Anda di halaman 1dari 47

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 tentang
keperawatan, Kesehatan sebagai hak asasi manusia yang diakui secara konstitusional
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hak
warga Negara dan tanggung jawab Negara. Hak asasi bidang kesehatan yang
diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan individu, keluarga, dan masyarakat
dengan menanamkan kebiasaan hidup sehat.
Penyelenggaraan pembangunan kesehatan diwujudkan melalui pemberian pelayanan
kesehatan yang didukung oleh sumber daya kesehatan, baik tenaga kesehatan yang
didukung oleh sumber daya kesehatan, baik tenaga kesehatan maupun tenaga nonkesehatan. Perawat dalam melaksanakan pelayanan kesehatan berperan sebagai
penyelenggara Praktik Keperawatan, pemberi Asuhan Keperawatan, penyuluh dan
konselor bagi klien, pengelola Pelayanan Keperawatan, dan peneliti Keperawatan.
Untuk keberhasilan pembangunan kesehatan di era disentralisasi, penyelenggaraan
upaya pelayanan kesehatan harus berangkat dari masalah dan potensi spesifik masingmasing daerah dan berlangsung secara professional, meliputi: a) Konsolidasi
manajemen sumber daya manusia, b) Penguatan aspek-aspek ilmu pengetahuan dan
teknologi, semangat pengabdian, dank ode etik profesi, c) Penguatan konsep
profesionalisme kesehatan, dan, d) Aliasi strategis antara profesi kesehatan dengan
profesi-profesi lain terkait (SK Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
836/MENKES/SK/VI/2005).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2004 tentang Rumah Sakit, yang
dimaksudkan dengan Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan

pelayanan

kesehatan

perorangan

secara

paripurna

yang

menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.


Menurut Rosabeth Kanter dalam Kondalkar; 2007 menyatakan bahwa kekuasaan
adalah power is the ability to get things done. Those in power are able to marshal
their resources in a way that helps them achieve their goals. They are able to be
effective in their jobs and eran the respect of others. Having power as resource can
help you gain support, information, supplies everything and anything that is needed
to be productive in your job. Power is a tool and resource, a means as an end while

politics represents tactics used by employees to use to manipulate power in


organizational setting. Leaders use power as a means of attaining group goals.
Leader use power to ensure compliance of job assigned to them. Power is also used to
control various activities of individuals and group.
Kekuasaan adalah kemampuan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu, mereka
yang berkuasa dapat untuk mengumpulkan sumber daya mereka dengan cara
membantu mereka mencapai tujuan mereka. Mampu menjadi efektif dalam pekerjaan
mereka dan mendapatkan rasa hormat dari orang lain. Memiliki kekuasaan dapat
membantu untuk mendapatkan dukungan, informasi, persediaan semuanya dan segala
sesuatu yang diperlukan untuk menjadikan pekerjaan menjadi lebih produktif,
kekuasaan adalah alat dan sumber daya yang digunakan pemimpin untuk
memanipulasi kekuasaan terhadap karyawan dalam pengaturan organisasi. Pemimpin
menggunakan kekuasaan sebagai sarana untuk mencapai tujuan kelompok. Pemimpin
menggunakan kekuasaan untuk memastikan kepatuhan pekerjaan yang ditugaskan
kepada mereka. Kekuasaan juga digunakan untuk mengendalikan berbagai kegiatan
individu dan kelompok.
Mathews et al. (2006) dalam Journal of Nursing Management, 2009, 17, 4-14
beranggapan bahwa manager perawat harus memiliki kekuasaan. Kekuasaan yang
dibutuhkan untuk membuat lingkungan kerja yang lebih baik kesumber daya yang
diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi.
Menurut Robbins, 2015; 281-282 bahwa ada lima dasar kekuasaan diantaranya
adalah:
1.1.1 Kekuasaan paksaan (coercive power) dasar kekuasaan yang bergantung pada
1.1.2

ketakutanatas hasil yang negative akibat kegagalan untuk memenuhi,


Kekuasaan imbalan (reward power) pencapaian kepatuhan yang didasarkan
pada kemampuan untuk mendistribusikan imbalan yang mana orang lain

memandangnya berharga,
1.1.3 Kekuasaan legitimasi (legitimate power) kekuasaan yang diterima oleh
1.1.4

seseorang sebagai hasil dari posisinya di dalam hirarki formal suatu organisasi,
Kekuasaan karena keahlian (expert power) pengaruh yang didasarkan pada

keahlian atau pengetahuan khusus,


1.1.5 Kekuasaan acuan (referent power) pengaruh yang didasarkan pada identifikasi
dengan seseorang yang memiliki sumber daya atau sifat pribadi yang
diinginkan.

Beberapa penelitian tentang Kekuasaan oleh J. Bogue Richard (2009), dengan judul
shared governance as vertical alignment of nursing group power and nurse practice
council effectiveness dengan hasil Nurse Practice Council Effectiviness (NPCes)
adalah indeks yang valid dan dapat digunakan untuk efektivitas counsil dalam praktik
keperawatan. Studi ini menunjukkan alat diagnostik yang spesifik untuk memahami
dua tingkat untuk aktualisasi kekuasaan. Satu dikelompok atau di departemen dan satu
di tingkat unit. Penelitian dari Katriina Peltomaa dkk, Empirical Studies yang berjudul
nursing power as viewed by nursing professionals perawat merasa pada level
terbawah dari kekuasaan kelompok dalam hubungan dengan subskala dari efektifitas
pengendalian terhadap lingkungan, sumber daya, kompetensi komunikasi dan
pengawasan kompetensi hasil yang ingin dicapai. Penelitian Garcia Garcia dkk,
artigo original (2009) dengan judul relationship between nurses leadership style and
power bases penelitian kuantitatif ini bertujuan untuk membuktikan secara empiris
hubungan antara basis kekuasaan pemimpin dan gaya kepemimpinan perawat.
Berdasarkan hasil penelitian dua hubungan yang diusulkan oleh teori kepemimpinan
situasional yang diverifikasi: antara kekuasaan koersif dan gaya kepemimpinan S1
(telling) dan antara kekuasaan referen dan gaya kepemimpinan S3 (participating), dan
kasus lain hasilnya berlawanan dengan harapan: penggunaan kekuasaan yang
diusulkan oleh model mengurangi probabilitas melakukan gaya kepemimpinan yang
ditentukan.
Rumah Sakit X merupakan Rumah Sakit Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dan
merupakan Rumah Sakit Pendidikan Tipe A, yang berdiri pada tahun 1943 di atas
lahan seluas 0,3 ha dengan bangunan dari bahan kayu ulin. Renovasi Rumah Sakit ini
pertama kali pada tahun 1985, bangunan kayu ulin diganti dengan bangunan beton.
Sekarang Rumah Sakit X direnovasi dan terus mengalami berbagai kemajuan fisik
secara bertahap.
Hasil wawancara peneliti yang dilakukan pada tanggal 20 Juni 2015 dengan salah satu
perawat pelaksana di Ruang X Rumah Sakit X tentang kekuasaan kepala ruangan atau
manajer tingkat pertama adalah kekuasaan atas dasar hirarki formal, perintah dia
berdasarkan atas jabatannya, dan strategi politik dalam pengambilan keputusan bahwa
kepala ruangan/manajer tingkat pertama adalah mendominasi tentang memperluas
sumber pribadi, melalui peningkatan pendidikan, dan melakukan pelatihan-pelatihan.

Pengambilan keputusan adalah tugas paling penting seorang manajer dan ada dalam
setiap fase proses manajemen (Huston & Marquis, 1995), Johnson (1990; 35)
menyatakan bahwa keefektifan seorang manajer secara langsung berhubungan
dengan keefektifan seorang manajer secara langsung berhubungan dengan keefektifan
pengambilan keputusan mereka, jika manajemen dan pengambilan keputusan
bersinonim, perlu dipahami pengaruh organisasi terhadap proses tersebut, (Marquis;
2013; 43).
Orang yang paling kuat/berkuasa dalam organisasi lebih layak mengambil keputusan
(oleh dirinya atau bawahannya) yang sesuai dengan preferensi dan nilai yang
dimilikinya. Di sisi lain, orang yang memiliki sedikit berkuasa harus selalu
mempertimbangkan preferensi orang lain yang paling berkuasa jika mereka
mengambil keputusan manajemen. Kekuasaan sering kali merupakan bagian faktor
pengambilan keputusan.
Penelitian

sebelumnya

tentang

pengambilan

keputusan,

Kamhalova

(2013)

menemukan bahwa subyektif keputusan yang baik oleh perawat professional


dipengaruhi oleh gaya emosional, terutama oleh kognitif dan perilaku yang terlibat,
hasil ini menunjukkan bahwa karakteristik kepribadian dapat mempengaruhi kedua
proses kognitif dan emosional yang terlibat dalam pengambilan keputusan dalam
perawat professional. Shirey (2013) menghasilkan model kognitif yang memandu
perawat manajer dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan stress,
pengalaman dalam peran, organisasi, konteks dan faktor situasi perawat dipengaruhi
oleh proses pengambilan keputusan kognitif. Cheng, Rhodes, Lok (2010)
penelitiannya menghasilkan bahwa kecepatan dalam pengambilan keputusan
(berdasarkan intuisi, pengalaman, dan jaringan) disertai dengan penggunaan yang
tepat dan perilaku politik (yang menciptakan harmoni, malalui struktur hirakis, selama
manajemen konflik) di luar negeri strategi pengambilan keputusan manajer China
mempengaruhi secara positif kinerja organisasi.
Ketika orang bersama-sama di dalam kelompok, maka kekuasaan akan dikerahkan.
Orang-orang ini mengukir relung untuk mengerahkan pengaruh, memperoleh
imbalan, dan memajukan karier mereka. Ketika para pekerja dalam organisasi
mengubah kekuasaan mereka ke dalam tindakan, maka kita akan menggambarkan
mereka sebagai menjadi terlibat dalam politik. Mereka dengan kemampuan berpoltik

yang baik memiliki kemampuan untuk memanfaatkan dasar kekuasaan mereka secara
efektif (Nursalam, 2015).
Politik adalah seni menggunakan kekuasaan sah secara bijaksana. Hal ini
membutuhkan pengambilan keputusan yang jelas, keasertifan, tanggung jawab, dan
keinginan untuk menyampaikan pandangan pribadinya. Selain itu, juga membutuhkan
sikap proaktif bukan reaktif dan menuntut ketegasan. Cummings (1995) dalam
marquis dan Huston (2013) berpendapat bahwa wanita yang berada pada posisi yang
memiliki kekuasaan di lingkungan perawatan kesehatan saat ini lebih cenderung
mengenali kemampuan yang mereka bawa sejak lahir yang mendukung penggunaan
kekuasaan yang efektif.
Salah satu studi atas para manajer dalam budaya Amerika Serikat dan tiga budaya
(Republik Rakyat Cina, Hongkong, dan Taiwan) menemukan bahwa para manajer di
Amerika Serikat melakukan evaluasi dengan taktik bujuk rayu seperti konsultasi
dan daya tarik yang memberikan inspirasi lebih efektif daripada yang dilakukan
tandingan Cina lainnya, Riset lainnya menyarankan bahwa para pemimpin di Amerika
Serikat yang efektif akan mencapai pengaruh dengan menitikberatkan pada hubungan
diantara para anggota kelompok dan mematuhi permintaan orang-orang disekitar
mereka (sebuah pendekatan holistis). Msyarakat Israel dan Inggris terlihat secara
umum memberikan tanggapan seperti yang dilakukan oleh warga Amerika Utara
yaitu, persepsi mereka atas politik organisasi terkait dengan penurunan kepuasan kerja
dan meningkatkan tingkat perputaran pekerja.Namun dalam negara yang memiliki
politik yang tidak stabil, misalnya Israel, para pekerja cenderung memperlihatkan
toleransi yang lebih besar atas proses politik yang tajam ditempat kera, barangkali
karena mereka terbiasa memperjuangkan kekuasaan dan memiliki lebih banyak
pengalaman dalam mengahadapi mereka.
Menurut Sitorus, 2011;1 menyatakan bahwa terdapat beberapa tingkat manajer
keperawatan yaitu manajer eksekutif yaitu manajer keperawatan pada tingkat puncak
suatu organisasi, manajer tingkat menengah dan manajer tingkat pertama yang sering
disebut kepala ruangan atau manajer unit. Kepala ruangan bertanggung jawab atas
pencapaian tujuan yang ditetapkan dalam suatu ruang rawat/unit dengan
memberdayakan staf perawat dibawah tanggung jawabnya. Keberhasilan kepala
ruangan sangat bergantung pada bagaimana kemampuannya dalam mempengaruhi
stafnya dalam pengelolaan kebutuhan keperawatan di suatu ruang rawat/unit. Dan

kepala ruangan adalah manajer yaitu seseorang yang diberi tanggung jawab
melakukan manajemen di suatu ruang rawat dan diharapkan menjadi seorang
pemimpin.
Kepala ruangan sebagai manajer yang akan memanfaatkan proses manajemen dalam
mencapai suatu tujuan melalui keterlibatan staf perawat dibawah tanggung jawabnya,
jelas sudah bahwa sumber daya manusia bidang kesehatan rumah sakit salah satunya
kepala ruangan, sebagai manajer tingkat pertama kepala ruangan berpengaruh positif
terhadap pencapaian program-program rumah sakit dan tujuan organisasi, dengan kata
lain bahwa kepala ruangan berperan sangat penting dalam pengelolaan manajemen
rumah sakit.
Perawat pelaksana adalah perawat yang berperan memberi asuhan keperawatan pada
pasien secara langsung, mengikuti timbang terima, melaksanakan tugas yang
didelegasikan dan mendokumentasikan asuhan keperawatan (Suarli dan Bachtiar,
2005).
Daripada itu, untuk mengetahui persepsi perawat pelaksana terhadap strategi politik
dalam pengambilan keputusan di Ruang X, RSUD X.

