Anda di halaman 1dari 16

Ratih laura Sabrina

1102012227

Skenario 3 MPT : Rona Merah di Pipi


L.I. 1. Memahami dan mempelajari penyakit autoimun.
L.O.1.1. Definisi
Autoimun ialah reaksi sistem imun terhadap antigen jaringan sendiri. Antigen tersebut
disebut autoantigen sedang antibodi yang dibentuk disebut autoantibodi. Penyakit autoimun
yaitu ketidakmampuan mengenal dan memberikan respons terhadap antigen asing tetapi tidak
terhadap antigen sendiri (self-nonself discrimination). Ketidakmampuan sistem imun untuk
memberikan respons terhadap antigen tubuh sendiri disebut toleransi diri (self-tolerance).
Kresno, S.B. 2003. Imunologi:Diagnosis dan Produser Laboratorium. Edisi keempat.
Jakarta : Badan Penerbit FKUI.
Bratawidjaja, K.G. 2001. Imunologi Dasar. Edisi keempat. Jakarta : Badan Penerbit FKUI.
L.O.1.2. Etiologi
a. Faktor genetik
Dasar dari autoimunitas adalah predisposisi genetik. Hubungan genetik dengan
predisposisi penyakit autoimun yang paling jelas adalah hubungannya dengan MHC.
Hubungan ini karena penyakit autoimun bergantung pada sel T sedangkan seluruh respons
imun diperantai sel T bergantung pada MHC.
b. Ketidakseimbangan sitokin
Ketidakseimbangan sitokin yang diproduksi oleh sel Th1 dan Th2 yang disebabkan
defek dalam struktur, transkripsi dan fungsi gen sitokin atau gen reseptor sitokin.
c. Sequestered antigen
Antigen sendiri yang karena letak anatominya tidak terpajan dengansel B atau sel T dari
sistem imun. Pada keadaan normal, antigen sekuester dilindungi dan tidak ditemukan untuk dikenal sistem
imun.Perubahan anatomik dalam jaringan, seperti inflamasi atau infeksi dapat memajankan
antigensekuester dengan antigen, yang mengakibatkan terbentuknya autoantibodi karena
antigensekuester tersebut dianggap benda asing oleh sistem imun.
d. Aktivasi dan kelainan pada sel-sel T autoreaktif
Yang mengakibatkan aktivasi sel T autoreaktif adalah respons sel Th1 dan
pembentukan berbagai jenis epitop atau peptida baru yang tidak pernah diekspresikan
sebelumnya oleh sel dendritik kelenjar thymus. Kelaianan pada sel T autoreaktif yaitu tidak
memiliki gen yang menyandi CTL-4 (Cytotoxic T lymphocyte antigen-4).
e. Rangsangan molekul poliklonal
Terjadi karena molekul poliklonal seperti virus Epstain-Bar dapat merangsang sel B
secara langsung dan menimbulkan autoimunitas.
1

Ratih laura Sabrina

1102012227

f. Reaksi silang dengan antigen bakteri


Reaksi autoimun diduga terjadi akibat respons terhadap antigen yang mempunyai
reaksi silang dengan mikroorganisme yang masuk badan.
g. Kadar sitokin menurun
h. Gangguan MHC
i. Gangguan terhadap respons IL-2
L.O.1.3. Klasifikasi
Penyakit autoimun menurut organ :
a. Penyakit autoimun organ spesifik
Terbentuknya antibodi terhadap jaringan alat tubuh. Contoh alat tubuh yang menjadi
sasaran yaitu kelenjar tiroid, kelenjar adrenal, lambung dan pankreas.
Yang termasuk penyakit autoimun spesifik :
Tiroiditis Hashimoto
Tirotoksikosis
Anemia pernisiosa
Gastritis atrofi autoimun
Penyakit addison
b. Penyakit autoimun non-organ spesifik
Penyakit autoimun yang non-organ spesifik terjadi karena dibentuknya antibodi
terhadap autoantigen yang tersebar luas di dalam tubuh, misalnya DNA. Pada
penyakit autoimun yang non-organ spesifik sering juga dibentuk kompleks imun yang
di endapkan pada dinding pembuluh darah, kulit, sendi dan ginjal serta menimbulkan
kerusakan.
Perbedaan antara penyakit imun organ spesifik dan non-spesifik
Organ Spesifik

