Anda di halaman 1dari 19

MEMUTUS LINGKARAN KEMISKINAN DALAM MENDORONG

PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA

1. Pengertian Kemiskinan
Definisi kemiskinan bisa dibedakan menjadi dua macam, yaitu kemiskinan
absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah konsep dimana
pendapatan seseorang tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan minimum.
Kebutuhan minimum meliputi sandang, pangan, dan perumahan dalam tingkatan
yang sangat minimal. Untuk mengukurnya maka penghasilan seseorang harus
dikaitkan dengan harga barang-barang, yang berarti penghasilan riil.
Namun demikian untuk mengukur kemiskinan absolut masih sulit, karena
tergantung dari kesepakatan para ahli untuk mengukurnya. Terdapat perbedaan
yang besar di setiap negara tentang ukuran kebutuhan makanan, pakaian, dan
perumahan minimal. Tergantung dari adat istiadat dan dipengaruhi jaga oleh
kondisi politik dan struktur sosial dan politik Negara tersebut.
Untuk mengukur kemiskinan ini dipakai konsep kebutuhan dasar. Menurut
United Nation Research Institute for Sosial Development (UNRISD), kebutuhan
dasar manusia digolongkan menjadi 3 kelompok, yang pertama kebutuhan fisik
yang berupa kebutuhan gizi, perumahan, dan kesehatan. Kedua, kebutuhan kultural
yang terdiri dari pendidikan, waktu luang, dan rekreasi serta ketenangan hidup.
Yang ketiga adalah kelebihan pendapatan untuk mencapai kebutuhan yang lebih
tinggi.
Kebutuhan dasar tidak hanya meliputi kebutuhan orang atau keluarga, tetapi juga
meliputi kebutuhan fasilitas lingkungan kehidupan manusia, seperti yang dikemukakan
oleh International Labor Organization (ILO, 1976) sebagai berikut:

“Kebutuhan dasar meliputi 2 unsur: pertama, kebutuhan yang meliputi tuntutan


minimum tertentu dari suatu keluarga sebagai konsumsi pribadi seperti makanan-
makanan yang cukup, tempat tinggal, pakaian, juga peralatan, dan perlengkapan rumah
tangga yang dilaksanakan. Kedua, kebutuhan meliputi pelayanan sosial yang diberikan
oleh dan untuk masyarakat seperti air minum yang bersih, pendidikan, dan kultural.”

Konsep kemiskinan yang didasarkan atas perkiraan kebutuhan dasar minimum


merupakan konsep yang mudah dimengerti. Tetapi penentuan garis kemiskinannya
secara obyektif sulit dilaksanakan karena banyak sekali faktor yang mempengaruhinya.
Garis kemiskinan berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya, sehingga tidak
ada suatu garis kemiskinan yang berlaku umum.

Sedangkan kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang apabila dibandingkan


pendapatan penduduk disekitarnya, orang tersebut termasuk orang miskin,
walaupun sesuai dengan pendapatannya orang tersebut digolongkan tidak masuk
kemiskinan absolut. Maka orang yang hidup di Negara yang kaya sekalipun, masih
bias digolongkan miskin yang pendapatannya sangat rendah. Pendapat dari
Kincaid (1975) yang menggolongkan kemiskinan berdasarkan ketimpangan
distribusi pendapatan. Jika ketimpangan distribusi pendapatan tinggi, maka orang
yang berada di level bawah adalah miskin.
Menurut Bank Dunia, jika 40% dari penduduk suatu Negara hanya menerima
pendapatan kurang dari 12-17% terhadap pendapatan nasional, maka disebut
ketidakmiskinan sedang, sedang jika menerima lebih dari 17% berarti
ketidakmiskinan rendah. Maka penggolongan kemiskinan tergantung struktur
distribusi pendapatan.

2. Indikator Kemiskinan
Jumlah penduduk miskin di Indonesia saat ini (BPS 2009) sebesar 32 juta jiwa, atau 15% dari
jumlah penduduk, yang berarti menurun dibanding tahun 2008 yang sebesar 34 juta jiwa.
Namun menurut Bank Dunia (2009), jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 90 juta
sampai 100 juta orang. Setiap lembaga mempunyai patokan sendiri-sendiri untuk menentukan
garis kemiskinan sesuai dengan kepentingannya masing-masing.

Sebenarnya indikator kemiskinan harus jelas dan transparan, sehingga bisa dibandingkan
kondisi antara wilayah satu dengan wilayah yang lain dan Negara yang satu dengan Negara
yang lain. Menurut BPS, untuk menentukan kategori penduduk miskin digunakan ukuran
kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan. Untuk makanan digunakan patokan
sebesar 2.100 kalori per hari. Mengukur makanan dengan basis makanan minimum disebut
pendekatan kebutuhan dasar, sedang untuk ukuran kebutuhan minimum yang lain disebut
Head Count Index.

