Anda di halaman 1dari 38

buni

<-- Thread -->


<-- Date -->

Find

persepsi sosial

memahami persepsi sosial


Ibun
Thu, 10 Aug 2006 06:09:01 -0700
----- Original Message ----From: "Sri Haryati" <[EMAIL PROTECTED]>
To: "Sigit Panggah" <[EMAIL PROTECTED]>; "sutrisno" <[EMAIL PROTECTED]>;
"Suharto (Geologist)" <[EMAIL PROTECTED]>; "sardjani pamudji"
<[EMAIL PROTECTED]>; <[EMAIL PROTECTED]>;
<[EMAIL PROTECTED]>; "Prijo Rahardjo" <[EMAIL PROTECTED]>; "Nus
Irwansjah" <[EMAIL PROTECTED]>; "Oyok Abang Effendi"
<[EMAIL PROTECTED]>; "ike deswita" <[EMAIL PROTECTED]>; "Ibrahim"
<[EMAIL PROTECTED]>; "Harso" <[EMAIL PROTECTED]>; "Didi" <[EMAIL
PROTECTED]>;
<[EMAIL PROTECTED]>; "Basrodin" <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Monday, August 07, 2006 8:08 AM
Subject: [Manager-Indonesia] Fw: RE Hati-hati Menilai Sampul
>
> Subject: RE Hati-hati Menilai Sampul
>
>
>>
>>
>>
>> Hati-hati Menilai Sampul
>>
>> Suatu ketika pada tahun 1986, di dalam kereta bawah tanah kota New
York,
>> Bernhard Goetz didekati empat orang anak muda yang meminta uang
darinya.
>> Hanya dalam hitungan detik, sekonyong-konyong Goetz menarik pistolnya
>> lalu
>> menembaki anak-anak muda itu. Ketika ditanyakan kenapa memilih Goetz,
>> bukan
>> penumpang lain, salah satu dari mereka mengangkat bahu sambil
bergumam,
>> "Dia
>> (Goetz) tampak lembut." Mereka telah keliru menilai sampul dan
berakibat

>> fatal.
>>
>> Menarik pada saat Gorbachev terpilih sebagai pemimpin Uni Soviet,
>> Menteri
>> Luar Negeri Andrei Gromyko mengatakan, "Pria ini memiliki senyum yang
>> manis,
>> namun giginya terbuat dari besi." (Time, 1988, dalam Brehm dan Kassin
>> 1989).
>>
>> Peringatan Gromyko itu berdasarkan pada asumsi bahwa manusia mudah
>> dikelabui
>> oleh penampilan. Apabila seseorang tampak lembut dan manis, terkesan,
ia
>> seolah-olah lemah dan tidak berdaya sebagai representasi
kelembutannya
>> itu.
>> Kendati, Goetz begitu spontan bertindak keras terhadap penodongnya.
>> Sedangkan Gorbachev digambarkan memiliki gigi (kekuatan) yang terbuat
>> dari
>> besi.
>>
>> Hal yang acap kali diujarkan orang justru terabai dalam praktiknya.
>> Terasa
>> mudah mengatakan,"Hati-hati, jangan menilai buku dari sampulnya."
Namun
>> diakui atau tidak sebagian besar orang sulit menemukan cara menilai
dari
>> sisi yang berbeda. Apalagi saat perjumpaan yang singkat. Kesan
terhadap
>> orang lain adalah persepsi sosial, yang sesungguhnya merupakan sumber
>> penting dalam pola interaksi antarmanusia. Persepsi sosial menentukan
>> hubungan seseorang dengan orang lain.
>>
>> Persepsi Sosial
>>
>> Menurut Brehm dan Kassin (1989), persepsi sosial adalah
>> penilaian-penilaian
>> yang terjadi dalam upaya manusia memahami orang lain. Tentu saja
sangat
>> penting, namun bukan tugas yang mudah bagi setiap orang. Tinggi,
berat,
>> bentuk tubuh, warna kulit, warna rambut, dan warna lensa mata, adalah
>> beberapa hal yang mempengaruhi persepsi sosial. Contohnya di Amerika
>> Serikat, wanita berambut pirang dinilai sebagai seorang yang hangat
dan
>> menyenangkan.
>>
>> Persepsi sosial terdiri atas tiga elemen yang merupakan petunjukpetunjuk
>> tidak langsung ketika seseorang menilai orang lain. Tiga elemen
tersebut
>> bersumber pada: pribadi (person), situasi (situation) dan perilaku
>> (behavior). Proses pembentukan persepsi sosial berdasarkan penilaian
>> pribadi, antara lain yang dilakukan dengan cepat, ketika melihat
>> penampilan
>> fisik seseorang. Termasuk di dalamnya jenis kelamin, usia, ras, latar
>> belakang etnik, dan beberapa aspek demografi lain.