Non-organ spesifik

Antigen

Terdapat di dalam alat Tersebar di seluruh tubuh

Kerusakan

tubuh tertentu
Antigen dalam tubuh

Penimbunan
sistemik

Tumpang tindih

kompleks

dalm

sendi dan kulit


Dengan antibodi organ Dengan antibodi
spesifik dan penyakit lain

organ

spesifik

ginjal,
nondan

penyakit lain.
Penyakit autoimun menurut mekanisme :
a. Penyakit autoimun melalui antibodi
Anemia hemolitik autoimun

Ratih laura Sabrina

1102012227

Salah satu penyebab menurunnya jumlah sel darah merah dalam sirkulasi ialah
destruksi oleh antibodi terhadap antigen pada permukaan sel tersebut.
Destruksi sel dapat terjadi akibat aktivasi komplemen dan opsonisasi oleh
antibodi dan komponen komplemen. Antibodi yang dapat menimbulkan
anemia hemolitik autoimun dibagi dalam 2 golongan berdasarkan sifat

fisiknya yaitu antibodi panas dan dingin.


Miastenia gravis
Timbulnya miastenia gravis berhubungan dengan timus. Pada umumnya
penderita menunjukkan timoma atau hipertrofi timus dan bila kelenjar timus di

angkat, penyakit kadang-kadang dapat menghilang.


Tirotoksikosis
Pada tirotokosis, autoantibodi dibentuk terhadap reseptor hormon. Disini

dibentuk antibodi terhadap reseptor thyroid stimulating hormon (TSH).


b. Penyakit autoimun melalui kompleks imun
Lupus erimatosus sistemik
Agrerat kompleks imun akan disaring di ginjal dan mengendap di membran
basal glomerulus. Kompleks lainnya mungkin mengendap di dinding arteri
dan sendi dan membentuk endapan lumpy-bumpy. Kompleks tersebut
mengaktifkan komplemen dan menarik granulosit dan menimbulkan refleks
inflamasi sebagai glomerulonefritis. Derajat gejala penyakit dapat berubah

ubah sesuai dengan kadar kompleks imun.


Artritis reumatoid
Pada penyakit ini dibentuk imunoglobin yang berupa IgM (disebut reumatoid
factor), yang spesifik terhadap fraksi Fc dari molekul IgG. Kompleks RF dan
IgG ditimbun di sinovia sendi dan mengaktifkan komplemen yang melepas
mediator dengan sifat kemotaktik terhadap granulosit. Respon inflamasi dan

peningkatan permeabilitas vaskuler menimbulkan pembengkakan sendi.


c. Penyakit autoimun melalui sel T
Hashimoto thyroiditis
d. Penyakit autoimun melalui komplemen
L.O.1.4. Mekanisme
a. Kerusakan akibat destruksi sel
Kerusakan jaringan ini disebabkan reaksi autoantibodi dengan struktur permukaan sel
terhadap komponen seluler tertentu. Destruksi biasanya terjadi bila ada komplemen
seperti yang tampak pada anemia hemolitik autoimun, atau melalui sitoktosisitas
seluler dengan bantuan antibodi.
b. Kerusakan akibat pembentukan kompleks imun

