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti ingin menyampaikan beberapa saran sebagai
berikut:
1)
Metode Bermain Peran menjadi alternatif dalam pembelajaran.
2)
Untuk meningkatkan kemampuan berbicara, guru dianjurkan menggunakan metode
Bermain Peran.
3)
Untuk mendorong siswa berani berbicara di depan kelas dapat dilakukan dengan suatu cara
yang menyenangkan, salah satunya dengan teknik Bermain Peran.
4)
Dengan adanya peningkatan yang signifikan, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat
dikembangkan lebih lanjut oleh peneliti yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Nurkancana. 2007. Pemahaman dan Prestasi Belajar pada Peserta Didik. Rineka Cipta: Jakarta
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Edisi 5. Jakarta: Rineka Cipta.
Roestiyah, 20011, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta : Rineka Cipta.
Purwanto, Ngalim. 2008. Psikologi Pendidikan (Cet. XV; Bandung: Remaja Rosdakarya
Ali, Muhammad. 2000. Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Hamalik, Oemar. 2002. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: Bumi
Aksara
Khairuddin, Mahfud. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Yogyakarta: Pilar Media
Nursisto. 2000. Kiat Menggali Kreativitas. Semarang: Mitra Gama Media
Algesindo
Sudjana, Nana. 1989. Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar
________. 2000. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Tarigan, Henry Guntur. 1990. Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung:
Angkasa

Ermawan, Mikhael Ari. 2012. Keterampilan Berbahasa: AspekBerbicara[online].


(http://ariermawan.blogspot.com/2012/09/keterampilan- berbicara.html. Diakses 05 Juni 2014).

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBICARA MELALUI METODE BERMAIN


PERAN PADA SISWA KELAS IV SDN NO. 30 KOTA SELATAN
KOTA GORONTALO
DISUSUN
O
L
E
H
SITI MARHUMAH
NIM : 151 407 130
PROGRAM STUDI S1 PGSD
JURUSAN PENDIDIKAN ANAK
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2009

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada umumnya tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang berkualitas. Salah
satu faktor yang perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan yang dimaksud adalah dengan
meningkatkan kualitas pembelajaran. Pendidikan bukan hanya berlaku selama bersekolah
tetapi pendidikan itu berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di lingkungan keluarga,
masyarakat serta di sekolah. Oleh karena itu pendidikan merupakan tanggung jawab keluarga,
masyarakat dan pemerintah. Pendidikan yang berlangsung di sekolah pada dasarnya untuk
melatih, mendidik, membina agar peserta didik mampu berpikir. Melalui latihan berpikir
inilah mereka memperoleh berbagai macam pengetahuan dalam memecahkan masalah yang
timbul baik itu masalah yang terdapat di lingkungan keluarga maupun masyarakat.
Peningkatan mutu pendidikan anak didik bukan hanya memperoleh pengetahuan melalui
pemberian masalah tetapi menemukan sendiri masalah. Hal ini merupakan suatu penghargaan
bagi dirinya sehingga dapat menimbulkan kepuasan diri yang ditandai dengan terbentuknya
rasa aman, mental sehat, terbuka, kreatif dan sifat-sifat lain yang mendukung terbentuknya
manusia seutuhnya.
Untuk mencapai mutu pendidikan utamanya pendidikan formal pada jenjang pendidikan
dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah menengah umum dilaksanakan berupa
pembaharuan penyempurnaan dan kebijakan di bidang pendidikan.
Proses belajar mengajar akan terjadi interaksi timbal balik antara guru dan siswa dan antara
siswa dengan siswa itu sendiri. Berhasil tidaknya proses belajar mengajar sangat ditentukan
oleh keberhasilan guru dalam mengajar. Dalam dunia pendidikan khususnya di sekolah dasar
pelajaran bahasa Indonesia di berikan mulai dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 yang meliputi
empat aspek yaitu berbicara, menyimak, mendengar dan menulis. Berbicara merupakan
kenyataan yang tidak dapat dipungkiri di mana dan ke mana pun, berbicara secara efektif
merupakan suatu unsur penting terhadap keberhasilan kita dalam semua kehidupan. Albert
dalam Tarigan, (1984 : 26).
Berbicara pada hakikatnya melukiskan apa yang ada di hati. Proses belajar mengajar
merupakan interaksi yang dilakukan antara guru dengan peserta didik dalam suatu pendidikan

untuk mewujudkan tujuan yang ditetapkan. Seorang guru sudah barang tentu dituntut
kemampuannya untuk menggunakan berbagai metode dalam pembelajaran di
SDN No.30 kota selatan kota Gorontalo. Pada pelajaran bahasa Indonesia hanya dilakukan
dengan menyuruh murid berdiri di depan kelas untuk berbicara misalnya bercerita atau
berpidato. Sedangkan siswa yang lain diminta mendengarkan. Akibatnya, pengajaran
berbicara kurang menarik. Siswa yang mendapat giliran merasa tertekan sebab di samping
harus menyiapkan bahan sering kali juga melontarkan kritik yang berlebih-lebihan sehingga
siswa merasa kurang tertarik kecuali ketika mendapat gilirannya.
Dengan melihat kenyataan di lapangan, diduga kurangnya kemampuan siswa dalam
berbicara/mengungkapkan perasaan disebabkan oleh penyajian guru dalam pembelajaran
yang sebagian besar menggunakan metode ceramah, tanpa peragaan atau gerakan-gerakan
dan ekspresi wajah yang sesuai.
Apabila hal di atas dibiarkan berlarut-larut maka dapat mengakibatkan dampak seperti
menurunnya prestasi belajar siswa serta dirasakan sulit bagi siswa untuk
berbicara/mengungkapkan perasaan dengan nada dan gerak serta mimik wajah yang
sebenarnya. Untuk dapat mengatasi hal di atas, dipandang perlu adanya penggunaan metode
yang bervariasi.
Penggunaan metode bermain peran adalah cara tepat bagi siswa untuk belajar dan berlatih
berbicara dengan mengungkapkan perasaan melalui gerakan-gerakan serta ekspresi wajah,
sehingga kemampuan berbicara siswa lambat laun semakin meningkat. Metode yang
ditempuh dalam pembelajaran berbicara melalui metode bermain peran akan lebih baik jika
guru benar-benar tepat dan baik dalam membelajarkan metodenya. Sehingga dengan metode
yang dilakukan dapat membuahkan hasil yang memuaskan oleh karena dilakukan sesuai
dengan langkah-langkah yang ada.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik dan termotivasi untuk mengangkat judul
Meningkatkan Kemampuan Berbicara Melalui Metode Bermain Peran Siswa Kelas IV SDN
No. 30 Kota Selatan Kota Gorontalo.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi permasalahan
sebagai berikut:
1. Pembelajaran lebih berpusat pada guru mengakibatkan siswa menjadi kurang aktif dalam
pembelajaran
2. Sebagian besar siswa tidak dapat menyelesaikan soal-soal pada mata pelajaran bahasa
Indonesia.
3. Rendahnya hasil belajar siswa pada mata pelajaran bahasa Indonesia
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini
yakni Apakah dengan Kemampuan Berbicara Melalui Metode Bermain Peran dapat
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas IV SDN No. 30 Kota Selatan Kota Gorontalo ?
1.4 Pemecahan Masalah
Meningkatkan kemampuan berbicara siswa melalui metode bermain peran dapat di pecahkan
dengan cara berlatih dan mempraktekkan langsung langkah-langkah keduanya.
1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Untuk meningkatkan Hasil Belajar siswa di Kelas IV SDN No. 30 Kota Selatan Kota
Gorontalo ?

2. Untuk meningkatkan minat dan motivasi belajar siswa di Kelas IV SDN No. 30 Kota
Selatan Kota Gorontalo ?
1.6 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut.
1. Untuk guru
Guru melatih dan menumbuhkembangkan keterampilan siswa terutama dalam meningkatkan
kemampuan berbicara siswa serta mewariskan pada anak didiknya.
2. Untuk siswa
Untuk siswa dapat memberikan kegembiraan melalui bermain di mana permainan (bermain
peran) menjadi alat pendidikan yang memberikan rasa kepuasan kebahagiaan anak didik
karena dalam belajar dilakukan sambil bermain.
3. Untuk sekolah
Dapat menciptakan kehangatan dalam berkomunikasi baik antar kepala sekolah, guru
maupun siswa, karena adanya kemampuan berbicara yang baik dan lancar.
4. Untuk peneliti
Peneliti perlu meningkatkan frekuensi keikutsertaan guru dalam meningkatkan kemampuan
berbicara siswa melalui kegiatan bermain peran.
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1 Kajian Teoritis
2.1.1 Hakikat Berbicara
Berbicara secara umum dapat diartikan sebagai suatu penyampaian maksud (ide, pikiran, isi
hati) seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga maksud
tersebut dipahami oleh orang lain. Zamzani dan Haryadi, (1996: 54). Pengertian secara
khusus banyak dikemukakan oleh para pakar seperti Tarigan dalam Zamzani dan Haryadi,
(1996 : 54) mengemukakan Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi artikulasi
atau kata-kata untuk mengekspresikan menyatakan pikiran, gagasan dan perasaan.
Berbicara pada hakikatnya merupakan proses komunikasi, sebab di dalamnya terjadi
pemindahan pesan dari suatu sumber ke tempat lain. Zamzani dan Haryadi, (1996 : 54).
Berbicara merupakan bentuk perilaku yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis,
semantik, dan linguistik. Pada saat berbicara orang memanfaatkan faktor fisik yaitu alat ucap
untuk menghasilkan bunyi bahasa. Bahkan organ tubuh lain seperti kepala, tangan, dan roman
muka dimanfaatkan dalam berbicara. Faktor psikologis memberikan andil yang cukup besar
terhadap kelancaran berbicara. Stabilitas emosi misalnya, tidak hanya berpengaruh pada
kualitas suara yang dihasilkan oleh alat ucap, tetapi berpengaruh juga terhadap keruntutan
bahan pembicaraan. Berbicara tidak lepas dari faktor neurologis yaitu jaringan syaraf neuron
yang menghubungkan otak kecil dan mulut, telinga, dan organ tubuh lain yang ikut dalam
aktivitas berbicara. Demikian pula faktor semantik yang berhubungan dengan makna serta
faktor linguistik yang berhubungan dengan struktur bahasa yang selalu berperan dalam
kegiatan berbicara. Bunyi yang dihasilkan alat ucap kata-katanya harus disusun agar menjadi
lebih bermakna. Zamzani dan Haryadi, (1996 : 56). Selanjutnya menurut Stewart dan Kenner
Zimmer dalam Zamzani dan Haryadi, (1996 : 56) memandang kebutuhan akan komunikasi
yang efektif dianggap suatu yang esensial untuk mencapai keberhasilan setiap individu
maupun kelompok.
Berbicara merupakan hal mudah namun bukanlah hal sepele, akan tetapi berbicara dengan
memperhatikan langkah-langkah berbicara itu yang dianggap mudah dan baik.
Berbicara merupakan cara berkomunikasi bagi manusia sebagai makhluk sosial yaitu suatu