>>
>> Sebagaimana kita percaya manusia terbagi dalam beberapa tipe,
demikian
>> pula
>> kita memiliki konsep awal tentang beragam situasi berdasarkan
pengalaman
>> terdahulu. Situasi sering dianggap sebagai naskah kehidupan. Semakin
>> banyak
>> pengalaman yang orang miliki dalam satu situasi, maka semakin
terperinci
>> isi
>> naskah yang disusunnya mengenai situasi tersebut. Ketika seseorang
merasa
>> sangat akrab dengan tipe situasi tertentu, maka peristiwa-peristiwa
akan
>> terletak tepat pada tempatnya, bagaikan potongan-potongan puzzle yang
>> tersusun rapi. Hal ini berarti, semakin kaya pengalaman hidup
seseorang,
>> semakin bijak persepsi sosial yang dibentuknya dari situasi.
>>
>> Elemen perilaku adalah mengidentifikasi perilaku yang diproduksi oleh
>> aktivitas seseorang. Perilaku membutuhkan bukti-bukti yang dapat
diamati.
>> Ketajaman pengamatan seseorang menentukan persepsi sosial yang
>> dibentuknya
>> berdasarkan gejala-gejala perilaku orang lain. Orang mengandalkan
>> perilaku
>> nonverbal untuk menguatkan penilaiannya, namun sering kali hasilnya
>> kurang
>> akurat. Masalahnya terletak pada terlalu banyak perhatian yang
ditujukan
>> pada kata-kata dan ekspresi wajah. Tombol komunikasi sepenuhnya
berada di
>> bawah kendali orang yang dinilai, sehingga ia dapat mengatur katakata
>> dan
>> ekspresinya. Namun isyarat bahasa tubuh dan perubahan intonasi suara
>> adalah
>> petunjuk yang sangat berharga dalam proses persepsi sosial bersumber
pada
>> elemen perilaku.
>>
>> Penelitian membuktikan persepsi sosial yang kita lakukan dalam upaya
>> membangun relasi interpersonal sering cukup akurat, namun tidak
selalu
>> demikian. Dalam hal inilah perlu dilakukan pengasahan mendalam agar
kita
>> dapat lebih tajam menilai orang lain.
>>
>> Tak kalah penting untuk dipahami adalah dua perbedaan radikal dalam
>> pembentukan persepsi sosial. Pertama, proses yang cepat dan otomatis.
>> Tanpa
>> terlalu banyak berpikir, menimbang, berhati-hati, dengan cepat orang
>> menilai
>> orang lain berdasarkan penampilan fisik, naskah kehidupan yang telah
>> tersusun sebagai konsep awal situasi, dan hasil pengamatan perilaku
yang

>> terjadi se- ketika.


>>
>> Kedua, proses yang dilalui dengan penuh pertimbangan. Orang mengamati
>> orang
>> lain secara seksama dan menunda penilaian, sampai ia selesai
menganalisis
>> orang tersebut berdasarkan ketiga elemen persepsi sosial.
>>
>> Pada dasarnya kedua cara yang berbeda dalam membentuk persepsi sosial
>> sah-sah saja dilakukan. Adakalanya penilaian dibuat seketika.
Misalnya
>> pada
>> perjumpaan yang singkat. Namun pada saat lain diperlukan pertimbangan
>> matang
>> dan analisis yang panjang sebelum persepsi dibentuk.
>>
>> Tetap Perlu Berhati-hatikah?
>>
>> Tentu saja kita tetap perlu berhati-hati. Penjelasan di atas
memberikan
>> latar belakang yang layak diyakini betapa persepsi sosial sangat
penting
>> dalam konteks hubungan antarmanusia. Persepsi sosial yang memproduksi
>> prasangka, berpotensi untuk berlanjut dalam tindakan-tindakan
tertentu
>> yang
>> dapat menguatkan keutuhan hubungan atau sebaliknya malah merusak dan
>> me

PERSEPSI LEGISLATIF TENTANG


PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
DI DAERAH
Oleh : Sutaat

ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan di tujuh propinsi, yakni Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa
Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Responden
penelitian adalah anggota DPRD kota dan kabupaten periode 1999-2004, terutama anggota
Komisi E. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa setelah responden diperkenalkan
dengan konsep, kebijakan, dan beberapa program bidang kesejahteraan sosial, secara umum
mereka setuju dengan apa yang digariskan oleh Departemen Sosial. Hal penting yang perlu
diperhatikan dalam pelaksanaan program, adalah kesesuaiannya dengan kondisi lokal.
Kendala yang dihadapi dalam pembangunan kesejahteraan sosial di daerah, adalah belum
memadainya kualitas SDM di daerah, diperlukan upaya pembinaan dan peningkatan kualitas
SDM secara terus menerus. Berdasarkan beberapa temuan hasil penelitian ini,
kekemukakan pula beberapa saran, antara lain perlunya sosialisasi dan dialog sesering
mungkin antara Departemen Sosial dengan lembaga legislatif dan ekskutif di daerah. Upaya
dimaksud akan lebih berhasil bila disertai dengan publikasi berbagai produk kebijakan,
program, maupun panduan-panduan yang dapat dijadikan acuan oleh daerah dalam
melaksanakan pembangunan kesejahteraan sosial di wilayahnya.

A.

PENDAHULUAN
Menurut informasi dari beberapa instansi sosial di daerah, dampak
diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah

(kemudian

diperbaharui

dengan

UU

N0.

32

tahun

2004),

menimbulkan hal-hal yang dirasakan menjadi kendala dalam kelancaran


pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial di daerah. Kendala
dimaksud antara lain adanya beberapa daerah yang tidak mempunyai
instansi sosial yang berdiri sendiri; ada perbedaan nomenklatur yang
menangani masalah sosial baik di daerah propinsi maupun kota/kabupaten;
beban daerah ditambah dengan minimnya anggaran yang bersumber dari
APBD, sementara itu pengelolaan Unit Pelaksana Teknis (UPT) pusat yang
diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Kondisi tersebut menunjukkan belum
memadainya

perhatian

kesejahteraan sosial.