Indikator kemiskinan ada bermacam-macam yakni: konsumsi beras per kapita per tahun,
tingkat pendapatan, tingkat kecukupan gizi, kebutuhan fisik minimum (KFM) dan tingkat
kesejahteraan.

a. Tingkat konsumsi beras

Garis kemiskinan yang lain adalah yag diusulkan oleh Sajogya (1977), yang
mendefinisikan kemiskinan dengan dasar tingkat konsumsi beras setahun. Sajogya
mengusulkan tingkat kemiskinan adalah setara dengan harga beras sebanyak
240kg, sedang untuk daerah perkotaan sebesar 360 kg per perkapita per tahun.
Sajogya mendefinisikan kemiskinan menjadi 3 golongan, yaitu: melarat, sangat
miskin, dan miskin. Penduduk dikatakan melarat jika konsumsinya setara 180 kg
beras di pedesaan dan 270 kg beras di perkotaan.
Secara lebih terinci Sajogyo membagi lagi indikator kemiskinan tersebut
menjadi 3 kelompok:
Pedesaan Perkotaan
a. Melarat 180 kg 270 kg
b. Sangat Miskin 240kg 360kg
c. Miskin 320kg 480kg

Namun sejak tahun 1979 garis Melarat dihilangkan dan kemudian ditambah
dengan garis Nyaris Miskin, yaitu dengan 480kg di desa dan 720kg di perkotaan
(Sajogyo, dalam BPS, 1986)
b. Tingkat Pendapatan
Penduduk di daerah perkotaan mempunyai kebutuhan yang relatif sangat
beragam dibandingkan dengan daerah pedesaan sehingga mempengaruhi pola
pengeluaran. Batas garis kemiskinan antara daerah perkotaan dan pedesaan,
presentase penduduk miskin, dan jumlah penduduk miskin di Indonesia dapat
dilihat pada table di bawah ini.
Tabel
Garis kemiskinan. Persentase, dan jumlah Penduduk Miskin di
Indonesia Tahun 2008
Jumlah Penduduk Miskin % Penduduk Miskin
Wilayah
Kota Desa K+D Kota Desa K +D
Sumatra 2567,8 4726,1 7293,9 135,27 148,29 283,56
Jawa & Bali 8674,4 11517,2 20191,6 71,5 103,96 175,46
Nusa
679,7 1499,3 2179 44,97 47,61 92,58
Tenggara
Kalimantan 364,3 849,8 1214,1 27,47 44,13 71,6
Sulawesi 441,1 2663,9 3105 70,62 175,81 246,43
Irian Jaya 41,1 938,5 979,6 12,95 89,7 102,65
Jumlah 12768,4 22194,8 34963,2 362,78 609,5 972,28
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS)
c. Indikator Kesejahteraan Rakyat
Selain data pendapatan dan pengeluaran, ada berbagai komponen tingkat
kesejahteraan yang lain yang sering digunakan. Pada publikasi UN (1961) yang
berjudul International Definition and Measurement of Living: An interin Guide
disarankan 9 komponen kesejahteraan yaiut kesehatan, konsumsi makanan dan
gizi, pendidikan, kesempatan kerja, perumahan, jaminan sosial, sandang, rekreasi
dan kebebasan.
Indikator yang lain dibuat oleh Hendra Esmara yang menilai garis
kemiskinan dari pengeluaran aktual pada sekelompok barang dan jasa esensial
seperti yang diungkapkan berturut-turut dalam Susenas. Kebaikan indikator dari
Esmara adalah mampu menangkap dampak inflasi terhadap pendapatan, sehingga
apabila kondisi inflasi yang tinggi jumlah penduduk miskin bertambah. Kondisi ini
lebih riil dilapangan.
3. Penyebab dan Solusi Kemiskinan

Penyebab Kemiskinan

Ada banyak penjelasan mengenai sebab-sebab kemiskinan. Kemiskinan misal yang


terjadi di banyak negara yang baru saja merdeka setelah Perang Dunia II memfokuskan
pada keterbelakangan dari perekonomian negara tersebut sebagai akar masalahnya.
Penduduk negara tersebut miskin karena menggantungkan diri pada sektor pertanian yang
subsisten, metode produksi yang tradisional, yang seringkali dibarengi dengan sikap apatis
terhadap lingkungan.

Sharp, et al (1996) mencoba mengidentifikasi penyebab kemiskinan dipandang dari


sisi ekonomi, yaitu:

1. Secara mikro kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan


sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk
miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya
rendah.

2. Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia.


Kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah,
pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena
keturunan.

3. Kemiskinan muncul akibat perbedaan akses modal.


Ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan
(vicious circle of poverty). Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan
kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas
mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan
berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada
keterbelakangan dan seterusnya.

Negara berkembang sampai kini masih memiliki ciri-ciri terutama sulitnya mengelola
pasar dalam negerinya menjadi pasar persaingan yang lebih sempurna. Ketika mereka tidak
dapat mengelola pembangunan ekonomi, maka kecenderungan kekurangan kapital dapat
terjadi, diikuti dengan rendahnya produktivitas, turunnya pendapatan riil, rendahnya
tabungan, dan investasi mengalami penurunan, sehingga melingkar ulang menuju keadaan
kurangnya modal.

4. Alternatif Solusi Kemiskinan

Pengalaman di negara-negara Asia menunjukkan adanya berbagai model mobilisasi


perekonomian pedesaan untuk memerangi kemiskinan, yaitu:

1. Berdasarkan mobilisasi tenaga kerja yang masih belum didayagunakan (idle) dalam
rumah tangga petani gurem agar terjadi pembentukan modal di pedesaan. Ide bahwa
tenaga kerja yang masih belum didayagunakan pada rumah tangga petani kecil dan
gurem merupakan sumber daya yang tersembunyi dan merupakan potensi tabungan.
Beberapa cara perlu dilakukan untuk mengamankan tabungan dalam rumah tangga
tersebut. Alternatif cara yang digunakan adalah:

a. Menggunakan pajak tanah

b. Menyusun kerangka kelembagaan di pedesaan yang memungkinkan tenaga kerja yang


belum didayagunakan untuk memupukan modal tanpa perlu menambah upah.

