PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Masalah pada kehamilan yang paling sering dijumpai adalah abortus dan
immuno-modulasi.
1
BAB 2
2
DAFTAR PUSTAKA
2.1.
Definisi Abortus
Menurut Prawirohardjo abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil
konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan ialah
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.4
2.2.
Epidemiologi Abortus
World Health Organization (WHO) melaporkan terdapat 210 kematian
wanita tiap 100.000 kelahiran hidup akibat komplikasi kehamilan dan persalinan di
tahun 2013. Sedangkan jumlah total kematian wanita di tahun 2013 adalah
sebesar 289.000 kematian. Jumlah ini telah menurun sebesar 45% bila
dibandingkan tahun 1993 dimana Maternal Mortality Ratio (MMR) pada tahun
tersebut sebesar 380 dan jumlah kematian wanita sebesar 523.000. Negara
berkembang memiliki jumlah MMR empat belas kali lebih tinggi dibandingkan
negara maju.5
Abortus menjadi salah satu penyebab utama terjadinya kematian ibu di
Provinsi DKI Jakarta tahun 2012 sebesar 2%
disamping
penyebab
lainnya
seperti Eklampsia (39 %), Perdarahan (31 %) disebabkan oleh faktor anemia ibu
hamil, Infeksi (6%), Partus lama (1%) dan penyebab lainnya.6
Dalam laporan Riset Dasar Kesehatan (Riskesdas) 2010 disebutkan
bahwa presentase abortus dalam periode lima tahun terakhir adalah sebesar 4%
pada perempuan pernah menikah usia 10-59 tahun. Dilihat per provinsi, angka ini
3
bervariasi mulai terendah 2,4% yang terdapat di Bengkulu sampai dengan yang
tertinggi sebesar 6,9% di Papua Barat. Terdapat 4 provinsi yang memiliki angka
kejadian lebih dari 6% dengan urutan teratas yaitu Papua Barat, Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Selatan masing-masing 6,3%, serta Sulawesi Selatan
sebesar 6,1%. Di DKI Jakarta angka kejadiannya sebesar 5,5%.7,8
2.3.
Patofisiologi Abortus
Pada permulaan abortus terjadi perdarahan dalam desidua basalis diikuti
biasanya
Pada
kehamilan
antara
8-14
minggu
villi
koriales
bentuk yang jelas (blighted ovum); mungkin pula janin lahir-mati atau
dilahirkan hidup.4
Apabila mudigah yang mati tidak dikeluarkan dalam waktu singkat, maka ia
dapat diliputi oleh lapisan bekuan darah. Isi uterus dinamakan mola kruenta.
Bentuk ini menjadi mola karnosa apabila pigmen darah telah diserap dalam sisanya
terjadi organisasi, sehingga semuanya tampak seperti daging. Bentuk lain adalah
molaa tuberose; dalam hal ini amnion tampak berbenjol-benjol karena terjadi
hematoma antara amnion dan korion.4
Pada janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat terjadi proses
mumifikasi: janin mengering dan karena cairan amnion menjadi kurang oleh
sebab diserap, ia menjadi agak gepeng (fetus kompressus). Dalam tingkat
lebih lanjut Ia menjadi tipis seperti kertas perkamen (fetus papiraseus).4
Kemungkinan lain pada janin-mati yang tidak lekas dikeluarkan ialah
Klasifikasi Abortus
Menurut terjadinya, Prawirohardjo (2008) membagi abortus menjadi tiga
jenis, yaitu:4
a. Abortus provokatus didefinisikan sebagai prosedur untuk mengakhiri
kehamilan yang tidak diinginkan baik oleh orang-orang yang tidak
memiliki ketrampilan yang diperlukan atau dalam lingkungan yang tidak
5
masih ada yang tertinggal. Batasan ini juga masih terpancang pada
usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500
gram.
5. Missed Abortion
Abortus
yang
ditandai
dengan
embrio
atau
fetus
telah
2.5.