pemerintah

daerah

terhadap

pembangunan

Keengganan Pemerintah Daerah untuk membentuk instansi sosial


berakibat pada pengabaian pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial
di daerah. Menurut Menteri Sosial RI (2003) kondisi tersebut antara lain
disebabkan terjadinya 3 (tiga) bias dalam pelaksanaan Otonomi Daerah,
yaitu: 1) anggapan Otonomi Daerah dikaitkan dengan mata uang sehingga
daerah cenderung menetapkan prinsip ekonomi; 2) anggapan daerah belum
siap

dan

mampu,

padahal

daerah

memiliki

kemampuan

untuk

mengoptimalkan potensi dan sumber sosial yang ada di daerahnya; dan 3)


anggapan Otonomi Daerah menyebabkan daerah terlalu berwenang
melakukan apa saja dan menjadikannya raja kecil. Ketiga hal tersebut
sebenarnya dapat dicegah dengan optimalisasi mekanisme kontrol antara
lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif yang ada di daerah secara
harmonis.
Kosekuensi logis hilangnya instansi vertikal di daerah, adalah
terjadinya perubahan dalam system pembangunan kesejahteraan sosial
daerah. Satu sisi, pemerintah pusat (Departemen Sosial) harus mampu
membangun jaringan kerja yang mantap dengan instansi sosial milik daerah,
sehingga visi dan misi pembangunan kesejahteraan sosial pusat akan mudah
ditransfer oleh daerah. Pada sisi lain, pemerintah daerah harus dapat
memahami secara benar visi dan misi pemerintah pusat; kemudian
menerjemahkan dalam bentuk kebijakan daerah maupun program yang
sesuai dengan kondisi wilayahnya. Apabila kondisi ini tidak terwujud, maka
pembangunan kesejahteraan sosial di daerah tidak berjalan sesuai dengan
visi dan misi yang akan dicapai.
Menurut Syaukani, hubungan legislatif dan ekskutif mengandung
implikasi positif dan negatif. Implikasi positif hubungan legislatif dan eksekutif,
terutama peran Legislatif yang diharapkan dapat lebih aktif dalam menangkap
aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, kemudian mengadopsinya
dalam berbagai bentuk kebijakan publik di daerah bersama-sama dengan
Ekskutif. Implikasi negatif, kemungkinan terjadinya konflik berkepanjangan

antara Ekskutif (Kepala Daerah) dengan Legislatif (DPRD). Hal tersebut


dapat terjdi karena 1) gaya kepemimpinan Kepala Daerah dengan Pimpinan
DPRD; 2) latar belakang kepentingan; 3) latar belakang pengalaman dalam
berpolitik dan penyelenggaraan pemerintahan (Syaukani, dkk; 2003 : 199
201)
Fungsi utama Legislatif mencakup fungsi representasi, legislasi, dan
fungsi control. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kebijakan publik
yang menguntungkan masyarakat akan bisa terwujud bila legislatif mampu
menjalankan fungsinya dengan baik. Permasalahan yang mungkin muncul
adalah, bahwa kebijakan publik tidak akan muncul bila anggota legislatif
kurang mempunyai kemauan dan kemampuan yang memadai sebagai wakil
rakyat. Diperkirakan tidak semua wakil rakyat mampu menangkap aspirasi
arus bawah dan memahami secara utuh kondisi masyarakatnya, keinginan,
harapan dan kebutuhannya. Bila ini terjadi maka kemungkinan akan muncul
kebijakan daerah yang justru tidak memihak kepada rakyat.
Permasalahan lain yang mungkin dihadapi daerah otonom adalah
kenyataan adanya perbedaan kemampuan tiap daerah, baik dari segi
keterbatasan anggaran maupun keterbatasan sumber daya manusia (SDM)
yang tersedia. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa otonomi daerah satu
sisi

telah

memberikan

rumahtangganya

sendiri;

peluang
tapi

kepada

pada

sisi

daerah
lain

untuk

daerah

mengurus
menghadapi

keterbatasan-keterbatasan sumber yang dimiliki. Pada kondisi yang demikian


peran dan dukungan pemerintah pusat masih tetap diperlukan, baik dalam
bentuk dana maupun berbagai kebijakan dan program kesejahteraan sosial
bagi seluruh rakyat. Upaya ini akan menghadapi kendala, terutama bila
legislatif maupun ekskutif di daerah tidak mampu menangkap kebijakan dan
program pusat atau tidak mempunyai pemahaman, persepsi atau pandangan
yang sama terhadap kebijakan maupun program dimaksud.

Memperhatikan berbagai permasalahan tersebut di atas, tampaknya


diperlukan upaya untuk membangun komitmen pemerintah dengan legislatif,
serta persepsi atau pandangan lembaga tinggi di daerah (ekskutif dan
legislatif) dalam kerangka realisasi pembangunan kesejahteraan sosial.
Upaya-upaya dimaksud akan lebih tepat sasaran, bila didukung dengan data
dan informasi yang lengkap dan akurat. Data dan informasi dapat dihimpun
melalui berbagai cara, antara lain melalui suatu studi, kajian atau penelitian.
Sebagai langkah awal dalam membangun komitmen pemerintah dan legislatif
maka diperlukan penelitian yang berkaitan dengan persepsi atau pandangan
legislatif terhadap pembangunan kesejahteraan sosial di daerah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi persepsi anggota
Legislatif terhadap pembangunan kesejahteraan sosial di daerah. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk
penyempurnaan penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan sosial baik
bagi Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
Penelitian ini secara deskriptif memaparkan persepsi atau pandangan
anggota lembaga legislatif terhadap pembangunan kesejahteraan sosial.
Pandangan pembangunan kesejahteraan sosial dimaksud terutama pada
konsep dan programnya. Sampel lokasi ditentukan secara random/acak,
kemudian dari propinsi terpilih ditentukan pula secara random dua lokasi
daerah tingkat II (satu kota dan satu kabupaten). Adapun lokasi terpilih
adalah Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Responden penelitian
adalah anggota DPRD kota dan kabupaten periode 1999-2004, terutama
anggota Komisi E. Untuk setiap kota/kabupaten diambil semua anggota
legislatif Komisi E, dengan jumlah yang bervariasi. Jumlah responden
anggota legislatif dalam penelitian ini seluruhnya 62 orang.
Pengumpulan