Ratih laura Sabrina

1102012227

Kompleks imun berperan dalam autoimunitas sistemik. Kerusakan jaringan diawali


dengan pembentukan kompleks imun yaitu kompleks autoantibodi-autoantigen yang
menimbulkan aktivitas komplemen, granulosit dan monosit. Aktivasi komplemen
ditandai dengan penurunan kadar komplemen antara lain C4. Selanjutnya proses ini
menyebabkan kerusakn jaringan sistemik.
c. Kerusakan akibat reaksi imunologik selular
Kerusakan jaringan terjadi karena sel T sitotoksik yang tersensitisasi merusak sel atau
jaringan secara langsung atau melalui produksi limfokin oleh sel T yang menyulut
respons inflamasi.
L.I.2. Memahami dan mempelajari systemic lupus eritomatosus.
L.O.2.1. Definisi
Systemic lupus eritomatosus (SLE) adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai
adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh.
Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan.
Jenis-jenis lupus

Cutaneus Lupus : Seringkali disebut discoid yang mempengaruhi kulit.


Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yang menyerang organ tubuh seperti
kulit, persendian, paru-paru, darah, pembuluh darah, jantung, ginjal, hati, otak,

dan syaraf.
Drug Induced Lupus(DIL), timbul karena menggunakan obat-obatan tertentu.
Setelah pemakaian dihentikan, umumnya gejala akan hilang.

Alwi, I., Setiati, S., Setiyohadi, B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Interna Publishing
L.O.2.2. Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, systemic lupus eritomatosus (SLE) telah menjadi salah satu
penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda-beda
bervariasi antara 2.9/100.000-400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu
seperti bangsa negro, Cina dan mungkin Filipina. Faktor ekonomi dan geografis tidak
mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tepai
paling banyak pada usia produktif. Frekuensi terkena penyakit SLE lebih banyak pada wanita
dibandingkan pria.
Alwi, I., Setiati, S., Setiyohadi, B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Interna Publishing.
4

Ratih laura Sabrina

1102012227

L.O. 2.3. Etiologi


Etiologi SLE belum diketahui secara pasti. Faktor genetik diduga berperanan penting
dalam predisposisi penyakit ini. Interaksi antara sex, status hormonal dan aksis hipotalamushipofise-adrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE.
Adanya gangguan dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan pembersihan
sel-sel apoptosis dan kompleks imun. Hilangnya toleransi imun, meningkatkan beban
antigenik, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun
dari T helper 1 ke sel T helper 2 yang menyebabkan hiperaktivitas sel B dan memproduksi
autoantibodi patogenik.
Respon imun yang terpapar faktor eksternal yaitu lingkungan seperti radiasi
ultraviolet bisa menyebabkan disregulasi sistem imun.
Alwi, I., Setiati, S., Setiyohadi, B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Interna Publishing.
L.O.2.4. Patofisiologis
Penderita SLE memproduksi autoantibodi yang targetnya meliputi banyak antigen
jaringan, misalnya DNA, histon, sel darah merah, trombosit, leukosit, dan faktor pembekuan;
interaksi antara auto-antibodi dengan antigen-antigen tersebut dapat menimbulkan gejala
klinik yang berbeda. Misalnya saja, autoantibodi yang spesifik dengan sel darah merah dan
trombosit, dapat menyebabkan lysis yang dimediasi oleh komplemen, sehingga menyebabkan
hemolytic anemia dan thrombocytopenia. Ketika terjadi komplek imun antara autoantibodi
dengan antigen nucleus yang ada di sepanjang dinding pembuluh darah, maka dapat terjadi
hipersensitivitas tipe III.
Komplek tersebut dapat mengaktivasi sistem komplemen, sehingga komplek imun
dirusak dan juga menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Hal inilah yang
menyebabkan vasculitis dan glomerulonephritis.
Aktivasi komplemen yang berlebihan pada penderita SLE berat menyebabkan
peningkatan kadar produk sampingan komplemen (C3a dan C5a) di dalam serum. C5a dapat
memicu peningkatan ekspresi complemen receptor tipe 3 (CR3) pada netrofil, yang mampu
memfasilitasi agregasi netrofil dan penempelan netrofil ke dinding pembuluh darah. Ketika
netrofil menempel ke pembuluh darah kecil, jumlah netrofil yang bersirkulasi dapat
berkurang, dan menyebabkan vasculitis. (Kindt, et. al., 2007)
L.O. 2.5 Manifestasi Klinis

