Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
Pterigium adalah suatu jaringan yang berbentuk segitiga atau sayap pada
permukaan basement membrane sebagai akibat dari pertumbuhan epitel limbus
yang masuk ke kornea secara sentripetal.1,2 Dimana yang menjadi penyebabnya
bersifat multifaktorial seperti paparan sinar matahari, debu, udara kering ataupun
faktor resiko lainnya yang terlibat sebagai patogenesis.2,3
Pterigium lebih sering ditemui di daerah beriklim tropis dan subtropis.
Prevalensi ini berbeda-beda di antara jenis ras, luas dan lamanya paparan sinar
matahari Prevalensinya semakin tinggi pada daerah ekuator. Angka prevalensi
pterigium sangat besar (0,731%), berkisar 1,2% ditemukan di daerah urban pada
orang kulit putih. dan 23,4% di daerah tropis Barbados pada orang kulit hitam. Di
daerah tropis seperti Indonesia, dengan paparan sinar matahari tinggi, risiko
timbulnya pterigium 44 lebih tinggi dibandingkan daerah non-tropis, dengan
prevalensi untuk orang dewasa > 40 tahun adalah 16,8%; laki-laki 16,1% dan
perempuan 17,6%.2-4
Pterigium biasanya tidak menimbulkan keluhan. Namun keluhan yang
dapat timbul berupa keluhan mata iritatif, merah, ataupun terjadi gangguan
penglihatan. Berdasarkan tipenya, pterigium terbagi atas : pterigium kecil (tipe 1),
pterigium rekuren tanda keterlibatan zona optik (tipe 2), pterigium rekuren dengan
keterlibatan zona optic. Sedangkan klasifikasi berdasarkan derajatnya mulai dari
derajat I-IV. Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea Stadium
II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belummencapai pupil, tidak lebih
dari 2 mm melewati kornea. Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium
II

tetapi

tidak melebihi

pinggiran

pupil

mata

dalam

keadaan

cahaya

normal(diameter pupil sekitar 3-4 mm). Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium


sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.1,5
Pengobatan pterigium adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan pembedahan bila
terjadi ganggunan penglihatan akibat terjadinya astigmatisme ireguler atau pterigium yang telah
menutupi media penglihatan.1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Anatomi Konjungtiva
Secara anatomis konjungtiva merupakan membran mukosa yang
transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata
(konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva
bulbaris). Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata
dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva
melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus
jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat
longgar ke septum orbital di forniks dan melipat berkali-kali. Adanya lipatanlipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan
konjungtiva sekretorik. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui
konjungtiva. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh
sel goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea. Konjungtiva
terdiri atas tiga bagian, yaitu :
-

Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar


digerakkan dari tarsus.

Konjungtiva bulbi, menutupi sklera dan mudah digerakan dari sklera


dibawahnya.

Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal


dengan konjungtiva bulbi
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan
jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.2

Gambar 1-3. Anatomi Konjungtiva


B. Definisi
Pterygium adalah suatu jaringan yang berbentuk segitiga atau sayap
pada permukaan basement membrane sebagai akibat dari pertumbuhan epitel
limbus yang masuk ke kornea secara sentripetal. Proliferasi tersebut diikuti
dengan terjadinya hiperplasia dari epitel konjungtiva, proliferatif, gambaran
inflamasi, serta kaya pembuluh darah. Gambaran histologi dari pertumbuhan
berlebihan pterygium adalah terdapatnya proliferasi fibrovaskular berlebihan,