data

dilakukan

melalui

wawancara

dengan

menggunakan daftar pertanyaan. Guna mendapatkan data penunjang yang

berkaitan dengan pembangunan kesejahteraan sosial di masing-masing


lokasi penelitian, dilakukan pula studi domukentasi.

B. KERANGKA KONSEP
1. Pengertian persepsi
Persepsi dalam Psikologi diartikan sebagai salah satu perangkat
psikologis yang menandai kemampuan seseorang untuk mengenal dan
memaknakan sesuatu objek yang ada di lingkungannya. Menurut Scheerer
persepsi adalah representasi phenomenal tentang objek distal sebagai hasil
dari pengorganisasian dari objek distal itu sendiri, medium dan rangsangan
proksinal (Salam; 1994). Dalam persepsi dibutuhkan adanya objek atau
stimulus yang mengenai alat indera dengan perantaraan syaraf sensorik,
kemudian diteruskan ke otak sebagai pusat kesadaran (proses psikologis).
Selanjutnya, dalam otak terjadilah sesuatu proses hingga individu itu dapat
mengalami persepsi (proses psikologis).
Psikologi kontemporer menyebutkan persepsi secara umum diperlukan
sebagai satu variabel campur tangan (intervening variabel), bergantung pada
faktor-faktor motivasional. Artinya suatu objek atau satu kejadian objektif
ditentukan baik oleh kondisi perangsang maupun oleh faktor-faktor
organisme. Dengan alasan sedemikian, persepsi mengenai dunia oleh
pribadi-pribadi yang berbeda juga akan berbeda, karena setiap individu
menanggapinya

berkenaan

dengan

aspek-aspek

situasi

tadi

yang

mengandung arti khusus sekali bagi dirinya (Chaplin, J.P; 1999).


Proses pemaknaan yang bersifat psikologis sangat dipengaruhi oleh
pengalaman, pendidikan dan lingkungan sosial secara umum. Sarwono
mengemukakan bahwa persepsi juga dipengaruhi oleh pengalamanpengalaman dan cara berpikir serta keadaan perasaan atau minat tiap-tiap
orang sehingga persepsi seringkali dipandang bersifat subjektif. Karena itu

tidak

mengherankan

jika

seringkali

terjadi

perbedaan

paham

yang

disebabkan oleh perbedaan persepsi antara 2 orang terhadap 1 objek.


Persepsi tidak sekedar pengenalan atau pemahaman tetapi juga evaluasi
bahkan

persepsi

juga

bersifat

inferensional

(menarik

kesimpulan)

(Sarwono,1983).
Persepsi sosial menurut David O Sears adalah bagaimana kita
membuat kesan pertama, prasangka apa yang mempengaruhi mereka, jenis
informasi apa yang kita pakai untuk sampai pada kesan tersebut, dan
bagaimana akuratnya kesan itu (David O Sears, et. al, 1994). Menurut
Istiqomah dkk, Persepsi sosial mengandung unsur subyektif. Persepsi
seseorang bisa keliru atau berbeda dari persepsi orang lain. Kekeliruan atau
perbedaan persepsi ini dapat membawa macam-macam akibat dalam
hubungan antar manusia. Persepsi sosial menyangkut atau berhubungan
dengan adanya rangsangan-rangsangan sosial. Rangsangan-rangsangan
sosial ini dapat mencakup banyak hal, dapat terdiri dari (a) orang atau orangorang berikut ciri-ciri, kualitas, sikap dan perilakunya, (b) persitiwa-peristiwa
sosial dalam pengertian peristiwa-peristiwa yang melibatkan orang-orang,
secara langsung maupun tidak langsung, norma-norma, dan lain-lain
(Istiqomah, dkk, 1988).
Penelitian lain menunjukkan bahwa proses persepsi juga dipengaruhi
oleh pengalaman belajar dari masa lalu, harapan dan preferensi (Bartol &
Bartol, 1994). Terkait dengan persepsi sosial, Istiqomah menyebutkan ada 3
hal yang mempengaruhi, yakni 1) variabel obyek-stimulus, 2) variabel latar
atau suasana pengiring keberadaan obyek-stimulus, dan 3) variabel diri
preseptor (pengalaman, intelegensia, kemampuan menghayati stimuli,
ingatan, disposisi kepribadian, sikap, kecemasan, dan pengharapan)
(Istiqomah, dkk, 1988).
Ada tiga dimensi yang terkait dengan persepsi, menurut Osgood
tentang konsep diferensial semantik menjelaskan tiga dimensi dasar yang