Ratih laura Sabrina

1102012227

Manifestasi klinik yang ditunjukkan bersifat sistemik, yaitu demam, anorexia, malaise,
dan penurunan berat badan. Beberapa penderita mengalami lesi kulit; namun malar rash/rona
merah berbentuk kupu-kupu di pipi hanya terjadi pada kurang dari setengah penderita SLE.
Beberapa manifestasi pada kulit lainnya yaitu discoid lupus, lesi pada ujung jari, periungual
erythema, dan pendarahan seperti tergores. Alopecia juga dilaporkan umum terjadi.
Manifestasi lainnya, misalnya terjadi pada persendian, terjadi pada kurang lebih 90%
dari penderita SLE, dan merupakan manifestasi yang pertama kali muncul.
Pada mata, terlihat conjunctivitis, photo-phobia, kebutaan monokular, dan
pengelihatan yang rabun. Dapat dilihat juga bercak-bercak pada retina (cytoid bodies), akibat
dari degenerasi saraf karena oklusi pembuluh darah retina.
Pleurisy, effusi pleura, bronchopneumonia, dan pneumoitis juga dilaporkan sering
terjadi. Gejala sesak nafas dapat terjadi. Pendarahan alvolus jarang terjadi, namun bersifat
mengancam jiwa. (Papadakis, 2013)
L.O. 2.6 Diagnosis dan diagnosis banding
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:

Sakit pada persendian (arthralgia)


Demam di atas 38C
Bengkak pada sendi (arthritis)
Penderita lemah, malaise, dan kelelahan
Ruam pada kulit
Gejala anemia
Sakit di dada jika menghirup nafas dalam
Ruam berbentuk kupu-kupu melintang pada pipi dan hidung
Photophobia
Jari terlihat putih/biru pucat saat dingin (Raynauds Phenomenon)
Sariawan pada rongga mulut dan tenggorokan

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada SLE yang paling utama adalah tes autoantibodi. Tes
antibody antinukleus dilakukan dengan melakukan immunofluorescence. Tes tersebut cukup
sensitive namun tidak spesifik terhadap SLE; tes ini dapat menghasilkan nilai positif tidak
hanya pada penderita lupus, tapi juga pada penderita rheumatoid arthritis, autoimmune
thyroid disease, scleroderma, dan Sjgren syndrome. Hasil negatif yang tidak benar (falsenegative) dapat terjadi
6

Ratih laura Sabrina

1102012227

pada pemeriksaan dengan ELISA. Pemeriksaan antibodi terhadap DNA untai ganda dan
terhadap Sm teruji spesifik SLE, namun tidak sensitif, karena positif pada 60% (spesivisitas)
dan 30% (sensitivitas) penderita. (Papadakis, 2013)
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan antara lain:
a. Pemeriksaan darah lengkap untuk melihat jumlah leukosit, trombosit, limfosit, dan
kadar Hb serta LED.
b. Tes ANA (Antinuclear Antibody), yaitu tes deteksi antibodi anti-nukleus yang
memiliki sensitivitas yang tinggi namun spesivisitas yang rendah
c. Tes Anti dsDNA (double stranded DNA)
yaitu : untuk menentukan apakah pasien memiliki antibodi terhadap materi genetik di
dalam sel, spesifik untuk SLE dan umumnya titer meningkat sebelum SLE kambuh
d. Tes antibodi anti-S (smith)
e. Tes Anti-RNP (Ribonukleoprotein), anti-ri/anti-SS-a, anti La (antikoagulan lupus anti
SSB,dan antibodi antikardiolipin). Titernya tidak terkait dengan kambuhnya SLE
f. Komplemen C3, C4, dan CH50
g. Tes anti ssDNA (single stranded). Pasien dengan anti ssDNA positif cenderung
menderita nefritis.
h. Pemeriksaan anti-Sm antibodi
yaitu : untuk menentukan apakah ada antibodi terhadap Sm (proteinyang ditemukan
dalam sel protein inti).
i. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan immune complexes (kekebalan) di dalam
darah
j. Pemeriksaan untuk menguji tingkat total dari serum complement (kelompok protein
yang dapat terjadi pada reaksi kekebalan) dan pemeriksaan untuk menilai tingkat spes
ifikdari C3 dan C4 dua jenis protein dari kelompok pemeriksaan ini.
k. Pemeriksaan sel LE (LE cell prep)
Pemeriksaan darah untuk mencari keberadaan jenis sel tertentu yang dipengauhi
membesarnya antibodi terhadap lapisan inti sel lain pemeriksaan ini jarang digunakan
jika dibandingkan dengan pemeriksaan ANA, karena pemeriksaan ANA lebih peka
l.
m.
n.
o.
p.