1.2 Rumusan Masalah


Dari hasil wawancara para manajer yang berpengalaman menunjukkan bahwa
sebagian besar meyakini perilaku berpolitik merupakan bagian utama dari
keberlangsungan organisasi (Robbins, 2015:291)
RSUD X, pengangkatan Kepala Ruangan atau manajer tingkat pertama diangkat
berdasarkan rapat antara kepala IRNA, Kepala Bidang Keperawatan dan Komite
Keperawatan dengan pengangkatan SK oleh Direktur RSUD X oleh rekomendasi
usulan nama yang telah disetujui oleh team tersebut.
Karena pentingnya kekuasaan dan politik dalam suatu organisasi, maka kelompok
ingin mengetahui Persepsi perawat pelaksana terhadap strategi politik dalam
pengambilan keputusan di Ruang X, RSUD X.
1.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, timbul pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut,


yaitu:
1.3.1 Batasan karakteristik perawat pelaksana di Ruang X, RSUD Ulin Banjarmasin.
1.3.2 Persepsi perawat pelaksana terhadap strategi politik dalam pengambilan
keputusan di Ruang X di RSUD X.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Untuk mengetahui batasan karakteristik perawat pelaksana di Ruang X, RSUD
1.4.2

X.
Untuk mengetahui Persepsi perawat pelaksana terhadap strategi politik dalam
pengambilan keputusan di Ruang X di RSUD X.

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Bagi Ruang X RSUD X untuk mengetahui Persepsi perawat pelaksana
terhadap strategi politik dalam pengambilan keputusan di Ruang X RSUD X,
untuk melaksanakan perbaikan dan meningkatkan kemampuan kepemimpinan
1.5.2

dalam dalam pelaksanaan manajemen Ruang X RSUD X.


Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah diharapkan dapat memberi manfaat
dalam menambah pengetahuan tentang kekuasaan manajer tingkat pertama
atau kepala ruangan.

1.6 Ruang Lingkup


Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Persepsi perawat pelaksana terhadap
strategi politik dalam pengambilan keputusan di Ruang X RSUD X. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Juni dengan analisis deskriptif kuantitatif dengan desain cross
sectional. Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang diisi oleh responden
dalam hal ini perawat pelaksana Ruang X RSUD X.

BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Persepsi


Kehidupan individu tidak lepas dari lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun
lingkungan sosialnya. Sejak individu dilahirkan, sejak itu pula individu secara langsung
berhubungan dengan dunia sekitarnya. Mulai saat itu pula individu secara langsung
menerima stimulus dari luar dirinya, dan ini berkaitan dengan persepsi. Sejalan
dengan hal ini, Deddy Mulyana (1996) mengungkapkan bahwa Manusia mempunyai
persepsi yang berbeda-beda terhadap sesuatu baik itu dilihat dari faktor pengetahuan
ataupun pengalamannya terhadap suatu kejadian.
Secara etimologis presepsi berasal dari bahasa latin preceptio yang artinya menerima
atau mengambil. Adapun proses dari persepsi itu sendiri adalah yang menafsirkan
stimulus yang telah ada di dalam otak. Persepsi adalah suatu proses aktif dimana setiap
orang memperhatikan, mengorganisasikan, dan menafsirkan semua pengalamannya
secara selektif (Mulyana, 1996).
Persepsi

individu

pengetahuan

dari

hakikatnya
generasi

dibentuk

sebelumnya.

oleh

budaya

Pengetahuan

karena
yang

ia

menerima

diperolehnya

itu

digunakan untuk memberi makna terhadap fakta, peristiwa dan gejala yang
dihadapinya. Persepsi
mengorganisasikan

sebagai

dan

suatu

menafsirkan

proses

dengan

kesan-kesan

mana

individu-individu

indera-indera

mereka

agar

memberikan makna bagi mereka. Seiring dengan hal tersebut di atas, Rahmat (2001) juga
mendefinisikan persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubunganhubungan yang diperoleh dengan meyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan dan
memberikan makna pada stimulasi inderawi (sensory stimuly).
Menurut Joseph A. DeVito Mengatakan bahwa Persepsi adalah proses dimana kita
menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indera kita (Mulyana,
2005). Sugihartono (2007) mengemukakan bahwa persepsi adalah kemampuan otak
dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk menerjemahkan stimulus yang masuk
ke dalam alat indera manusia. Persepsi manusia terdapat perbedaan sudut pandang dalam
penginderaan. Ada yang mempersepsikan sesuatu itu baik atau persepsi yang positif
maupun persepsi negatif yang akan mempengaruhi tindakan manusia yang tampak atau
nyata.
Persepsi adalah suatu proses membuat penilaian ( judgement ) atau membangun kesan
(impression) mengenai berbagai hal yang terdapat dalam penginderaan seseorang.
Proses persepsi ini seperti diungkapkan oleh Marle Moskowitz (1969) persepsi adalah:
proses pengamatan melalui indera terhadap suatu objek yang dipengaruhi oleh
pengetahuan, kebutuhan, pengalaman, lingkungan sistem dan nilai yang dianut,
sehingga

individu

menyadari,

memperoleh

gambaran, menginterpretasikan,

memperoleh kesan dan pandangan tentang objek tersebut (Rakhmat. 2000).


Mengenai

pengertian

persepsi,

Julia

T. Wood

dalam

bukunya

berjudul

Communication In our lives mengatakan bahwa : Persepsi adalah merupakan


suatu proses menyeleksi, mengorganisasikan dan menginterpretasikan secara aktif
mengenai orang, objek, kejadian situasi dan kreatifitas (Wood, 1997 ), Jadi, persepsi
pada dasarnya adalah pola respon seseorang tentang sesuatu yang dipengaruhi oleh
faktor-faktor

kesiapan,

tujuan,

kebutuhan,

pengetahuan, pengalaman, dan faktor

lingkungannya.
2.2 Bentuk-bentuk Persepsi
2.2.1 Persepsi Visual
Persepsi visual didapatkan dari indera penglihatan. Persepsi ini adalah persepsi
yang paling awal berkembang pada bayi, dan mempengaruhi bayi dan balita

untuk memahami dunianya. Persepsi visual merupakan topik utama dari


bahasan persepsi secara umum, sekaligus persepsi yang biasanya paling sering
dibicarakan dalam konteks sehari-hari.
Persepsi Auditori
Persepsi auditori didapatkan dari indera pendengaran yaitu telinga.
2.2.3 Persepsi Perabaan
Persepsi pengerabaan didapatkan dari indera taktil yaitu kulit.
2.2.2

2.2.4

2.2.5

Persepsi Penciuman
Persepsi penciuman atau olfaktori didapatkan dari indera penciuman yaitu
hidung.
Persepsi Pengecapan
Persepsi pengecapan atau rasa didapatkan dari indera pengecapan yaitu lidah.

2.3 Proses Pembentukan Persepsi


Walgito (dalam Hamka, 2002) menyatakan bahwa terjadinya persepsi merupakan suatu
yang terjadi dalam tahap-tahap berikut:
2.3.1 Tahap Pertama, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses kealaman
atau proses fisik, merupakan proses ditangkapnya suatu stimulus oleh alat
2.3.2

indera manusia.
Tahap Kedua, merupakan tahap yang dikenal dengan proses fisiologis,
merupakan proses diteruskannya stimulus yang diterima oleh reseptor (alat

2.3.3

indera) melalui saraf-saraf sensoris.


Tahap Ketiga, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses psikologik,
merupakan proses timbulnya kesadaran individu tentang stimulus yang diterima

2.3.4

reseptor.
Tahap Keempat, merupakan hasil yang diperoleh dari proses persepsi yaitu
berupa tanggapan dan perilaku.

Proses terjadinya persepsi dapat dimulai dari objek yang menimbulkan stimulus
mengenai alat indera atau reseptor. Proses stimulus mengenai alat indera merupakan
proses kealaman atau proses fisik. Stimulus yang diterima oleh alat indera
diteruskan oleh syarat sensoris ke otak. Proses ini yang disebut proses fisiologis.
Kemudian terjadilah proses di otak sebagai pusat kesadaran sehingga individu
meyadari apa yang dilihat, atau apa yang didengar atau apa yang diraba. Proses yang
terjadi dalam otak atau dalam pusat kesadaran inilah yang disebut sebagai pusat
psikologis. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa taraf terakhir dari proses
persepsi ialah individu meyadari tentang misalnya apa yang dilihat, atau apa yang

didengar, atau apa yang diraba, yaitu stimulus yang diterima melalui alat indera. Proses
ini merupakan proses terakhir dari persepi dan merupakan persepsi sebenarnya.
Respon sebagai akibat dan persepsi dapat diambil oleh individu dalam berbagai macam
bentuk (Walgito, 2004).
Dalam proses persepsi perlu adanya perhatian sebagai langkah persiapan dalam persepsi
itu. Hal tersebut karena keadaan menunjukan bahwa individu tidak hanya dikenai oleh
satu

stimulus

saja,

tetapi

individu

dikenai

berbagai

macam stimulus

yang

ditimbulkan oleh keadaan sekitarnya. Tidak semua stimulus mendapatkan respon


individu untuk dipersepsi. Stimulus mana yang akan dipersepsi atau mendapatkan
respon dari individu tergantung pada perhatian individu yang bersangkutan.
Kemudian berkaitan dengan proses persepsi, seperti yang terungkap dari definisi
persepsi yang dikemukakan Robbin (2001) bahawa persepsi merupakan suatu proses
dengan mana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka
agar memberi makna kepada lingkungan mereka. Proses ini terdiri dari proses seleksi,
mengorganisasikan dan menginterpretasikan. Adapun ketiga proses ini berjalan secara
terus menerus, saling berbaur dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. ( Robbin,
2001).
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Davidoff (1981), stimulus yang diterima
melalui alat inderanya kemudian diorganisasikan, diinterpretasikan, sehingga individu
meyadari dan mengerti tentang apa yang di indera itu, inilah yang disebut persepsi.
Individu mengadakan seleksi terhadap stimulus yang mengenainya, dan disini
berperannya perhatian. Sebagai akibat dari stimulus yang dipilihnya dan diterima
individu, individu meyadari dan memberi respon sebagai reaksi terhadap stimulus tersebut
(Walgito, 1997).
2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Wilson (2000) mengemukakan ada faktor dari luar dan dari dalam yang mempengaruhi
persepsi diantaranya sebagai berikut :
2.4.1
Faktor Eksternal atau Dari Luar:
2.4.1.1 Concreteness yaitu wujud atau gagasan yang abstrak yang sulit
dipersepsikan dibandingkan dengan yang obyektif.
2.4.1.2 Novelty atau hal yang baru, biasanya lebih menarik untuk di
persepsikan dibanding dengan hal-hal yang baru.

