1102012227
1102012227
Non-organ spesifik
Antigen
Kerusakan
tubuh tertentu
Antigen dalam tubuh
Penimbunan
sistemik
Tumpang tindih
kompleks
dalm
organ
spesifik
ginjal,
nondan
penyakit lain.
Penyakit autoimun menurut mekanisme :
a. Penyakit autoimun melalui antibodi
Anemia hemolitik autoimun
1102012227
Salah satu penyebab menurunnya jumlah sel darah merah dalam sirkulasi ialah
destruksi oleh antibodi terhadap antigen pada permukaan sel tersebut.
Destruksi sel dapat terjadi akibat aktivasi komplemen dan opsonisasi oleh
antibodi dan komponen komplemen. Antibodi yang dapat menimbulkan
anemia hemolitik autoimun dibagi dalam 2 golongan berdasarkan sifat
1102012227
dan syaraf.
Drug Induced Lupus(DIL), timbul karena menggunakan obat-obatan tertentu.
Setelah pemakaian dihentikan, umumnya gejala akan hilang.
Alwi, I., Setiati, S., Setiyohadi, B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Interna Publishing
L.O.2.2. Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, systemic lupus eritomatosus (SLE) telah menjadi salah satu
penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda-beda
bervariasi antara 2.9/100.000-400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu
seperti bangsa negro, Cina dan mungkin Filipina. Faktor ekonomi dan geografis tidak
mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tepai
paling banyak pada usia produktif. Frekuensi terkena penyakit SLE lebih banyak pada wanita
dibandingkan pria.
Alwi, I., Setiati, S., Setiyohadi, B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Interna Publishing.
4
1102012227
1102012227
Manifestasi klinik yang ditunjukkan bersifat sistemik, yaitu demam, anorexia, malaise,
dan penurunan berat badan. Beberapa penderita mengalami lesi kulit; namun malar rash/rona
merah berbentuk kupu-kupu di pipi hanya terjadi pada kurang dari setengah penderita SLE.
Beberapa manifestasi pada kulit lainnya yaitu discoid lupus, lesi pada ujung jari, periungual
erythema, dan pendarahan seperti tergores. Alopecia juga dilaporkan umum terjadi.
Manifestasi lainnya, misalnya terjadi pada persendian, terjadi pada kurang lebih 90%
dari penderita SLE, dan merupakan manifestasi yang pertama kali muncul.
Pada mata, terlihat conjunctivitis, photo-phobia, kebutaan monokular, dan
pengelihatan yang rabun. Dapat dilihat juga bercak-bercak pada retina (cytoid bodies), akibat
dari degenerasi saraf karena oklusi pembuluh darah retina.
Pleurisy, effusi pleura, bronchopneumonia, dan pneumoitis juga dilaporkan sering
terjadi. Gejala sesak nafas dapat terjadi. Pendarahan alvolus jarang terjadi, namun bersifat
mengancam jiwa. (Papadakis, 2013)
L.O. 2.6 Diagnosis dan diagnosis banding
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada SLE yang paling utama adalah tes autoantibodi. Tes
antibody antinukleus dilakukan dengan melakukan immunofluorescence. Tes tersebut cukup
sensitive namun tidak spesifik terhadap SLE; tes ini dapat menghasilkan nilai positif tidak
hanya pada penderita lupus, tapi juga pada penderita rheumatoid arthritis, autoimmune
thyroid disease, scleroderma, dan Sjgren syndrome. Hasil negatif yang tidak benar (falsenegative) dapat terjadi
6
1102012227
pada pemeriksaan dengan ELISA. Pemeriksaan antibodi terhadap DNA untai ganda dan
terhadap Sm teruji spesifik SLE, namun tidak sensitif, karena positif pada 60% (spesivisitas)
dan 30% (sensitivitas) penderita. (Papadakis, 2013)
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan antara lain:
a. Pemeriksaan darah lengkap untuk melihat jumlah leukosit, trombosit, limfosit, dan
kadar Hb serta LED.