untuk mendeteksi penyakit Lupus dibandingkan dengan LE cell prep.


Pemeriksaan darah lengkap, leukosit, thrombosit
Urine Rutin
Antibodi Antiphospholipid
Biopsy Kulit
Biopsy Ginjal

Hasil pemeriksaan ANA positif pada hampir semua pasien dengan sistemik lupis dan ini

Ratih laura Sabrina

1102012227

merupakan pemeriksaan diagnosa terbaik yang ada saat ini untuk mengenali sistemik lupus.
Hasil pemeriksaan ANA negatif merupakan bukti kuat bahwa lupus bukanlah

penyebab

sakitnya orang tersebut walaupun sangat jarang terjadi dimana SLE muncul tanpa
ditemukannya ANA.
Kemungkinan seseorang mempunyai pemeriksaan ANA positif akan meningkat seirin
g dengan meningkatnya usia. Pola dari hasil pemeriksaan ANA sangat membantu dalam
menentukan jenis penyakit autoimun yang muncul dan menentukan program pengobatan
seperti apa yang cocok bagi seorang pasien Lupus. Hasil pemeriksaan ANA bisa positif pada
banyak keadaan, oleh karena itu dalam pemeriksaan ANA harus didukung dengan catatan
kesehatan pasien serta gejala-gejala klinis lainnya.
Karena itu apabila hasil tes laboratorium ANA positif (hanya ANA saja) tidak cukupu
ntuk mendiagnosa lupus. Lain halnya jika ANA negatif merupakan bantahan terhadap lupusak
an tetapi tidak sepenuhnya mengesampingkan adanya penyakit tersebut.

Diagnosis banding :
Dengan adanya gejala di berbagai organ, maka penyakit-penyakit yang didiagnosis banding
banyak sekali. Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan SLE mempunyai gejala-gejala
yang menyerupai SLE, yaitu arthritis reumatika, sklerosis sistemik, dermatomiositis, dan
purpura trombositopenik

Ratih laura Sabrina

1102012227

L.O. 2.7. Talakasanaan


Hingga kini SLE belum dapat disembuhkan dengan sempurna. Namun, pengobatan yang
tepat dapat menekan gejala klinis dan komplikasi yang mungkin terjadi, mengatasi fase akut
dan dengan demikian dapat memperpanjang remisi dan survival rate.1
Penatalaksanaan SLE sesuai dengan gejala yang ditimbulkannya. Penatalaksanan utama
adalah menciptakan suatu lingkungan yang dapat memberikan istirahat pada jiwa dan raga,
perlindungan dari sinar matahari (bahkan yang melalui jendela), nutrisi yang sehat, terapi
pencegahan infeksi, menghindari semua alergen dan faktor-faktor yang dapat memperberat
penyakit
Penatalaksanaan non-farmako :
a. Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan
penyakit yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai
macam manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang
berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa cemas yang
berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting diberikan pemahaman bahwa
bila akan hamil maka sebaiknya kehamilan direncanakan saat penyakit sedang remisi,
sehingga dapat mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun
penderita selama hamil.
b. Dukungan sosial dan psikologis.
Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer
group atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi
pasien Lupus, yakni care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di
Jakarta. Mereka bekerjasama melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan masyarakat