2.4.1.3 Velocity atau percepatan misalnya gerak yang cepat untuk menstimulasi
munculnya persepsi lebih efektif di bandingkan dengan gerakan yang
lambat.
2.4.1.4 Conditioned stimuli, stimuli yang di kondisikan seperti bel pintu,
deringan telepon dan lain-lain.
2.4.2

Faktor Internal atau Dari Dalam:


2.4.2.1 Motivation, misalnya merasa lelah menstimulasi untuk berespon untuk
istirahat.
2.4.2.2 Interest, hal-hal yang menarik lebih di perhatikan dari pada yang tidak

2.4.2.3

menarik.
Need, kebutuhan akan hal tertentu akan menjadi pusat perhatian
2.4.2.4 Assumptions, juga mempengaruhi persepsi sesuai dengan pengalaman
melihat, merasakan dan lain-lain.

Menurut Rahmat (2005) faktor-faktor personal yang mempengaruhi persepsi


interpersonal adalah:
a. Pengalaman, seseorang yang telah mempunyai pengalaman tentang hak-hak
tertentu akan mempengaruhi kecermatan seseorang dalam memperbaiki
persepsi.
b. Motivasi, motivasi yang sering mempengaruhi persepsi interpersonal adalah
kebutuhan untuk mempercayai dunia yang adil artinya kita mempercayai
dunia ini telah diatur secara adil.
c. Kepribadian, dalam psikoanalisis dikenal sebagai proyeksi yaitu usaha untuk
mengeksternalisasi

pengalaman

subyektif

secara

tidak

sadar,

orang

mengeluarkan perasaan berasalnya dari orang lain.


Menurut Walgito (2004) agar individu dapat menyadari dan dapat membuat persepsi,
adanya faktor- faktor yang berperan, yang merupakan syarat agar terjadi persepsi, yaitu
berikut ini:
a. Adanya objek atau stimulus yang dipersepsikan (fisik).
b. Adanya alat indera, syaraf, dan pusat susunan saraf untuk menerima stimulus
(fisiologis).
c. Adanya perhatian yang merupakan langkah pertama dalam mengadakan persepsi
(psikologis).

Krech dan Crutchfield (1977) menyebutkan persepsi ditentukan oleh faktor fungsional dan
faktor struktural. Faktor-faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu,

kesiapan mental, suasana emosi dan latar belakang budaya, atau sering disebut faktorfaktor personal. Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi
karakteristik orang yang memberikan respon pada stimuli tersebut.
Sedangkan faktor struktural berasal dari sifat stimuli fisik dan efek-efek syaraf yang
ditimbulkannya pada system syaraf yang ditimbulkannya pada system syaraf individu.
Kita mengorganisasikan stimuli dengan melihat konteksnya. Walaupun stimuli yang kita
terima tidak lengkap, kita akan mengisinya dengan interpretasi yang berkonsisten dengan
rangkaian stimuli yang kita persepsikan.

2.5 Macam-macam Persepsi


Persepsi manusia sebenarnya terbagi dua, yaitu persepsi terhadap objek (lingkungan
fisik) dan persepai terhadap manusia. Persepsi terhadap manusia sering juga disebut
2.5.1

persepsi sosial.
Persepsi Terhadap Lingkungan Fisik
Persepsi orang terhadap lingkungan fisik tidaklah sama, dalam arti berbeda2.5.1.1
2.5.1.2
2.5.1.3
2.5.1.4

beda, karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:


Latar belakang pengalaman
Latar belakang budaya
Latar belakang psikologis
Latar belakang nilai, keyakinan, dan harapan
2.5.1.5 Kondisi factual alat-alat panca indera dimana informasi yang sampai
kepada orang itu adalah lewat pintu itu

2.5.2

Persepsi Terhadap Manusia


Persepsi terhadap manusia atau persepai sosial adalah proses menangkap arti
objek-objek sosial dan kejadian-kejadian yang kita alami dalam lingkungan kita.
Setiap orang memilki gambaran yang berbeda mengenai realitas di
sekelilingnya. Dengan kata lain, setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda
terhadap lingkungan sosialnya.

2.6

Sifat-sifat Persepsi
2.6.1 Persepsi Bersifat Dugaan
Oleh karena data yang kita peroleh mengenai objek lewat penginderaan tidak
pernah lengkap, persepsi merupakan loncatan langsung pada kesimpulan.

Seperti proses seleksi, langkah ini dianggap perlu karena kita tidak mungkin
memperoleh seperangkat rincian yang lengkap lewat kelima indera kita.
Proses persepsi yang bersifat dugaan itu memungkinkan kita menafsirkan suatu
objek dengan makna yang lebih lengkap dari suatu sudut pandang manapun.
Oleh karena informasi yang lengkap tidak pernah tersedia, dugaan diperlukan
untuk membuat suatu kesimpulan berdasarkan informasi yang tidak lengkap
lewat penginderaan itu. Kita harus mengisi ruang yang kosong untuk
melengkapi gambaran itu dan menyediakan informasi yang hilang.
Dengan demikian, persepsi juga adalah suatu proses mengorganisasikan
informasi yang tersedia, menempatkan rincian yang kita ketahui dalam suatu
skema organisasional tertentu yang memungkinkan kita memperolah suatu
makna lebih umum.
2.6.2

Persepsi Bersifat Evaluatif


Persepsi adalah suatu proses kognitif psikologis dalam diri kita yang
mencerminkan sikap, kepercayaan, nilai, dan pengharapan yang kita gunakan
untuk memaknai objek persepsi. Dengan demikian, persepsi bersifat pribadi dan
subjektif. Menggunakan kata-kata Andrea L. Rich, persepsi pada dasarnya
memiliki keadaan fisik dan psikologis individu, alih-alih menunjukkan
karakteristik dan kualitas mutlak objek yang dipersepsi. Dengan ungkapan Carl
Rogers, individu bereaksi terhadap dunianya yang ia alami dan menafsirkannya
dan dengan demikian dunia perseptual ini, bagi individu tersebut, adalah
realitas.

2.6.3

Persepsi Bersifat Konstektual


Suatu rangsangan dari luar harus diorganisasikan. Dari semua pengaruh yang
ada dalam persepsi kita, konteks merupakan salah satu pengaruh yang paling
kuat. Konteks yang melingkungi kita ketika kita melihat seseorang, suatu objek
atau suatu kejadian sangat mempengaruhi struktur kognitif, pengharapan dan
juga persepsi kita.

2.7 Aspek-aspek Persepsi


Baron dan Byrne, juga Myers (dalam Gerungan, 1996) menyatakan bahwa sikap itu
mengandung tiga komponen yang membentuk struktur sikap, yaitu:

2.7.1

Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang berkaitan dengan


pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan

2.7.2

bagaimana orang mempersepsi terhadap objek sikap.


Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang berhubungan dengan
rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang

2.7.3

positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif.


Komponen konatif (komponen perilaku, atau action component), yaitu komponen
yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen
ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan
bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap.

2.8 Penyebab Perbedaan Persepsi


2.8.1 Perhatian
Biasanya kita tidak menangkap seluruh rangsangan yang ada di sekitar kita
sekaligus, tetapi kita mengfokuskan perhatian kita pada satu atau dua objek saja.
2.8.2 Harapan seseorang tentang rangsangan yang akan timbul
2.8.3 Kebutuhan
Kebutuhan-kebutuhan sesaat maupun yang menetap pada diri seseorang,
mempengaruhi persepsi orang tersebut. dengan demikian kebutuhan-kebutuhan
yang berbeda menyebabkan pula perbedaan persepsi.
2.8.4 Sistem Nilai
System nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat berpengaruh pula terhadap
2.8.5

persepsi,
Ciri Kepribadian
Seperti A dan B bekerja di suatu kantor yang sama di bawah pengawasan satu
orang atasan. A orang yang pemalu dan penakut, mempresepsikan bahwa
pemimpinnya itu menakutkan dan perlu di jauhi, sedangkan B mempunyai lebih
percaya diri, yang menganggap atasannya sebagai tokoh yang dapat diajak

bergaul seperti orang biasa lainnya.


2.8.6 Gangguan Kejiwaan
Gangguan kejiwaan dapat menimbulkan kesalahan persepsi yang disebut
halusinasi.

2.9 Konsep Keperawatan


2.9.1 Pengertian Perawat Pelaksana
Perawat pelaksana adalah perawat yang berperan memberi asuhan keperawatan
pada pasien secara langsung, mengikuti timbang terima, melaksanakan tugas yang
didelegasikan dan mendokumentasikan asuhan keperawatan ( Suarli dan Bachtiar,
2005 ). Bentuk asuhan keperawatan tersebut berupa antara lain :
2.9.1.1 Bentuk asuhan keperawatan pada manusia sebagai klien yang memiliki
ketidak mampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar ini dapat diberikan
melalui pelayanan keperawatan untuk meningkatkan atau memulihkan
kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya khususnya kebutuhan
fisiologis.
2.9.1.2 Bentuk asuhan keperawatan pada manusia sebagai klien yang memiliki
ketidakmauan dalam memenuhi kebutuhan dasar ini dapat di berikan
melalui pelayanan keperawatan yang bersifat bantuan dalam pemberian
motivasi pada klien yang memiliki penurunan dalam kemauansehingga
diharapkan terjadi motivasi yang kuat untuk membangkitkan semangat
hidup agar terjadi peningkatan.
2.9.1.3 Bentuk asuhan keperawatan pada manusia sebagai klien yang memiliki
ketidak tahuan dalam memenuhi kebutuhan dasar manusiaini dapat
diberikan melalui pelayanan keperawatan yang bersifat pemberi
pengetahuan, yang berupa pendidikan kesehatan (health education) yang
dapat dilakukan pada individu, keluarga atau masyarakat yang mempunyai
pengetahuan yang rendah dalam masalah perawatan kesehatan sehingga
diharapkan dapat terjadi perubahan peningkatan kebutuhan dasar. Agar
mampu melaksanakan asuhan keperawatan maka perawat harus
mempunyai beberapa peran.

2.9.2 Peran Perawat


Peran perawat adalah merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain
terhadap seseorang sesuai dengan kedudukan dalam sistem, dimana dapat
dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari profesi maupun dari luar profesi
keperawatan yang bersifat konstan ( Hidayat, 2006). Peran perawat menurut
konsorsium ilmu kesehatan tahun 1989 terdiri dari peran sebagai pemberi asuahan

keperawatan, advokat klien, pendidik, koordinator, kolaborator, konsultan dan


peneliti.
2.9.2.1 Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan
Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan ini dapat dilakukan perawat
dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang
dibutuhkan

melalui

pemberian

pelayanan

keperawatan

dengan

menggunakan prose keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosis


keperawatanagar bisa direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang
tepat sesuai dengan tingkat dasar kebutuhan dasar manusia, kemudian
dapat

dievaluasi

tingkat

perkembangannya.

Pemberian

asuhan

keperawatan ini dilakukan dari yang sederhana sampai yang kompleks.


Peran sebagai advokat klien Peran ini dilakukan perawat dalam
membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan berbagai
informasi dari pemberi pelayanan atau infoprmasi lain khususnya dalam
pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan
kepada pasien, juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi
hak-hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak
atas informasi tentang penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk
menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi akibat
kelalaian.
2.9.2.2 Peran edukator
Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat
pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan,
sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan
pendidikan kesehatan.
2.9.2.3 Peran koordinator
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta
mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga
pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan
kebutuhan klien.
2.9.2.4 Peran kolaborator
Peran perawat disini dilakukan karena per awat bekerja melalui tim
kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi, dan lain-Lain
dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang

2.9.3 Fungsi Perawat


Dalam menjalan kan perannya, perawat akan melaksanakan berbagai fungsi
diantaranya:
2.9.3.1 Fungsi Independent
Merupan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, dimana
perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan
keputusan sendiri dalam melakukan tindakan dalam rangka memenuhi
kebutuhan dasar manusia seperti pemenuhan kebutuhan fisiologis
(pemenuhan kebutuhan oksigenasi, pemenuhan kebutuhan cairan dan
elektrolit, pemenuhan kebutuhan nutrisi, pemenuhan kebutuhan aktifitas
dan lain-lain), pemenuhan kebutuhan keamanan dan kenyamanan,
pemenuhan cinta mencintai, pemenuhan kebutuhan harga diri dan
aktualisasi diri.
2.9.3.2 Fungsi Dependen
Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatan atas pesan atau
instruksidari perawat lain. Sehingga sebagian tindakan pelimpahan tugas
yang di berikan. Hal ini biasanya dilakukan oleh perawat spesialis
kepada perawat umum atau dari perawat primer ke perawat pelaksana.
2.9.3.3 Fungsi Interdependen
Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling
ketergantungan di antara tim satu dengan yang lainnya. Fungsi ini dapat
terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerja sama tim dalam
pemberian pelayanan seperti dalam memberikan asuhan keperawatan
pada penderita yang mempunyapenyakit kompleks. Keadaan ini tidak
dapat diatasi dengan tim perawat saja melainkan juga dari dokter
ataupun yang lainnya.