tindakan saling menukar pengalaman, saling mengemukakan dan menerima pikiran, saling
mengutarakan perasaan dan mengekspresikannya. Tarigan, (1984 : 67). Oleh karena itu
dalam tindakan sosial suatu masyarakat dalam menghubungkan sesama anggota masyarakat
tersebut diperlukan komunikasi. Pengajaran berbicara perlu memperhatikan dua faktor yang
mendukung ke arah tercapainya pembicaraan yang efektif yaitu (1) faktor kebahasaan
seperti ; (a). pelafalan bunyi bahasa, (b). penggunaan intonasi, (c). pemilihan kata dan
ungkapan, (d). penyesuaian kalimat paragraf. Sementara faktor yang ke(2) yaitu faktor non
kebahasaan meliputi ; (a). ketenangan dan kegairahan, (b). keterbukaan, (c). keintiman, (d).
isyarat non verbal, dan (e). topik pembicaraan. Haryadi dan Zamzani, (1996 : 61).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berbicara adalah kegiatan berkomunikasi secara
lisan yang di dalamnya berisi penyampaian pesan dari sumbernya ke tempat lain dan kadang
kala disertai gerak serta mimik (ekspresi) sesuai dengan apa yang dibicarakan oleh
pembicara.
2.1.2 Langkah-langkah Berbicara
Keterampilan berbicara di depan khalayak ramai (public speaking) tidak akan muncul begitu
saja pada diri seseorang. Keterampilan diperoleh setelah melalui berbagai latihan dan praktek
penggunaannya. Karena itulah para ahli banyak menaruh perhatian terhadap upaya membina
dan mengembangkan keterampilan berbicara.
Enhinger, dkk (dalam Tarigan, 1991 : 195) mengajukan delapan langkah dalam berbicara
yaitu ; (a) menyeleksi dan memusatkan pembicaraan, (b) menentukan tujuan khusus
pembicaraan, (c) menganalisis pendengar dan situasi, (d) mengumpulkan materi
pembicaraan, (e) menyusun kerangka dasar pembicaraan, (f) mengembangkan kerangka
dasar, (g) berlatih dengan suara keras, jelas, dan lancar, (h) menyajikan pembicaraan.
Keraf (dalam Tarigan, 1991 : 195) mengusulkan tujuh langkah dalam berbicara. Ke tujuh
langkah tersebut yaitu : (a) menentukan maksud, (b) menganalisis pendengar dan situasi, (c)
memilih dan menyempitkan topik, (d) mengumpulkan bahan, (e) membuat kerangka uraian,
(f) menguraikan secara mendetail, dan (g) berlatih dengan suara nyaring.
Selanjtnya Wainright (dalam Tarigan, 1991 : 196) menyarankan enam langkah dalam
berbicara :
a) Memilih topik
Dalam berbicara haruslah memilih topik yang sesuai dengan permintaan atau tuntutan di
mana kita akan tampil sebagai pembicara.
b) Menguasai dan menguji topik
Topik yang dipilih sesuai dengan tuntutan keadaan dan harus dipahami, dimengerti, dan
dikuasai oleh pembicara. Kemudian topik dikaji dan diuji dari berbagai sudut pandang.
c) Memahami pendengar dan situasi
Sebelum pembicaraan berlangsung, pembicara harus menganalisis latar belakang pendengar
dan situasi seperti minat, kebiasaan, usia, harapan, jenis kelamin, tingkat kemampuan,
pekerjaan, ruangan, tempat, lokasi, suasana lingkungan (tenang, bising), waktu (pagi, siang,
sore, malam), dan sarana (pengeras suara, penerangan), dan sebagainya.
d) Menyusun kerangka
Berdasarkan topik yang telah dipilih, susunlah kerangka pembicaraan. Kerangka pembicaraan
yang tersusun baik sangat bermanfaat bagi pembicara sendiri dan juga pendengar. Bagi
pembicara kerangka berfungsi sebagai pedoman, penuntun arah mengisi pembicaraan.
Sedangkan bagi pendengar, kerangka berfungsi sebagai sarana memudahkan mengikuti dan
memahami isi pembicaraan.
e) Mengujicobakan
Apabila kerangka pembicaraan sudah tersusun dengan baik, maka perlu diujicobakan.
Pertama, mengundang beberapa teman dan bila telah selesai mintalah teman-teman untuk
mengkritik penampilan. Kedua, rekamlah pembicaraan sebagai balikan paling lengkap yakni

memutar kembali pembicaraan yang diambil pada waktu permainan berlangsung. Ketiga,
berbicara di depan cermin dan amatilah penampilan dalam cerita tersebut.
f) Menyajikan pesan, pembicaraan harus berpedoman pada butir-butir pembicaraan. Biasanya
pembicaraan menggunakan kartu kecil, sehingga pembicaraan dapat menguraikan satu
persatu secara wajar, tidak berlebih-lebihan apalagi dibuat-buat.
Dalam berbicara hendaknya menggunakan bahasa yang sederhana sesuai taraf kemampuan
pendengar. Aturlah suasana agar tidak terlalu formal, sekali-kali dapat diselipkan humor
dalam pembicaraan agar pendengar lebih bergairah.
2.1.3 Hakikat Bermain Peran
Istilah bermain peran mempunyai empat pengertian, yaitu (1) sesuatu yang bersifat sandiwara
di mana pemain memainkan peran tertentu sesuai dengan lakon yang sudah ditulis dan
memainkannya untuk tujuan hiburan; (2) sesuatu yang bersifat sosiologis atau pola-pola
perilaku yang ditentukan oleh norma-norma sosial; (3) suatu perilaku tiruan atau tipuan di
mana seseorang berusaha memperbodoh orang lain dengan jalan berperilaku berlawanan
dengan apa yang sebenarnya diharapkan, dirasakan, atau diinginkan; dan (4) sesuatu yang
berkaitan dengan pendidikan di mana individu memerankan situasi yang imajinatif dengan
tujuan untuk membantu tercapainya pemahaman diri sendiri, meningkatkan keterampilan,
menunjukkan perilaku kepada orang lain bagaimana perilaku seseorang atau bagaimana
seseorang harus bertingkahlaku. Corsini (dalam Tatiek, 2001 : 99).
Bennet, dalam Tatiek (2001 : 99) mengemukakan bahwa bermain peran adalah suatu alat
belajar yang mengembangkan keterampilan-keterampilan dan pengertian-pengertian
mengenai hubungan antar manusia dengan jalan memerankan situasi-situasi yang paralel
dengan yang terjadi dalam kehidupan yang sebenarnya.
Corsini, dalam Tatiek (2001 : 99) menyatakan bahwa bermain peran dapat digunakan
sebagai : (a) alat untuk mendiagnosis dan mengerti seseorang dengan cara mengamati
perilakunya waktu memerankan dengan spontan situasi-situasi atau kejadian-kejadian yang
terjadi dalam kehidupan sebenarnya; (b) media pengajaran, melalui proses modeling
anggota dapat lebih efektif melalui keterampilan-keterampilan antar pribadi dengan
mengamati berbagai macam cara dalam memecahkan masalah; dan (c) metode latihan untuk
melatih keterampilan-keterampilan tertentu melalui keterlibatan secara aktif dalam proses
bermain peran.
Dari sekian banyak pengertian bermain peran, dapat disimpulkan bahwa bermain peran
adalah suatu kegiatan yang di dalamnya melakukan perbuatan-perbuatan yaitu gerakangerakan wajah (ekspresi) sesuai dengan apa yang diceritakan.
Namun yang penting untuk diingat bahwa bermain peran yang dikembangkan di Sekolah
Dasar adalah kegiatan sebagai media bermain peran.
Kemampuan berperan di sini meliputi kemampuan menghayati emosi, kesukaan, kesedihan,
dan kebiasaan-kebiasaan lain dari tokoh yang diperankan. Kemudian penghayatan terhadap
mimik, gerak tubuh,intonasi suara yang dimiliki tokoh tersebut.
2.1.4 Langkah-langkah Bermain Peran
Dalam bermain peran langkah-langkah yang harus ditempuh yaitu ada empat langkah sebagai
berikut menurut Hesti dkk, (2004) :
(a) Membacakan naskah drama atau percakapan dengan intonasi jeda, lafal, dan volume suara
yang sesuai. Kalimat-kalimat dalam kurung tidak perlu dibaca, karena kalimat-kalimat
tersebut merupakan petunjuk laku.
(b) Menentukan watak tokoh dan ekspresi yang tepat untuk memerankan tokoh tersebut.
(c) Berlatih berulang-ulang sampai betul-betul dapat memerankan tokoh dengan baik.
(d) Menggunakan perlengkapan panggung dan kostum yang sesuai agar percakapan yang
diperankan lebih hidup.
Apabila hal-hal di atas dapat dilakukan dengan baik dan sungguh-sungguh, maka secara

otomatis akan menjadikan hidupnya percakapan karena dilakukan oleh anak-anak yang aktif
dan kreatif sesuai dengan watak tokoh masing-masing.
2.1.5 Metode Bermain Peran
Metode bermain peran atau teknik pengajaran adalah suatu cara penguasaan pelajaran
kegiatan pengembangan imajinasi penghayatan suatu tokoh tertentu. Tarigan dkk (1991 :
389). Teknik bermain peran sangat baik dalam mendidik siswa untuk menggunakan ragamragam bahasa.
Bermain peran dapat dilakukan dalam berbagai macam peranan. Seseorang dapat
memerankan berbagai peran dalam satu harinya, misalnya sebagai seorang ibu, istri, teman,
kepala sekolah, penjual, pembeli, dan sebagainya. Pada setiap peranan tersebut seorang anak
harus dapat berperilaku sesuai dengan peran yang dilakukannya. Cara anak berperilaku pada
setiap peranan tersebut bergantung pada status atau posisinya dengan pasangan perannya.
Jadi, perilaku ibu kepada anaknya berbeda dengan perilakunya terhadap suaminya dan
berbeda pula dengan perilakunya terhadap bawahannya di sekolah.
Cara berbicara orang tua tentu berbeda dengan cara berbicara anak muda, cara berbicara
pembeli berbeda dengan cara berbicara penjual. Fungsi dan peranan seseorang menuntut cara
berbicara atau berbahasa tertentu pula. Tarigan dkk (1991 : 389).
Dalam bermain peran, siswa bertindak, berlaku, dan berbahasa sesuai dengan peranan tokoh
yang diperankannya. Misalnya sebagai guru, polisi, hakim, dokter, pedagang, dan sebagainya.
Setiap tokoh tertentu menuntut karakteristik tertentu pula. Dengan kata lain kepribadian
seseorang adalah keseluruhan peranan yang diperankannya dalam kehidupan sehari-hari di
lingkungan keluarga, masyarakat, dan pekerjaan sekalipun. Seseorang dapat dikatakan
mempunyai penyesuaian diri yang baik apabila dapat berperilaku sesuai dengan peranan yang
dimilikinya baik sebagai individu maupun makhluk sosial.
2.1.6 Kelemahan dan kelebihan
2.1.7
2.2 Hipotesis Tindakan
Menurut Arikunto (1999 : 62) hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara
terhadap suatu permasalahan penelitian sampai terbukti melalui alat-alat yang terkumpul.
Yang menjadi hipotesis dalam penelitian tindakan yaitu jika metode bermain peran diterapkan
dalam pembelajaran bahasa Indonesia, maka dapat dengan mudah dipahami oleh siswa
sehingga dapat meningkatkan kemampuan berbicara.
2.3 Indikator Kinerja
Proses kegiatan belajar mengajar dilaksanakan melalui tindakan kelas yang dititikberatkan
pada kemampuan berbicara melalui metode bermain.
Selama berlangsungnya proses kegiatan belajar mengajar diadakan pengamatan langsung dari
hasil capaian siswa. Di katakan berhasil pada proses belajar mengajar apabila dalam evaluasi
siswa mendapat nilai rata-rata 75 dengan persentase 75% dengan predikat memuaskan.
Sedangkan bila hasil capaian siswa pada proses belajar mengajar dapat predikat kurang
memuaskan maka dipandang perlu untuk mengadakan pengajaran ulang sehingga siswa
benar-benar paham memainkan perannya.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Seting dan karakteristik subjek penelitian
3.1.1seting penelitian