b. Tes ANA (Antinuclear Antibody), yaitu tes deteksi antibodi anti-nukleus yang
memiliki sensitivitas yang tinggi namun spesivisitas yang rendah
c. Tes Anti dsDNA (double stranded DNA)
yaitu : untuk menentukan apakah pasien memiliki antibodi terhadap materi genetik di
dalam sel, spesifik untuk SLE dan umumnya titer meningkat sebelum SLE kambuh
d. Tes antibodi anti-S (smith)
e. Tes Anti-RNP (Ribonukleoprotein), anti-ri/anti-SS-a, anti La (antikoagulan lupus anti
SSB,dan antibodi antikardiolipin). Titernya tidak terkait dengan kambuhnya SLE
f. Komplemen C3, C4, dan CH50
g. Tes anti ssDNA (single stranded). Pasien dengan anti ssDNA positif cenderung
menderita nefritis.
h. Pemeriksaan anti-Sm antibodi
yaitu : untuk menentukan apakah ada antibodi terhadap Sm (proteinyang ditemukan
dalam sel protein inti).
i. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan immune complexes (kekebalan) di dalam
darah
j. Pemeriksaan untuk menguji tingkat total dari serum complement (kelompok protein
yang dapat terjadi pada reaksi kekebalan) dan pemeriksaan untuk menilai tingkat spes
ifikdari C3 dan C4 dua jenis protein dari kelompok pemeriksaan ini.
k. Pemeriksaan sel LE (LE cell prep)
Pemeriksaan darah untuk mencari keberadaan jenis sel tertentu yang dipengauhi
membesarnya antibodi terhadap lapisan inti sel lain pemeriksaan ini jarang digunakan
jika dibandingkan dengan pemeriksaan ANA, karena pemeriksaan ANA lebih peka
l.
m.
n.
o.
p.
Hasil pemeriksaan ANA positif pada hampir semua pasien dengan sistemik lupis dan ini
1102012227
merupakan pemeriksaan diagnosa terbaik yang ada saat ini untuk mengenali sistemik lupus.
Hasil pemeriksaan ANA negatif merupakan bukti kuat bahwa lupus bukanlah
penyebab
sakitnya orang tersebut walaupun sangat jarang terjadi dimana SLE muncul tanpa
ditemukannya ANA.
Kemungkinan seseorang mempunyai pemeriksaan ANA positif akan meningkat seirin
g dengan meningkatnya usia. Pola dari hasil pemeriksaan ANA sangat membantu dalam
menentukan jenis penyakit autoimun yang muncul dan menentukan program pengobatan
seperti apa yang cocok bagi seorang pasien Lupus. Hasil pemeriksaan ANA bisa positif pada
banyak keadaan, oleh karena itu dalam pemeriksaan ANA harus didukung dengan catatan
kesehatan pasien serta gejala-gejala klinis lainnya.
Karena itu apabila hasil tes laboratorium ANA positif (hanya ANA saja) tidak cukupu
ntuk mendiagnosa lupus. Lain halnya jika ANA negatif merupakan bantahan terhadap lupusak
an tetapi tidak sepenuhnya mengesampingkan adanya penyakit tersebut.
Diagnosis banding :
Dengan adanya gejala di berbagai organ, maka penyakit-penyakit yang didiagnosis banding
banyak sekali. Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan SLE mempunyai gejala-gejala
yang menyerupai SLE, yaitu arthritis reumatika, sklerosis sistemik, dermatomiositis, dan
purpura trombositopenik
1102012227
1102012227
mengenai lupus. Selain itu merekapun memberikan advokasi dan bantuan finansial
untulk pasienyang kurang mampu dalam pengobatan.
c. Istirahat
Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup, selain
perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.
d. Tabir surya
Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar
matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang
berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum
terpapar, diulang tiap 4-6 jam.
e. Monitor ketat
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat
demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan
pemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kejadian
kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada penderita SLE,
sehingga perlu pengendalian faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan
hipertensi.