2.10 Kekuasaan
2.10.1
Pengertian Kekuasaan
1. Menurut Patronis, 2007: 201:

Power is the ability require individual consideration. Power is the ability


to influence other people despite their resistance and may be actual or
potencial, intended or unintended. It may be used for good or evil, for
serious purposes or for frivolous and selfish ones. Power is the ability to
control, dominate, or manipulate the actions of ethers or, as Rollo May
stated, power is the ability to cause or prevent change
Kekuasaan adalah kemampuan individu yang dibutuhkan untuk
mempertimbangkan

suatu,

kekuasaan

adalah

kemampuan

untuk

mempengaruhi orang lain meskipun berlawanan/menantang/memaksa


mereka baik actual maupun potensial, disengaja ataupun tidak disengaja.
Baik

digunakan

untuk

kebaikan

atau

untuk

kejahatan,

untuk

tujuan/maksud yang serius atau untuk tujuan yang tidak serius dan orangorang yang egois. Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengontrol,
dominasi, atau menggerakkan/memainkan seseorang untuk suatu aktivitas,
dan Rollo menyatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan dari
maksud/penyebab atau pencegahan perubahan.
2. Menurut Robbins, 2015; 279-280 menyatakan bahwa kekuasaan mengacu
pada kapasitas yang dimiliki A untuk mempengaruhi perilaku B, sehingga
B melakukannya sesuai keinginan A. Seseorang bisa jadi memiliki
kekuasaan tapi tidak menggunakannya; baik berupa kemampuan maupun
potensial. Mungkin aspek yang paling penting dari kekuasaan adalah
apakah terdapat fungsi ketergantungan. Semakin besar ketergantungan B
terhadap A, semakin besar kekuasaan A dalam hubungan tersebut.
Ketergantungan berdasarkan pada alternative yang diterima A dan
seberapa penting bagi B mengenai alternatif kontrol A. Seseorang dapat
memiliki kekuasaan atas Anda hanya jika dia memiliki control terhadap
apa yang Anda inginkan.
3. Menurut Wolfe dalam Kondalkar; 2007 Kekuasaan adalah potensi
kemampuan seseorang untuk mendorong pasukan pada orang lain terhadap
gerakan atau perubahan arah yang diberikan dalam wilayah tertentu,
perilaku, dan pada waktu tertentu dan menurut Cavanaugh Kondalkar;
2007 menyatakan bahwa kekuasaan adalah multifaset konsep yang telah
dianalisis proses pengaruh interpersonal, sebagai komuditas yang

diperdagangkan, sebagai jenis penyebab dan sebagai isu dalam studi nilainilai etik.
4. Kata kekuasaan berasal dari Bahasa Latin potere (mampu); jadi
kekuasaan

dapat

diartikan

secara

tepat

sebagai

sesuatu

yang

memungkinkan seseorang mencapai tujuan. Kekuasaan juga dapat


diartikan sebagai kemampuan untuk bertindak atau kekuatan dan potensi
untuk mencapai sesuatu. Hein (1998) menyebutkan bahwa memiliki
kekuasaan berarti memiliki kemampuan untuk mengubah sikap dan
perilaku individual dan kelompok. (Marquis, 2013; 210)

2.11 Dasar Kekuasaan


Menurut Robbins (2015), Marquis (2013), Garcia I (2009), Kelly (2010), Kondalkar
2.11.1

(2007), dan Fieldman (2008):


Kekuasaan Paksaan (coercive power)
Kekuasaan paksaan (coercive power) adalah kekuasaan untuk mengancam
seseorang dan memaksa orang lain untuk mengambil suatu tindakan. Rasa
takut terhadap hukuman jika harapan manajer tidak terpenuhi.
Dasar kekuasaan paksaan bergantung pada ketakutan atas hasil yang negatif
akibat kegagalan untuk memenuhi. Hal ini bertumpu pada penerapan, atau
ancaman penerapan, atas sanksi fisik seperti timbulnya rasa sakit, frustasi atas
hambatan pergerakan, atau mengendalikan dengan kekuatan dasar psikologis
atau kebutuhan keamanan. Ini menunjukkan kurangnya menghormati
kebebasan orang lain, yang menggunakan pemaksaan yang hanya bertujuan
dengan tujuan mereka sendiri dan jarang tertarik atau memperhatikan
keinginan dan kebutuhan bawahan. Manajer dapat memperolah kepatuhan
melalui ancaman, pemberhentian sementara, penurunan pangkat, atau
pemecatan,
Pada level organisasi, A memiliki kekuasaan untuk memaksa atas B jika A
dapat memberhentikan, menangguhkan, atau menurunkan B, mengasumsikan
B menilai pekerjaannya. Jika A dapat menugaskan aktifitas kerja kepada B
sesuatu yang tidak menyenangkan, atau memalukan B, maka A memiliki
kekuasaan untuk memaksa atas B. Kekuasaan untuk memaksa dapat juga
berasal dari penahanan informasi yang penting. Orang-orang di dalam

organisasi yang memiliki data bergantung pada mereka, dengan contoh


menggunakan peraturan disiplin rumah sakit untuk evaluasi system untuk
merubah perilaku orang lain.
2.11.2 Kekuasaan Imbalan (reward power)
Kekuasaan imbalan (reward power) adalah pemimpin menghargai kapasitas
seorang bawahan dengan menawarkan kepuasaan/imbalan terhadap pengaruh
perubahan perilaku yang telah dilakukan yang menghasilkan manfaat positif.
Pemberian imbalan ini bisa dapat berupa kenaikan gaji, promosi untuk posisi
baru, bonus dan bias juga, meliputi penghargaan, penugasan pekerjaan yang
menarik, dan sif kerja yang lebih disukai.
Kepemimpinan melalui penghargaan cederung menimbulkan kesetiaan yang
sangat besar dan pengabdian terhadap pemimpin.
2.11.3 Kekuasaan Legitimasi (legitimasi power)
Kekuasaan legitimasi (legitimasi power) adalah kekuasaan yang berasal dari
derajat akademik, lisensi, pengalaman, dan peran dalam suatu organisasi, dan
meliputi penerimaan dari para anggota atas wewenang posisi atau struktural
yang lebih menggambarkan lebih banyak garis dalam diagram struktur
organisasi yang memimpin orang untuk mengambil kesimpulan bahwa para
pemimpin sangat berkuasa, dengan contohnya adalah memakai atau
menggunakan kedudukan sebagai professional yang mencakup lisensi, dan
sertifikasi.
2.11.4 Kekuasaan Karena Keahlian (expert)
Kekuasaan keahlian (expert power) kekuasaan yang didasarkan pada
pengakuan orang lain terhadap keahlian, pengalaman, dan keterampilan
khusus atau pengetahuan yang dimiliki oleh seorang pemimpin, yang
dibutuhkan oleh orang lain.
Perawat bekerja dalam lingkungan yang dinamis dimana perubahan cepat
terjadi dimana kekuasaan dan pengaruh dalam mengambil bentuk-bentuk baru,
keahlian membawa pengetahuan dan keterampilan dalam menilai masalahmasalah yang menghasilkan solusi dalam permasalahan dan perubahan,
contohnya komunikasi informasi dari evidence based journal dan membawa
pengetahuan yang lebih atau expert dalam perawatan pasien. Tipe kekuasaan
ini terbatas pada area spesialisasi.

2.11.5 Kekuasaan Acuan (referent power)


Kekuasaan acuan (referent power) adalah dasar kekuasaan dalam kepercayaan
dan kehormatan/kekaguman yang dirasakan seseorang dalam individu,
kelompok, atau organisasi, kekuasaan ini tergantung pada kharisma atau daya
Tarik pribadi individu, kekuasaan ini didasarkan pada identifikasi dengan
seseorang yang memiliki sumber daya atau sifat pribadi yang diinginkan. Jika
saya menyukai dan mengagumi anda maka anda dapat menjalankan kekuasaan
atas saya, karena saya ingin menyenangkan anda.

2.12 Pengambilan Keputusan


2.12.1 Pengertian Pengambilan Keputusan
1. Robbins, 2015; 109 menyatakan bahwa pengambilan keputusan terjadi
sebagai reaksi atas masalah. Yaitu sebuah perbedaan antara situasi
sekarang

dan

yang

diinginkan,

yang

mengharuskan

kita

mempertimbangkan alternative-alternatif tindakan.


2. Marquis, 2013; 30 menyatakan bahwa pengambilan keputusan
merupakan proses kognitif yang kompleks dan sering didefinisikan
sebagai suatu upaya memutuskan serangkaian tindakan tententu.
3. managers have to take decisions and communicate the same to
subordinat for implementation. Decision can be of routine nature or may
have strategic consequence. It is the judgment of the individual to arrive
at a particular solution. The process that takes place in mind is fast and
based on ability, nature, skill and experience of the individual
Kondalkar, 2007; 121
Managers harus mengambil keputusan dan berkomunikasi kepada
bawahannya dalam implementasi, keputusan rutin atau mungkin
memiliki konsekuensi strategis. Ini adalah keputusan individu untuk
sampai pada solusi tertentu. Proses yang memakan waktu dan tempat
yang cepat yang berdasarkan pada kemampuan, sifat, keterampilan dan
pengalaman individu.
4. decision making can be simple or complex. The situation may require a
quick response or allow for reflection, collaboration with others, and a
carefully considered response. Nurses need to develop and enhance
ways to see all sides of an issue, find various approaches to solve
problems, and make careful, intelligent decisions. Critical thinking is the

foundation for examining all possibilities and arriving at reasonable and


justified conclusions. Jasovsky, 2010; 152
Pengambilan keputusan dapat sederhana atau komplek, situasi yang
memungkinkan

yang

memerlukan

respon

yang

cepat

atau

memungkinkan untuk ketenangan, bekerjasama dengan orang lain, dan


tanggapan

yang

seksama.

Perawat

perlu

mengembangkan

dan

meningkatkan cara untuk melihat semua sisi dari masalah, menemukan


berbagai pendekatan untuk pemecahan masalah, dengan hati-hati,
keputusan cerdas. Berfikir kritis adalah dasar untuk memeriksa semua
kemungkinan untuk menyimpulkan suatu kebenaran.
5. Managerial decision making has been defined as choosing options that
are directed toward the resolution of organizational problems and the
achievement of organizational goals and as systematic and dynamic
process of selecting alternative solutions based on the desired goal. In
healthcare, managerial decisions are typically directed at providing
optimal patient care and minimizing costs, that is, balancing quality and
efficiency (Effken, 2010)
Pengambilan keputusan manajerial telah didefinisikan sebagai pilihan
yang diarahkan pada penyelesaian masalah organisasi dan pencapaian
tujuan organisasi, dan sebagai proses yang sistematis dan dinamis untuk
memilih alternative solusi berdasarkan tujuan yang diinginkan. Dalam
kesehatan, keputusan manajerial biasanya diarahkan untuk memberikan
perawatan pasien yang optimal dan meminimalkan biaya, yaitu
menyeimbangkan kualitas dan efisiensi.

2.12.2 Model Pengambilan Keputusan


Menurut Robbins (2015):
1. Model Rasional (rational)
Sebuah pengambilan keputusan yang menjelaskan bagaimana individu
seharusnya berperilaku untuk memaksimalkan hasil.