Ratih laura Sabrina

1102012227

mengenai lupus. Selain itu merekapun memberikan advokasi dan bantuan finansial
untulk pasienyang kurang mampu dalam pengobatan.
c. Istirahat
Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup, selain
perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.
d. Tabir surya
Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar
matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang
berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum
terpapar, diulang tiap 4-6 jam.
e. Monitor ketat
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat
demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan
pemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kejadian
kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada penderita SLE,
sehingga perlu pengendalian faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan
hipertensi.
Penatalaksanaan secara farmakologis :
a. Siklofosfamid
Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama nefropati
lupus.
Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m 2) lebih efektif
dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele ginjal, mempertahankan
fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Manifestasi non renal yang efektif dengan
siklofosfamid adalah sitopenia, kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.
Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3
mg/kgBB dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3. Monitoring jumlah
leukosit dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3
bulan.
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat ditemukan
rambut
rontok namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-dependent biasanya timbul
setelah 12 hari pengobatan sehingga diperlukan penyesuaian dosis dengan leukosit.Risiko
terjadi infeksi bakteri, jamur dan virus terutama Herpes zoster meningkat. Efek samping pada
gonad

yaitu

menyebabkan

kegagalan

fungsi

ovarium

dan

azospermia.Pemberian

hormon Gonadotropin releasing hormone atau kontrasepsi oral belum terbukti efektif. Pada
10

Ratih laura Sabrina

1102012227

penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini
sebaiknya dihindarkan.
b.

Mycophenolate mofetil (MMF)

MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate dehydrogenase, yaitu suatu


enzim
yang penting untuk sintesis purin. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan T serta
mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria dan
memperbaiki kreatinin serum pada penderita SLE dan nefritis yang resisten terhadap
siklofosfamid.
Efek samping yang terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare. Kombinasi
MMF dan Prednison sama efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral dan prednison
yang dilanjutkan dengan azathioprine dan prednisone. MMF diberikan dengan dosis 5001000 mg dua kali sehari sampai adanya respons terapi dan dosis obat disesuaikan dengan
respons tersebut. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat
golongan ini sebaiknya dihindarkan.
c.

Azathioprine

Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan mempengaruhi
fungsi imun seluler dan humoral. Pada SLE obat ini digunakan sebagai alternatif
siklofosfamid untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk
manifestasi non renal seperti miositis dan sinovitis yang refrakter.
Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat dinaikkan dengan
interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit >
3500/mm3 dan metrofil > 1000. Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka dosisnya
harus dikurangi menjadi 60-75%.
Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya terjadi
yaitu supresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Azathioprine juga sering
dihubungkan dengan hipersensitifitas dengan manifestasi demam, ruam di kulit dan
peningkatan serum transaminase. Keluhan biasanya bersifat reversibel dan menghilang
setelah obat dihentikan. Oleh karena dimetabolisme di hati dan dieksresikan di ginjal maka
fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara periodik. Obat ini merupakan pilihan
imunomodulator pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 1-1,5
mg/kgBB/hari karena relatif aman.
d. Leflunomide (Arava)

11

Ratih laura Sabrina

1102012227

Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang disetujui pada
pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah melaporkan keuntungan pada
pasien SLE yang pada mulanya diberikan karena ketergantungan steroid.Pemberian dimulai
dengan loading dosis 100 mg/hari untuk 3 hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari.
e.