terkait dengan persepsi, yakni evaluasi (baik-buruk), potensi (kuat-lemah),


dan aktivitas (aktif-pasif). Menurutnya evaluasi merupakan dimensi utama
yang mendasari persepsi, disamping potensi dan aktivitas (David O Sears, et.
al, 1994).
Hubungannya dengan persepsi lembaga legislatif dalam tulisan ini,
adalah persepsinya terhadap pembangunan kesejahteraan sosial. Persepsi
diartikan sebagai pandangan anggota legiaslatif terhadap 5 (lima) konsep
pembangunan kesejahteraan sosial yaitu: 1) Kesejahteraan sosial; 2)
Kebijakan/program kesejahteraan sosial; 3) Keberadaan instansi sosial; 4)
Penyelenggara program kesejahteraan sosial; dan 5) Keberadaan Pekerja
Sosial Fungsional.
Persepsi atau pandangan positif anggota legislatif terhadap konsep
pembangunan kesejahteraan sosial, diharapkan akan mendukung
kebijakan dan program pembangunan kesejahteraan sosial di daerah. Hal
ini mengingat otonomi daerah memberikan peluang Lembaga Legislatif
untuk melaksanakan fungsi dan peran lebih besar dalam merumuskan dan
menentukan kebijakan pembangunan di daerah, termasuk didalamnya
pembangunan di bidang kesejahteraan sosial.
Ada tiga fungsi utama legislatif di daerah (DPRD) yakni fungsi
representasi, mewakili rakyat untuk membawakan aspirasinya terhadap
penyelenggara

pemerintah

di

daerah;

fungsi

legislasi

adalah

dalam

perumusan kebijakan publik bersama dengan ekskutif; dan fungsi kontrol


berkaitan dengan pengawasan terhadap pelaksanaan penyelenggaraan
pemerintahan di daerah. Menurut Sadu Wasistiono, DPRD sebenarnya
menyandang dua fungsi yakni : fungsi badan legislatif (DPR) dan fungsi badan
representatif (MPR) di tingkat pusat karena tidak ada MPR di daerah. Dalam
menjalankan

fungsi

legislatif sehari-hari,

DPRD dan Kepala

Daerah

berkedudukan sejajar dan merupakan mitra kerja. Sedangkan setahun sekali


dan atau apabila ada masalah-masalah sangat penting, DPR menjalankan

fungsinya sebagai badan representatif yang memiliki kewenangan meminta


pertanggung jawaban Kepala Daerah. (Sadu Wasistiono; 2003 : 19 20).
Fungsi representasi menurut Wasistiono tersebut lebih banyak mengandung
arti fungsi kontrol atau fungsi pengawasan.
Lingkup pengawasan legislatif daerah (DPRD) dalam Undang Undang
N0 32 tahun 2004 menurut Indra Piliang dalam pasal ini tidak ada pengaturan
secara jelas, berkaitan dengan pengertian dan ruang lingkup pengawasan
yang dapat dilakukan oleh DPRD. Pengertian dan ruang lingkup tugas
pengawasan DPRD hanya terbatas dalam dimensi pengawasan politik saja,
sedangkan administrasi merupakan wewenang pengawasan oleh perangkat
pengawasan fungsional (Indra J. Piliang (ed); 2003 : 26).
Pemisahan Lembaga Legislatif dari Pemerintah Daerah mempunyai
maksud

untuk

lebih

memberdayakan

legislatif,

dan

meningkatkan

pertanggung jawaban Pemerintah Daerah kepada rakyat. Merupakan


kewajiban lembaga legislatif (DPRD) untuk menyerap dan menyalurkan
aspirasi masyarakat menjadi kebijakan daerah dan melakukan fungsi
pengawasan terhadap kinerja pemerintah daerah (Iskadir Chotob dan Imam
Suhardjo; 2000 : 136)
Dalam pembuatan kebijakan daerah, lembaga legislatif dituntut
bekerjasama dengan Pemerintah Daerah. Dasar dan cara-cara kerja antara
Legislatif dan Kepala Daerah

dilaksanakan berdasarkan perundang-

undangan dan norma-norma yang diatur atas kesepakatan bersama.

2. Pembangunan Kesejahteraan Sosial


Diberlakukannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 (kemudian
diperbaharui dengan UU N0. 32 tahun 2004) tentang otonomi daerah,
memberikan peluang dan peran yang besar pada daerah untuk melakukan

sendiri

upaya-upaya

mensejahterakan

masyarakatnya,

termasuk

penanggulangan masalah kesejahteraan sosial. Dengan demikian daerah


dapat melakukan upaya-upaya penanggulangan masalah kesejahteraan
sosial dengan cara-cara atau model penanganan dan pendekatan yang
spesifik untuk masing-masing daerah.
Departemen Sosial sebagai salah satu unsur Pemerintah pusat di
bidang kesejahteraan sosial, mempunyai tanggung jawab untuk mewujudkan
kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Meskipun Daerah
mempunyai

wewenang

untuk

mengupayakan

kesejahteraan

sosial

masyarakatnya, peran Pemerintah pusat tidaklah hilang begitu saja.


Departemen Sosial tetap mempunyai peran dengan memberikan acuan
kebijakan dan program yang bersifat nasional. Konsekuensinya adalah
bahwa daerah harus mempunyai persepsi atau pandangan yang sama
terhadap kebijakan dan program pemerintah pusat. Implikasi positif dari hal
tersebut, adalah bahwa pemerintah pusat (Departemen Sosial) perlu
mengadakan langkah-langkah untuk menyamakan persepsi atau pandangan
dimaksud.
Pembangunan bidang kesejahteraan sosial sebagai salah satu sub
sistem pembangunan nasional yang pada hakekatnya perwujudan taraf
kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk mewujudkan hal tersebut, pembangunan kesejahteraan sosial
melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan bidangnya, yaitu: 1)
mewujudkan keadilan sosial melalui upaya memperkecil kesenjangan sosial
dengan memberi perhatian kepada masyarakat rentan dan kurang beruntung;
2) mencegah dan mengendalikan serta mengatasi permasalahan sosial; 3)
memelihara dan memperkuat stabilitas sosial dan integrasi sosial; dan 4)
mengembangkan prakarsa dan peran masyarakat mampu dan dunia usaha
dalam pembangunan kesejahteraan sosial sebagai investasi modal sosial.