Penelitian ini di laksanakan di SDN No.30 kota selatan kota gorontalo


Penelitian ini bertempat di lokasi SDN No. 30 Kota Selatan Kota Gorontalo pada siswa kelas
IV berjumlah 29 orang
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SDN No. 30 Kota Selatan Kota Gorontalo yang terletak di Jl.
Jaksa Agung Suprapto Kelurahan Limba U 1 dengan 1 orang kepala sekolah dan 40 guru
serta jumlah siswa sebanyak 451 orang.
3.2 Prosedur Penelitian
Adapun penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas dengan bentuk penelitian
tindakan kolaboratif yang berpedoman pada langkah-langkah yang dikemukakan oleh
Arikunto (2007:16). Komponen pokok dalam penelitian tindakan ini adalah:
1. Perencanaan (planning)
2. Pelaksanaan tindakan (acting)
3. Pengamatan (observing)
4. Refleksi (reflecting)
Hubungan keempat konsep pokok tersebut dapat digambarkan dengan diagram berikut:
Gambar 3.1: Empat Konsep Pokok Pada Penelitian Tindakan Kelas
3.2.1 Tahap Persiapan
a. Mengadakan konsultasi dengan guru dan kepala sekolah dalam rangka mempersiapkan
penelitian.
b. Menyiapkan administrasi pembelajaran.
c. Menyiapkan media yang akan digunakan dalam pembelajaran.
d. Menyusun instrumen pemantau.
3.2.2 Tahap Pelaksanaan
Dalam penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan secara bertahap atau berkelanjutan
sebanyak 2 siklus dengan langkah-langkah sebagai berikut.
a. Siklus I
1. Peneliti melaksanakan kegiatan belajar mengajar pada materi berbicara atau percakapan
melalui metode bermain peran.
2. Peneliti menjelaskan materi tentang berbicara atau percakapan dengan menggunakan
metode bermain peran serta dilengkapi dengan media atau perlengkapan yang dibutuhkan
sesuai dengan teks percakapan.
3. Peneliti membagikan teks percakapan berjudul malu Kepada Paman.
4. Peneliti meminta siswa untuk membentuk kelompok masing-masing kelompok terdiri dari
3 orang kemudian berlatih.
5. Peneliti mengevaluasi siswa untuk maju ke depan kelas memerankan tokoh sesuai dengan
teks percakapan bersama kelompoknya sehingga semua siswa aktif dan terlibat langsung
dalam memerankan tokoh-tokoh cerita.
Dari tindakan yang dilakukan pada siklus I dapat dilihat dan diketahui hasil capaian belajar
siswa. Jika hasil capaian pada siklus I belum mencapai target yang diinginkan, maka peneliti
harus melaksanakan tindakan pada siklus berikutnya yaitu siklus II, sehingga hasil belajar
mencapai nilai yang telah ditargetkan.
b. Siklus II
Dengan berdasarkan pada siklus I maka dilanjutkan dengan siklus II. Langkah-langkah yang
dilakukan pada siklus II yaitu :
1. Peneliti mengulangi penjelasan tentang materi percakapan.
2. Peneliti membimbing siswa untuk berlatih berbicara melalui bermain peran dengan lebih

menekankan bahwa kegiatan bermain peran sama halnya berbicara menggunakan gerak tubuh
dan ekspresi yang sesuai.
3. Peneliti memberikan bimbingan bagi siswa yang belum bias untuk berperan dengan baik,
dan menindaklanjuti serta memotivasi siswa secara umum.
4. Peneliti mengevaluasi siswa untuk memerankan tokoh-tokoh cerita bersama kelompok
masing-masing.
3.2.3 Tahap Pemantauan dan Evaluasi
Pelaksanaan pemantauan terhadap keberhasilan siswa dalam memerankan tokoh cerita
dilakukan pada saat proses belajar mengajar berlangsung dengan penyajian materi atau
metode yang digunakan yaitu metode bermain peran. Sedangkan evaluasi yang dilaksanakan
yaitu evaluasi proses yang mana evaluasi dilakukan langsung pada saat proses belajar
mengajar dengan meminta siswa untuk memerankan tokoh cerita bersama kelompoknya
masing-masing di depan kelas.
3.2.4 Tahap Analisis dan Refleksi
Analisis data pengujian untuk penilaian tindakan kelas ini dilakukan pada saat proses belajar
mengajar berlangsung, dengan memperhatikan secara bertahap dan berkesinambungan setiap
akhir siklus sehingga menampakkan perbedaan antara hasil pelaksanaan pada setiap siklus
dengan menggunakan analisis kualitatif.
Dari hasil analisis data pada siklus I dan siklus II dapat diketahui adanya perubahan
peningkatan pada keterampilan berbicara menggunakan metode bermain peran dengan tema :
Mari, Bermain Peran, sub tema : Malu Kepada Paman. Kriteria keberhasilan yang harus
dicapai oleh siswa yaitu 75%. Apabila dalam pelaksanaan siklus I belum mencapai target
yang ditentukan maka perlu dilakukan tindakan-tindakan tahap berikutnya, yaitu siklus II.
Sehingga memperoleh nilai yang sudah ditargetkan.

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBAHASA INDONESIA (PADA


ASPEK BERBICARA)DENGANMENGGUNAKAN METODE SOSIODRAMA PADA
SISWA KELAS V SDN 4 KOTARAJA TAHUN AKADEMIK 2012/2013
Posted on June 10, 2013by hzwathoni
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada umumnya tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang berkualitas. Salah
satu faktor yang perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan yang dimaksud adalah dengan
meningkatkan kualitas pembelajaran. Pendidikan bukan hanya berlaku selama bersekolah
tetapi pendidikan itu berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di lingkungan keluarga,
masyarakat serta di sekolah. Oleh karena itu pendidikan merupakan tanggung jawab keluarga,
masyarakat dan pemerintah. Pendidikan yang berlangsung di sekolah pada dasarnya untuk
melatih, mendidik, membina agar peserta didik mampu berpikir. Melalui latihan berpikir
inilah mereka memperoleh berbagai macam pengetahuan dalam memecahkan masalah yang
timbul baik itu masalah yang terdapat di lingkungan keluarga maupun masyarakat.
Peningkatan mutu pendidikan anak didik bukan hanya memperoleh pengetahuan melalui
pemberian masalah tetapi menemukan sendiri masalah. Hal ini merupakan suatu penghargaan
bagi dirinya sehingga dapat menimbulkan kepuasan diri yang ditandai dengan terbentuknya
rasa aman, mental sehat, terbuka, kreatif, dan sifat-sifat lain yang mendukung terbentuknya
manusia seutuhnya.
Untuk mencapai mutu pendidikan utamanya pendidikan formal pada jenjang pendidikan
dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah menengah umum dilaksanakan berupa
pembaharuan penyempurnaan dan kebijakan di bidang pendidikan.
Proses belajar mengajar akan terjadi interaksi timbal balik antara guru dan siswa dan antara
siswa dengan siswa itu sendiri. Berhasil tidaknya proses belajar mengajar sangat ditentukan
oleh keberhasilan guru dalam mengajar. Dalam dunia pendidikan khususnya di sekolah dasar
pelajaran bahasa Indonesia di berikan mulai dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 yang meliputi
empat aspek yaitu berbicara, menyimak, mendengar dan menulis. Berbicara merupakan
kenyataan yang tidak dapat dipungkiri di mana dan ke mana pun, berbicara secara efektif
merupakan suatu unsur penting terhadap keberhasilan kita dalam semua kehidupan. Albert
dalam Tarigan, (1984 : 26).
Berbicara pada hakikatnya melukiskan apa yang ada di hati. Proses belajar mengajar
merupakan interaksi yang dilakukan antara guru dengan peserta didik dalam suatu pendidikan
untuk mewujudkan tujuan yang ditetapkan. Seorang guru sudah barang tentu dituntut
kemampuannya untuk menggunakan berbagai metode dalam pembelajaran di SDN 4
Kotaraja. Pada pelajaran bahasa Indonesia hanya dilakukan dengan menyuruh murid berdiri

di depan kelas untuk berbicara misalnya bercerita atau berpidato. Sedangkan siswa yang lain
diminta mendengarkan. Akibatnya, pengajaran berbicara kurang menarik. Siswa yang
mendapat giliran merasa tertekan sebab di samping harus menyiapkan bahan sering kali juga
melontarkan kritik yang berlebih-lebihan sehingga siswa merasa kurang tertarik kecuali
ketika mendapat gilirannya.
Dengan melihat kenyataan di lapangan, diduga kurangnya kemampuan siswa dalam
berbicara/mengungkapkan perasaan disebabkan oleh penyajian guru dalam pembelajaran
yang sebagian besar menggunakan metode ceramah, tanpa peragaan atau gerakan-gerakan
dan ekspresi wajah yang sesuai.
Apabila hal di atas dibiarkan berlarut-larut maka dapat mengakibatkan dampak seperti
menurunnya prestasi belajar siswa serta dirasakan sulit bagi siswa untuk
berbicara/mengungkapkan perasaan dengan nada dan gerak serta mimik wajah yang
sebenarnya. Untuk dapat mengatasi hal di atas, dipandang perlu adanya penggunaan metode
yang bervariasi.
Penggunaan metode sosiodrama adalah cara tepat bagi siswa untuk belajar dan berlatih
berbicara dengan mengungkapkan perasaan melalui gerakan-gerakan serta ekspresi wajah,
sehingga kemampuan berbicara siswa lambat laun semakin meningkat. Metode yang
ditempuh dalam pembelajaran berbicara melalui metode soiodrama akan lebih baik jika guru
benar-benar tepat dan baik dalam membelajarkan metodenya. Sehingga dengan metode yang
dilakukan dapat membuahkan hasil yang memuaskan oleh karena dilakukan sesuai dengan
langkah-langkah yang ada.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik dan termotivasi untuk mengangkat judul
Upaya Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Indonesia Pada Aspek Berbicara Dengan
Menggunakan Metode Sosiodrama Pada Siswa Kelas V SDN 4 Kotaraja Tahun Akademik
2012/2013.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi permasalahan
sebagai berikut:
1. Pembelajaran lebih berpusat pada guru mengakibatkan siswa menjadi kurang aktif dalam
pembelajaran.
2. Sebagian besar murid tidak tertarik dengan metode pengajaran guru yang hanya
mengandalkan ceramah di depan kelas.
3. Kemampuan berbicara siswa khususnya di kelas V SDN 4 Kotaraja masih dibilang rendah.
4. Rendahnya prestasi belajar siswa pada mata pelajaran bahasa Indonesia.
C. Batasan Masalah
Batasan masalah pada penelitian ini adalah upaya meningkatkan kemampuan berbahasa