Etiologi Abortus
Penyebab
abortus
merupakan
gabungan
dari
beberapa
faktor.
gondii,
Plasmodium
b. Penyakit vaskular, misalnya hipertensi vaskular
c. Kelainan endokrin
Abortus spontan dapat terjadi bila produksi progesterone tidak
mencukupi atau pada penyakit disfungsi tiroid; defisiensi insulin
d. Faktor Imunologis
Ketidakcocokan (inkompatibilias) system HLA (Human Leukocyte
Antigen).
e. Trauma
Kasusnya jarang terjadi, umumnya abortus terjadi segera setelah
trauma tersebut, misalnya akibat trauma pembedahan. Pengangkatan
ovarium
yang
mengandung
korpus
1. Radiasi
Dosis 1-10 rad bagi janin pada kehamilan 9 minggu pertama dapat
merusak janin dan dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan
keguguran
2. Obat-obatan
Antagonis asam folat, antikoagulan, dan lain-lain. Sebaiknya tidak
menggunakan obat-obatan sebelum kehamilan 16 minggu, kecuali
telah dibuktikan bahwa obat tersebut tidak membahayakan janin,
atau untuk pengobatan penyakit ibu yang parah.
2.6.
10
jelas walau mungkin sudah mulai tidak normal, biasanya terlihat penipisan
serviks uterus atau pembukaannya. Perhatikan pula ada tidaknya pelepasan
plasenta dari dinding uterus.
3. Abortus Kompletus
Semua hasil konsepsi telah dikeluarkan, osteum uteri telah menutup, uterus
sudah mengecil sehingga perdarahan sedikit. Besar uterus tidak sesuai dengan
usia kehamilan. Pemeriksaan USG tidak perlu dilakukan bila pemeriksaan
secara klinis sudah memadai. Pada pemeriksaan tes urin biasanya masih
positif
sampai 7-10
hari
setelah
abortus.
Pengelolaan
penderita
tidak
Diagnosis Abortus
a) Klinis
Dapatkan anamnesis lengkap dan lakukan pemeriksaan fisik umum
12
(termasuk
panggul)
pada
setiap
pasien
untuk menentukan
kemungkinan
Penatalaksanaan Abortus
Abortus Insipiens
1.
2.
kontrasepsi pascakeguguran.
Jika usia kehamilan kurang dari 16 minggu: lakukan evakuasi isi uterus. Jika
15
setelah 24 jam. BIla hasil pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat
diperbolehkan pulang.
Abortus Komplit
1. Tidak diperlukan evakuasi lagi.
2. Lakukan konseling untuk memberikan dukungan emosional dan menawarkan
kontrasepsi pasca keguguran.
3. Observasi keadaan ibu.
4. Apabila terdapat anemia sedang, berikan tablet sulfas ferosus 600 mg/hari
selama 2 minggu, jika anemia berat berikan transfusi darah.
5. Evaluasi keadaan ibu setelah 2 minggu
Missed Abortion
1. Lakukan konseling.
2. Jika usia kehamilan <12 minggu: evakuasi dengan AVM atau sendok kuret.
3. Jika usia kehamilan >12 minggu namun <16 minggu: pastikan serviks
terbuka, bila perlu lakukan pematangan serviks sebelum dilakukan dilatasi dan
kuretase. Lakukan evakuasi dengan tang abortus dan sendok kuret.
4. Jika usia kehamilan 16-22 minggu: lakukan pematangan serviks. Lakukan
evakuasi dengan infus oksitosin 20 unitdalam 500 ml NaCl 0,9%/Ringer
laktat dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga terjadi ekspulsi hasil konsepsi.
Bila dalam 24 jam evakuasi tidak terjadi, evaluasi kembali sebelum
merencanakan evakuasi lebih lanjut.
5. Lakukan evaluasi tanda vital pasca tindakan setiap 30 menit selama 2 jam.
Bila kondisi ibu baik, pindahkan ibu ke ruang rawat.
6. Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk
pemeriksaan patologi ke laboratorium.
7. Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen,
dan produksi urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin
16
setelah 24 jam. Bila hasil pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat
diperbolehkan pulang.
2.9.
antara usia kehamilan 20 minggu sampai kurang dari 37 miggu, dari haid dari hari
pertama haid terakhir pada siklus 28 hari.12
2.10. Epidemiologi Preterm Labour
Persalinan prematur menjadi perhatian utama dalam bidang obstetrik
karena erat kaitannya degan morbiditas dan mortalitas perinatal dan peralinan
prematur merupakan penyebab utama yaitu 60-80% morbiditas dan mortalitas
neonatal diseluruh dunia.13 Dan angka kejadian prematur di Amerika Serikat
sekitar 8-10% dan di Indonesia kejadiannya 16-18% dari semua kelahiran hidup.