Penatalaksanaan secara farmakologis :
a. Siklofosfamid
Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama nefropati
lupus.
Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m 2) lebih efektif
dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele ginjal, mempertahankan
fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Manifestasi non renal yang efektif dengan
siklofosfamid adalah sitopenia, kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.
Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3
mg/kgBB dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3. Monitoring jumlah
leukosit dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3
bulan.
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat ditemukan
rambut
rontok namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-dependent biasanya timbul
setelah 12 hari pengobatan sehingga diperlukan penyesuaian dosis dengan leukosit.Risiko
terjadi infeksi bakteri, jamur dan virus terutama Herpes zoster meningkat. Efek samping pada
gonad
yaitu
menyebabkan
kegagalan
fungsi
ovarium
dan
azospermia.Pemberian
hormon Gonadotropin releasing hormone atau kontrasepsi oral belum terbukti efektif. Pada
10
1102012227
penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini
sebaiknya dihindarkan.
b.
Azathioprine
Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan mempengaruhi
fungsi imun seluler dan humoral. Pada SLE obat ini digunakan sebagai alternatif
siklofosfamid untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk
manifestasi non renal seperti miositis dan sinovitis yang refrakter.
Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat dinaikkan dengan
interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit >
3500/mm3 dan metrofil > 1000. Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka dosisnya
harus dikurangi menjadi 60-75%.
Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya terjadi
yaitu supresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Azathioprine juga sering
dihubungkan dengan hipersensitifitas dengan manifestasi demam, ruam di kulit dan
peningkatan serum transaminase. Keluhan biasanya bersifat reversibel dan menghilang
setelah obat dihentikan. Oleh karena dimetabolisme di hati dan dieksresikan di ginjal maka
fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara periodik. Obat ini merupakan pilihan
imunomodulator pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 1-1,5
mg/kgBB/hari karena relatif aman.
d. Leflunomide (Arava)
11
1102012227
Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang disetujui pada
pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah melaporkan keuntungan pada
pasien SLE yang pada mulanya diberikan karena ketergantungan steroid.Pemberian dimulai
dengan loading dosis 100 mg/hari untuk 3 hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari.
e.
Methotrexate
Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan terbukti
efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah
peningkatan serum transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer, sehingga
perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang
mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
f. Siklosporin
Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan
menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi (C3,
C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit.
Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka dosisnya harus
disesuaikan efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hiperplasia gusi,
hipertrikhosis, dan peningkatan kreatinin serum. Siklosporin terutama bermanfaat untuk
nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik yang refrakter, sehingga monitoring
tekanan darah dan fungsi ginjal harus dilakukan secara rutin. Siklosporin A dapat diberikan
pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari karena
relatif aman.
Hormon Seks
Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi
prolaktin terbukti bermanfaat mengurangi aktifitas penyakit SLE. Dehidroepiandrosteron
(DHEA) bermanfaat untuk SLE dengan aktifitas ringan sampai sedang. Danazole (sintetik
steroid) dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia autoimun
terutama trombositopeni dan anemia hemolitik. Estrogen replacement therapy (ERT) dapat
dipertimbangkan pada pasien-pasien SLE yang mengalami menopause, namun masih terdapat
perdebatan mengenai kemampuan kontraseptif oral atau ERT dalam menimbulkan flare
SLE. Untuk itu terapi ini harus ditunda pada pasien dengan riwayat trombosis.
Kortikosteroid
Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE.
Sediaan topikal atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan
untuk artritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian per
12
1102012227
oral dosisnya bervariasi dari 5-30 mg prednison (metilprednisolon) per hari secara tunggal
atau dosis terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis
dan serositis. Seringkali kortikosteroid diberikan bersamaan dengan antimalaria atau
imunomodulator dengan tujuan untuk mendapatkan induksi yang cepat kemudian diturunkan
dosisnya. Adanya keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi
atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednison dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari).