Dengan metode ini ternyata memungkinkan adanya kenaikan yang substansial dalam:

- Intensitas tenaga kerja dalam budi daya tanaman

- Hasil tanaman

2. Menitikberatkan pada transfer sumber daya pertanian ke industri melalui mekanisme


pasar. Ide bahwa penawaran tenaga kerja yang tidak terbatas dari rumah tangga petani
kecil dapat meningkatkan tabungan dan formasi modal lewat proses pasar. Ketersediaan
tenaga kerja semacam itu dikemukakan hanya untuk menjelaskan bagaimana pangsa
relatif upah dan laba pada sektor kapitalis dapat saja dipengaruhi oleh produktivitas
tenaga kerja di sektor subsisten, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi tabungan
dan investasi dalam perekonomian secara umum.
3. Menyoroti potensi pesatnya pertumbuhan sektor pertanian yang dimulai dengan
kemajuan teknologi sehingga sektor pertanian berkemungkinan menjadi sektor yang
memimpin. Model ini dikenal dengan nama Model Pertumbuhan Berbasis Teknologi
atau Rural-Led Development. Beberapa permasalahan dalam strategi pembangunan
dengan sektor pertanian yang memimpin (rural-led development) didasarkan atas
kemungkinan dibukanya pertanian oleh teknologi modern. Sektor pertanian tidak hanya
sebagai pemasok sumber daya, namun juga sebagai sektor yang mampu meningkatkan
permintaan produk pertanian dan nonpertanian, sehingga hal tersebut dapat mendukung
proses pertumbuhan yang seimbang. Proses ini akan berhasil apabila 2 syarat berikut
terpenuhi:

- Kemampuan mencapai tingkat pertumbuhan output pertanian yang tinggi;

- Proses ini juga menciptakan pola permintaan yang kondusif terhadap pertumbuhan

Dampak keterkaitan dalam ekonomi pedesaan tentunya dapat kuat dalam


meningkatkan permintaan pangan bila proporsi kenaikan pendapatan dari
pertumbuhan output bahan pangan digunakan untuk membeli produk industri
pedesaan. Namun, dampak keterkaitan menjadi tidak pasti bila sebagian besar
kenaikan pendapatan hanya dinikmati oleh rumah tangga pemilik tanah yang
berpenghasilan tinggi, karena tambahan konsumsinya cenderung dialokasikan
untuk komoditi dan jasa nonpertanian.
Srtategi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia
Di Indonesia telah dilakukan berbagai macam program penanggulangan
kemiskinan oleh pemerintah pusat maupun bantuan donor.
Di bawah ini akan dijelaskan program-program pemerintah dalam menanggulangi
kemiskinan.
a. Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan(P2KP)
Berdasarkan UU no.25 tahun 2000 tentang PROPENAS, pemerintah secara
tegas menetapkan upaya penanggulangan kemiskinan sebagai salah satu prioritas.
UU tersebut menjelaskan bahwa sasaran yang ingin dicapai dalam lima tahun
(2000-2004) adalah berkurangnya jumlah penduduk miskin absolute sebesar 4%
dari tingkat kemiskinan tahun 1999. Salah satu langkah strategis pemerintah adalah
melalui kegiatan Progrm Penanggulanan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) baik tahap
I maupun P2KP tahap II yang dimulai tahun 2003-2008.
Visi: Masyarakat yang berdaya mampu menjalin senergi dengan pemerintah
daerah serta kelompok peduli setempat dalam rangka menanggulangi kemiskinan
sangat efektif, secara mandiri, dan berkelanjutan.
Misi: Memberdayakan masyarakat perkotaan, terutama masyarakat miskin, untuk
menjalin kerjasama senergi dengan pemerintah daerah dan kelompok peduli lokal
dalam upaya penanggulangan kemiskinan, melalui pengembangan kapasitas,
penyediaan sumber daya, dan melembagakan budaya kemitraan antar pelaku
pembangunan.
Strategi P2KP meliputi 3 komponen, yaitu: (1) kapasitas masyarakat miskin
perkotaan; (2) akses sumber daya kunci Bantuan Lagsung Masyarakat (BLM) dan
Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM); (3) kapasitas pemerintah daerah untuk
bermitra. Strategi ini ditempuh melalui pendekatan Tridaya (lingkungan, social dan
ekonomi). Berbeda dengan P2KP tahap I (hanya terdiri atas pengembangan
masyarakat dan BLM), dalam P2KP tahap II mengalami perluasan komponen
proyek, yaitu pengembangan masyarakat dan kapasitas pemda, penyaluran dana
BLM, serta penyaluran dana Penanggulangan Kemiskinan Terpadu (Paket).
P2KP tahap II merupakan upaya penyempurnaan P2KP tahap I, perbaikan
tersebut antara lain, lebih melibatkan peran pemerintah daerah dalam keseluruhan
proses kegiatan P2KP, dalam bentuk sharing pendanaan, pelaksanaan sosialisasi
dan pelatihan, monitoring, dan lain-lain. Pemerintah menyediakan komponen
proyek seperti BLM dan Paket yang dapat diakses masyarakat miskin perkotaan.
b. Bantuan Langsung Masyarakat (BLM)
Bantuan langsung masyarakat (BLM) merupakan salah satu kegiatan proyek
pendukung program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan(P2KP) baik pada
tahap I maupun pada tahap II.
Komponen dana BLM bertujuan membuka akses bagi masyarakat miskin ke
sumberdaya capital untuk digunakan secara langsung dalam rangka
penanggulangan kemiskinan. Dana ini bersifat ” wakaf” dari pemerintah ke
masyarakat kelurahan penerima yang pengelolanya dipercayakan ke oeganisasi
masyarakat yang dibentuk secara demokratis, partisipatif, transparan, dan tanggung
gugat yang secara generic disebut BKM.
Untuk mengelola BLM, BKM membentuk gugus tugas, yakni Unit
Pengelolaan Keuangan (UPK), di samping gugus tugas lainnya sesuai kebutuhan
dan kemampuan. Fungsi utama unit ini adalah manajemen dana BLM dan dana-
dana lain yang diperoleh organisasi masyarakat warga melalui BKM termasuk
mengawasi dan menyelenggarakan administrasi penyaluran , pengembalian, serta
penggunaan dana pinjaman bergulir. UPK dipimpin seorang manajer dan beberapa
staf yang dipilih melalui Rapat Anggota BKM, berdasarkan kriteria kemampuan
dibidang keuangan dan pengelolaan pinjaman bergulir. Besarnya dana BLM
ditentukan berdasarkan jumlah penduduk di kelurahan penerima proyek.