Model

pengambilan

keputusan

rasional

mengasumsikan

bahwa

pengambilan keputusan memiliki informasi yang komplet, mampu


mengidentifikasi semua pilihan relevan dengan tidak bias, dan memiliki
pilihan dengan otilitas tertinggi.
Langkah-langkah dalam pengambilan keputusan rasional:
a) Definisikan masalah
b) Identifikasi kriteria keputusan
c) Alokasikan bobot pada kriteria itu
d) Kembangkan alternative-alternatif
e) Evaluasilah alternative-alternatif itu
f) Pilihah alternative terbaik
2. Rasional Terbatas (bounded rationality)
Sebuah pengambilan keputusan dengan membangun model yang
disederhanakan yang mengeluarkan fitur-fitur esensial dari masalah tanpa
menangkap semua kompleksitasnya.
Kemampuan terbatas kita dalam memproses informasi membuat tidak
mungkin untuk mengasimulasikan semua informasi yang diperlukan untuk
optimalisasi.
3. Intuisi (intuitive)
Sebuah proses pengambilan keputusan tanpa sadar yang diciptakan dari
pengalaman yang diperoleh. Pengambiln keputusan intusi terjadi diluar
pikiran dasar, berpegang pada asosiasi holistis atau kaitan antara potonganpotongan informasi yang tidak sama; cepat; dan secara afektif dibebankan,
yang melibatkan emosi.
Hasil penelitian Cheng (2010) membenarkan bahwa pengambilan
keputusan berdasarkan intuisi, Kamhalova (2013) pengambilan keputusan
subjektif oleh perawat professional adalah gaya emosional.
2.12.3 Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan
1. Nilai
Keputusan individu berdasarkan dengan nilai yang dianut. Seobyektif
apapun suatu kriteria nilai akan berperan dalam pengambilan keputusan,
baik individu baik disadari maupun tidak disadari. SEgala alternative dan
keputusan akhir yang dibuat dibatasi oleh system nilai yang dimiliki
individu, bagi sebagian orang, keputusan tidak dapat diambil karena
terhambat kepercayaan mereka. Karena mempengaruhi persepsi, nilai

senantiasa mempengaruhi data, pemrosesan, dan hasil akhir. Nilai juga


menentukan masalah personal mana yang akan diselesaikan atau
diabaikan. Marquis, (2013; 40)
2. Pengalaman Hidup
Shirey (2013), Cheng (2010), Marquis (2013) menyatakan bahwa
pengalaman masa hidup atau pengalaman masa lalu mempengaruhi
dalam pengambilan keputusan, pengambilan keputusan yang baik atau
buruk pada masa lalu akan mempengaruhi seseorang dalam pengambilan
keputusan.
3. Jenis Kelamin
Riset atas kontemplasi menawarkan pandangan mengenai perbedaan
jenis kelamin dalam pengambilan keputusan, kontemplasi bermakna
berefleksi dalam waktu yang lama. Dari sisi pengambilan keputusan, itu
berarti terlalu memikirkan masalah. Wanita lebih banyak menghabiskan
waktu dibandingkan pria daam analisis masa lalu, masa kini dan masa
depan. Wanita lebih menganalisis masalah sebelum mengambil
keputusan dan menyesali keputusan ketika telah dibuat. Ini mengarah
pada pertimbangan hati-hati ata masalah dan pilihan. Membuat masalah
lebih sulit diselesaikan, dan meningkatkan depresi, dan wanita lebih
banyak dari pria dalam mengembangkan depresi Robbins, (2015; 116).
4. Preferensi Individual
Kerentanan dapat diatasi dengan sikap mawas diri, jujur dan berani
mengambil resiko, jujur terhadap dirinya sendiri tentang pilihan dan
preferensi yang mereka buat. Selain itu, pengambil keputusan memiliki
elemen resiko, dan sebagian besar melibatkan konsekuensi dan tanggung
gugat. Orang yang mampu melakukan sesuatu dengan benar meskipun
tidak popular dan berani berpegang teguh pada kecerdasannya akan
muncul sebagai pemimpin. Marquis, (2013; 42).

2.13 Definisi Politik


Politik adalah seni menggunakan kekuasaan sah secara bijaksana. Hal ini membutuhkan
pengambilan keputusan yang jelas, keasertifan, tanggung jawab, dan keinginan untuk
menyampaikan pandangan pribadinya. Selain itu, juga membutuhkan sikap proaktif

bukan reaktif dan menuntut ketegasan. Cummings (1995) dalam marquis dan Huston
(2013) berpendapat bahwa wanita yang berada pada posisi yang memiliki kekuasaan di
lingkungan perawatan kesehatan saat ini lebih cenderung mengenali kemampuan yang
mereka bawa sejak lahir yang mendukung penggunaan kekuasaan yang efektif.
Tidak terdapat kekurangan dalam definisi politik organisasi. Pada dasarnya, tipe politik
ini menitikberatkan pada penggunaan kekuasaan untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan di dalam organisasi, atau pada kepentingan diri sendiri dan perilaku
organisasi yang tidak dikenakan hukuman. Perilaku dalam organisasi terdiri atas
aktivitas-aktivitas yang tidak dipersyaratkan sebagai bagian dari peran peranan formal
individu tetapi mempengaruhi, atau berupaya untuk memengaruhi, distribusi dari
keuntungan dari kerugian di dalam organisasi. Perilaku berpolitik berada diluar
persyaratan pekerjaan yang dispesifikasikan. Ini memerlukan beberapa upaya untuk
memanfaatkan basis kekuasaan. Meliputi upaya untuk memengaruhi tujuan, kriteria,
atau proses yang digunakan dalam pengambilan keputusan (Nursalam, 2015).

2.13.1 Realitas Politik


Wawancara dengan para manajer yang berpengalaman menunjukkan bahwa
sebagian besar meyakini perilaku berpolitik merupakan bagian utama dari
keberlangsungan organisasi. Banyak manajer yang melaporkan beberapa
penggunaan

dari

perilaku

berpoltis

etis

diperlukan,

sepanjang

tidak

membahayakan orang lain secara langsung. Mereka menggambarkan politik


sebagai kejahatan yang diperlukan dan meyakini seseorang yang tidak pernah
menggunakan perilaku berpolitik akan memiliki kesulitan untuk menyelesaikan
segala sesuatu hal. Sebagian besar juga mengindikasikan bahwa mereka tidak
pernah dilatih untuk memanfaatkan perilaku berpolitik secara efektif.
Organisasi terdiri atas para individu dan kelompok dengan nilai, tujuan, dan
kepentingan yang berbeda-beda. Hal ini mengatur potensi konflik atas alokasi
dari sumber daya yang terbatas, seperti misalnya anggaran departemen, ruang,
tanggung jawab proyek, dan penyesuaian gaji. Jika sumberdaya melimpah,
maka kemudian semua konsistuen di dalam organisasi dapat memenuhi tujuantujuan mereka. Tetapi karena mereka terbatas, tidak setiap kepentingan orang
dapat terpenuhi semuanya.

Mungkin faktor-faktor yang paling penting yang mengarah pada politik di


dalam organisasi adalah realisasi bahwa sebagian besar dari kenyataan
digunakan untuk mengalokasikan sumber daya yang terbatas terbuka untuk
diinterpretasikan. Misalnya, apa yang dimaksud dengan kinerja yang baik?
Apakah peningkatan yang memadai? Apa merupakan pekerjaan yang tidak
memuaskan? Manajer di tim liga baseball utama mengetahui bahwa pemukul
0,400 merupakan kinerja yang bagus, sedangkan pemukul 0,125 merupakan
kinerja yang buruk.
Keputusan yang paling penting harus diambil dalam keadaan yang tidak pasti-di
mana kenyataan sangat jarang objektif sepenuhnya dan oleh karenanya terbuka
untuk diinterpretasikan-orang-orang di dalam organisasi akan menggunakan
setiap pengaruh yang mereka mampu untuk mencemari kenyataan dan
mendukung tujuan dan kepentingan mereka. Hal ini, tentu daja menciptakan
aktivitas yang kita sebut dengan bermain politik.
Maka dari itu, untuk menjawab pertanyaan apakah mungkin bagi organisasi
untuk terbebas dari politik, kita dapat mengatakan iya jika seluruh anggota
dari organisasi memegang tujuan dan kepentingam yang sama, jika sumber
daya organisasi tidak langka, serta jika hasil kinerja benar-benar jelas dan
objektif.
2.13.2 Faktor-faktor yang Memberikan Kontribusi bagi perilaku Organisasi
Tidak semua kelompok atau organisasi berpolitik yang merata. Dalam
organisasi yang sama, sebagai contoh, bermain politik itu terbuka dan
merajalela, sedangkan politik yang lainnya hanya sedikit berperan dalam
memengaruhi hasil. Mengapa perbedaan ini terjadi? Riset dan observasi terbaru
telah mengidentifikasi sejumlah faktor yeng terlihat untuk mendorong perilaku
politik.
Beberapa dalah karakteristik individu, yang diperoleh dari kualitas yang unik
dari orang-orang yang dipekerjakan oleh organisasi; yang lainnya adalah hasil
dari budaya organisasi atau lingkungan internal.
2.13.3 Faktor-faktor Individu
Peneliti telah mengidentifikasi sifat-sifat kepribadian tertentu, kebutuhan, dan
faktor-faktor lain yang biasanya berkaitan dengan perilaku politik. Dalam hal

sifat, kita mendapati bahwa para pekerja yang memiliki pengawasan diri sendiri
yang tinggi, memiliki tempat kendali secara internal, dan memiliki kebutuhan
terhadap kekuasaan yang tinggi akan lebih cenderung untuk terlibat dalam
perilaku politik. Pengawasan diri sendiri yang tinggi lebih peka dengan isyrat
sosial, memperlihatkan tingkat kepatuhan sosial yang lebih tinggi, dan biasanya
lebih terampil dalam perilaku politik dari pada pengawasan diri sendiri yang
rendah. Oleh karena mereka meyakini bahwa mereka dapat mengendalikan
lingkungan, para individu dengan tempat kendali secara internal lebih rentan
untuk mengambil sikap yang proaktif dan berupaya untuk memanipulasi situasi
untuk kepentingan mereka sendiri.
Selain itu investasi individu dalam organisai, alternatif-alternatif yang
dipandang, dan ekspektasi atas keberhasilan memengaruhi derajat manakah dia
akan mengejar saran tindakan politik yang tidak sah. Semakin banyak orang
yang mengharapkan keuntungan mas mendatang yang meningkat dari
organisasi, semakin besar orang tersebut harus kehilangan jika dipaksakan dan
kurang kemungkinan bagi dia untuk menggunakan sarana yang tidak sah.
Semakin banyak peluang alternatif pekerjaan yang dimiliki oleh seorang
individusehubungan dengan lapangan pekerjaan yang menyenangkan atau
kepemilikan atas keahlian atau pengetahuan yang langka, reputasi yang
menonjol, atau memengaruhi kontak diluar organisaisemakin besar
kemungkinan individu tersebut terhadap risiko tindakan politik yang tidak sah.
2.13.4 Faktor-faktor Organisasi
Kita mengetahui bahwa perbedaan peran idnividual dapat terjadi, bukti-bukti
yang lebih kuat menunjukkan bahwa situasi-situasi dan budaya tertentu dapat
mempromosikan politk. Secara spesifik, ketika sumber daya sebuah organisasi
mengalami penurunan, ketika pola sumber daya yang ada berubah, dan ketika
terdapat peluang untuk promosi, maka bermain politik akan lebih bermunculan.
Ketika organisasi melakukan perampingan untuk meningkatkan efisiensi, maka
sumber daya harus dikurangi, dan orang-orang akan terlibat dalam tindakan
politik untuk mengamankan apa yang mereka miliki. Tetapi beberapa
perubahan, terutama mereka yang menyiratkan realokasi sumber daya yang
signifikan di dalam organisasi, cenderung menstimulasi konflik dan
meningkatkan permainan politik.

Budaya yang dicirikan dengan kepercayaan yang rendah, peranan yang tidak
jelas, pelaksanaan alokasi imbalan yang berisiko, pengambilan keputusan
secara demokratis, tekanan yang tinggi atas kinerja, dan para senior manajer
yang

mementingkan

diri

sendiri

juga

akan

menciptakan

tempat

perkembangbiakan permainan politik. Kurang keperacayaan di dalam


organisasi, semakin tinggi tingkat perilaku politik dan semakin besar
kecenderungan akan menjadi tidak sah.
Peranan yang tidak jelas artinya perilaku pekerja yang ditentukan tidak jelas.
Oleh karenanya, terdapat lebih sedikit batasan atas ruang lingkup dan fungsi
dari tindakan politik pekerja. Oleh karena aktivitas berpolitik didefinisikan
sebagai mereka yang tidak dipersyaratkan sebagai bagian dari peranan formal
pekerja, maka semakin tinggi peranan yang tidak jelas semakin besar peluang
para pekerja untuk terlibat di dalam aktivitas berpolitik yang tanpa di sadari.
Evaluasi kinerja bukanlah merupakan ilmu pasti. Semakin banyak organisasi
yang menggunakan kriteria subjektif dalam melakukan penilaian, menegaskan
pada ukuran hasil yang tunggal, atau menungkinkan waktu secara signifikan
untuk melewati di antara waktu dari sebuah tindakan dengan penilaiannya, akan
semakin

tinggi

kemungkinan

pekerja

tersebut

dapat

dijauhkan

dari

permainanpolitik. Semakin lama waktu di antara tindakan dengan penilaiannya,


maka semakin tidak mungkin pekerja akan bertanggung jawab atas perilaku
poiltik.
Semakin besar budaya organisasi yang menekankan pada pendekatan yang
tidak berisiko atau menang-kalah terhadap alokasi pemebrian imbalan, maka
semakin para pekerja akan termitivasi untuk terlibat dalam permainan poltik.
Pendekatan yang tanpa risiko memperlakukan imbalan seperti kue pai yang
telah jadi, sehingga keuntungan dari salah satu orang atau kelompok yang
mencapai harus dibebankan pada orang atau kelompok lainnya. Ketika para
pekerja memnadang orang yang berada d posisi puncak terlibat dalam perilaku
politik, terutama yang melakukannya dengan berhasil dan diberikan imbalan
atas hal tersebut, merupakan suatu keadaan yang mendukung permainan politiktersebut diciptakan. Permainan politik oleh manajemen puncak sedikt banyak
akan membiarkan permainan politik di dalam organisasi tersebut dan
menyiratkan bahwa perilaku tersebut dapat diterima (Nursalam, 2015).