Pada tahun 2005 angka kejadian persalinan prematur di rumah sakit Indonesia
semakin banyak 3142 kasus dan pada tahun 2006 yaitu sebanyak 3063 kasus. 13
Data di RSUP H.Adam Malik Medan menunjukkan jumlah bayi yang dilahirkan
pada tahun 2007 sebnyak 527 bayi dan 63 bayi (11,95) dilahirkan dengan
kondisi prematur, yang merupakan kelahiran bayi yang sangat rentan terhadap
kematian yang nantinya dapat meningkatkan angka kematian bayi diindonesia
khususnya Sumatera Utara.14
2.11. Klasifikasi Preterm Labour
Menurut kejadiannya, persalinan preterm digilongkan menjadi
yaitu:15
17
1. Idiopatik/Spontan
Sekitar 50% penyebab persalinan preterm tidak diketahui,
oleh karena itu digolongkan pada kelompok idiopatik. Sekitar
12,5% persalinan preterm spontan didahului oleh ketuban
pecah dini (KPD), yang sebagian besar disebabkan factor
infeksi (korioamnionitis).
2. Iatrogenik /Elektif
Persalinan preterm buatan/iatrogenik disebut juga sebagai
elective preterm.
Menurut usia kehamilan persalinan preterm diklasifikasikan
dalarn:15
I. Preterm kurang bulan: usia kehamilan 32 36 minggu
2. Very preterm /sangat kurang bulan: usia kehamilan 28 32 minggu
3. Ekstremely Preterm/Ekstrem kurang bulan: usia kehamilan 20-27
minggu
Menurut berat badan lahir, bayi kurang bulan dibagi dalam kelompok:15
1. Berat badan lahir rendah: Berat badan bayi 1500 2500 gram
2. Berat badan lahir sangat rendah: Berat badan bayi 1000 1500 gram
3. Berat badan lahir ekstrim rendah: Berat badan bayi <1000 gram
2.12. Faktor Risiko Preterm Labour
Persalinan preterm dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain
ras dan keadaan sosioekonomi, sehingga sulit diatasi. Di negara maju
18
yang
sosioekonominya
baik,
kejadiannya
malah
cenderung
obat-obatan
induksi
ovulasi
yang
meningkatkan
multifaktorial.
prematur
Kombinasi
merupakan
keadaan
kelainan
obstetrik,
proses
yang
sosiodemografi,
19
b. Ibu
Penyakit berat pada ibu
Diabetes mellitus
Preeklamsia
Infeksi saluran kemih/genital/intrauterine
Penyakit infeksi dengan demam
Stress psikogenik
Kelainan bentuk uterus/serviks
Riwayat persalinan preterm
Abortus berulang
Inkompetensi serviks
Pemakaian obat narkotik
Trauma
Perokok berat
Kelainan imunologi
2.14. Diagnosis Preterm Labour
Menegakkan diagnosis persalinan preterm terlalu cepat atau
lambat mempunyai risiko meningkatkan morbiditas dan mortalitas
neonatus. Pada kenyataannya kurang dari 50% ibu hamil yang
didiagnosis mengalami persalinan preterm melahirkan bayinya
20
dalam
minggu
setelah
diagnosis
ditegakkan.
Hal
ini
kardiotokografi (KTG).
b. Pada kehamilan biasa terjadi kontraksi Braxton-Hicks
Kriteria Creasy dan Heron:
Kontraksi uterus 4 kali dalam 20 menit atau 8kali dalamsatu jam dan
21
2.15.1.Tatalaksana Umum11
1. Tatalaksana utama mencakup pemberian tokolitik, kortikosteroid, dan
antibiotika profilaksis. Namun beberapa kasus memerlukan
penyesuaian.