Ukuran Kelurahan
Kategori
Kecil Sedang Besar
Jumlah penduduk kelurahan < 3000 jiwa 3000 s/d 10.000 jiwa >10.000 juta
tahun 2000
Jumlah KK miskin < 300 KK ≥ 300 KK < 1.000 KK ≥ 1.000 KK ≥ 1.000 KK
Jumlah alokasi dana BLM Rp150 – 250 juta Rp250 – Rp450 juta Rp450 juta
Plafon Maksimal dana BLM
untuk tipa usulan pinjaman Rp30 juta
bergulir per KSM
Minimal jumlah anggota per
5 orang
KSM
Plafon maksimal pinjaman Pinjaman pertama sebesar Rp500 ribu dan pinjaman selanjutnya
per anggota KSM sebesar Rp2 juta
Sumber: Dirjen Perumahan dan Permukiman (2003)

c. Penyaluran dan pencairan dana BLM ke BKM


Pencairan dana BLM ke BKM di bagi menjadi tiga tahap, seperti yang
dijelaskan pada table di bawah ini.
Pencairan
Tahap Keterangan
Dana
1 20% Diutamakan untuk membiayai kegiatan yang bermanfaat bagi
kepentingan umum masyarakat miakin atau pengelolaan usulan
kegiatannya dilakukan secara kolektif. Usulan kegiatan harus
mencerminkan Trdaya secara seimbang berdasarkan kondisi
setempat.

2 50% Pencairan tahap 2 dilakukan setelah:


1. Konsultan Manajer Wilayah (KMW) menilai bahwa
kinerja, transparansi, efisiensi pengelolaan dana tahap 1
menunjukkan hasil yang memuaskan.
2. 95% dana tahap 1 telah dimanfaatkan
3. Proposal/usulan KSM tahap 2 telah disetujui oleh Rapat
Prioritas BKM.
4. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dan yang diusulkan
telah diverifikasi oleh Fasilitator dan KMW.
Dana tahap 2 digunakan untuk pendanaan usulan kegiatan
sebagaimana tahap 2 di atas, dapat juga untuk pendanaan usulan
kegiatan yang bermanfaat bagi kepentingan individu warga miskin
(prasaran, pelatihan, dan usaha) yang tergabung dalam Kelompok
Swadaya Masyarakat (KSM) dan tetap dalam konteks
keseimbangan aktualisasi konsep Tridaya.

3 30% Pencairan tahap 2 dilakukan setelah:


1. Hasil verifikasi KMW terhadap indicator berkelanjutan
(sustainability) telah ada potensi kemandirian BKM, berkelanjutan
program, dana, dan kelembagaan di kelurahan tersebut.
2. Kinerja pengelolaan dana dan kegiatan pada tahap
sebelumnya cukup memuaskan
3. Sebesar 95% dana tahap sebelumnya telah dimanfaatkan.
4. Proposal/usulan KSM tahap 3 telah disetujui oleh Rapat
Prioritas BKM.
5. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dan yang diusulkan
telah diverifikasi oleh Tim Fasilitator dan KMW.
Sumber: PT. Santika Konsulindo (2003)

Ketentuan penggunaan dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM)


Sifat Kemanfaatan Contoh Jenis Kegiatan yang
Status Pemanfaatan BLM
Kegiatan Dibiayai P2KP
Kegiatan yang secara Pengembangan kredit. Sebagai pinjaman KSM dan
langsung memberikan Ekonomi, mikro perumahan harus dikembalikan kepada
manfaat hanya kepada atau perbaikan rumah, UPK-BKM sebagai dana
sekelompok orang saja. pengembangan SDM bergulir.
(pelatihan) dan lain-lain.

Kegiatan yang secara Pembangunan sarana dan Sebagai dana hibah yang
langsung memberikan prasarana dasar perumahan tidak harus dikembalikan.
manfaat kepada sejumlah dan pemukiman, pelatihan Diharapkan dana ini dapat
besar warga atau seluruh pengembangan SDM bagi menggugah pertisipasi dan
warga masyarakat tertama anggota UPK-BKM-KSM keswadayaan warga,
warga miskin. dalam pengembangan terutama yang mampu
kapasitas dan penguatan menyumbang agar kegiatan
organisasi. ini terjadi lebih besar
manfaatnya.