Kortikosteroid parenteral juga dapat digunakan pada keadaan yang sangat berat, mengancam
jiwa, dengan dosis metilprednisolon bolus 1000 mg selama 3 hari berturut-turut.
Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama antara lain habitus
cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirsutism,
percepatan osteoporosis, nekrosis iskemi tulang, katarak, glaucoma, diabetes mellitus,
myopati, hipokalemia, menstruasi yang tidak teratur, iritabilitas, insomnia, dan psikosa. Oleh
karenanya setelah aktifitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan
atau kalau mungkin dihentikan atau diberikan dalam dosis terkecil selang sehari.
Untuk meminimalisasi osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/ hari pada
pasien dengan eksresi kalsium urin 24 jam lebih dari 120 mg. Diberikan pula vitamin D
50.000 unit 1-3 kali seminggu (monitor hiperkalsemia). Dalam mencegah osteoporosis dapat
pula diberikan kalsitonin dan bifosfonat (alendronat, didronel atau actonel). Kortikosteroid
pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik selama kehamilan meskipun dapat
menimbulkan eksaserbasi diabetes dan hipertensi. Tidak terdapat bukti bahwa kortikosteroid
menyebabkan defek kongenital tetapi mungkin dapat menyebabkan berat badan bayi lahir
rendah dan ketuban pecah dini.
NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug)
NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis,
perikarditis dan sakit kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf pusat harus
dibedakan dengan aktifitas lupus yang menghebat. Adanya proteinuria yang baru timbul atau
perburukan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh aktifitas SLE atau efek NSAID. NSAID juga
dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala, psikosis dan gangguan kognitif,
meningkatkan serum transaminase secara reversibel. Gangguan gastrointestinal merupakan
efek samping paling sering ditimbulkan oleh inhibitor COX non-selektif. Inhibitor COX-2
selektif lebih sedikit efek sampingnya pada gastrointestinal. Pada penderita SLE dengan
nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan karena
dapat mengakibatkan kelainan kongenital dan dieksresikan dalam air susu.
13
1102012227
Plasmaferesis
Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi. Indikasinya
adalah kasus
lupus
disertai
krioglobulinemia,
sindroma
hiperviskositas
dan
TTP
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
1102012227
Hipertensi
Gangguan pertumbuhan pada anak
Gangguan paru-paru kronik
Abnormalitas mata
Kerusakan ginjal permanen
Gejala neuropsikiatri
Kerusakan muskuloskeletal, dan gangguan fungsi gonad
L.O. 2.11. Prognosis
Beberapa tahun terakhir ini prognosis lupus semakin membaik, banyak penderita yang
menunjukkan penyakit yang ringan. Wanita hamil penderita lupus dapat bertahan sampai
melahirkan bayi yang normal. Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%.
Prognosis yang paling buruk ditemukan pada penderita yang mengalami kelainan otak, paruparu, jantung dan penyakit jantung yang berat.
L.I.3. Memahami dan mempelajari sabar dalam mengahadapi musibah dalam perspektif
Islam.
L.O.3.1. Menjelaskan sabar
Ash-Shabr (sabar) secara bahasa artinya al-habsu (menahan), dan diantara yang
menunjukkan pengertiannya secara bahasa adalah ucapan: qutila shabran yaitu dia terbunuh
dalam keadaan ditahan dan ditawan. Sedangkan secara syariat adalah menahan diri atas tiga
perkara: yang pertama: (sabar) dalam mentaati Allah, yang kedua: (sabar) dari hal-hal yang
Allah haramkan, dan yang ketiga: (sabar) terhadap taqdir Allah yang menyakitkan.
Ayat Al-Quran :
Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan
tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah supaya
kalian beruntung. (Aali Imraan:200)
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka
tanpa batas. (Az-Zumar:10)
Hadist :
Sabar yang sebenarnya ialah sabar pada saat bermula (pertama kali) tertimpa
musibah. (H.R. Bukhari)
15
1102012227
16