2.15.2.Tatalaksana Khusus11
1. Jika ditemui salah satu dari keadaan berikut ini, tokolitik tidak perlu
diberikan dan bayi dilahirkan secara pervaginam atau perabdominam
sesuai kondisi kehamilan:
Usia kehamilan di bawah 24 dan di atas 34 minggu
Pembukaan > 3 cm
Ada tanda korioamnionitis (infeksi intrauterin), preeklampsia,
atau perdarahan aktif
Ada gawat janin
Janin meninggal atau adanya kelainan kongenital yang
kemungkinan hidupnya kecil
2. Lakukan terapi konservatif (ekspektan) dengan tokolitik,
kortikosteroid, dan antibiotika jika syarat berikut ini terpenuhi:
Usia kehamilan antara 24-34 minggu
Dilatasi serviks kurang dari 3 cm
Tidak ada korioamnionitis (infeksi intrauterin), preeklampsia, atau
perdarahan aktif
Tidak ada gawat janin
3. Tokolitik hanya diberikan pada 48 jam pertama untuk memberikan
kesempatan pemberian kortikosteroid. Obat-obat tokolitik yang
digunakan adalah:
Nifedipin: 3 x 10 mg per oral, atau
Terbutalin sulfat 1000 g (2 ampul) dalam 500 ml larutan infus NaCl
0,9% dengan dosis awal pemberian 10 tetes/menit lalu dinaikkan 5
22
bersifat sitotoksik yang dihasilkan oleh sel T helper (Th)1 yaitu interleukin (IL)-2 dan
Interferon (IFN)-? dan Tumour necrosis factor (TNF)- yang berpengaruh buruk
terhadap kehamilan, sedangkan sitokin yang dihasilkan oleh Th2 yaitu IL-4,IL-6,IL-5
dan IL-10 yang bermanfaat dalam menjaga kelangsungan kehamilan kadarnya terjadi
penurunan. Jadi kelangsungan kehamilan tergantung dengan hasil keseimbangan
antara aktifitas Th1 dan Th2 yang merupakan penampakan polarisasi sel
mononukleus pada darah tepi yaitu sel T helper.15
2.17.
Meis dan Heinonen melaporkan secara statistik yang tidak signifikan terjadi
peningkatan aborsi dan lahir mati pada wanita yang menerima progesteron. Dalam
studi retrospektif menunjukkan aborsi spontan jarang terjadi pada kehamilan 24
minggu (0,9%), lahir mati (0,5%), dan kematian neonatal (0,4%) pada wanita yang
menerima profilaksis progesteron untuk mencegah PTB. Penyelidikan lebih lanjut
diperlukan untuk mengevaluasi validitas dari kekhawatiran ini.16
Tidak terdapat data pada manusia mengenai hasil jangka panjang wanita dan
bayi yang terkena progesteron dalam-rahim sampai paling artikel terbaru yang
dipublikasikan oleh percobaan NICHD melaporkan 4 tahun pengawasan dari anakanak yang terpapar 17OHP-C di dalam rahim. Anak-anak usia 30-64 bulan pada saat
pengkajian tindak lanjut. Dari 348 anak-anak yang bertahan, 278 (80%) yang dapat
untuk evaluasi (194 17OHP-C, 84 plasebo). Tidak ada perbedaan yang signifikan
terlihat pada status kesehatan dan kondisi, atau pemeriksaan fisik, termasuk anomali
kelamin antara anak-anak yang terpapar 17OHP-C dan plasebo. Pengawasan
perkembangan termasuk komunikasi, motorik kasar, motorik halus, pemecahan
masalah, masalah pribadi-sosial didapatkan tidak signifikan antara 17OHP-C dan
kelompok plasebo. Ada beberapa kekhawatiran tentang vehikulum dan castor oil
digunakan dalam IM 17OHP-C. castor oil dapat menginduksi persalinan dengan
merangsang pelepasan prostaglandin,yang mungkin meniadakan efek potensial yang
menguntungkan dari IM 17-OHP-C.16
2.18.
26
disamping difusi langsung. Pertukaran aliran juga tampak pada transport progesteron
dalam perfusi utero-vaginal. Konsentrasi zat yang disuntikan ke dalam pembuluh
darah ovarium lebih tinggi secara siginifikan pada arteri ipsilateral ovarium dibanding
arteri kontralateral ovarium atau vena perifer, aliran zat sepanjang concentration
gradient ditetapkan antara arteri yang berdekatan satu sama lain, dan membawa darah
mengalir dalam arah yang berlawanan.
konsentrasi progesteron pada uterus 14 kali lebih banyak dibanding perifer pada
pemberian pervaginam; rasio setelah pemberian i.m cenderung sekitar 1 : 1.17
Berdasarkan data ini, pemberian pervaginam menyerupai transformasi
endometrial yang fisiologis dibanding pemberian i.m., dengan penurunan aktivitas
uterus dan peristaltik. Dari sudut pandang ini, potensial implantasi endometrium pada
pemberian progesteron pervaginam paling tidak sama dengan progesteron i.m. Jadi,
dari data yang tersedia, pemberian progesteron pervaginam tidak memperlihatkan
keburukan.17
2.19.