Kegiatan yang bersifat Penyantunan kepada warga Sebagai dan hibah dan
penyantunan. Hal ini harus yang sangat miskin, anak diharapkan dapat
sesuai menurut kesepakatan yatim piatu miskin, warga menggugah partisipasi
forum warga dan disetujui terkena musibahdan bencana warga lainnya dalam ikut
KMW. yang benar-benar menyumbang atau
membutuhkan santunan. memberikan kontribusi bagi
masyarakat miskin.
Sumber: Dirjen Perumahan dan Permukiman (2003)

d. Penanggulangan Kemiskinan Terpadu (Paket)


Penyediaan dana bantuan Paket merupakan tambahan komponen proyek pada
P2KP tahap II (2004-2008). Dana paket adalah dana yang dialokasikan untuk
memperkuat kemitraan antara pemerintah daerah dengan masyarakat dalam
penanggulangan kemiskinan serta melembagakan proses konsulatif antara
keduanya pada tingkatan kota. Berbeda dengan BLM, dana paket hanya dapat
digunakan untuk keperluan pembiayaan kegiatan yang direncanakan secara
partisipatif serta diusulkan oleh organisasi masyarakat warga yang bekerjasama
dengan Dinas pemerintah kota/kabupaten atau sebaliknya. Dana paket bersifat
”simultan” sebesar setengah pendanaan kegiatan yang diusulkan dan dikelola oleh
panitia kemitraan yang dibentuk dari gabungan satu organisasi masyarakat warga
(BKM) dengan dinas terkait.
Dana Paket hanya dialokasikan untuk 30 kota sasaran, termasuk 4 kota
dilokasi P2KP I tahap 1 sebagai lokasi proyek percontohan. Untuk kota-kota
terpilih, dana Paket ni akan dialokasikan tiap tahun berurutan dibagi dalam tiga
fase.
Tahap Pelaksanaan Paket
200
2004 2005 2006 2007 2008
3
Pilot proyek di lokasi P2KP tahap 1 4 4 4
Fase 1 di lokasi P2KP I tahap 2 6 6 6
Fase 2 di lokasi P2KP II tahap 1 10 10 10
Fase 1 di lokasi P2KP tahap 3 10 10 10
Sumber: Dirjen Perumahan dan Permukiman (2003)

Alokasi Paket
Jumlah BKM Kecil Sedang Besar
Alokasi paket Tahun 1 Rp1 miliar Rp1,5 miliar Rp2 miliar
Tahun 2 Rp1,5 miliar Rp2 miliar Rp2,5 miliar
Tahun 3 Rp2 miliar Rp2 miliar Rp3 miliar
Total Rp4,5 miliar Rp6,5 miliar Rp7,5 miliar
Plafon usulan Paket per
subproyek/kelompok Minimal 30 juta dan maksimal Rp200 juta
kemitraan
Sumber: Dirjen Perumahan dan Permukiman (2003)

e. Program Pengentasan Kemiskinan di Era SBY


Program pengentasan di era presiden Susilo Bambang Yudhoyono terbilang
cukup banyak. Program dana Bantuan Langsung tunai (BLT), Bantuan Operasional
Sekolah (BOS), PNPM, Raskin, dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) merupakan program
bantuan pengentasan kemiskinan yang dicanangkan pada masa pemerintahan presiden
SBY hingga sekarang.
1) Bantuan Langsung Tunai (BLT)
Bantuan langsung tunai yang diwujudkan dalam bentuk pemberian
sejumlah nominal uang tertentu kepada masyarakat yang tergolong miskin ini
pada awalnya dirasa sangat penting untuk membantu meningkatkan daya beli
kelompok masyarakat miskin tersebut, di samping untuk mencegah meningkatnya
jumlah penduduk miskin akibat kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM
yang berdampak pada meningkatnya inflasi dan menurunnya daya beli masyakat
pada akhirnya akan meningkatkan jumlah penduduk miskin di Indonesia.
Kenaikan harga BBM bersubsidi sekitar 30% akan mendongkrak angka
kemiskinan 2008 mencapai hampir 40 juta jiwa. Artinya, terjadi peningkatan
kemiskinan pada 2008 sebanyak 1,88 juta jiwa, dari 16,58% atau 37,7 juta jiwa
(2007), menjadi 18,04% atau 39,58 juta jiwa (Hari Susanto, 2008). Untuk BLT,
Pemerintah menyiapkan dana Rp 14,1 Triliun, dan selama tujuh bulan di tahun
2008 telah mencapai 19,1 juta rumah tangga miskin, yang masing-masing
memperoleh Rp.100 ribu per bulan. Untuk tahun 2009, Pemerintah dan Panitia
Anggaran DPR menyepakati alokasi program bantuan langsung tunai (BLT) 2009
sebesar Rp3,811 triliun untuk dua bulan. BLT hanya diberikan kepada 18,5 juta
RTS (rumah tangga sasaran) selama dua bulan dengan pembayaran sebesar
Rp100.000 per bulan. Dalam perkembangannya, beberapa pengamat menilai
bahwa program BLT tersebut tidak cukup efektif untuk mengentaskan jumlah
penduduk miskin di Indonesia.
Beberapa penilaian atas program BLT antara lain; Peningkatan subsidi
BLT, hanya memberi ikan kepada masyarakat, bukan kailnya. Artinya, setelah
BLT selesai angka kemiskinan akan meningkat lagi (Hari Susanto, 2008).
Pemberian BLT tidak bisa dipercaya dapat mengurangi kemiskinan. Terbukti,
setelah BLT diberikan jumlah kemiskinan pasti naik lagi (Emir Moeis, 2008).
Program BLT tidak benar karena hanya bagi-bagi uang. Harusnya program yang
bersifat pemberdayaan masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan atau
kesehatan masyarakat (Indef Bustanul Arifin,2008).
Hakekat pemberdayaan tidak memberikan ikan, tetapi memberikan kail dan
bagaimana memasarkan hasil tangkapannya. Dengan kata lain, program-program
yang ditujukan untuk mengentaskan kemiskinan harus dapat menciptakan
lapangan pekerjaan bagi penduduk miskin. Kriteria inilah yang menjadi dasar
tidak efektifnya program BLT. Untuk mencegah berulangnya program-program
semacam ini, pelaksaan program pengentasan kemiskinan harus dilakukan secara
terpadu oleh menteri perindustrian, menteri perdagangan, menteri koperasi dan
UKM, dan badan perencanaan dan pembangunan nasional.
2) Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) diluncurkan oleh pemerintah
sejak sejak bulan Juli 2005. Secara umum tujuan BOS untuk meringankan beban
masyarakat dalam memenuhi wajib belajar 9 tahun. Sedangkan untuk tujuan
khusus terdapat tiga perihal yang ingin di capai, yaitu (1) menggratiskan seluruh
siswa miskin di tingkat pendidikan dasar dari beban biaya operasi sekolah, baik di
sekolah negeri maupun sekolah swasta, (2) menggratiskan seluruh siswa SD
negeri dan SMP negeri terhadap biaya operasi sekolah, kecuali pada sekolah
bertaraf internasional (SBI) dan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), (3)
meringankan beban biaya operasi sekolah bagi siswa di sekolah swasta. Tujuan
pendanaan BOS bisa ditilik dari PP No 48 Tahun 2008. Merunut PP tersebut,
terdapat tiga jenis biaya pendidikan, yaitu biaya personalia, biaya non personalia
dan bantuan biaya pendidikan.
Tabel Dana BOS tahun 2006-2009
Dana BOS (* Per siswa per tahun)