2.14 Strategi Politik


Strategi politis berikut akan membantu manajer pemula menghilangkan efek negatif
politik organisasi. Strategi politik ini, bersamaan dengan strategi pembangun
kekuasaan:
2.14.1 Menjadi tenaga ahli dalam hal informasi dan komunikasi. Waspadalah
bahwa fakta dapat disajikan secara tidak terkendali dan diluar konteks. Manajer
harus berhati-hati dalam menerima fakta saat disajikan karena informasi dapat
diubah untuk memenuhi kebutuha orang lain. Manajer harus cakap dalam
mendapatkan informasi dan mempertanyakan orang lain.
Keputusan harus ditunda sampai informasi yang memadai dan akurat dikumpul
dan dikaji ulang. Manajer yang gagal mengerjakan tugas yang diperlukan dalam
rumah dapat mengambil keputusan yang menimbulkan dampak politik yang
buruk sekali. Selain itu, manajer seharusnya tidak ikut serta dalam diskusi
mengenai sesuatu hal yang terlalu sedekit mereka ketahui. Manajer yang cerdas
secara politis akan berkata saya tidak tahu saat tidak tersedia informasi yang
tidak adekuat.
Kemahiran politis dalam komunikasi sering kali merupakan keterampilan yang
sulit dikuasai. Akibat yang buruk dapat terjadi karena pertukaran informasi yang
salah dengan orang yang salah pada waktu yang salah. Menentukan siapa yang
harus tahu, dan kapan mereka harus tahu membutuhkan kemahiran yang sangat
baik.
Salah satu

kesalahan seorang politis yang fatal dapat dilakukan seseorang

adalah berbohong kepada orang lain dalam organisasi. Meskipun menahan atau
menolak untuk memberitahukan informasi adalah strategi politis yang baik,
berbohong bukan salah satu diantaranya. Bebohong menghancurkan rasa
percaya, dan Fitzpatrick (2001) dalam Marquis dan Huston (2013) menyatakan
pemimpin sebaiknya jangan pernah meremehkan kekuatan rasa percaya.

2.14.2 Bersikap sebagai pengambil keputusan yang proaktif. Perawat mempunyai


sejarah panjang mengenai bersikap reaktif sehingga mereka hanya memiliki
sedikit waktu untuk belajar cara bersikap proaktif. Meskipun bersikap reaktif
lebih baik dari pada bersikap pasif, bersikap proaktif berrati mengerjakan tugas
lebih baik, lebih cepat, dan lebih efisien. Pemimpin yang proaktif
mempersiapkan masa depan dari pada menunggunya terjadi. Ia melihat
perubahan yang semakin dekat dalam sistem keperawatan kesehatan dan
mempersiapkan segalanya, bukan menentang perubahan tersebut.
Salah satu cara agar perawat dapat bersikap proaktif adalah dengan menerima
kewenangan. Bagian kekuasaan adalah citra kekuasaan strategi politis yang
hebat juga melibatkan citra. Pemimpin berasumsi bahwa mereka dapat
melakukannya daripada bertanya Bolehkah saya ?. ketika seseorang meminta
izin, ia sebenarnya meminta orang lain mengambil tanggung jawabnya. Apabila
sesuatu hal tidak dilarang dalam organisasi atau dalam deskripsi kerja,
pemimpin yang berkuasa menganggapnya dapat dilakukan.
Perawat yang cerdas secara politis telah mengetahui bagaimana menciptakan
posisi baru atau peran baru dalam suatu posisi dengan hanya menerima secara
bertahap bahwa mereka dapat melakukan sesuatu dengan lebih baik dari pada
orang lain. Dengan kata lain, mereka melihat kebutuhan dalam organisasi dan,
daripada bertanya apakah mereka dapat melakukan sesuatu, mereka mulai
mengerjakannya. Kegagalan yang terjadi memungkinkan organisasi menerima
wewenang

dan

sesuatu

yang

salah

terjadi,

mereka

dapat

dimintai

pertanggungjawaban sehingga strategi ini bukannya tanpa risiko.


2.14.3 Memperluas sumber pribadi. Karena organisasi bersifat dinamis dan masa
depan sulit untuk diperkirakan, perawat yang proaktif mempersiapkan masa
depan dengan memperluas sumber pribadi. Sumber pribadi meliputi kestabilan
ekonomi, pendidikan yang lebih tinggi, dan landasan keterampilan yang
diperluas. Hal ini sering di sebut strategi politis memiliki kemampuan siasat
yaitu orang tersebut menghindari mempunyai pilihan yang terbatas. Orang yang
mempunyai uang di bank dan minyak di tangki memiliki kebebasan politis
bersiasat dari pada orang yang tidak punya.

Seseorang kehilangan kekuasaan jika orang lain dalam organisasi tahu bahwa
mereka tidak mampu membuat perubahan kerja atau tidak mempunyai
keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukannya. Mereka yang menjadi
bergantung secara ekonomis pada sebuah posisi kehilangan kekuatan politisnya.
Dengan demikian, perawat yang tidak mau berusaha megembangkan
keterampilan tambahan atau mencari pendidikan lanjut kehilangan kakuatan
politis karena pekerja yang berkualitas dapat dicari di tempat lain.
2.14.4 Membangun aliansi dan koalisi politis.

Perawat sering kali dapat

meningkatkan kekuasaan dan pengaruhnya dengan membentuk aliansi dengan


kelompok lain. Orang dapat membentuk aliansi dengan rekan kerja, sponsor,
atau pekerja. Aliansi tersebut dapat berasal dari dalam kelompok itu sendiri atau
dari luar kelompok.
Salah satu metode pembentukan aliansi yang paling efektif adalah melalui
jaringan.

Manajer dapat mempertajam keterampilan poltisnya

dengan

membentuk kelompok rekan sebaya diluar organisasi. Dengan cara ini, manajer
dapat terus memperoleh informasi yang sedang terjadi saat ini dan meminta
orang lain untuk memberi saran dan nasihat. Meskipun jaringan terbentuk di
antara banyak kelompok, untuk perawat-manajer, beberapa kelompok memiliki
manfaat yang sama dengan asosiasi keperawatan lokal dan negara bagian.
Pembentukan jaringan pembentukan koalisi dan aliansijuga dapat berfungsi
efektif dalam organisasi. Strategi ini khususnya bermanfaat untuk beberapa tipe
perubahan terencana. Kekuasaan dan pengaruh politis telah banyak dimiliki oelh
orang yang bekerja sama daripada orang yang bekerja sendiri. Ketika seseorang
sedang diserang secara politis oleh orang lain dalam organisasi, kekuatan
kelompok sangat membantu.
2.14.5 Bersikap peka terhadap waktu. Pemimpin yang sukses bersikap peka
terhadap kelayakan dan ketepatan waktu akan tindakan mereka. Seseorang yang
pada saat bersamaan penyelianya baru saat menjalani pemerikasaan gigi yang
efektif menghadiri undangan konferensi keperawatan yang mahal adalah salah
satu contoh seseorang yang tidak peka terhdapa waktu.

Selain mampu memilih waktu yang tepat, manajer yang efektif harus
mengembangkan keterampilan dalam area ketepatan waktu lainnya. Salah satu
area ini adalah mengetahui kapan waktu yang tepat untuk tidak melakukan
apapun. Sebagai contoh, pada kasus pegawai yang sudah tiga bulan pensiunm
waktu dengan sendirinya akan memulihkan keadaan tersebut.
Manajer yang peka juga belajar kapan waktu yang tepat untuk berhenti meminta
sesuatu, dan sebaliknya sebelum pimpinan memberikan penegasan tidak.
Ketika kepastian tidak ini diucapkan, terus menerus membicarakan masalah
tersebut adalah tindakan yang secara politis tidak baik.
2.14.6 Lebih mengenal bawahan. Terdapat banyak cara seorang manajer dapat lebih
mengenal bawahan. Sekdar ucapan terima kasih untuk hail pekerjaan yang
dilakukan dengan baik terutama baik sekali jika diucapkan di depan orang lain.
Dengan memberikan perhatian terhadap upaya keras pekerja anda, anada
berkata dengan sungguh-sungguh lihat betapa baik pekerjaan yang dapat kita
lakukan. Memberikan pesan penghargaan yang tulus kepada pekerja adalah
cara lain menghargai dan mempromosikan. Memberikan penghargaan terhadap
pekerjaan yang dikrjakan dengan sempurna adalah strategi politis yang efektif.
2.14.7 Memanadang tujuan pribadi dan unit dalam hal organisasi.

Bahkan

kegiatan yang luar biasa dan jelas sekalipun tidak akan menghasilkan
kekuasaan yang diharapkan, kecuali jika kegiatan tersebut digunakan untuk
memenuhi tujuan organisasi. Kerja keras untuk prestasi pribadi yang murni
akan menjadi liablitas politis. Sering kali manajer pemula hanya berpikir
mengenai kebutuhannya dan masalahnya daripada melihat gambaran utuhnya.
Selain itu, seseorang sering kali mencari penyelesaian pola pimpinannya dari
pada

berupaya

mencari

jawabannya

sendiri.

Ketika

masalah

telah

teridentifikasi, akan lebih cerdas secara politis untuk membawa masalah dan
usulan penyelesaian daripada hanya menyajikan masalah tersebut pada
pimpinan. Meskipun penyelesaian masalah tidak diterima, pimpinan akan
menghargai upaya penyelesaian masalah yang telah dilakukan.
2.14.8 Buang ego anda di rumah. Meskipun politik dapat bersifat negatif (Andrica,
1999) dalam Marquis dan Huston (2013), Anda sebaiknya tidak melakukan
upaya serangan politis secara pribadi, karena anda mungkin paling tepat

menjadi pengamat yang dalam sebuah konflik.

Selain itu, berhati-hatilah

menerima pujian atas semua keberhasilan politis karena Anda mungkin baru
saja berada di tempat yang teapat di waktu yang tepat. Sebagai manajer adalah
seberapa cepat anda dapat bangkit kembali.

BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif untuk mengetahui persepsi perawat
pelaksana terhadap strategi politik dalam pengambilan keputusan oleh kepala
ruangan/manajer tingkat pertama di ruang X Banjarmasin.

3.2 Populasi dan Sampel


3.2.1 Populasi
Populasi adalah kumpulan individu dimana hasil suatu penelitian yang
dilakukan generalisasi (Ariawan, 1999). Populasi adalah keseluruhan objek
penelitian atau objek yang akan diteliti (Arikontu, 2006). Ridwan (2006)
menyatakan bahwa populasi merupakan keseluruhan dari karakteristik atau unit
hasil pengukuran yang menjadi objek penelitian (Pujiyanto, 2010). Berdasarkan
pada beberapa keterangan di atas populasi dari penelitian ini adalah seluruh
3.2.2

perawat pelaksana di ruang X RSUD X dengan jumlah 29 orang.


Sampel
Sampel adalah sebagian atau bagian dari populasi yang akan diteliti (Arikontu,
2006). Ridwan (2006) menyimpulkan bahwa sampel merupakan bagian dari
populasi yang mempunyai ciri-ciri atau keadaan yang diteliti. Pujiyanto (2010).
Berdasarkan dari pengertian tersebut maka sampel tersebut adalah perawat
pelaksana yang ada di ruang X RSUD x dengan jumlah 15 orang.