degradasi membran basal, dan invasi stroma kornea oleh jaringan


fibrovaskular.1,3,4
C. Etiologi
Hingga saat ini etiologi pterigium masih belum diketahui secara pasti.
Etiologi pterigium bersifat multifaktorial seperti paparan sinar matahari, debu,
udara kering. Faktor risiko untuk terjadinya pterygium adalah mekanisme anti
apoptotic, sitokin, growth factor, faktor angiogenik, ekstraseluler matrix
remodelling, mekanisme imunologik, dan infeksi virus semua terlibat sebagai
patogenesis. Selain itu beberapa kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik
secara kuantitas maupun kualitas, konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin
A juga berpotensi menimbulkan pterigium. Beberapa kasus dilaporkan
sekelompok anggota keluarga dengan pterigium dan berdasarkan penelitian
menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium,kemungkinan diturunkan
autosom dominan.1,3,5
D. Epidemiologi
Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim
panas dan kering. Angka prevalensi pterigium sangat besar (0,731%),
berkisar 1,2% ditemukan di daerah urban pada orang kulit putih. dan 23,4% di
daerah tropis Barbados pada orang kulit hitam. Di daerah tropis seperti
Indonesia, dengan paparan sinar matahari tinggi, risiko timbulnya pterigium
44 lebih tinggi dibandingkan daerah non-tropis, dengan prevalensi untuk
orang dewasa > 40 tahun adalah 16,8%; laki-laki 16,1% dan perempuan
17,6%.4,6
Bustani dan Mangindaan melaporkan 21,35% pterygium di 2 desa di
Kabupaten Minahasa Utara, dengan hasil 12,92% pada pria dan 8,43% pada
wanita, 9,55% berusia di atas 50 tahun, dengan pekerjaan petani sebesar
10,11% terbanyak adalah pterygium stadium 3 yaitu 42,11% yang tumbuh di
bagian nasal sebesar 55,26%.2 Pterigium rekuren sering terjadi pada umur
muda dibandingkan dengan umur tua.Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada

perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat


paparan lingkungan diluar rumah.4
E.

Patofisiologi 7,8
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak
dengan ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan
dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea. Pterigium ini
biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama
untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran
pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum
lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang
lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di
samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar
ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu
pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium
dibandingkan dengan bagian temporal.
Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen
dan proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium.
Histopatologi

kolagen

abnormal

pada

daerah

degenerasi

elastotik

menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini
juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan
elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan
oleh elastase.
Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi
subepitel yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H
& E . Berbentuk ulat atau degenerasi elastotic dengan penampilan seperti
cacing bergelombang dari jaringan yang degenerasi. Pemusnahan lapisan
Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya
normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik
dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.

Gambar 4. Histopatologi Pterigium


F. Gejala Klinis
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering
tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering
dialami pasien antara lain:
a) Mata sering berair dan tampak merah
b) Merasa seperti ada benda asing
c)

Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium


tersebut, biasanya astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme
irreguler sehingga mengganggu penglihatan

d)

Pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan
aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun.
Bila masih baru, banyak mengandung pembuluh darah, warnanya

menjadi merah, kemudian menjadi membran yang tipis berwarna putih dan
stasioner. Bagian sentral melekat pada kornea dapat tumbuh memasuki kornea
dan menggantikan epitel, juga membran bowman, dengan jaringan elastik dan
hialin. Pertumbuhan ini mendekati pupil. Biasanya didapat pada orang-orang
yang banyak berhubungan dengan angin dan debu, terutama pelaut dan petani.
Kelainan ini merupakan kelainan degenarasi yang berlangsung lama. Bila
mengenai kornea, dapat menurunkan visus karena timbul astigmat dan juga
dapat menutupi pupil, sehingga cahaya terganggu perjalanannya.7

G. Diagnosis
1. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data
administrasi dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk
mengetahui faktor resiko pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok
usia 20-30 tahun dan jenis kelamin laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat
perlu ditanyakan untuk mengetahui kecenderungan pasien terpapar sinar
matahari.7
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan
berupa mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan
astigmatisma yang memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus
berat dapat menimbulkan diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan
adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya
keganasan atau alasan kosmetik. Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas,
gatal, ada yang mengganjal.2,7
2.

Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul
sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke
kornea pada daerah fisura interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai
pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterigium (stokers line).
Kira-kira 90% pterigium terletak di daerah nasal. Perluasan pterigium
dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga menutupi visual axis,
menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan penglihatan terjadi ketika
pterigium mencapai pupil atau menyebabkan kornea astigmatisme pada
tahap regresif.
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head), dan
cap. Bagian segitiga yang meninggu pada pterigium dengan dasarnya ke
arah limbus disebut body, bagian atasnya disebut apex, dan bagian
belakang disebut cap. Subepitelial cap atau halo timbul pada tengah apex
dan membentuk batas pinggir pterigium.1,3,5,7

Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan


derajat atau klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi
menjadi beberapa kelompok yaitu:
a. Berdasarkan perjalanan penyakit
1). Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
2). Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
bentuk membran tetapi tidak pernah hilang.
b. Berdasarkan luas pterigium
1). Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea
2). Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2
mm melewati kornea
3). Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi
pinggir pupil mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan
normal sekitar 3-4 mm)
4). Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan1

Gambar 5. Pterigium grade III, di mana pterigium telah melewati


kornea lebih dari 2mm, namun belum melewati pupil.
c. Berdasarkan pemeriksaan pembuluh darah dengan slitlamp
1). T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat
2). T2 (intermediate): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
3). T3 (fleshy, opaque): pembuluh darah tidak jelas

G. Diagnosa Banding
1. Pinguekula
Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang
berwarna

kekuningan. Keadaan ini tampak sebagai nodul pada kedua

sisi kornea yang kebih banyak di sisi nasal. Pinguekula merupakan


degenaris hialin jaringan submukosa konjungtiva.