Indonesia pada aspek berbicara dengan menggunakan metode soiodrama pada siswa kelas V
SDN 4 Kotaraja Tahun Akademik 2012/2013.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini
yakni Bagaimanakah dengan kemampuan berbahasa Indonesia pada aspek berbicara dengan
menggunakan metode sosiodrama dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SDN 4
Kotaraja Tahun Akademik 2012/2013?.
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis mempunyai tujuan dalam penelitian ini
adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan metode soiodrama dalam upaya
meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia pada aspek berbicara pada siswa kelas V
SDN 4 Kotaraja Tahun Akademik 2012/2013?
F. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dapat ditinjau dari dua segi, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat
praktis
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan landasan terkait didalam
meningkatkan kemampuan berbicara serta sumbangsih nyata terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan dalam rangka penyelenggaraan proses pembelajaran efektif yang menekankan
pada partisipasi aktif siswa sebagai warga belajar yang dilakukan dengan perencanaan
matang, kelengkapan alat, bahan dan media pembelajaran yang digunakan, serta sarana dan
prasarana belajar yang memadai.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peningkatan pembelajaran di
Sekolah Dasar pada umumnya, dan khususnya bagi proses pembelajaran di kelas V Sekolah
Dasar. Lebih khusus bagi penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang
bermakna:
a. Bagi Siswa
1) Meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas V SDN 4 Kotaraja dalam upaya meningkatkan
kemampuan berbahasa Indonesia pada aspek berbicara dengan menggunakan metode
sosiodrama.
2) Meningkatkan keterampialan berkomunikasi siswa dalam upaya meningkatkan
kemampuan berbahasa Indonesia di kelas V SDN 4 Kotaraja.
3) Meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SDN 4 Kotaraja dalam pembelajaran Bahasa
Indonesia.
b. Bagi Peneliti
1) Melakukan perbaikan dan peningkatan pelayanan kepada peserta didik dalam proses

pembelajaran di kelas.
2) Mengembangkan kompetensi guru dalam membuat perencanaan, melaksanakan dan
mengevaluasi hasil belajar siswa dengan menggunakan metode sosiodrama.
3) Memperoleh pengalaman tentang keterampilan praktik dalam proses pembelajaran untuk
meningkatkan aktivitas dan kreativitas siswa dalam pembelajaran terhadap materi pelajaran.
c. Bagi Sekolah
1) Diharapkan memberikan masukan yang positif untuk meningkatkan kualitas lulusan.
2) Kinerja guru menjadi lebih baik.
3) Memunculkan inovasi pembelajaran bahasa Indonesia sehingga pembelajaran lebih
bermakna.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teoritis
1. Konsep Berbicara
a. Pengertian Berbicara
Berbicara merupakan kegiatan berbahasa lisan yang dilakukan oleh manusia. Tarigan
(1983:15) menjelaskan bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi
artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Tarigan
(1984:15) menyatakan bahwa berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang
memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, semantik, dan lingkungan sedemikian ekstensif
secara luas sehingga dapat dikatakan sebagai alat manusia yang paling penting bagi kontrol
sosial. Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Laksono (1982:25), bahwa
berbicara atau bertutur adalah perbuatan menghasilkan bahasa untuk berkomunikasi sebagai
salah satu keterampilan dasar dalam berbahasa. Berbicara adalah proses berpikir dan bernalar.
Pembelajaran berbicara dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan bernalar.
Pendapat lain mengemukakan, Berbicara adalah keterampilan memproduksi arus sistem
bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan, perasaan, dan keinginan pada
orang lain (Mukhsin dalam Carolina, 2001:18).
Sabarti dkk. (dalam Bukian, 2004:15) menyatakan, Berbicara adalah peristiwa atau proses
penyampaian gagasan secara lisan. Sejalan dengan itu, Tarigan (1991:132) menegaskan,
Berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasan lisan.
Berdasarkan pendapat yang disampaikan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
berbicara adalah salah satu keterampilan berbahasa yang bersifat ekspresif dan produktif
lisan. Dikatakan produktif karena orang yang berbicara (pewicara) dituntut untuk
menghasilkan paparan secara lisan yang merupakan cermin dari gagasan, perasaan, dan
pikiran yang disampaikan kepada orang lain.
b. Hakikat Berbicara

Berbicara pada hakikatnya merupakan proses komunikasi, sebab di dalamnya terjadi


pemindahan pesan dari suatu sumber ke tempat lain. Zamzani dan Haryadi, (1996 : 54).
Berbicara merupakan bentuk perilaku yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis,
semantik, dan linguistik. Pada saat berbicara orang memanfaatkan faktor fisik yaitu alat ucap
untuk menghasilkan bunyi bahasa. Bahkan organ tubuh lain seperti kepala, tangan, dan roman
muka dimanfaatkan dalam berbicara. Faktor psikologis memberikan andil yang cukup besar
terhadap kelancaran berbicara. Stabilitas emosi misalnya, tidak hanya berpengaruh pada
kualitas suara yang dihasilkan oleh alat ucap, tetapi berpengaruh juga terhadap keruntutan
bahan pembicaraan. Berbicara tidak lepas dari faktor neurologis yaitu jaringan syaraf neuron
yang menghubungkan otak kecil dan mulut, telinga, dan organ tubuh lain yang ikut dalam
aktivitas berbicara. Demikian pula faktor semantik yang berhubungan dengan makna serta
faktor linguistik yang berhubungan dengan struktur bahasa yang selalu berperan dalam
kegiatan berbicara. Bunyi yang dihasilkan alat ucap kata-katanya harus disusun agar menjadi
lebih bermakna. Zamzani dan Haryadi, (1996 : 56). Selanjutnya menurut Stewart dan Kenner
Zimmer dalam Zamzani dan Haryadi, (1996 : 56) memandang kebutuhan akan komunikasi
yang efektif dianggap suatu yang esensial untuk mencapai keberhasilan setiap individu
maupun kelompok.
Berbicara merupakan hal mudah namun bukanlah hal sepele, akan tetapi berbicara dengan
memperhatikan langkah-langkah berbicara itu yang dianggap mudah dan baik.
Berbicara merupakan cara berkomunikasi bagi manusia sebagai makhluk sosial yaitu suatu
tindakan saling menukar pengalaman, saling mengemukakan dan menerima pikiran, saling
mengutarakan perasaan dan mengekspresikannya. Tarigan, (1984 : 67). Oleh karena itu
dalam tindakan sosial suatu masyarakat dalam menghubungkan sesama anggota masyarakat
tersebut diperlukan komunikasi. Pengajaran berbicara perlu memperhatikan dua faktor yang
mendukung ke arah tercapainya pembicaraan yang efektif yaitu (1) faktor kebahasaan
seperti ; (a). pelafalan bunyi bahasa, (b). penggunaan intonasi, (c). pemilihan kata dan
ungkapan, (d). penyesuaian kalimat paragraf. Sementara faktor yang kedua yaitu faktor non
kebahasaan meliputi ; (a). ketenangan dan kegairahan, (b). keterbukaan, (c). keintiman, (d).
isyarat non verbal, dan (e). topik pembicaraan. Haryadi dan Zamzani, (1996 : 61).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berbicara adalah kegiatan berkomunikasi secara
lisan yang di dalamnya berisi penyampaian pesan dari sumbernya ke tempat lain dan kadang
kala disertai gerak serta mimik (ekspresi) sesuai dengan apa yang dibicarakan oleh
pembicara.
c. Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa
Linguis berkata bahwa Speaking is language. Berbicara adalah suatu keterampilan
berbahasa yanf berkembang pada kehidupan anak yang hanya didahului oleh keterampilan
menyimak, dan pada masa tersebutlah kemampuan berbicara atau berujar dipelajari.
Berbicara berkaitan dengan penguasaan kosakata yang diperoleh anak melalui kegiatan

menyimak dan membaca. Ketidakmatangan merupakan kendala yang dihadapi dalam proses
belajar berbahasa. Perlu kita sadari bahwa keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk
berbicara efektif banyak persamaannya dengan yang dibutuhkan bagi komunikasi efektif
untuk terampil berbahasa (Greene & Petty, 1971 : 39-40).
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas, hubungan antara berbicara dengan
keterampilan berbahasa lainnya, sebagai berikut:
1) Hubungan antara Berbicara dengan Menyimak
a) Ucapan (speech) biasanya diperoleh dari kemampuan menyimak dan meniru. Oleh karena
itu contoh model yang disimak atau direkam oleh sang anak sangat penting dalam
penguasaan kecakapan berbicara.
b) Kata-kata yang akan dipakai serta dipelajari oleh sang anak biasanya ditentukan oleh
peransang (stimulus) yang mereka temui dan kata-kata berperan penting sebagai alat
penyampaian gagasan dan keinginan sang anak.
c) Ujaran sang anak mencerminkan pemakaian bahasa di rumah dan dalam masyarakat
tempatnya hidup.
d) Anak yang lebih muda lebih dapat memahami kalimat-kalimat yang jauh lebih panjang dan
rumit ketimbang kalimat-kalimat yang biasa diucapkan.
e) Meningkatkan keterampilan menyimak berarti membantu meningkatkan kualitas berbicara
seseorang.
f) Bunyi atau suara merupakan faktor penting dalam meningkatkan cara pemakaian kata-kata
sang anak.
g) Berbicara dengan bantuan alat-alat peraga (visual aids) akan menghasilkan penangkapan
informasi yang lebih baik pada pihak penyimak. Umumnya, sang anak mempergunakan
bahasa yang didengarnya (Tarigan, 1980 : 1-2).
2) Hubungan antara Berbicara dengan Membaca
a) Performansi atau penampilan membaca berbeda sekali dengan kecakapan berbahasa lisan.
b) Pola-pola ujaran yang tuna-aksara mungkin mengganggu pelajaran membaca bagi anakanak.
c) Membaca bagi anak-anak turut membantu meningkatkan bahasa lisan.
d) Kosakata khusus mengenai bahan bacaan haruslah diajarkan secara langsung. Seandainya
muncul kata-kata baru dalam buku bacaan, maka guru hendaknya mendiskusikannya dengan
siswa agar mereka memahami maknanya sebelum mereka mulai membacanya (Tarigan, 1980
: 4).
3) Hubungan antara Ekspresi Lisan dengan Ekspresi Tulis
a) Sang anak belajar berbicara jauh sebelum dia dapat menulis; dan kosakata, pola-pola
kalimat, serta ide-ide yang memberi ciri pada ujarannya merupakan dasar bagi ekspresi tulis
berikutnya.
b) Sang anak yang telah dapat menulis dengan lancar biasanya dapat menuliskan pengalaman

dan pengetahuan baru yang didapatnya.


c) Ekspresi lisan cendrung kurang struktur, lebih sering berubah-ubah daripada komunikasi
tulis.
d) Catatan, bagan, dan rangka ide-ide yang akan disampaikan pada suatu pembicaraan akan
menolong siswa untuk mengutarakan ide-ide tersebut. Mereka lebih banayak memerlukan
latihan berbicara (Tarigan, 2008 : 6).
d. Karakteristik Berbicara
Jeffery (dalam Masud, 2005:66-68) mengatakan bahwa berbicara memiliki ciri khas yang
tidak dimiliki oleh bentuk-bentuk komunikasi yang lain. Karakteristik berbicara tersebut
adalah:
1) Berbicara bersifat purposif
Dengan pemahaman yang baik tentang karakteristik ini, pembicara diharapkan tahu pasti
bahwa bercerita dilakukan seseorang dengan tujuan tertentu, misalnya (a) memberi tahu, (b)
meyakinkan orang lain, (c) memengaruhi orang lain, (d) menghibur, (e) memberikan
inspirasi, (f) mendamaikan atau melerai, dan sebagainya.
2) Berbicara bersifat interaktif
Pembicara sadar bahwa berbicara dilakukan karana ingin berhubungan dengan orang lain.
Kita tiak perlu berbicara bila tidak ada lawan bicara (reicever).
3) Berbicara bersifat fana
Berbicara memiliki sifat mudah berubah, cepat berlalu dan hilang. Sekali kata-kata yang
mengandung pesan tertentu diucapkan, sekali itu pula ia berlalu. Berbicara secara alami tidak
bisa didengar ulang. Ini berarti bahwa pada detik pesan disampaikan dengan simbol-simbol
fonetis, pada detik itu pula pendengar harus memahaminya. Hal ini menyarankan kepada
pembicara agar memaksimalkan kecerdasannya alam berbicara, mulai dari persiapan hingga
pelaksanaannya. Kecermatan dan ketepatan sangat diperlukan mulai dari ucapan, pemilihan
kata, penyusunan kelompok kata, struktur kalimat, paraton sampai dengan persendian,
tekanan, dan intonasinya.
4) Berbicara selalu terjadi pada bingkai tertentu
Berbicara tidak pernah terjadi dalam kepakuman. Berbicara selalu terjadi dalam tempat,
waktu, situasi, dan kondisi tertentu. Berbicara yang efektif memperhitungkan dan
menyesuaikan diri dengan waktu, tempat, situasi, dan kondisi. Tipe dan tindak
komunikasinya sangat ditentukan oleh keempat faktor tersebut.
5) Berbicara diwarnai perbendaharaan pengalaman
Pengalaman membuktikan bahwa kita sering mengalami kesulitan melakukan komunikasi
berbicara dengan orang yang memiliki latar pengalaman yang berbeda. Sebuah kata yang
sama bisa ditafsirkan berbeda oleh kedua belah pihak yang sedang berkomunikasi karana
mereka memiliki latar pengalaman dan kehidupan yang berbeda.