Mencermati misi yang diemban pembangunan kesejahteraan sosial


terdapat beberapa hal yang perlu digaris-bawahi, yaitu Pertama, mewujudkan
keadilan melalui upaya memperkecil kesenjangan sosial. Kedua, sasaran
pembangunan kesejahteraan sosial adalah masyarakat rentan dan kurang
beruntung yang biasanya disebut dengan istilah Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS). Ketiga, dalam pelaksanaan pembangunan
kesejahteraan sosial melibatkan masyarakat mampu dan dunia usaha sebagai
investasi modal sosial. Keempat, hasil yang hendak dicapai adalah
mewujudkan atau meningkatkan taraf kesejahteraan sosial masyarakat
sehingga terpeliharanya stabilitas sosial dan integrasi sosial.
Visi Departemen Sosial dalam Kabinet Gotong Royong adalah:
Kesejahteraan Sosial Oleh dan Untuk Semua, mengandung arti, bahwa
pembangunan kesejahteraan sosial merupakan upaya dan gerakan nasional
untuk

mewujudkan

kesejahteraan

sosial

oleh

perorangan,

keluarga,

kelompok masyarakat, organisasi dan dunia usaha seluruh rakyat Indonesia.


Misi yang dirumuskan Departemen Sosial RI mencakup beberapa hal, yakni:
Meningkatkan harkat dan martabat serta kualitas hidup manusia.
Mengembangkan prakarsa dan peran aktif masyarakat dalam
pembangunan kesejahteraan sosial sebagai investasi modal sosial.
Mencegah dan mengendalikan serta mengatasi permasalahan sosial,
dampak yang tidak diharapkan dari proses industrialisasi, krisis sosial
ekonomi, globalisasi dan arus informasi.
Mengembangkan system jaminan sosial dan perlindungan sosial.
Memperkuat

ketahanan

sosial

melalui

upaya

memperkecil

kesenjangan sosial, dengan memberikan perhatian kepada warga


masyarakat rentan dan tidak beruntung serta membina semangat
kesetiakawanan sosial dan kemitraan (Chamsyah, 2000: 32).

Kebijakan pokok yang dirumuskan Departemen Sosial mencakup tiga hal,


yakni:
Meningkatkan peran aktif sosial masyarakat dan memeratakan
pelayanan sosial yang lebih adil.
Meningkatkan profesionalisme dan manajemen pelayanan sosial.
Mendukung terlaksananya otonomi daerah.
Sedangkan strategi yang digunakan mencakup empat besaran yaitu:
1)

Pemberdayaan sosial, yang mengandung makna pembinaan bagi


aparatur

pelaku

meningkatkan

pembangunan

profesionalisme

dan

kesejahteraan
kinerjanya,

sosial
serta

untuk

pemberian

kepercayaan dan peluang kepada masyarakat, dunia usaha dan


penyandang masalah kesejahteraan sosial untuk mencegah dan
mengatasi masalah yang ada di lingkungannya.
2)

Kemitraan sosial, yang mengandung makna adanya kerjasama,


kepedulian, kesetaraan, kolaborasi dan jaringan kerja sistem informasi
masalah-masalah sosial yang menumbuh-kembangkan kemanfaatan
timbal balik antara pihak-pihak yang bermitra.

3)

Partisipasi sosial, yang mengandung makna adanya prakarsa dan


peranan dari penerima pelayanan dan lingkungan sosialnya dalam
mengambil

keputusan

serta

melakukan

pilihan

terbaik

untuk

meningkatkan kesejahteraan sosialnya.


4) Advokasi sosial, yang mengandung makna adanya upaya-upaya untuk
mendukung, membela dan melindungi masyarakat, sehingga dapat
melakukan tindakan social dan perubahan sosial yang menolong

mereka memenuhi kesejahteraan sosial dan meningkatkan sumber daya


manusia.
Sementara itu dari berbagai jenis permasalahan kesejahteraan sosial yang
menjadi

sasaran,

terdapat 5

(lima) sasaran

signifikan

yang

dapat

dikategorikan sebagai sasaran strategis, tanpa mengabaikan permasalahan


sosial

lainnya,

yaitu:

masalah

kemiskinan, kecacatan, keterlantaran,

ketunaan sosial, korban bencana dan pengungsi.

C.

HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diperoleh gambaran
mengenai persepsi anggota legislatif di daerah terhadap pembangunan
kesejahteraan sosial adalah sbb:
1. Persepsi Legislatif Tentang Konsep Kesejahteraan Sosial
Sebagian besar responden anggota legislatif (sekitar 85,5%) belum
mengetahui secara mendalam tentang makna/isi dari UU No.6 Tahun 1974.
Mereka mengetahui sekilas tentang konseps kesejahteraan sosial setelah
mendapatkan informasi yang bersifat umum pada awal menjadi anggota
legislatif.