Methotrexate

Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan terbukti
efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah
peningkatan serum transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer, sehingga
perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang
mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
f. Siklosporin
Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan
menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi (C3,
C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit.
Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka dosisnya harus
disesuaikan efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hiperplasia gusi,
hipertrikhosis, dan peningkatan kreatinin serum. Siklosporin terutama bermanfaat untuk
nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik yang refrakter, sehingga monitoring
tekanan darah dan fungsi ginjal harus dilakukan secara rutin. Siklosporin A dapat diberikan
pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari karena
relatif aman.
Hormon Seks
Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi
prolaktin terbukti bermanfaat mengurangi aktifitas penyakit SLE. Dehidroepiandrosteron
(DHEA) bermanfaat untuk SLE dengan aktifitas ringan sampai sedang. Danazole (sintetik
steroid) dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia autoimun
terutama trombositopeni dan anemia hemolitik. Estrogen replacement therapy (ERT) dapat
dipertimbangkan pada pasien-pasien SLE yang mengalami menopause, namun masih terdapat
perdebatan mengenai kemampuan kontraseptif oral atau ERT dalam menimbulkan flare
SLE. Untuk itu terapi ini harus ditunda pada pasien dengan riwayat trombosis.
Kortikosteroid
Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE.
Sediaan topikal atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan
untuk artritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian per
12

Ratih laura Sabrina

1102012227

oral dosisnya bervariasi dari 5-30 mg prednison (metilprednisolon) per hari secara tunggal
atau dosis terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis
dan serositis. Seringkali kortikosteroid diberikan bersamaan dengan antimalaria atau
imunomodulator dengan tujuan untuk mendapatkan induksi yang cepat kemudian diturunkan
dosisnya. Adanya keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi
atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednison dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari).
Kortikosteroid parenteral juga dapat digunakan pada keadaan yang sangat berat, mengancam
jiwa, dengan dosis metilprednisolon bolus 1000 mg selama 3 hari berturut-turut.
Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama antara lain habitus
cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirsutism,
percepatan osteoporosis, nekrosis iskemi tulang, katarak, glaucoma, diabetes mellitus,
myopati, hipokalemia, menstruasi yang tidak teratur, iritabilitas, insomnia, dan psikosa. Oleh
karenanya setelah aktifitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan
atau kalau mungkin dihentikan atau diberikan dalam dosis terkecil selang sehari.
Untuk meminimalisasi osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/ hari pada
pasien dengan eksresi kalsium urin 24 jam lebih dari 120 mg. Diberikan pula vitamin D
50.000 unit 1-3 kali seminggu (monitor hiperkalsemia). Dalam mencegah osteoporosis dapat
pula diberikan kalsitonin dan bifosfonat (alendronat, didronel atau actonel). Kortikosteroid
pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik selama kehamilan meskipun dapat
menimbulkan eksaserbasi diabetes dan hipertensi. Tidak terdapat bukti bahwa kortikosteroid
menyebabkan defek kongenital tetapi mungkin dapat menyebabkan berat badan bayi lahir
rendah dan ketuban pecah dini.
NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug)
NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis,
perikarditis dan sakit kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf pusat harus
dibedakan dengan aktifitas lupus yang menghebat. Adanya proteinuria yang baru timbul atau
perburukan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh aktifitas SLE atau efek NSAID. NSAID juga
dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala, psikosis dan gangguan kognitif,
meningkatkan serum transaminase secara reversibel. Gangguan gastrointestinal merupakan
efek samping paling sering ditimbulkan oleh inhibitor COX non-selektif. Inhibitor COX-2
selektif lebih sedikit efek sampingnya pada gastrointestinal. Pada penderita SLE dengan
nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan karena
dapat mengakibatkan kelainan kongenital dan dieksresikan dalam air susu.
13

Ratih laura Sabrina

1102012227

Plasmaferesis
Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi. Indikasinya
adalah kasus

lupus

disertai

krioglobulinemia,

sindroma

hiperviskositas

dan

TTP

(Thrombotyc Thrombocytopenic Purpura).