6) Berbicara alpa tanda baca


Dalam komunikasi tertulis, pemahaman dapat dibantu dengan penggunaan tanda baca,
penggunaan huruf kapital, dan indentasi. Dalam komunikasi berbicara, hal itu tidak
didapatkan. Oleh karena itu, ketepatan dan kejelasan ucapan, persendian, intonasi, dan gerakgerik fisik merupakan faktor penting dalam rangka memahami pesan yang disampaikan.
7) Berbicara memiliki kosakata yang lebih terbatas dan distingtif
Pada umumnya, orang lebih banyak menangkap kosakata dari apa yang dibaca daripada yang
didengarkan. Menyadari keadaan seperti ini, pembicara cenderung menyederhanakan
kosakata yang dipakainya, baik secara kualitas maupun kuantitas.
2. Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar
Sejak lama telah diketahui bahwa tujuan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah
agar para siswa mampu menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi. Oleh karena
itu, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam
berkomunikasi dengan bahasa Indonesia baik lisan maupun tertulis (Diknas, 2003:11). Hal ini
terkait dengan fungsi utama bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi. Dengan demikian,
setiap warga negara dituntut untuk terampil berbahasa. Bila setiap warga negara sudah
terampil berbahasa, komunikasi antarwarga pun akan berlangsung dengan baik.
Ilmu bahasa seperti layaknya ilmu pengetahuan lainnya, merupakan ilmu yang memiliki
disiplin tersendiri dan diajarkan di sekolah-sekolah. Pengajaran bahasa secara umum
dilaksanakan di sekolah-sekolah berkaitan dengan empat keterampilan berbahasa. Dalam
pengajaran, keempat keterampilan berbahasa itu berhubungan erat satu sama lain. Keempat
keterampilan itu meliputi: keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Pembelajaran Bahasa Indonesia diarahkan agar siswa terampil berkomunikasi. Komunikasi
yang dimaksudkan di sini adalah suatu proses penyampaian maksud pembicara kepada orang
lain dengan menggunakan saluran tertentu. Kaswanti Purwo mengemukakan bahwa
Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan dalam pembelajaran bahasa yang lebih
mementingkan penggunaan bahasa daripada pemilikan pengetahuan mengenai bahasa sebagai
sistem yang melekat pada otak manusia. Sementara Richard, dkk. (dalam Slamet, 2003:41)
mengatakan bahwa pendekatan komunikatif merupakan pendekatan dalam pembelajaran
bahasa yang mengarahkan siswa tidak semata-mata kepada penguasaan struktur, tetapi justru
lebih mengarahkan siswa kepada penguasaan kompetensi komunikatif, sehingga siswa dapat
berkomunikasi dengan baik dan benar dalam berbagai peristiwa komunikasi secara efektif.
Kompetensi komunikatif yang dimaksud adalah kemampuan menggunakan keseluruhan
aspek komunikasi dalam konteks komunikasi nyata.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan komunikatif merupakan
salah satu pendekatan pembelajaran bahasa yang lebih menekankan kebermaknaan fungsi
bahasa dalam arti lebih mementingkan penggunaan bahasa daripada pemilikan pengetahuan

tentang bahasa untuk mencapai kelancaran komunikasi melalui pembelajaran komunikatif,


yaitu pembelajaran yang lebih berfokus pada komponen komunikatif dengan melibatkan
secara langsung para siswa ke dalam situasi bahasa yang pragmatis, otentik, dan fungsional
atau situasi bahasa sebenarnya.
Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk SD (Sekolah Dasar) dan MI
(Madrasah Ibtidaiyah) yang terkait dengan keterampilan berbicara yaitu mengungkapkan
gagasan dan perasaan, menyampaikan sambutan, berdialog, menyampaikan pesan,
mendeskripsikan, dan mendramakan (Diknas, 2003:32).
Adapun materi berbicara yang terdapat dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di
antaranya, yaitu:
a. menyapa orang
b. memperkenalkan diri
c. menjelaskan isi gambar
d. menceritakan pengalaman
e. mendeskripsikan benda; tumbuhan; binatang; tempat
f. melakukan percakapan sederhana
g. bertanya
h. melakukan percakapan melalui telepon
i. menjelaskan urutan
j. menjelaskan petunjuk
k. menceritakan kembali isi dongeng
l. berwawancara dengan nara sumber
(Suyoto, 2003:32)
Di muka telah diuraikan bahwa fungsi bahasa yang utama adalah sebagai alat untuk
berkomunikasi. Untuk itu, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan agar siswa terampil
berkomunikasi. Siswa dilatih lebih banyak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, bukan
dituntut lebih banyak untuk menguasai pengetahuan tentang bahasa.
Standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia ini merupakan kerangka tentang standar
kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia yang harus diketahui, dilakukan, dan dimahirkan
oleh siswa pada setiap tingkatan. Kerangka ini disajikan dalam lima komponen utama, yaitu
(1) standar kompetensi, (2) kompetensi dasar, (3) hasil belajar, (4) indikator, dan (5) materi
pokok. Standar kompetensi mencakup aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan
menulis. Aspek-aspek tersebut dalam pembelajarannya dilaksanakan secara integratif.
3. Penggunaan Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran adalah strategi pengajaran sebagai alat untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Dengan memanfaatkan metode secara akurat, guru akan mampu mencapai tujuan
pengajaran.
Pentingnya pemilihan dan penentuan metode, maksudnya adalah melakukan pemilihan dan

penentuan metode yang bagaimana yang akan dipilih untuk mencapai tujuan. Pemilihan dan
penentuan metode ini didasarkan adanya metode-metode tertentu yang tidak bisa dipakai
untuk mencapai tujuan tertentu.
Surya (2003 : 71) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan
metode, maksudnya adalah bahwa metode pengajaran itu tidak berdiri sendiri tetapi
dipengaruhi faktor-faktor lain. Secara umum yang mempengaruhi faktor-faktor dalam
penentuan metode pengajaran adalah anak didik, tujuan pengajaran, situasi belajar mengajar,
fasilitas dan faktor guru itu sendiri.
Kegiatan belajar mengajar di sekolah tidak semua siswa atau anak didik mampu
berkonsentrasi dalam waktu yang relatif lama, daya serap anak didik terhadap bahan yang
diberikan juga bermacam-macam, ada yang cepat, sedang, dan lambat.
Faktor intelegensi mempengaruhi daya serap anak didik terhadap bahan pelajaran yang
diberikan menghendaki pemberian waktu yang bervariasi, sehingga penguasaan penuh dapat
tercapai. Jadi, guru sebaiknya menggunakan metode yang dapat menunjang kegiatan belajar
mengajar, sehingga dapat dijadikan sebagai alat yang efektif untuk mencapai tujuan
pengajaran.
Pelajaran bahasa Indonesia merupakan subjek pembelajaran, oleh karena itu siswa
merupakan orang yang melakukan kegiatan belajar. Sebagai pelajar, siswa harus berperan
aktif dalam proses pembelajaran. Dilain pihak guru bertugas memfasilitasi siswa sebagai
pelajar agar dapat belajar secara optimal dan penuh makna. Dengan demikian, tugas utama
guru adalah membuat siswa belajar.
Kaitannya dengan pembelajaran yang menggunakan metode pembelajaran sosiodrama,
tampak jelas bahwa guru sebagai pembelajar berfungsi sebagai fasilitator, organisator, atau
moderator. Sedangkan siswa sebagai pelajar benar-benar melakukan kegiatan belajar, baik
secara mental maupun secara emosional. Disinilah tampak pentingnya guru memiliki
keterampilan membimbing siswa.
Metode secara harfiah berarti cara. Dalam pemakaian yang umum metode diartikan sebagai
suatu cara atau prosedur yang dipakai untuk mencapai tujuan tertentu (Pupuh F. dan Sobry ,
2007 : 55 ).
Sedangkan menurut Prof. Dr. Winarno Surahman ( 1961: 64 ) dalam Drs. B.Suryo Subirto
(2002 : 148 ), menegaskan bahwa metode pengajaran adalah Cara-cara pelaksanaan dari pada
proses pengajaran, atau soal bagaimana teknisnya sesuatu bahan pelajaran diberikan kepada
murid-murid di sekolah.
Metode adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam kegiatan belajar mengajar, metode diperlukan oleh guru dan penggunaannya
bervariasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai setelah pengajaran berakhir.
Seorang guru tidak akan dapat melaksanakan tugasnya bila dia tidak menguasai satu pun
metode mengajar yang telah dirumuskan dan dikemukakan para ahli psikologi dan

pendidikan (Syaiful bahri dan Zain, 1995 : 53).


Metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah
disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal (Wina
Sanjaya, 2006 : 145).
Metode mengajar ialah cara yang digunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan
siswa pada saat berlangsungnya pengajaran (Nana Sudjana, 1987 : 76).
Metode mengajar/teknik penyajian adalah suatu pengetahuan tentang cara-cara mengajar
yang dipergunakan oleh guru atau instruktur. Pengertian lain ialah sebagai teknik penyajian
yang dikuasai guru untuk mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam
kelas, agar pelajaran tersebut dapat ditangkap, dipahami dan digunakan oleh siswa dengan
baik. (Roestiyah N. K, 2008 : 1).
Metode adalah cara guru menyampaikan materi pelajaran kepada siswa untuk mencapai
tujuan tertentu (Anonim, 2006 : 13).
Winarno Surakhman (1961 : 65) dalam Syaiful Bahri ( 1995 : 53-54) mengemukakan lima
faktor yang mempengaruhi penggunaan metode mengajar, yakni :
a. Tujuan dengan berbagai jenis dan fungsinya.
b. Anak didik dengan berbagai tingkat kematangannya.
c. Situasi berlainan keadaannya.
d. Fasilitas bervariasi secara kualitas dan kuantitasnya.
e. Kepribadian dan kompetensi guru yang berbeda-beda.
Berdasarkan berbagai pendapat yang dikemukan diatas dapat dikatakan metode merupakan
suatu cara yang harus dikuasai oleh guru dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran.
Dengan adanya metode guru mampu mentransfer ilmu pengetahuan pada peserta didik
sehingga timbul suatu perubahan sikap atau prilaku keinginan untuk belajar.
4. Metode Sosiodrama
a. Metode Pembelajaran Sosiodrama
Sosiodrama berasal dari kata sosio dan drama. Sosio berarti sosial menunjuk pada objeknya
yaitu masyarakat menunjukkan pada kegiatan-kegiatan sosial, dan drama berarti
mempertunjukkan, mempertontonkan, atau memperlihatkan. Sosial atau masyarakat terdiri
dari manusia yang satu sama lain terjalin hubungan yang dikatakan hubungan sosial. Drama
dalam pengertian luas adalah mempertunjukkan atau mempertontonkan suatu keadaan atau
peristiwa-peristiwa yang dialami orang.
Metode sosiodrama berarti cara menyajikan bahan pelajaran dengan mempertunjukkan dan
mempertontonkan atau mendramatisasikan cara tingkah laku dalam hubungan sosial. Jadi
sosiodrama ialah metode mengajar yang dalam pelaksanaannya peserta didik mendapat tugas
dari guru untuk mendramatisasikan suatu situasi sosial yang mengandung suatu problem, agar
peserta didik dapat memecahkan suatu masalah yang muncul dari suatu situasi sosial.
b. Tujuan Metode Sosiodrama