Selain

itu,

pengetahuan/pengalaman

mereka

tentang

kesejahteraan sosial diperoleh setelah mengikuti hearing DPRD dengan


institusi sosial dan melakukan kunjungan/observasi lapangan; sebagian
lainnya sudah memahami kesejahteraan sosial karena sebelum menjadi
anggota legislatif pernah mengajar pada perguruan tinggi kesejahteraan
sosial, dan telah banyak bergerak di bidang usaha kesejahteraan sosial.
Setelah menjalankan fungsinya di legislatif (terutama di komisi yang
membidangi kesejahteraan sosial) dan diperkenalkan mengenai UU No. 6
Tahun 1974, maka responden mempunyai pandangan terhadap konsep
kesejahteraan sosial sbb:

Definisi Kesejahteraan Sosial yang tertuang pada UU No.6 Tahun


1974 menurut pandangan responden (83,9%) masih relevan dengan
kondisi sosial saat ini, mengingat hal tersebut merupakan segala
sesuatu yang memang harus dicapai oleh setiap individu masyarakat
Indonesia.
Kondisi kesejahteraan sosial sebagaimana yang diharapkan UU No.6
Tahun 1974, 59,6% responden berpandangan mudah untuk dicapai,
selama pemerintah dan seluruh elemen masyarakat merencanakan
dan melakukan pembangunan kesejahteran sosial dengan benar dan
tepat.

Sebagian responden (40,4%) berpandangan sulit untuk

mencapai kondisi tersebut, mengingat masih banyak unsur-unsur


pemerintah terutama Institusi Sosial baik pusat maupun daerah yang
kurang

mampu

mengimplementasikan

program-program

pembangunan kesejahteraan sosial yang sesuai dengan kondisi


permasalahan dan kebutuhan masyarakat setempat atau penyandang
masalah serta banyaknya penyimpangan anggaran.
Pelaksanaan program-program pembangunan untuk mencapai kondisi
kesejahteraan

sosial

yang

diharapkan,

88,8%

responden

berpandangan bahwa hal tersebut menjadi tanggungjawab bersama


pemerintah

dan

seluruh

masyarakat

Indonesia,

mengingat

kesejahteraan sosial adalah oleh dan untuk kita semua.


Rumusan kesejahteraan sosial yang tertulis dalam UU No.6 Tahun
1974, menurut 54,9% responden tidak perlu dilakukan revisi/perbaikan
terhadap substansinya. Sementara itu 45,1% menganggap perlu,
dengan alasan bahwa kondisi permasalahan sosial saat ini telah
berkembang, dan usia undang-undang dimaksud sudah cukup lama
(sudah 30 tahun).

2. Persepsi Legislatif Tentang Kebijakan, Program dan Strategi


Pelaksanaan
Kebijakan pembangunan kesejahteraan sosial yang digariskan oleh
pemerintah dalam hal ini Departemen Sosial RI yang meliputi: 1)
meningkatkan peran aktif sosial masyarakat dan pemerataan pelayanan
sosial yang lebih adil; 2) meningkatkan profesionalisme dan menajamkan
pelayanan social; 3) mendukung terlaksananya Otonomi Daerah; pada
dasarnya masih banyak anggota legislatif yang belum mengetahui adanya
kebijakan tersebut.
Setelah mendapatkan penjelasan secara umum dari peneliti mengenai
hal tersebut di atas, sekitar 91,9% responden menganggap ketiga hal itu
merupakan kebijakan yang sudah tepat, karena kebijakan tersebut telah
melibatkan berbagai unsur dan menyentuh harkat dalam pelayanan sosial.
Selama

ini

walaupun

telah

diberlakukan

otonomi

daerah,

menurut

pengetahuan dan pengalaman responden pelaksanaan pembangunan


kesejahteran sosial di daerah masih tetap mengacu pada kebijakan yang
digariskan pemerintah pusat (dalam hal ini Departemen Sosial) dan
disesuaikan dengan kondisi daerah setempat.
Program-program Departemen Sosial, terutama yang terkait dengan
penanggulangan

masalah

kemiskinan,

masalah

kecacatan,

masalah

keterlantaran, ketunaan sosial, dan korban bencana, menurut responden


program tersebut sudah tepat untuk dilaksanakan. Dengan rincian 75,8%
responden menyebutkan sudah tepat untuk program kemiskian, kecacatan
(83,9%), program keterlantaran (67,8%), ketunaan sosial (77,0%), dan
korban bencana (92,0%). Permasalahannya menurut responden adalah
bahwa tiap daerah umumnya mempunyai karakteristik permasalahan
tersendiri, dan yang sering terjadi implementasinya terkadang tidak sesuai
dengan kondisi masyarakat setempat. Hal lain yang juga mempengaruhi
pelaksanaan program menurut pandangan (45,2%) responden adalah

koordinasi antar instansi terkait yang belum berjalan dengan baik, karena
masing-masing instansi berpegang pada target program yang telah
direncanakan.
Secara umum (82,6% responden) memandang, bahwa strategi dalam
pembangunan kesejahteraan sosial mencakup strategi pemberdayaan sosial,
kemitraan, partisipasi sosial, dan advokasi sudah tepat. Mereka mengatakan
bahwa

tanpa

menempuh

strategi

tersebut,

pelaksanaan

program

pembangunan kesejahteran sosial tidak akan dapat mencapai hasil yang


diharapkan. Kendalanya adalah dalam pelaksanaan program akan sangat
tergantung dengan pemahaman dari para pelaksana terhadap strategi
tersebut dan implementasinya. Menurut mereka saat ini masih banyak SDM
pelaksana di daerah yang kurang memahami dan kurang mempunyai
kemampuan untuk melaksanakan strategi dimaksud secara benar, karena
keterbatasan kualitas maupun kuantitas tenaga pelayanan sosial.
3. Persepsi Legislatif Tentang Keberadaan Instansi Sosial Dan
Pembangunan Kesos di Era Otonomi

Untuk melaksanakan pembangunan bidang kesejahteran sosial secara


profesional, yang menurut 77,4% responden menyatakan bahwa program
tersebut merupakan prioritas dalam pembangunan, maka keberadaan
Instansi Sosial di era otonomi ini harus berdiri sendiri, dalam arti tidak
digabungkan dengan instansi lain. Hal ini mengingat karena pembangunan
bidang kesejahteran sosial menurut 88,6% responden bukanlah merupakan
program

yang

bersifat

karikatif

(belas

kasihan),

dan

kompleksnya

permasalahan kesejahteraan sosial yang harus ditangani oleh pemerintah.