Sekolah Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009

Rp.397.000
(kabupaten)

Rp.400.000
SD/MI Rp.235.000 Rp.254.000 Rp.254.000 (kota)

Rp.570.000
(kabupaten)

Rp.575.000
SMP/MTs Rp.324.000 Rp.354.000 Rp.354.000 (kota)

Sumber : Depdiknas (2009)


Dari data BOS di atas, terdapat kenaikan signifikan dalam dana BOS per
siswa per tahun untuk tahun 2009 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tahun
2006 hingga tahun 2008 tampak dana BOS tidak berubah banyak. Baru tahun
2009 terjadi kenaikan baik ditingkat SD maupun SMP dan sederajatnya.
3) Program Nasional Pemberadayaan Masyarakat (PNPM)
PNPM Mandiri adalah sebuah program nasional dalam wujud kerangka
kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program
penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. Tujuan akhir
dari program ini adalah untuk peningkatan kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak
rakyat. PNPM dimulai pada tahun 2007 dengan Program Pengembangan
Kecamatan (PPK) sebagai dasar pengembangan pemberdayaan masyarakat di
perdesaan beserta program pendukungnya seperti PNPM Generasi; Program
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) sebagai dasar bagi
pengembangan pemberdayaan masyarakat di perkotaan; dan Percepatan
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) untuk pengembangan
daerah tertinggal.
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dinilai
mengalami peningkatan yang mengembirakan. Sejak diluncurkan tahun 2007,
cakupan wilayah PNPM mandiri terus meningkat. Sebagai program nasional,
cakupan wilayah terus meningkat dari 2007 mencapai 3.349 kecamatan dan
34.464 desa /kelurahan. Tahun 2008, meningkat menjadi 4.111 kecamatan
dengan 47.954 desa/kelurahan. Pada tahun 2008 lalu total dana BLM yang
dikucurkan untuk PNPM mencapai sebesar Rp 6,9 triliun. Dari total dana Rp 6,9
triliun tersebut, Rp 4,2 triliun dialokasiakan untuk PNPM-pedesaan (PPK), Rp
1,98 triliun digunakan untuk PNPM Perkotaan (P2KP), Rp 261 Miliar digunakan
PNPM-Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), dan Rp 450 Miliar digunakan
untuk PNPM-Infrastruktur Pedesaan (PPIP).
Secara nasional besarnya dana yang dialokasikan untuk PNPM Mandiri
pada tahun 2009 sebesar Rp11,01 triliun yang mencakup 6.408 kecamatan dan 78
ribu desa/kelurahan. Dengan jumlah tersebut diperkirakan jumlah peneriman
manfaat 8 juta hingga 9 juta orang dan menyerap 3 juta hingga 4 juta tenaga
kerja baru, serta memberi manfaat 33 juta masyarakat di seluruh kecamatan.
Dengan pengintegrasian berbagai program pemberdayaan masyarakat ke dalam
kerangka kebijakan PNPM Mandiri, cakupan pembangunan diharapkan dapat
diperluas hingga ke daerah-daerah terpencil dan terisolir. Efektivitas dan efisiensi
dari kegiatan yang selama ini sering berduplikasi antar proyek diharapkan juga
dapat diwujudkan. Mengingat proses pemberdayaan pada umumnya
membutuhkan waktu 5-6 tahun, maka PNPM Mandiri akan dilaksanakan
sekurang-kurangnya hingga tahun 2015. PNPM diharapkan dapat tingkatkan
pembangunan, kemadirian masyarakat sehingga mampu menjadi sumber dalam
penanggulang kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja.

4) Kredit Usaha Rakyat (KUR)


Merupakan Program kredit untuk sektor usaha mikro kecil menengah dan
koperasi yang diberikan dengan pola penjaminan pemerintah, selaku penjamin
kredit adalah Perum Sarana Pengembangan Usaha (SPU) dan Asuransi Kredit
Indonesia (Askrindo). KUR Diresmikan oleh Presiden SBY pada 5 November
2007. KUR ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pengusaha UMKM
dan Koperasi kepada rentenir dan mendorong peluang munculnya usaha baru
yang dapat meningkatkan masyarakat dan menurunkan tingkat pengangguran.
Dalam KUR Bunga maksimum yang dapat dikenakan kepada peminjam adalah
sebesar 16 persen dan jumlah kredit maksimum yang dapat diberikan sebesar Rp
500 juta per debitur. Resiko penjaminan tidak sepenuhnya ditanggung oleh bank
pelaksana, resiko kredit yang ditanggung oleh perusahaan penjaminan sebesar
70% dan Bank Pelaksana sebesar 30%. Program KUR melibatkan enam bank,
yaitu PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Negara Indonesia Tbk. PT Bank Bukopin
Tbk., PT Bank Tabungan Negara Tbk. dan PT Bank Syariah Mandiri.