Tujuan menggunakan metode sosiodrama diantaranya adalah sebagai berikut:


1) Melatih anak-anak untuk mendengarkan dan menagkap cerita singkat dengan teliti.
2) Memupuk dan melatih keberanian. Misalnya dengan ditugaskan untuk mendramatisasikan
di muka kelas, pada permulaannya tidak semua anak berani. Sedikit sekali yang sukarela atau
tanpa ditunjuk. Bahkan ada kalanya anak-anak harus dipaksa. Tetapi lambat laun anak-anak
berani sendiri.
3) Memupuk daya cipta. Dengan mendengar cerita tadi, bagaimana anak-anak
menyatakannya dalam bentuk kegiatan lebih-lebih dengan suatu cerita yang belum selesai.
4) Belajar menghargai dan menilai kecakapan orang lain, dan menyatakan pendapatnya. Hal
ini akan tampak apabila anak ditanya pendapatnya tentang dramatisasi yang dilakukan anak
lain di muka kelas.
5) Untuk mendalami masalah sosial.
c. Syarat-syarat Metode Sosiodrama
Sosiodrama sebagai suatu metode mengajar hendaknya memenuhi 3 persyaratan utama
(menurut Prof. Dr. S. Nasution ) dalam Engkoswara (1989):
1) Kelas harus mempunyai perhatian masalah yang dikemukakan. Ini berarti bahwa suatu
persoalan hendaknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak-anak baik minat
maupun kemampuan murid. Persoalan yang terlalu mudah atau terlalu sukar mungkin tidak
menarik minat anak-anak.
2) Para pelaku harus mempunyai gambaran yang jelas tentang masalah yang dihadapi. Ini
berarti bahwa pelaku harus mengerti dan memahami isi cerita untuk kemudian dapat
dinyatakan dalam bentuk tingkah laku visual.
3) Sosiodrama hendaknya dipandang sebagai alat pelajaran dan bukan hanya sebagai alat
hiburan. Karena itu dalam sosiodrama tidak terbatas pada mendramatisasikan tetapi supaya
anak menaggapi, menilai atau memberikan kritik-kritik.
d. Langkah-langkah Metode Sosiodrama
Terdapat tiga langkah utama dalam menggunakan metode sosiodrama yaitu:
1) Persiapan
Persiapan sosiodrama terdiri dari menetukan pokok atau masalah sosial yang akan
disosiodramakan, mempersiapkan pemain peranan dan mempersiapkan anak-anak sebagai
pendengar atau penonton.
a) Menentukan masalah/pokok yang akan disosiodramakan dengan berprinsipkan:
(1) Persoalan atau pokok persoalan hendaknya memberikan berbagai kemungkinan atau dapat
ditafsirkan bermacam ragam pendapat baik mengenai persamaan, perbedaan, kemungkinan
pemecahan dan kelanjutannya.
(2) Persoalan yang dipilih hendaknya bertahap, mula-mula yang sederhana, dan pertemuanpertemuan berikutnya mungkin yang agak sukar dan sedikit lebih bervariasi.
b) Guru menjelaskan kepada murid

Penjelasan dapat berupa isi permasalahan, peranan pelaku ataupun peranan penonton atau
anak-anak lainnya. Persoalan perlu dijelaskan sampai selesai dan lengkap betul, tetapi harus
jelas, bahkan ada kalanya suatu persoalan dikemukakan belum selesai untuk kemudian
diselesaikan oleh anak-anak sendiri.
c) Pemilihan pelaku
Ini dapat dilakukan dengan menunjuk anak-anak yang kira-kira dapat mendramatisasikan
atau dapat juga diajukan secara sukarela. Tetapi pada permulaan ada baiknya apabila guru
menunjuk saja. Hal ini penting karena ada kalanya anak yang berani sukarela itu anak yang
sekedar mau melucu untuk menarik perhatian orang sedangkan isi peroalan tidak
diperdulikannya. Apabila ini terjadi sosiodrama dapat menyimpang dari tujuannya.
d) Mempersiapkan pelaku dan penonton
Para pelaku, cukup ditunjuk oleh guru. Sedangkan peranan masing-masing lebih baik
diserahkan kepada mereka. Karena itu ada baiknya untuk sekedar persiapan singkat, para
pelaku itu di suruh keluar kelas bersamaan selama tiga menit. Anak-anak lain yang ada di
dalam kelas diberi penjelasan baik peranan mereka selaku penonton yang baik maupun
sebagai anak/orang yang akan mengemukakan pendapatnya terhadap sosiodrama yang
sebentar lagi akan berlangsung. Anak-anak ditugaskan untuk mengemukakan kritik-kritik dan
mengumpamakannya nanti seandainya menjadi pelaku. Tentu saja perlu dijelaskan kepada
anak-anak bahwa sosiodrama jangan diharap seperti sandiwara yang sempurna.
2) Pelaksanaan
Para pelaku yang sudah dipersiapkan selama 2 atau 3 menit, kemudian dipersilahkan untuk
mendramatisasikan menurut pendapat dan kereasi mereka. Diharapkan aksi mereka spontan.
Karena itu peranan guru disini mengawasi dan mencari kebebasan kepada pelaku dan
mengawasi ketertiban kelas. Tetapi apabila para pelaku mengalami kemacetan, selayaknya
guru bertindak. Caranya menugaskan anak lain untuk membantu melancarkan ataupun di beri
isyarat. Pelaksanaan sosiodrama tak perlu selesai. Hal ini bermanfaat untuk kemudian
diteruskan untuk dipikirkan kemungkinannya oleh anak-anak lainnya.
3) Tindak Lanjut
Sosiodrama sebagai metode mengajar tidak berakhir pada pelaksanaan dramatisasi melainkan
hendaknya ada kelanjutan baik berupa tanya jawab, diskusi, kritik maupun analisa persoalan.
Bahkan mungkin juga ada anak lain untuk mencobakan kembali memainkan peranan yang
lebih baik apabila dramatisasi tadi sangat kurang. Atau lanjutan dari cerita yang telah
didramatisasikan. Kepada para pelaku yang mendapat kritik, hendaknya diberi kesempatan
untuk menyatakan maksudnya, mengapa ia berlaku demikian pada waktu dramatisasi tadi.
e. Konsep Pembelajaran dengan Menggunakan Metode Sosiodrama
Seperti yang telah dikemukkan terdahulu, metode adalah cara yang digunakan untuk
mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang
telah disusun tercapai secara optimal. Dengan demikian, metode dalam rangkaian sistem

pembelajaran memegang peranan sangat penting. Salah satu metode sistem pembelajaran
tersebut adalah metode sosiodrama.
Sosiodrama adalah sandiwara tanpa naskah ( script ) dan tanpa latihan terlebih dahulu,
sehingga dilakukan secara sepontan. Masalah yang didramatisasikan adalah mengenai situasi
sosial. Sosiodrama akan menarik bila situasi yang sedang memuncak, kemudian dihentikan.
Selanjutnya diadakan diskusi, bagaimana jalan cerita seterusnya, atau pemecahan masalah
selanjutnya. ( Syaiful Bahri dan Zain, 1995 : 115 ).
Tujuan yang diharapakan dengan penggunaan motode sosiodrama antara lain, menurut
syaiful Bahri dan Zain ( 1995 : 100) :
1) Agar siswa dapat menghayati dan menghargai perasaan orang lain.
2) Dapat belajar bagaimana membagi tanggung jawab.
3) Dapat belajar bagaimana mengambil keputusan dalam situasi kelompok secara spontan.
4) Merangsang kelas untuk berfikir dan memecahkan masalah.
Roestiyah N. K (2008 : 90) mengemukakan tujuan dari teknik sosiodrama adalah agar siswa
dapat memahami perasaan orang lain serta toleransi terhadap sesama. Sedangkan menurut
Wina Sanjaya (2006 : 159) sosiodrama digunakan untuk memberikan pemahaman dan
penghayatan akan masalah-masalah sosial serta mengembangkan kemampuan siswa untuk
memecahkannya.
Dalam pelaksanaan metode sosiodrama agar berhasil dengan efektif, menurut Roestyah N. K
(2008 : 91) perlu mempertimbangkan beberapa langkah-langkahnya, ialah:
1) Guru harus menerangkan kepada siswa untuk memperkenalkan teknik ini, bahwa dengan
jalan sosiodrama siswa diharapkan dapat memecahkan masalah hubungan sosial yang aktual
ada dimasyarakat, maka kemudian guru menunjuk beberapa siswa yang akan berperan
masing-masing akan mencari pemecahan masalah sesuai dengan perannya. Dan siswa yang
lain menjadi penonton dengan tugas-tugas tertentu pula.
2) Guru harus memilih masalah yang urgen, sehingga menarik minat anak. Ia mampu
menjelaskan dengan menarik, sehingga siswa terangsang untuk berusaha memecahkan
masalah itu.
3) Agar siswa memahami peristiwanya, maka guru harus bisa menceritakan sambil untuk
mengatur adegan yang pertama.
4) Bila ada kesedian sukarela dari siswa untuk berperan, harap ditanggapi tetapi guru harus
mempertimbangkan apakah ia tepat untuk perannya itu. Bila tidak ditunjuk saja siswa yang
memiliki kemampuan dan pengetahuan serta pengalaman seperti yang diperankan itu.
5) Jelaskan pada pemeran-pemeran itu sebaik-baiknya, sehingga mereka tahu tugas
peranannya, menguasai masalahnya pandai bermimik maupun berdialog.
6) Siswa yang tidak turut harus menjadi penonton yang aktif, disamping mendengar dan
melihat, mereka harus bisa memberi saran dan kritik pada apa yang akan dilakukan setelah
sosiodrama selesai.