3.3 Etika Penelitian/Survei


3.3.1 Lembar Persetujuan Survei (Informed Concent)
3.3.2 Nama tidak di Tuliskan (Anonymity)
3.3.3 Kerahasiaan (Confidentiality)

3.4 Tempat dan Waktu Penelitian


3.4.1 Tempat Penelitian
Tempat penelitian di ruang X RSUD X
3.4.2 Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada tanggal 20 Juni 2015, sebelum kuesioner dibagikan
peneliti meminta ijin kepada kepala ruangan ruang X RSUD X. Kuesioner
dibagikan kepada perawat pelaksana yang berdinas pagi pada saat itu, peneliti
dan kepala ruangan atau manajer tingkat pertama sebelumnya juga menjelaskan
maksud dan tujuan penelitian dan menjeskan cara pengisian kuesioner tersebut,
peneliti menunggu pengisian kuesioner tersebut pada hari itu juga.
3.5 Instrumen Penelitian

Data yang dikumpulkan peneliti adalah kuesioner. Dengan rincian alat pngumpulan
data pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
3.5.1 Kuesioner A
Kuesioner A terdiri dari 4 buah pertanyaan yang menggali data karakteristik
responden, yaitu pertanyaan mengenai (umur, jenis kelamin, lama kerja, status
perkawinan dan pendidikan). Data yang diperoleh peneliti dari karakteristik
responden merupakan data dari sumber primer dimana data itu diperoleh dari
pengisian kuesioner yang diisi langsung oleh perawat pelaksana di ruang X
3.5.2

Banjarmasin.
Kuesioner B
Kuesioner B dirancang untuk mengetahui persepsi perawat pelaksana terhadap
strategi politik dalam pengambilan keputusan oleh kepala ruangan/manajer
tingkat pertama di ruang X Banjarmasin. Kuesioner ini didesain dan disesuaikan
dengan keperluan penelitian dengan memepertimbangkan beberapa teori yang
berhubungan dengan strategi politik. Kuesioner B merupakan sekumpulan
pertanyaan untuk mengetahui persepsi perawat pelaksana terhadap strategi
politik dalam pengambilan keputusan oleh kepala ruangan/manajer tingkat
pertama di ruang X RSUD X, dengan 24 pertanyaan, setiap poin 8 strategi
politik masing-masing 3 pertanyaan.
Seluruh pertanyaan merupakan pertanyaan positif. Responden mengisi
kuesioner dengan cara memilih salah satu jawaban dengan tanda conteng pada
pilihan jawaban yang dianggap paling benar.

3.6 Definisi Operasional


Tabel 3.1 Definisi Operasional
Variabel

Umur

Jenis
Kelamin

Definisi

Alat Ukur

Masa kehidupan
perawat yang
dihitung sejak
tanggal kelahiran
hingga hingga
ulang tahun
terakhir saat
pengambilan data
dilakukan
Status fisik perawat
yang dibedakan
menjadi laki-laki
dan perempuan

Kuesioner
A

Kuesioner
A

Cara
Parameter
Pengukura
n
Mengisi
1. 25-30
kuesioner
tahun
pertanyaan
(dewasa
umur
muda)
2.
31-40
responden
tahun
(dewasa
tua)
Mengisi
kuesioner
pertanyaan
jenis
kelamin

1. Laki-laki
2. Perempuan

Skala

Ordinal

Nominal

Lama Kerja

Lama kerja perawat


sejak pertama kali
bekerja di Rumah
Sakit terakhir

Kuesioner
A

Status
Perkawinan

Status yang
dimiliki oleh
perawat

Kuesioner
A

Pendidikan

Tingkat pndidikan
formal terakhir di
bidang
keperawatan yang
diakui oleh
pemerintah dan
organisasi profesi
Strategi politik
adalah seni
menggunakan
kekuasaan untuk
suatu tujuan
tertentu

Kuesioner
A

Strategi
Politik

Kuesioner
B yang
terdiri dari
24
pertanyaan.

responden
Mengisi
1. < 5 tahun
2. 5-10 tahun
kuesioner
pertanyaan 3. > 10 tahun
lama kerja
responden di
Rumah Sakit
Ulin
Banjarmasin
Mengisi
1. Menikah
2. Belum
kuesioner
menikah
pertanyaan
/cerai
status
perkawinan
responden
Mengisi
1. D3
kuesioner
Keperaw
pertanyaan
atan
pendidikan 2. S1
Keperaw
terakhir
atan
responden
Mengisi
kuesioner
pertanyaan
strategi
politik yang
dimiliki oleh
kepala
ruangan atau
manajer
tingkat
pertama

1. Sangat
tidak
setuju
2. Tidak
setuju
3. Setuju
4. Sangat
setuju

Ordinal

Nominal

Ordinal

Ordinal

3.7 Analisis Data


Analisis data diawali dengan pengolahan data dan entry data, ada 4 langkah dalam
pengolahan data agar dapat menghasilkan informasi yang benar (Hastono, 2007) dalam
Pujiyanto yaitu:
3.7.1 Editing
Editing dilakukan dengan cara memeriksa ulang kelengkapan isian formulir
dan kuesioner jawaban responden. Semua isian responden diisi dengan
3.7.2

lengkap.
Coding
Pemberian kode pada setiap jawaban melalui konversi jawaban pernyataan ke

3.7.3

dalam angka.
Entry
Kegiatan ini dilakukan dengan memasukkan seluruh data dan semua kuesioner

3.7.4

ke komputer. Data yang dimasukkan sudah diberi kode dan skor .


Cleaning

Kegiatan ini dilakukan dengan memeriksa kembali data yang telah


dimasukkan ke dalam komputer untuk memastikan bahwa data telah bersih
dari kesalahan baik pada waktu pemberian kode maupun pembersihan skor
data. Semua data bersih dan tidak ada kesalahan data. Data selanjutnya adalah
menganalisis data yang telah ada di komputer, analisis yang dilakukan pada
3.7.5

penelitian ini adalah analisis univariat.


Analisis Univariat
Analisis Univariat untuk mengetahui karakteristik perawat pelaksana (umur,
jenis kelamin, lama kerja, status perkawinan dan pendidikan), dan untuk
mengetahui kekuasaan apa yang dimiliki oleh kepala ruangan atau manajer
tingkat pertama di ruang X RSUD X yang dipersepsikan oleh perawat
pelaksana dengan analisis menjadi distribusi frekuensi.

BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menyajikan hasil penelitian tentang gambaran dasar kekuasaan dalam pengambilan
keputusan oleh kepala ruangan atau manajer tingkat pertama yang dipersepsikan oleh perawat
pelaksana, yang dilaksanakan selama 1 hari, pada tanggal 20 Juni 2015, penyajian data dari
hasil penelitian ini hanya dari analisa univariat dengan menggunakan uji statistik yang telah
ditentukan dengan menggunakan bantuan perangkat komputer. Secara lengkap disajikan
sebagai berikut:
4.1 Karakteristik Responden
4.1.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Tabel 4.1.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
No
1.

Usia Responden (Tahun)


25-30 Tahun (dewasa muda)

2.

31-40 Tahun (dewasa tua)


Total

Frekuensi
7

%
46.7%

8
15

53.3%
100%

Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia di Ruang X RSUD X, dari


tabel di atas menunjukkan 7 orang perawat pelaksana yang berusia 25-30 tahun
dewasa muda (46.7%) dan 8 orang yang berusia 31-40 tahun dewasa tua
(53.3%).

4.1.2

Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


Tabel 4.1.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
No
1.

Jenis Kelamin
Laki-laki

2.

Perempuan
Total

Frekuensi
4

%
26.7%

11
15

73.3%
100%

Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin di Ruang X RSUD


X, dari tabel di atas menunjukkan bahwa 4 orang yang berjenis kelamin lakilaki (26.7%) dan 11 orang yang berjenis kelamin perempuan (73.3%).
4.1.3

Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Kerja


Tabel 4.1.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Kerja
No
1.

5-10 tahun

Lama Kerja

2.

> 10 tahun
Total

Frekuensi
14

%
93.3%

1
15

6.7%
100%

Distribusi frekuensi responden berdasarkan lama kerja di Ruang X RSUD X,


dari tabel di atas menunjukkan bahwa 14 orang dengan lama kerja 5-10 tahun
(93.3%) dan 1 orang yang lama kerjanya > 10 tahun (6.7%).
4.1.4

Karakteristik Responden Berdasarkan Status Perkawinan


Tabel 4.1.4 Karakteristik Responden Berdasarkan

Status

Perkawinan
No
1.

Status Perkawinan
Menikah

2.

Belum menikah/cerai
Total

Frekuensi
15

%
100%

0
15

0%
100%

Distribusi frekuensi responden berdasarkan status perkawinan di Ruang X


RSUD X, dari tabel di atas menunjukkan bahwa 15 orang sudah menikah
4.1.5

(100%) dan tidak ada yang bercerai atau belum menikah (0%).
Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan
Tabel 4.1.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan
No
1.

Pendidikan
D3 Keperawatan

2.

S1 Keperawatan
Total

Frekuensi
8

%
53.3%

7
15

46.7%
100%

Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan di Ruang X RSUD


Ulin Banjarmasin, dari tabel di atas menunjukkan bahwa 8 orang dengan
pendidikan D3 Keperawatan (53.3%) dan 7 orang yang berpendidikan S1
Keperawatan (46.7%).
4.2 Distribusi Frekuensi Strategi Politik
4.2.1 Distribusi Frekuensi Strategi Politik Menjadi Tenaga Ahli dalam Hal
Informasi dan Komunikasi
Tabel 4.2.1 Distribusi Frekuensi Strategi Politik Menjadi Tenaga
Ahli dalam Hal Informasi dan Komunikasi

Pernyataan
Sangat Tidak Setuju
Tidak Setuju
Setuju
Sangat Setuju
Total

Pertanyaan Strategi Politik


Menjadi Tenaga Ahli dalam Hal
Informasi dan Komunikasi
No. 1
No. 2
No. 3
0
0
0
6
8
9
9
7
6
0
0
0
15
15
15

Jumlah

0
23
22
0
45

0%
51,1%
48,9%
0%
100%

Distribusi frekuensi persepsi perawat pelaksana terhadap strategi politik


menjadi tenaga ahli dalam hal informasi dan komunikasi kepala ruangan atau
manajer tingkat pertama di Ruang X RSUD X di atas menunjukkan bahwa
yang menyatakan tidak setuju 51,1% dan yang menyatakan setuju 48,9%.
4.2.2

Distribusi Frekuensi Strategi Politik Bersikap Sebagai Pengambil


Keputusan yang Proaktif
Tabel 4.2.2 Distribusi Frekuensi Strategi Politik Bersikap Sebagai
Pengambil Keputusan yang Proaktif

Pernyataan
Sangat Tidak Setuju
Tidak Setuju
Setuju
Sangat Setuju
Total

Pertanyaan Strategi Politik


Bersikap Sebagai Pengambil
Keputusan yang Proaktif
No. 4
No. 5
No. 6
0
0
0
7
2
3
8
13
12
0
0
0
15
15
15

Jumlah

0
12
33
0
45

0%
26,7%
73,3%
0%
100%

Distribusi frekuensi persepsi perawat pelaksana terhadap strategi politik


bersikap sebagai pengambil keputusan yang proaktif kepala ruangan atau

manajer tingkat pertama di Ruang X RSUD X di atas menunjukkan bahwa


yang menyatakan tidak setuju 26,7% dan yang menyatakan setuju 73,3%.
4.2.3

Distribusi Frekuensi Strategi Politik Memperluas Sumber Pribadi


Tabel 4.2.3 Distribusi Frekuensi Strategi Politik Memperluas
Sumber Pribadi

Pernyataan
Sangat Tidak Setuju
Tidak Setuju
Setuju
Sangat Setuju
Total

Pertanyaan Strategi Politik


Memperluas Sumber Pribadi
No. 7
No. 8
No. 9
0
0
0
0
0
5
15
15
10
0
0
0
15
15
15

Jumlah

0
5
40
0
45

0%
11,1%
88,9%
0%
100%

Distribusi frekuensi persepsi perawat pelaksana terhadap strategi politik


memperluas sumber pribadi kepala ruangan atau manajer tingkat pertama di
Ruang X RSUD X di atas menunjukkan bahwa yang menyatakan tidak setuju
11,1% dan yang menyatakan setuju 88,9%.
4.2.4

Distribusi Frekuensi Strategi Politik Membangun Aliansi dan Koalisi


Politis
Tabel 4.2.4 Distribusi Frekuensi Strategi Politik Membangun
Aliansi dan Koalisi Politis

Pernyataan
Sangat Tidak Setuju
Tidak Setuju
Setuju
Sangat Setuju
Total

Pertanyaan Strategi Politik


Membangun Aliansi dan Koalisi
Politis
No. 10
No. 11
No. 12
0
0
0
9
5
4
6
10
11
0
0
0
15
15
15

Jumlah

0
18
27
0
45

0%
40%
60%
0%
100%

Distribusi frekuensi persepsi perawat pelaksana terhadap strategi politik


membangun aliansi dan koalisi politis kepala ruangan atau manajer tingkat
pertama di Ruang X RSUD X di atas menunjukkan bahwa yang menyatakan
tidak setuju 40% dan yang menyatakan setuju 60%.