Pinguekula sangat

sering pada orang dewasa. 3

Gambar 6. Pinguekula
2. Pseudopterigium
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea
yang cacat. Terdapat Suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus
kornea. Pada pengecekan dengan sonde, sonde dapat masuk di antara
konjungtiva dan kornea.1,3

Gambar 7. Pseudopterigium

Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan pinguekula dan


pseudopterigium.

Tabel 1. Diagnosis banding pterigium 1


Pembeda
Definisi

Pterigium
Jaringan

Pinguekula
Pseudopterigium
Benjolan pada Perlengketan

fibrovaskular

konjungtiva

konjungtiba

konjungtiva

bulbi

dengan kornea yang

bulbi berbentuk

cacat

Warna

segitiga
Putih

Letak

kekuningan
keabu-abuan
Celah kelopak Celah kelopak Pada

Putih-kuning

bagian
atau

6:
Progresif
Reaksi

bulbi

Putih kekuningan

nasal mata terutama konjungtiva


temporal bagian nasal

daerah
yang

terdekat

dengan

yang meluas ke

proses

kornea

arah kornea
>
Sedang
Tidak ada

=
Tidak
Tidak ada

sebelumnya
=
Tidak
Ada

Lebih menonjol

Menonjol

Normal

kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh
darah
konjungtiva
Sonde

Tidak

dapat Tidak

diselipkan

dapat Dapat diselipkan di

diselipkan

bawah lesi karena


tidak melekat pada

Puncak

Ada
pulau

Histopatologi

pulau- Tidak ada


Funchs

head, cap, body)

(bercak kelabu)
Epitel ireguler Degenerasi
dan degenerasi hialin jaringan
hialin

dalam submukosa

stromanya

konjungtiva

limbus
Tidak ada (tidak ada

Perlengketan

H. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Pterigium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang
masih muda. Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu
tetes mata dekongestan. Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati.
Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat
diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari
selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid
tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau
mengalami kelainan pada kornea.
Pengobatan pterigium adalah dengan sikap konservatif atau
dilakukan pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya
astigmaisme ireguler atau pterigium yang telah menutupi media
penglihatan.2,7
b. Tindakan operatif
Tindakan pembedahan adalah suatu tindak bedah plastik yang
dilakukan dengan indikasi:
1.

Pterigium telah memasuki kornea lebih dari 4 mm.


2. Pertumbuhan yang progresif, terutama pterigium jenis
vascular.

3.

Mata terasa mengganjal.

4.

Visus menurun, terus berair.

5.

Mata merah sekali.

6.

Telah masuk daerah pupil atau melewati limbus.

7.

Alasan kosmetik.

8.

Mengganggu pergerakan bola mata.

9.

Mendahului operasi intra okuler


Pascaoperasi biasanya akan diberikan terapi lanjut seperti

pengggunaan sinar radiasi atau terapi lainnya untuk mencegah


kekambuhan seperti mitomycin.
c. Jenis Operasi pada Pterigium antara lain :

Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva


dengan permukaan sclera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya
tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.

- Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang


terbuka, diman teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva
relative kecil.
- Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas
eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
- Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka
bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang
kemudian diletakkan pada bekas eksisi.
- Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil
dari konjungtiva bulbi bagian superior.