Tahun 2009 pemerintah telah menyediakan dana penjaminan untuk


program KUR sebesar Rp 24 triliun. Sampai dengan Bulan April 2009,
penyaluran KUR telah mencapai Rp 14 Triliun dengan jumlah debitur sebanyak
1,9 juta orang. Bank yang paling banyak menyalurkan KUR adalah BRI dengan
total Kredit sebesar sebesar Rp 10,5 Triliun dan jumlah debitur sebesar 1,85 Juta,
diikuti oleh Bank Mandiri, BNI, Bukopin, BSM, dan BTN. NPL penyaluran
kredit KUR termasuk rendah, yaitu sebesar 4,41%. Diantara bank-bank lainnya,
NPL penyaluran KUR tertinggi dimiliki oleh Bank Bukopin dengan NPL sebesar
7,38%.

Sektor yang paling banyak mendapat kucuran KUR adalah sektor


perdagangan, hotel & restoran. Sektor tersebut mendapat kucuran KUR sebesar
Rp 7,3 Triliun (50% dari total kredit yang disalurkan) dengan total debitur
sebanyak 1 Juta orang atau sekitar 50% dari Jumlah debitur. Sektor pertanian
mendapatkan kucuran KUR ke dua terbesar dengan total kucuran kredit sebesar
Rp 3,4 Triliun dan total debitur sebanyak 571 ribu orang.

5) Raskin
Raskin (beras untuk rumah tangga miskin) merupakan program nasional
yang bertujuan membantu memenuhi kecukupan pangan dan mengurangi beban
finansial rumah tangga miskin (RTM) melalui penyediaan beras bersubsidi.
Program Raskin merupakan sebuah program beras bersubsidi bagi keluarga
miskin yang menyediakan 10 kg beras per rumah tangga miskin dengan harga
Rp1.000 per kg.

Program ini merupakan kelanjutan dari program Operasi Pasar


Terbuka (OPT) ini dikeluarkan oleh pemerintah pada Juli 1998 di bawah program
Jaringan Pengaman Sosial (JPS). Pada 2002, pemerintah mengganti nama OPK
menjadi Raskin agar lebih mencerminkan sifat program, yakni sebagai bagian
dari program perlindungan sosial bagi RTM, tidak lagi sebagai program darurat
penanggulangan dampak krisis ekonomi. Untuk pendanaan sendiri sejak 2002
berasal dari APBN atau rupiah murni. Selain itu, sebagian pemda kabupaten/kota
telah mengalokasikan APBD untuk menunjang pelaksanaan program dengan
jumlah anggaran yang bervariasi. Sedangkan penerima manfaat berkontribusi
melalui pembelian Raskin di atas harga yang ditentukan (SMERU, 2007)

Table Realisasi Penyaluran Raskin 2004-2008

No Tahun Satuan 2004 2005 2006 2007 2008

1 Jumlah KK Miskin KK* 15.746.843 15.791.884 15.503.295 19.100.905 19.100.905

2 KK Sasaran KK 8.590.804 8.300.000 10.830.000 15.800.000 19.100.000

3 KK Sasaran Thd Total % 54,56 52,56 69,86 82,72 100

4 Pagu Alokasi ton 2.061.793 1.991.897 1.624.500 1.736.007 3.342.500

5 Realisasi Penyaluran ton 2.060.198 1.991.131 1.624.089 1.731.805 3.236.644

6 % Real thd Alokasi % 99,92 99,96 99,97 99,76 96,83

7 Penerima manfaat KK 11.664.050 11.109.274 13.882.730 16.736.411 19.131.185

8 % PM thd KK sasaran % 135,77 133,85 128,19 105,93 100,16

9 % PM thd KK Miskin % 74,07 70,35 89,55 87,62 100,16

Sumber : Bulog (2009)

f. Inisiatif Pemda
Selain itu, peranan pemerintah daerah sangat dibutuhkan demi mengurangi jumlah
kemiskinan di tingkat nasional. Peran pemda dalam membangun daerah menjadi titik sentral
dan menjadi sangat besar, karena daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur
otonominya sendiri agar mampu mandiri sesuai dengan diberlakukannya UU No. 22/tahun
1999, tentang pemerintahan daerah (Otonomi Daerah). Otonomi daerah pada prinsipnya
mengandung tiga spirit. Pertama, spirit otonomi daerah, yang mendorong tumbuh dan
berkembangnya prakarsa lokal. Kedua, spirit good governance yang mendorong terciptanya
tata pemerintahan yang baik. Dan, ketiga, prinsip people empowerment, yang memberikan
power kepada masyarakat melalui proses pemampuan, pemberian tanggung jawab yang jelas
dan pelibatan secara proporsional dalam pengelolaan pembangunan.
Dengan adanya UU No 22/tahun 1999 tentang otonomi daerah dan tuntutan reformasi,
memberikan peluang besar bagi daerah dalam pembangunan daerahnya, dengan
menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan tersebut. Artinya, pemerintah
tidak lagi sebagai provider dan pelaksana, melainkan lebih berperan sebagai fasilitator dari
dinamika pembangunan.