4.2.5

Distribusi Frekuensi Strategi Politik Bersikap Peka Terhadap Waktu


Tabel 4.2.5 Distribusi Frekuensi Strategi Politik Bersikap Peka Terhadap
Waktu

Pernyataan
Sangat Tidak Setuju
Tidak Setuju
Setuju
Sangat Setuju
Total

Pertanyaan Strategi Politik


Bersikap Peka Terhadap Waktu
No. 13
No. 14
No. 15
0
0
0
5
13
3
10
2
12
0
0
0
15
15
15

Jumlah

0
21
24
0
45

0%
46,7%
53,3%
0%
100%

Distribusi frekuensi persepsi perawat pelaksana terhadap Strategi Politik


Bersikap Peka Terhadap Waktu kepala ruangan atau manajer tingkat pertama
di Ruang X RSUD X di atas menunjukkan bahwa yang menyatakan tidak
setuju 46,7% dan yang menyatakan setuju 53,3%.
4.2.6

Distribusi Frekuensi Strategi Politik Lebih Mengenal Bawahan


Tabel 4.2.6 Distribusi Frekuensi Strategi Politik Lebih Mengenal
Bawahan

Pernyataan
Sangat Tidak Setuju
Tidak Setuju
Setuju
Sangat Setuju
Total

Pertanyaan Strategi Politik Lebih


Mengenal Bawahan
No. 16
No. 17
No. 18
0
0
0
10
10
7
5
5
8
0
0
0
15
15
15

Jumlah

0
27
18
0
45

0%
60%
40%
0%
100%

Distribusi frekuensi persepsi perawat pelaksana terhadap Strategi Politik lebih


mengenal bawahan kepala ruangan atau manajer tingkat pertama di Ruang X
RSUD X di atas menunjukkan bahwa yang menyatakan tidak setuju 60% dan
yang menyatakan setuju 40%.

4.2.7

Distribusi Frekuensi Strategi Politik Memandang Tujuan Pribadi dan Unit


dalam Hal Organisasi
Tabel 4.2.7 Distribusi Frekuensi Strategi Politik Memandang
Tujuan Pribadi dan Unit dalam Hal Organisasi

Pernyataan

Sangat Tidak Setuju


Tidak Setuju
Setuju
Sangat Setuju
Total

Pertanyaan Strategi Politik


Memandang Tujuan Pribadi dan
Unit dalam Hal Organisasi
No. 19
0
6
9
0
15

No. 20
0
7
8
0
15

No. 21
0
8
7
0
15

Jumlah

0
21
24
0
45

0%
46,7%
53,3%
0%
100%

Distribusi frekuensi persepsi perawat pelaksana terhadap Strategi Politik


memandang tujuan pribadi dan unit dalam hal organisasi kepala ruangan atau
manajer tingkat pertama di Ruang X RSUD X di atas menunjukkan bahwa
yang menyatakan tidak setuju 46,7% dan yang menyatakan setuju 53,3%.
4.2.8

Distribusi Frekuensi Strategi Politik Membuang Ego di Rumah


Tabel 4.2.8 Distribusi Frekuensi Strategi Politik Membuang Ego di
Rumah

Pernyataan
Sangat Tidak Setuju
Tidak Setuju
Setuju
Sangat Setuju
Total

Pertanyaan Strategi Politik


Membuang Ego di Rumah
No. 22
No. 23
No. 24
0
0
0
8
7
8
7
8
7
0
0
0
15
15
15

Jumlah

0
23
22
0
45

0%
51,1%
48,9%
0%
100%

Distribusi frekuensi persepsi perawat pelaksana terhadap Strategi Politik


membuang ego di rumah kepala ruangan atau manajer tingkat pertama di
Ruang X RSUD X di atas menunjukkan bahwa yang menyatakan tidak setuju
51,1% dan yang menyatakan setuju 48,9%.

4.3 Distribusi Frekuensi Semua Strategi Politik

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Semua Strategi Politik


Pernyataan
/
Strategi
Politik
Sangat
Tidak
Setuju
Tidak
Setuju
Setuju
Sangat
Setuju
Total

Tenaga Ahli Pengambil


Informasi Keputusan
dan
yang
Komunikas
Proaktif
i

Memperlua
s Sumber
Pribadi

Membangu
n Aliansi
dan Koalisi
Politis

Peka
Terhadap
Waktu

Le
Men
Baw

0%

0%

0%

0%

0%

51,1%

26,7%

11,1%

40%

46,7%

60

48,9%

73,3%

88,9%

60%

53,3%

40

0%

0%

0%

0%

0%

100%

100%

100%

100%

100%

10

4.4 Pembahasan
Dari tabel keterangan tabel di atas dapat dilihat bahwa persepsi perawat
pelaksana terhadap strategi politik dalam pengambilan keputusan oleh kepala
ruangan/manajer tingkat pertama di Ruang X, adalah strategi politik dengan
memperluas sumber pribadi dengan meningkatkan pendidikan, mengikuti
pelatihan-pelatihan dan mempunyai keterampilan yang dibutuhkan oleh
perawat pelaksana, dengan persentasi 88,9% menyatakan setuju. Kepala
ruangan/manajer tingkat pertama lebih menggunakan strategi politik dengan
cara memperluas sumber pribadi ini untuk mempersiapkan masa depan dan
untuk mengerahkan kekuatan politisnya untuk menghindari keterbatasan demi
peningkatan kekusaan politisnya, karena organisasi bersifat dinamis dan masa
depan sulit untuk diperkirakan, perawat yang proaktif mempersiapkan masa
depan dengan memperluas sumber pribadi.
Efek kekuasaan organisasi terhadap pengambilan keputusan. Orang yang
paling kuat/berkuasa dalam suatu organisasi lebih layak mengambil keputusan
(oleh dirinya atau bawahannya) yang sesuai dengan preferensi dan nilai yang

dimilikinya. Di sisi lain, orang yang sedikit berkuasa harus selalu


mempertimbangkan preferensi orang lain yang paling berkuasa. Kekuasaan
merupakan faktor dalam pengambilan keputusan manajemen (Marquis, 2013;
44).
Kekuasaan dan politik adalah bagian dari kelangsungan hidup suatu
organisasi, dan strategi politik sangat penting diperlukan oleh kepala
ruangan/manajer tingkat pertama dalam suatu organisasi untuk mencapai suatu
tujuan yang diharapkan, seorang manajer yang efektif mempunyai politik
sebagai hal yang alamiah dalam organisasi, dengan menilai perilaku dalam
kerangka kerja politik, akan lebih baik memperediksikan tindakan-tindakan
orang lain dan menggunakan informasi tersebut untuk merumuskan strategi
berpolitik yang akan memperoleh keuntungan bagi anda dan unit kerja. Ketika
politik

dan pemahaman terhadap politik tinggi, maka kinerja cenderung

meningkat karena individu cenderung meningkat karena individu akan melihat


tindakan berpolitik sebagai sebuah peluang.

BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Pada bab terakhir ini disajikan kesimpulan hasil penelitian, berdasarkan pada tujuan,
hasil tujuan yang telah dianalisis dan pembahasan yang telah dikemukakan di atas,
maka peneliti mengambil kesimpulan sebagai berikut:
5.1.1 Karakteristik responden perawat pelaksana di Ruang X RSUD X rata-rata
umur 31-40 tahun, jenis kelamin perempuan, dengan lama kerja 5-10 tahun,
5.1.2

semua responden telah menikah dan berpendidikan D3 Keperawatan.


Persepsi perawat pelaksana terhadap strategi politik dalam pengambilan
keputusan oleh kepala ruangan/manajer tingkat pertama di ruang X RSUD X
adalah strategi memperluas sumber pribadi dengan meningkatkan pendidikan,
mengikuti pelatihan-pelatihan dan mempunyai keterampilan yang dibutuhkan
oleh perawat pelaksana, dengan persentasi 88,9%.

5.2 Saran

5.2.1

Bagi kepala ruangan atau manajer tingkat pertama di Ruang X RSUD X untuk
meningkatkan pengetahuan tentang strategi politik dan bisa mengaplikasikan

5.2.2

semua strategi politik dalam situasi dan kondisi yang sesuai.


Saran bagi peneliti lain, karena penelitian ini hanya tentang persepsi perawat
pelaksana terhadap strategi politik dalam pengambilan keputusan oleh kepala
ruangan/manajer tingkat pertama di ruang X RSUD X, oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian lanjut untuk memahami lebih mendalam tentang
pengaruh strategi politik dalam pengambilan keputusan.

DAFTAR PUSTAKA
Bogue, Joseph, Leibold, 2009. Shared Governance as Vertical Alignment of Nursing Group
Power and Nurse Practice Council Effectiveness, Journal of Nursing Management,
17, 4-14
Castro.,2003, T, The Effects of Positive Affect and Gender on The Influence TacticsJournal of Leadership and Organizational Studies, Vol.10, No. 1
Cheng, Rhodes, Lok, A Frame Work Stategic Decision Making and Performance Among
Chinese Managers, The International Journal Of Human Resource Management, Vol.
21, No. 9, July 2010, 1373-1395
Effken, J. A, Verran J. A., Logue M.D & HSU Y.C. (2010) Nurse Managers Decisions: Fast
& Favoring Remidian. Journal of Nursing Administration, 40 (4), 188-195
Garcia-Garcia, 2009. Relationship Between Nurses Leadership Style and Power Basis,
Artigo Origonal, Maio-Junho: 17 (3); 295-301
Halama, Gurnakova, 2014, Need For Structure and Big Five Personality Traits and
Predictors of Decision Making Styles in Health Professionals, Studia Psychologica,
56, 2014, 3
Kamhalova I, Halama, P, Gurnakova, J.,2013. Affect Regulation and Decision Making in
Health Care Professiona: Typology Approach, Studia Pychologica, 55, 19-31
Katriina Peltoma, 2012, Nursing Power as Viewed By Nursing Professionals, Empirical
Studies, doi: 10.1111/j.1471-6712
Kondalkar, 2007. Organizational Behaviour. New Delhi

Marquis, 2013. Kepemimpinan & Manajemen Keperawatan Teori & Aplikasinya. EGC.
Jakarta
Matthews S., Laschinger H & Johnstone L. (2006) Staff Nurse Empowerment in Line and
Staff Organizational Structures For Chief Nurse Executive. Journal of Nursing
Administration 36, 525-533
Patronis Jones Rebecca, 2007. Nursing Leadership and Management Theories, Processes
and Practice. Philadelphia. USA
Pujiyanto, 2010, Pengaruh Pelatihan Supervisi Terhadap Pemahaman Kepala Ruangan &
Wakil Kepala Ruangan Tentang Supervisi Di Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo
Semarang
Rahmah, 2010, Kajian Gaya Kepemimpinan Direktur Rumah Sakit Terhadap Fungsi
Kepemimpinan Direktur Dalam Pelaksanaan Manajemen RSUD di DKI Jakarta.
Robbins. 2015, Perilaku Organisasi. Edisi enambelas. Salemba. Jakarta Selatan
Shirey, Ebright, 2013, Nurse Managers Cognitive Decision-Making Amidst Stress and Work
Complexity, Journal of Nursing Management, 21, 17-30
Sitorus Ratna, 2011. Manajemen Keperawatan: Manajemen Keperawatan Di Ruang Rawat
SK Menkes RI No. 836/Mekes/SK/VI/2005
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Undang-Undang RI No. 38 tahun 2014 Tentang Keperawatan
Whitebed K Diane, 2010, Essentials of Nursing Leadership and Management. USA

Anda mungkin juga menyukai