Gambar 8. Jenis-jenis operasi pterigium4


a. Bare sclera
b. Simple closure
c. Sliding flap
d. Rotational flap
e.Conjungtival graft

Tindakan pembedahan untuk eksisi pterigium biasanya bisa


dilakukan pada pasien rawat jalan dengan menggunakan anestesi local,
bila perlu diperlukan dengan memakai sedasi. Perawatan pasca operasi,
mata pasien biasanya merekat pada malam hari, dan dirawat memakai
obat tetes mata atau salep mata antibiotik atau antinflamasi.
I. Komplikasi
Komplikasi pterygium termasuk ; merah, iritasi, skar kronis pada
konjungtiva dan kornea, pada pasien yang belum eksisi, distorsi dan
penglihatan sentral berkurang, skar pada otot rektus medial yang dapat
menyebabkan diplopia. Komplikasi yang jarang adalah malignan degenerasi
pada jaringan epitel di atas pterygium yang ada. Komplikasi sewaktu operasi
antara lain perforasi korneosklera, graft oedem, graft hemorrhage, graft
retraksi, jahitan longgar, korneoskleral dellen, granuloma konjungtiva,
epithelial inclusion cysts, skar konjungtiva, skar kornea dan astigmatisma,
disinsersi otot rektus. Komplikasi yang terbanyak adalah rekuren pterygium
post operasi. 10
J. Prognosis
Pterigium adalah suatu neoplasma jinak. Umumnya prognosis baik.
Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi sitostatik tetes mata
atau Beta radiasi . Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah
baik, rasa tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi,
kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali.
Rekurensi pterygium setelah operasi masih merupakan suatu
masalah sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk
pengobatan dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun transplantasi
dengan konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterygium dapat dilakukan
eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi
membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3 6 bulan pertama
setelah operasi . Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti
riwayat keluarga atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan
memakai kacamata sunblock dan mengurangi terpapar sinar matahari.10

K. Edukasi
-

Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, rencana


pengobatan, serta komplikasi yang dapat terjadi.

Menjelaskan perlunya kontrol.

Menyarankan menghindari debu, daerah kering dan berangin, dan


paparan sinar matahari.

Menyarankan memakai kacamata pelindung saat beraktivitas di luar


rumah saat siang hari.11

BAB III
KESIMPULAN
Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan
merupakan yang tersering nomor dua di Indonesia setelah katarak, hal ini
dikarenakan oleh letak geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga

banyak terpapar oleh sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab
dari pterigium.
Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun
(asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi
benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya.
Terapi dari pterigium umumnya tidak perlu diobati, hanya perawatan secara
konservatif seperti memberikan anti inflamasi pada pterigium yang iritatif. Pada
pembedahan akan dilakukan jika piterigium tersebut sudah sangat mengganggu
bagi penderita semisal gangguan visual, dan pembedahan ini pun hasilnya juga
kurang maksimal karena angka kekambuhan yang cukup tinggi mengingat
tingginya kuantitas sinar UV di Indonesia. Walaupun begitu penyakit ini dapat
dicegah dengan menganjurkan untuk memakai kacamata pelindung sinar
matahari.

DAFTAR PUSTAKA
1. Voughan & Asbury. Oftalmologi Umum edisi 17. Jakarta : EGC. 2010.Hal
119.
2. Ilyas S. Pterigium. Dalam: Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi keempat.
Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2013 : 116-17.

3. Saerang J. The Risk Factors of Human Papilloma Virus 18 on the


Recurrences of Pterygium. JOI. 2011;7;185-88
4. Erry, Mulyani U, Susilowati D. Distribusi dan Karakteristik Pterigium di
Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2011;14: 8489
5. Suharjo. Ilmu kesehatan Mata edisi 1. Yogyakarta. Bagian Ilmu
PenyakitMata Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada.2007. hal 4041
6. Djajakusli Shintya, dkk. The Profile of Tear Mucin Layer and Impression
Cytology in Pterygium Patients. JOI. 2010;7:139-143
7. Laszuarni,

Prevalensi Pterigium Di Kabupaten Langkat. Medan.

Universitas Sumatera Utara. 2010


8. Pterigium. Available from :
http://www.mata-fkui-scm.org/?page=content.view&alias=edukasi_pasien
9. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 .
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
10. Anisa R. Perbandingan Hasil Operasi Pterygium Tipe Vaskular Dengan
Metode Bare Sclera Dan Conjunctival Autograft.2011.
11. Ilyas HS, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-5. Jakarta: Badan
penerbit FKUI; 2015. H.119, 120

Referat
PTERIGIUM

Oleh :
Monique Maylangkay
Deril Gansareng
Citra Irianty
Sandy Chendra
Meggy Kowaas
Wenny Rumanga
Masa KKM : 28 Desember 2015 24 Januari 2016

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2016

LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul


Pterigium
telah dikoreksi, dibacakan, dan disetujui
pada tanggal

Januari 2016

Mengetahui,

Supervisor Pembimbing

Dr. Jamin Tongku, Sp.M

Anda mungkin juga menyukai