Guna memenuhi hak-hak sosial masyarakat, pemda perlu mendorong dan menumbuh-
kembangkan kelembagaan partisipatif masyarakat berupa:
1. Hak Sosial Masyarakat
Pemda perlu menjamin pemenuhan akses pelayanan sosial dasar, seperti kesehatan,
pendidikan, air bersih, serta kebutuhan sosial lainnya
2. Hak Ekonomi Masyarakat
Pemda perlu meningkatkan akses masyarakat terhadap sumber-sumber pendapatan
masyarakat untuk memenuhi kehidupannya secara layak dan manusiawi, penciptaan lapangan
kerja
3. Hak Politik Masyarakat
Pemda wajib memberikan ruang yang seluas-luasnya pada masyarakat untuk dilibatkan
dalam proses pengambilan kebijakan publik. Untuk mendukung semua ini tentu pemda perlu
menyediakan sarana dan prasarana, regulasi, fasilitasi yang cukup memadai sesuai aspirasi
dan kemampuan pembiayaan daerah. .

Selain peran di atas, pemda juga mempunyai peran mendasar dalam penanggulangan
kemiskinan, antara lain, pertama, pemda sebagai fasilitator, yaitu menciptakan kondisi yang
kondusif bagi pelaksanaan pembangunan. Kedua, pemda sebagai regulator, yaitu menyiapkan
arah dan kebijakan. Ketiga, pemda sebagai dinamisator, yaitu menggerakkan partisipasi
semua unsur yang ada di masyarakat. Keempat, pemda sebagai koordinator, yaitu
mengintegrasikan program-program berbasis penanggulangan kemiskinan, melalui
mekanisme perencanaan partisipatif.

Penangulangan kemiskinan adalah tanggung jawab bersama, baik pemerintah pusat,


provinsi/daerah, kelompok peduli maupun masyarakat sendiri. Dalam hal penanggulangan
kemiskinan, kadang daerah kurang mampu di segi pembiayaan, tenaga dan ketersediaan
fasilitas. Dengan adanya program penanggulangan kemiskinan berskala nasional, pemda
telah menunjukkan respon yang sangat baik. Namun, dalam tataran pelaksanaannya, kadang
masih ada aparat yang kurang respon, melihat kenyataan di lapangan, maka perlu sosialisasi
dan koordinasi secara terus menerus, yang dilakukan oleh pihak-pihak penentu kebijakan,
agar peran pemda, masyarakat dan kelompok peduli menjadi lebih besar dan terjalin
kerjasama yang baik untuk penanggulangan kemiskinan.

Untuk itu, peran pemda perlu dikedepankan sebagai pelaku utama penanggulangan
masalah kemiskinan, perlu pendekatan substansi dan membangun kemitraan antara pelaku
program dengan pihak pemda. Selanjutnya, program bantuan pemerintah perlu difungsikan
secara nyata dalam program penanggulangan kemiskinan, melalui penguatan-penguatan
seperti lokakarya, semiloka serta sosialisasi yang terus-menerus dan berkelanjutan.

Terkait proses membangun dan sinergitas dengan program daerah, diperlukan


kerjasama antarpelaku, baik legislatif, eksekutif, kelompok peduli maupun masyarakat, untuk
bersama-sama belajar dan duduk bersama, menyusun strategi penanggulangan kemiskinan.
Salah satu alternatif sinergitas program adalah bagaimana program masyarakat dan program
pemda disosialisasikan dan dianalisis secara bersama, sesuai kebutuhan dan kemampuan
daerah dalam menangani permasalahan kemiskinan.

Alternatif lain adalah bagaimana lembaga-lembaga yang ada di masyarakat melakukan


kemitraan dan kerjasama dengan pihak pemda dan eksekutif, untuk duduk bersama
membahas langkah-langkah strategis dalam penanggulangan kemiskinan melalui pelaksanaan
kajian terhadap masalah kemiskinan secara bersama-sama, sehingga lahir model pengkajian
kondisi masyarakat sebagai dasar penyusunan strategi dan kebijakan program. Selanjutnya,
mengkaji ulang kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang ada. Merumuskan
bersama kebijakan penanggulangan kemiskinan, serta merumuskan mekanisme perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan.

Di sisi lain urgensi penanggulangan masalah kemiskinan secara bersama-sama disikapi


oleh pemerintah dengan mengeluarkan sebuah aturan pelaksanaan melalui Inpres No.
5/Tahun 1993, mengenai program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan
masyarakat, mencakup tiga hal, yakni bantual modal, penyediaan sarana dan prasarana
lingkungan, dan pendampingan masyarakat dari berbagai program yang dilaksanakan
ternyata masih memberikan porsi besar terhadap birokrasi, sehingga terkadang kurang
maksimal. Lain halnya dengan P2KP, dimana porsi birokrasi sangat kecil. Namun, ini juga
menjadi sebuah masalah, yaitu ketika pemda kurang proaktif dan merasa bahwa program ini
di luar tanggung jawab mereka.
Sementara itu, DPRD sebagai legislator dengan Perencanaan Anggaran Daerah dan
pengawasannya, memegang peran strategis terhadap upaya penanggulangan kemiskinan,
bersama-sama dengan eksekutif. Dalam mendorong upaya-upaya penanggulangan
kemiskinan di daerah, dari manapun sumber pembiayaannya, legislatif dan eksekutif harus
mampu memainkan perannya sesuai kewenangan yang dimiliki. Peran legislatif ini sesuai
dengan Pasal 42, UU No. 32/Tahun 2004, yaitu menetapkan anggaran pendapatan dan
perundang-undangan dalam hal memberikan prioritas pengalokasian anggaran pada pos-pos
pembangunan kearah percepatan penanggulangan kemiskinan. Kemudian, pengawasan
terhadap pelaksanaan pembangunan, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Apabila semua hal tersebut dapat berjalan dengan baik dan semua lapisan mampu bersinergi
dengan baik maka masalah kemiskinan yang membelenggu dapat teratasi dan pemerataan
pembangunan akan tercapai.

Anda mungkin juga menyukai