baring dan diminta untuk mengisi formulir pemantauan keluhan berupa perdarahan
vagimam dan rasa keram/mulas perut bagian bawah setiap hari, dicatat kapan keluhan
menghilang dan terjadi abortus maka penderita disarankan untuk datang ke RS sesuai
yang telah ditentukan. Setelah hari ke delapan peserta diminta datang untuk kontrol
dan dilakukan pemeriksa klinik dan ultrasonografi untuk me nilai keaadaan
kehamilan dan dilakukan pengambilan darah vena untuk pemeriksaan hormonal
progesteron , estradiol dan hCG. Sebanyak 47 peserta penelitian yang dapat
dilakukan analisis statistik, yang terdiri dari kelompok yang di terapi Progesteron 400
mg supositoria vaginal sebanyak 25 peserta dan yang diterapi plasebo sebanyak 22
peserta. Setelah perlakuan terdapat perbedaan peningkatan kadar hormonal antara
kelompok progesteron dibandingkan plasebo yaitu sebesar : Progesteron 3,19 10,54
ng/ml Vs 0,174 10,71 ng/ml (TB) , Estradiol 152,62 612,65 pg/ml Vs 21,31
1028,91 pg/ml (TB).1
Lama masa perdarahan pervaginam dan hilangnya rasa mulas/keram perut
bagian bawah pada kelompok progesteron lebih singkat dan secara statistik berbeda
bermakna. Luaran kehamilan berupa abortus spontan pada masa terapi sebesar 4/25
kelompok progesterone berbanding 6/22 kelompok plasebo yang secara statistik tidak
berbeda bermakna. Kesimpulannya yaitu, progesteron 400 mg pessary vaginal 1 kali
sehari bermanfaat mempersingkat masa perdarahan pervaginam dan hilangnya rasa
mulas/kram perut bagian bawah yang berbeda bermakna secara statistik dan
meningkatkan kadar progesteron serum lebih tinggi dibandingkan dengan plasebo
meskipun secara statistik tidak berbeda bermakna.1
29
apakah
progesteron
supositoria
efektif
dalam
kasus
(6
kasus,
20%)
lebih
rendah
dibandingkan
pada
wanita
yang
diobati
dengan
supositoria
30
2.20.
trimester berada pada peningkatan risiko untuk kelahiran prematur. Penelitian yang
dilakukan oleh Hassan.et al, dilakukan untuk menentukan efektifitas dan keamanan
menggunakan progesteron vagina gel mikronis untuk mengurangi risiko kelahiran
prematur terkait komplikasi pada wanita dengan sonografi serviks yang pendek.
Penelitian yang dilakukan multisenter, randomized, double-blind, placebo controlled
trial yang terdaftar sebagai wanita asimtomatik dengan kehamilan tunggal dan
sonografi cerviks yang pendek (10-20 mm) pada usia kehamilan 19-23 minggu.
Wanita dipilih secara acak untuk diberikan vagina progesteron gel atau plasebo setiap
hari mulai minggu 20 sampai minggu 42 minggu, pecahnya selaput ketupan atau
persalinan. Hasil; dari 465 yang dilakukan randomisasi, 7 sampel lepas dari
pengawasan dan 458 (Progesterone vaginal gel, n = 235; plasebo, n = 223)
dimasukkan dalam analisis data. Wanita yang bersedia yang menerima progesteron
vagina memiliki tingkat kelahiran prematur yang lebih rendah sebelum minggu 33
daripada mereka yang menerima plasebo (8,9% (n = 21) vs 16,1% (n = 36); risiko
relatif (RR), 0,55; 95% CI, 0.33- 0.92; P = 0,02). Progesteron vagina juga dikaitkan
dengan penurunan tingkat kelahiran prematur yang signifikan sebelum 28 minggu
(5,1% vs10.3%; RR, 0,50; 95% CI, 0,25-0,97;P = 0,04) dan 35 minggu (14,5% vs
23,3%; RR, 0,62; 95% CI, 0,42-0,92; P = 0,02). Kesimpulan dari penelitian ini yaitu,
pemberian progesteron vagina gel untuk wanita dengan sonografi serviks yang
31
BAB 3
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Progesteron telah banyak digunakan dalam
mengancam,abortus
33