7) Bila siswa belum terbiasa, perlu dibantu guru dalam menimbulkan kalimat pertama dalam
dialog.
8) Setelah sosiodrama itu dalam situasi klimaks, maka harus diberhentikan, agar
kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dapat di diskusikan secara umum. Sehingga
para penonton ada kesempatan untuk berpendapat, menilai permainan dan sebagainya,
9) Sebagai tindak lanjut dari hasil diskusi, walau mungkin masalahnya belum terpecahkan,
maka perlu dibuka tanya jawab, diskusi atau membuat karangan yang berbentuk sandiwara.
Pendapat lain tentang langkah-langkah yang perlu dipertimbangkan dalam metode
sosiodrama seperti yang dikemukakan Syaiful Bahri dan Zain (1995 : 100) yaitu:
1) Tetapkan dahulu masalah-masalah sosial yang menarik perhatian siswa untuk dibahas.
2) Ceritakan kepada siswa mengenai isi dari masalah-masalah dalam konteks cerita tersebut.
3) Tetapkan siswa yang dapat atau yang bersedia untuk memainkan peranannya di depan
kelas.
4) Jelaskan kepada pendengar mengenai peranan mereka pada waktu sosiodrama sedang
berlangsung.
5) Beri kesempatan kepada pelaku untuk berunding beberapa menit sebelum mereka
memainkan peranannya.
6) Akhiri sosiodrama pada waktu situasi pembicaraan mencapai ketegangan.
7) Akhiri sosiodrama dengan diskusi kelas untuk bersama-sama memecahkan masalah
persoalan yang ada pada sosiodrama tersebut.
8) Jangan lupa menilai hasil sosiodrama tersebut sebagai bahan pertimbangan lebih lanjut.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dikatakan bahwa, dalam pelaksanaan metode sosiodrama
terdapat langkah-langkah yang perlu menjadi pertimbangan oleh setiap guru, karena dengan
memperhatikan langkah-langkah tersebut metode sosiodrama dapat dilaksanakan dengan baik
dan sesuai dengan tujuan dalam pembelajaran.
f. Kelebihan dan Kelemahan Metode Pembelajaran Sosiodrama
Metode sosiodrama selain mempunyai beberapa kelebihan, juga mempunyai beberapa
kelemahan, sebagai berikut :
1) Kelebihan Metode Sosiodrama
a) Siswa melatih dirinya untuk memahami dan mengingat isi bahan yang akan didramakan.
Sebagai pemain harus memahami, menghayati isi cerita secara keseluruhan, terutama untuk
materi yang harus diperankannya. Dengan demikian, daya ingatan siswa harus tajam dan
tahan lama.
b) Siswa akan terlatih untuk berinisiatif dan berkreatif. Pada waktu main drama para pemain
dituntut untuk mengemukakan pendapatnya sesuai dengan waktu yang tersedia.
c) Bakat yang terdapat pada siswa dapat dipupuk sehingga memungkinkan akan muncul atau
tumbuh bibit seni drama dari sekolah. Jika seni drama mereka dibina dengan baik
kemungkinan besar mereka akan menjadi pemain yang baik kelak.

d) Kerjasama antar pemain dapat ditumbuhkan dan dibina dengan sebaik-baiknya.


e) Siswa memperoleh kebiasaan untuk menerima dan membagi tanggung jawab dengan
sesamanya.
f) Bahasa lisan siswa dapat dibina menjadi bahasa yang baik agar mudah dipahami orang lain
(Syaiful Bahri dan Zain, 1995 : 101).
g) Dapat memupuk keberanian dan percaya diri siswa.
h) Memperkaya pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam menghadapi
situasi sosial yang problematis.
i) Dapat meningkatkan gairah siswa dalam proses pembelajaran (Wina Sanjaya, 2006 : 158).
Selain itu kelebihan dari metode sosiodrama, yakni siswa lebih tertarik perhatiannya pada
pelajaran, karena masalah-masalah sosial sangat berguna bagi mereka. Karena mereka
bermain peranan sendiri, maka mudah memahami masalah-masalah sosial itu, maka ia dapat
menempatkan diri seperti watak orang lain itu.
Ia dapat merasakan perasaan orang lain, dapat mengakui pendapat orang lain, sehingga
menumbuhkan sikap saling pengertian, tenggang rasa, toleransi, dan cinta kasih terhadap
sesama mahkluk akhirnya siswa dapat berperan dan menimbulkan diskusi yang hidup, karena
merasa menghayati sendiri permasalahannya. Juga penonton tidak pasif, tetapi aktif
mengamati dan mengajukan saran dan kritik (Roestiyah N. K, 2008 : 93).
2) Kelemahan Metode Sosiodrama
a) Pengalaman yang diperoleh melalui sosiodrama tidak selalu tepat dan sesuai dengan
kenyataan di lapangan.
b) Pengelolaan yang kurang baik, sering sosiodrama dijadikan sebagai alat hiburan, sehingga
tujuan pembelajaran menjadi terabaikan.
c) Faktor psikologis seperti rasa malu dan takut sering mempengaruhi siswa dalam
melakukan sosiodrama. ( Wina Sanjaya, 2006 : 158 ).
Kelemahan lain dari metode sosiodrama, yaitu :
a) Sebagian besar anak yang tidak ikut bermain drama mereka menjadi kurang kreatif.
b) Banyak memakan waktu, baik waktu persiapan dalam rangka pemahaman isi bahan
pelajaran maupun pada pelaksanaan pertunjukkan.
c) Memerlukan tempat cukup luas, jika tempat bermain sempit menjadi kurang baik.
d) Sering kelas lain terganggu oleh suara para pemain dan para penonton yang kadangkadang bertepuk tangan dan sebagainya (Syaiful Bahri dan Zain, 1995 : 102).
e) Guru tidak menguasai tujuan intruksional penggunaan teknik sosiodrama untuk suatu unit
pelajaran, maka sosiodramanya juga tidak berhasil.
f) Dengan sosiodrama jangan menjadi kesempatan untuk menumbuhkan sifat prasangka yang
buruk, ras diskriminasi, balas dendam dan sebagainya sehingga menyimpang dari tujuan
semula.
g) Bila guru tidak memahami langkah-langkah pelaksanaan metode ini, sehingga

mengacaukan berlangsungnya sosiodrama ( Roestiyah, 2008: 93).


Dapat disimpulkan bahwa, dalam proses kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan
metode sosiodrama memiliki kelebihan yang dapat menumbuhkan potensi dan bakat yang
terdapat pada setiap peserta didik untuk dikembangkan, sehingga dengan potensi dan bakat
yang ada, peserta didik memiliki kemampuan untuk mengahadapi berbagai persoalan dan
pemecahannya.
Kelemahan yang terdapat pada metode sosiodrama, seyogyanya guru sebagai fasilitator,
pengarah dan pembimbing harus memiliki kemampuan untuk dapat meminimalisir
kelemahan-kelemahan tersebut sehingga tidak menghambat proses pembelajaran yang akan
dilaksanakan.
B. Penelitian yang Relevan
1. Arifuddin, 2009. Penerapan Metode Permainan Simulasi Untuk Meningkatkan
Kemampuan Berbicara Pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri No.1 Banjar Tegal
Singaraja. Skripsi, IKIP Negeri Singaraja. Penerapan model pembelajaran permainan
simulasi dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas V SD No.1 Banjar Tegal Singaraja
dalam pembelajaran keterampilan berbicara. Hal ini terlihat dari skor aktivitas belajar siswa
dari siklus ke siklus selama metode simulasi diterapkan. Siklus I rata-rata skor aktivitas
belajar siswa sebesar 13,5 meningkat menjadi 15,81 pada siklus II. Pada siklus I aktivitas
belajar siswa masih tergolong cukup aktif. Sementara pada siklus II aktivitas belajar siswa
meningkat dengan kategori aktif.
Hal ini terbukti dari skor hasil belajar siswa dari siklus ke siklus selama metode simulasi
diterapkan. Siklus I rata-rata skor hasil belajar siswa adalah 6,85 meningkat menjadi 7,90
pada siklus II. Dari siklus I ke siklus II terjadi peningkatan sebesar 15,32%. Ketuntasan
klasikal pada siklus I sebesar 72,7% (belum memenuhi tuntutan kurikulum) meningkat
menjadi 90,9% pada siklus II. Pada siklus II ini ketuntasan belajar klasikal yang dicapai
sudah memenuhi tuntutan kurikulum.
2. Libriana Rahmawati, 2009. Peningkatan Keterampilan Bermain Peran Dengan Metode
Sosiodrama Pada Siswa Kelas VIII A SMP N 1 Mayong Kabupaten Jaepara Tahun Ajaran
2008/2009. Skripsi, Universitas Negeri Semarang. Hasil yang diperoleh setelah penilitian
dilaksanakan cukup memuaskan. Secara umum siswa dapat dikatakan sudah mengalami
peningkatan dalam pembelajaran bermain peran. Peningkatan itu terlihat dari perubahan nilai
ratarata dari siklus I ke siklus II sebesar 6,94%. Pada siklus I, nilai rata-rata yang diperoleh
siswa sebesar 68,83, sedangkan pada siklus II, hasil yang dicapai sebesar 75,77. peningkatan
dari prasiklus ke siklus II adalah 15,25%.Nilai rata-rata yang diperoleh siswa sudah
memenuhi batas ketuntasan yang telah ditentukan yaitu lebih dari 70.
C. Kerangka Berpikir
Berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa yang dituntut dalam

kehidupan sehari-hari. Seseorang yang terampil berbicara cenderung berani tampil di


masyarakat. Keterampilan berbicara ini sangat penting posisinya dalam kegiatan belajarmengajar. Pentingnya keterampilan ini bukan saja bagi guru, tetapi juga penting dikuasai oleh
siswa sebagai subjek didik.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran, guru sudah tentu menggunakan beberapa cara untuk
mencapai tujuan tersebut. Salah satu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan
pembelajaran ialah dengan menerapkan metode soiodrama. Dengan menggunakan metode
sosiodrama merupakan suatu cara untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif dengan
memperaktikkan pengalaman belajar secara langsung, sehingga hasil yang diperoleh akan
tahan lama dalam ingatan, tidak mudah dilupakan siswa.
Dengan metode ini juga, anak belajar berpikir analisis dan mencoba memecahkan problema
yang dihadapi sendiri, kebiasaan ini akan ditransfer dalam kehidupan bermasyarakat.
D. Hipotesis Tindakan
Jika metode sosiodrama diterapkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia, maka dapat
meningkatkan kemampuan berbahasa sehingga dapat meningkatkan kemampuan berbicara.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (action research). Adapun pengertian
penelitian tindakan menurut Kemmis (via Sanjaya, 2010), penelitian tindakan adalah suatu
bentuk penelitian reflektif dan kolektif yang dilakukan oleh peneliti dalam situasi sosial untuk
meningkatkan pengalaman praktik sosial mereka. Selanjutnya menurut Arikunto (2006 : 3),
penelitian tindakan kelas (PTK) merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar
berupa sebuah tindakan yang sengaja dimunculkan dan terjadi di dalam kelas secara bersama.
Adapun karakteristik penelitian tindakan kelas yaitu inkuiri, kolaboratif, dan reflektif.
B. Setting Penelitian
1. Tempat dan Waktu Penelitian
a. Tempat Penelitian
Tempat yang dipilih untuk penelitian tindakan ini adalah di SD Negeri 04 Kotaraja yang
beralamat di Pegubukan Petak, Dusun Dalem Lauk, Desa Kotaraja, Kec Sikur, Kab Lombok
Timur, merupakan tempat perbatasan Desa Kotaraja bagian selatan dengan Desa Loyok.
b. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan mulai dari bulan Desember 2012 sampai dengan bulan
Februari 2013, yaitu pada semester II Tahun Akademik 2012/2013. Dalam penelitian ini,
peneliti hanya melaksanakan pembelajaran dalam dua siklus.

2. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas V (lima) Semester II Tahun Akademik 2012/2013 di
SD Negeri 04 Kotaraja yang berjumlah 29 siswa yang terdiri dari 14 orang siswa laki-laki
dan 15 orang siswa perempuan, dengan tingkat kecerdasan rata-rata. Tempat tinggal siswa
tidak jauh dari sekolah, karena dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Bahasa yang biasa
digunakan adalah bahasa daerah yaitu bahasa sasak.
C. Desain Penelitian
Sesuai dengan jenis penelitian yang dipilih, yaitu penelitian tindakan, maka penelitian ini
menggunakan model penelitian tindakan dari Kemmis dan Taggart (dalam Arikunto, 2006:
16), yaitu berbentuk spiral dari siklus yang satu ke siklus yang berikutnya. Dengan kata lain,
penelitian ini merupakan penelitian berlanjut (siklus) yang terdiri dari dua siklus dengan
empat kegiatan utama, yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi seperti model
PTK (Penelitian Tindakan Kelas) yang dikembangkan oleh Kemmis McTaggrt (Gambar. 1)
penelitian tindakan kelas pada umumnya diarahkan untuk kebutuhan praktis dalam
kependidikan. Selama ini memang banyak penelitian-penelitian yang dilakukan oleh guru
(peneliti), tetapi kurang dirasakan dampaknya dalam meningkatkan mutu pembelajaran di
kelas. Dalam penelitian tindakan kelas guru dapat meneliti sendiri dalam praktik
pembelajaran yang dilaksanakannya di dalam kelas, karena secara langsung guru sangat
berperan dalam penelitian dan terlibat juga dalam proses perencanaan, observasi, tindakan
dan refleksi.
Langkah-langkah penelitian yang akan ditempuh apabila digambarkan adalah sebagai berikut.
SIKLUS I
SIKLUS II
Gambar. 1
Model Penelitian Tindakan Kelas Kemmis dan Mc. Taggart
1. Perencanaan
Pada tahap perencanaan ini, guru menyusun rencana pembelajaran, perencanaan tersebut
dibuat dalam bentuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dilengkapi dengan
beberapa instrument penelitian, seperti pedoman observasi dan sebagainya. Dan juga
menyediakan media pembelajaran yang dapat menunjang kegiatan belajar mengajar didalam
kelas.
2. Pelaksanaan Tindakan
Pelaksanaan tindakan merupakan kegiatan pelaksanaan langkah-langkah pembelajaran yang
telah disusun dalam bentuk RPP. Pelaksanaan tindakan dilaksanakan oleh penulis sebagai

peneliti yang berkolaborasi dengan guru sebagai observer.


Dalam hal ini, peneliti dalam pelaksanaan tindakan bertugas melaksanakan rencana tindakan
pembelajaran mengungkapkan isi cerita melalui metode soiodrama, lalu mengkomunikasikan
tindakan yang akan dilakukan sehingga memperoleh kesepakatan antara penulis (peneliti)
dengan guru sebagai observer.
Guru melaksanakan proses pembelajaran dengan membahas topik cerita anak dengan
kompetensi dasar dan indikator: memerankan tokoh drama dengan lafal, intonasi,
penghayatan, dan ekspresi yang sesuai karakter tokoh.
3. Pengamatan/Observasi
Menurut Suyanto dalam (1997 : 16) dalam Kunandar, bahwa observasi adalah mengamati
atas hasil atau dampak dari tindakan yang dilaksanakan atau dikenakan terhadap siswa.
Observasi ini dilakukan dengan cara terus menerus mulai dari siklus I sampai siklus yang
diharapkan tercapai. Observasi yang dilakukan dalam satu siklus dapat memberikan pengaruh
pada penyusunan perencanaan tindakan siklus berikutnya. Hasil observasi ini kemudian
dijadikan bahan refleksi yang berpengaruh pada perencanaan siklus berikutnya.
4. Refleksi
Refleksi merupakan bagian yang sangat penting untuk memahami dan memberikan makna
terhadap proses dan hasil pembelajaran. Guru (observer) dan guru (peneliti) mendiskusikan
hasil proses pembelajaran yang telah dilaksanakan.
Dari data hasil observasi rekan sejawat dan data hasil observasi peneliti terhadap siswa, maka
diperoleh gambaran tentang pembelajaran bahasa Indonesia yang dilakukan. Dengan data
tersebut, guru (peneliti) dapat menentukan langkah berikutnaya yaitu memperbaiki proses
pembelajaran dan menyusun tindakan untuk siklus berikutnya.
D. Prosedur Penelitian
Prosedur yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan mengkaji semua tindakan yang
ada dalam setiap siklus, yang terdiri dari empat tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan
tindakan, observasi, dan refleksi. Rancangan yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari
dua siklus.
1. Tahap Pesrsiapan dan Perencanaan
Sebelum melaksanakan siklus, peneliti terlebih dahulu melakukan persiapan dan membuat
perencanaan. Tahap persiapan dan perencanaan tersebut adalah meminta izin kepada kepala
sekolah SDN 4 Kotaraja dan juga guru kelas yang akan menjadi observer dalam penelitian
tersebut, menentukan kelas yang akan digunakan dalam penelitian yaitu kelas V, kemudian
melakukan analisis kurikulum dan kajian pustaka tentang bahan ajar dalam mengungkapkan
isi cerita dengan metode sosiodrama untuk menyusun langkah-langkah atau rencana
pembelajaran, selanjutnya membuat instrument penelitian yang akan dilaksanakan dalam
mengamati aktivitas guru dan siswa selama proses pembelajaran dengan menggunakan

metode soiodrama, terakhir peneliti membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)


yang sesuai dengan kurikulum untuk mengetahui kompetensi dasar yang akan disampaikan.
RPP tersebut dilengkapi dengan lembar observasi dan evaluasi. Tidak lupa juga dalam
persiapan dan perencanaan sebelum siklus peneliti menyiapkan beberapa media
pembelajaran.
2. Tahap Pelaksanaan
1) Siklus I
a) Peneliti melaksanakan kegiatan belajar mengajar pada aspek berbicara atau percakapan
melalui metode sosiodrama.
b) Peneliti menjelaskan materi tentang berbicara atau percakapan dengan menggunakan
metode sosiodrama serta dilengkapi dengan media atau perlengkapan yang dibutuhkan sesuai
dengan teks percakapan.
c) Peneliti membagikan teks percakapan yang bertemakan peristiwa.
d) Peneliti meminta siswa untuk membentuk kelompok masing-masing kelompok terdiri dari
5/6 orang kemudian berlatih.
e) Peneliti mengevaluasi siswa untuk maju ke depan kelas memerankan tokoh sesuai dengan
teks percakapan bersama kelompoknya sehingga semua siswa aktif dan terlibat langsung
dalam memerankan tokoh-tokoh cerita.
2) Siklus II
Setelah siklus pertama dilaksanakan, peneliti kembali merancang pembelajaran untuk siklus
berikutnya yaitu siklus II. Dimana dalam siklus II ini peneliti mencoba untuk memperbaiki
proses pembelajaran dari siklus pertama, langkah-langkah yang dilakukan pada siklus II
yaitu:
a) Peneliti mengulangi penjelasan tentang materi percakapan.
b) Peneliti membimbing siswa untuk berlatih berbicara melalui metode soiodrama dengan
lebih menekankan bahwa kegiatan bermain drama sama halnya berbicara menggunakan gerak
tubuh dan ekspresi yang sesuai.
c) Peneliti memberikan bimbingan bagi siswa yang belum biasa untuk berperan dengan baik,
dan menindaklanjuti serta memotivasi siswa secara umum.
d) Peneliti melaksanakan evaluasi sebagai umpan balik dan untuk perbaikan pembelajaran.
Evaluasi disini bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa sampai sejauh mana siswa
tersebut memahami pelajaran yang telah disampaikan.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian adalah:
1. Observasi
Menurut Riyanto (2001:96) observasi adalah mengadakan pengamatan secara langsung
(tanpa alat) terhadap gejala-gejala subyek yang diselidiki, baik pengamatan itu dilakukan di

dalam situasi sebenarnya maupun dilakukan dalam situasi buatan yang khusus diadakan.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka observasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah melakukan pengamatan terhadap segenap aktivitas belajar mengajar guru dan siwa
kelas V SD Negeri 4 Kotaraja dengan menggunakan metode pembelajaran sosiodrama.
Observasi dilakukan sebelum dan pada saat tindakan dilakukan.
2. LKS (Lembar Kerja Siswa)
LKS merupaka lembar kerja siswa yang digunakan untuk mengetahui hasil pemahaman siswa
terhadap materi yang akan diajarkan, dimana di dalam LKS tersebut terdapat langkahlangkah proses kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan oleh siswa.
3. Metode Tes
Metode tes digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa dalam pembelajaran keterampilan
berbicara pada siklus I dan siklus II. Bukhari dalam Arikunto (1992:29) mengemukakan
bahwa metode tes adalah suatu percobaan yang diadakan untuk mengetahui ada atau tidaknya
hasil belajar tertentu pada seseorang atau kelompok siswa. Dalam penelitian ini, metode tes
digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa dalam setiap siklusnya. Adapun jenis tes
yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes subjektif yaitu tes untuk mengukur
kemampuan berbicara siswa secara individu dan kelompok melalui pementasan drama di
depan kelas. Selanjutnya pemberian tes objektif yaitu siswa menjawab pertanyaan
berdasarkan drama yang sudah dipentaskan.
F. Instrument Penelitian
Instrument-instrumen yang akan digunakan dalam penelitian tindakan ini sebagai berikut:
1. Format Observasi
Format observasi ini berbentuk table. Format observasi ini ada dua macam, yaitu format
observasi siswa dan format observasi guru. Format observasi siswa berisi aspek-aspek yang
diamati, meliputi sikap siswa pada saat pembelajaran, keaktifan, terus bekerja sampai tugas
terselesaikan, dan fokus perhatian. Sedangkan format observasi guru berisi kegiatan yang
harus dilakukan guru di dalam kelas, mulai dari membuka pelajaran, menyampaikan tujuan
pembelajaran, menjelaskan metode pembelajaran, dan seterusnya.
2. Tes
Lembar evaluasi yang digunakan berupa tes subjektif dan tes objektif dalam penilaian
keterampilan berbahasa Indonesia pada aspek berbicara dengan menggunakan metode
sosiodrama.
G. Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan cara mengelompokkan data tentang kegiatan guru dan
kegiatan siswa. Teknik yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif, Hal ini
dilakukan untuk mempermudah pendeskripsian data dengan cara sebagai berikut:
1. Nilai rata-rata prestasi dapat dihitung dengan rumus:

M=
Keterangan:
M = Nilai rata-rata
fx = Skor keseluruhan
N = Jumlah siswa
(Arikunto, 1999 : 234)
2. Ketuntasan belajar klasikal dinyatakan telah dicapai apabila seseorang sekurang kurangnya
85% dari jumlah siswa dalam kelompok kelas yang bersangkutan memenuhi ketuntasan
belajar siswa secara perorangan apabila mencapai daya serap 65% ke atas. Adapun kriteria
ketuntasan belajar siswa secara klasikal dapat dihitung dengan rumus:
Pk = x 100%
Keterangan:
Pk = Persentase ketuntasan belajar klasikal
N = Banyak peserta didik yang mencapai taraf penguasaan minimal 65%
S = Jumlah peserta didik
(Mulyasa, 2004 : 27)
Penelitian ini dirancang untuk dilaksanakan dalam dua sklus. Apabila sampai siklus kedua
belum tercapai ketuntasan belajar klasikal, maka tindakan dilanjutkan. Untuk mendapatkan
ketuntasan belajar standar ketuntasan secara klasikal atau keseluruhan 85% (Sudjana, 1986 :
226).
H. Indikator Keberhasilan
Indikator keberhasilan yang ingin dicapai adalah:
1. Nilai evaluasi yang diperoleh siswa minimal sama dengan KKM (65).
2. Banyaknya siswa yang mencapai KKM tersebut minimal 85 % dari keseluruhan jumlah
siswa.
Apabila kedua hal tersebut sudah dicapai, maka siklus berhenti dan dapat dilakukan analisis
data hasil penelitian.

Anda mungkin juga menyukai