Immunoglobulin Intravena
Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme kerja
yang luas, meliputi blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti
immunosupresan, IV Ig tidak mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis
400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut memberikan perbaikan pada trombositopeni,
artritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang
terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala dan artralgia, serta kadang meningitis aseptik.
Kontraindikasi diberikan pada penderita SLE dengan defisiensi IgA.
http://internershs.com. Diagnosis dan Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik
LO. 2.8. Pencegahan
Pencegahan systemic lupus eritematosus
Untuk mencegah kekambuhan SLE, pasien sebaiknya melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Hindari stress dan trauma fisik.
Stress dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memliki kecenderungan akan
penyakit ini.
b. Hindari merokok.
c. Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi.
d. Cukuplah beristirahat.
Kelelahan dan aktivitas fisik yang berlebih bisa memicu kambuhnya SLE.
e. Diet sesuai kelainan.
f. Hindari infeksi
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit ini
kambuh setelah infeksi.
g. Hindari pajanan sinar ultraviolet
Sinar ultraviolet dapat menimbulkan kelainan kulit seperti timbulnya bercak
kemerahan yang menonjol atau menebal.
h. Hindari obat-obatan yang mengandung hormon estrogen.
http://buletinsehat.com/obat/sistemik-lupus-eritematosus-sle/. Sistemik Lupus Eritematosus.
22 Mei 2012. 20:31
LO. 2.10 Komplikasi
Komplikasi SLE meliputi:
14

Ratih laura Sabrina

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

1102012227

Hipertensi
Gangguan pertumbuhan pada anak
Gangguan paru-paru kronik
Abnormalitas mata
Kerusakan ginjal permanen
Gejala neuropsikiatri
Kerusakan muskuloskeletal, dan gangguan fungsi gonad
L.O. 2.11. Prognosis
Beberapa tahun terakhir ini prognosis lupus semakin membaik, banyak penderita yang

menunjukkan penyakit yang ringan. Wanita hamil penderita lupus dapat bertahan sampai
melahirkan bayi yang normal. Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%.
Prognosis yang paling buruk ditemukan pada penderita yang mengalami kelainan otak, paruparu, jantung dan penyakit jantung yang berat.
L.I.3. Memahami dan mempelajari sabar dalam mengahadapi musibah dalam perspektif
Islam.
L.O.3.1. Menjelaskan sabar
Ash-Shabr (sabar) secara bahasa artinya al-habsu (menahan), dan diantara yang
menunjukkan pengertiannya secara bahasa adalah ucapan: qutila shabran yaitu dia terbunuh
dalam keadaan ditahan dan ditawan. Sedangkan secara syariat adalah menahan diri atas tiga
perkara: yang pertama: (sabar) dalam mentaati Allah, yang kedua: (sabar) dari hal-hal yang
Allah haramkan, dan yang ketiga: (sabar) terhadap taqdir Allah yang menyakitkan.
Ayat Al-Quran :
Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan
tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah supaya
kalian beruntung. (Aali Imraan:200)
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka
tanpa batas. (Az-Zumar:10)
Hadist :
Sabar yang sebenarnya ialah sabar pada saat bermula (pertama kali) tertimpa
musibah. (H.R. Bukhari)

15

Ratih laura Sabrina

1102012227

Dari Suhaib ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, Sungguh menakjubkan


perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal
yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mumin: yaitu jika ia
mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut
merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia
mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya. (H.R. Muslim)
http://wikaprima.wordpress.com/2011/07/21/sabar-menurut-alquran-dan-hadits/
http://yasirmaster.blogspot.com/2011/06/ayat-ayat-al-quran-tentang-sabar.html

16

Anda mungkin juga menyukai