Untuk ini perlu ada pembagian tugas dan wewenang yang jelas antara
pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan
pembangunan kesejahteraan sosial di daerah.

Dalam hal kewenangan

penanganan masalah, sebagian besar responden (80%) berpandangan

bahwa pemerintah kabupaten/kota bertanggungjawab terhadap penanganan


masalah kesejahteraan sosial yang bersifat lokal. Sedangkan masalah yang
lingkupnya propinsi menjadi tanggungjawab pemerintah propinsi, namun
dalam hal anggaran pelayanan, pemerintah kabupaten/kota tetap perlu
diberikan subsidi yang seimbang dari APBN.
Penyerahan lembaga pelayanan seperti Panti Sosial di daerah yang
dulu

dikelola pusat (Departemen Sosial) kepada pemerintah daerah

setempat, menurut 62% responden merupakan langkah yang tidak tepat.


Hal ini mengingat kemampuan daerah dalam segala aspek baik anggaran
maupun SDM sangat terbatas. Disamping itu jangkauan wilayah pelayanan
dari panti-panti tersebut menjadi sangat terbatas, seiring anggapan dari
penerapan oronomi daerah.
4.

Persepsi

Legislatif

Tentang

Penyelenggaraan

Pelayanan

Kesejahteraan Sosial
Dalam kerangka penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial,
sebagian besar responden (sekitar 68%) menyebutkan, bahwa pemerintah
daerah belum mampu menjalin hubungan yang sinergis dengan elemen
masyarakat yang ada didaerahnya. Kondisi ini ditandai dengan banyaknya
program pelayanan sosial yang tidak diketahui oleh sebagian besar lapisan
masyarakat.
Partisipasi masyarakat lokal dalam penanganan masalah sosial secara
umum masih belum optimal. Pada umumnya partisipasi masyarakat yang
menonjol adalah dalam penanganan masalah yang sifatnya insidentil seperti
penanganan/pelayanan korban bencana: banjir, tanah longsor, gunung berapi
dan sebagainya. Partisipan elemen masyarakat seperti ORSOS/LSM, dalam
pelaksanaan usaha kesejahteraan sosial menurut sebagian responden
(56,5%), masih banyak berorientasi pada proyek dan belum pada
hasil/manfaat bagi masyarakat.

5. Persepsi Legislatif Tentang Keberadaan Pekerja Sosial


Keberadaan pekerja sosial fungsional di daerah, menurut responden
(53%) sangat diperlukan untuk membantu menangani permasalahan sosial
yang ada. Mereka memandang, bahwa pekerja sosial merupakan aparat
pelaksana langsung yang harus mempunyai posisi yang jelas. Sementara itu
sebagian responden lainnya (47%) menyebutkan keberadaan Pekerja Sosial
tidak diperlukan.

Menurut mereka banyak relawan sosial yang bisa

dimanfaatkan dalam pelaksanaan usaha kesejahteraan sosial di daerah. Hal


penting yang perlu dilakukan pemerintah adalah upaya pembinaan dan
peningkatan kualitas relawan sosial agar mereka mampu melaksanakan
fungsinya dengan baik.
Terkait dengan keberadaan Pekerja Sosial, secara umum ( 91,9%
responden)
memberikan
pemerintah

mengemukakan
perhatian
yang

perlu

bahwa,

terhadap
dilakukan

pemerintah

keberadaan
adalah

daerah

Pekerja

bagaimana

seharusnya

sosial.

Upaya

membina

dan

meningkatkan pengetahuan mereka di bidang usaha kesejahteraan sosial,


termasuk kesejahteraan mereka dalam kebutuhan ekonomi.

D. KESIMPULAN DAN SARAN


1. Kesimpulan
Pada saat pertama menjadi anggota legislatif, pada umumnya belum
banyak

mempunyai

pengetahun

dan

pengalaman

di

bidang

usaha

kesejahteraan sosial. Pengetahuan dan pengalaman dalam bidang usaha


kesejahteraan sosial diperoleh setelah menjalankan fungsinya melalui:
informasi umum, dengar pendapat dengan institusi sosial, kunjungan
lapangan dan sebagainya.

Kebijakan, Program dan Strategi pelaksanaan pembangunan yang


dirancang pemerintah (Departemen Sosial RI) merupakan hal yang sudah
tepat untuk dilakukan.

Pelaksanaan pembangunan di daerah pada

prinsipnya tetap mengacu pada kebijakan, program dan strategi pemerintah


pusat yang disesuaikan dengan kondisi daerah.

Namun pada tataran

implementasi program, pemerintah daerah masih dihadapkan pada berbagai


kendala baik kualitas/kuantitas SDM, anggaran termasuk keterbukaan pihak
eksekutif terhadap keberadaan maupun pemanfaatan dana APBN untuk
pembangunan kesos di daerah.
Untuk melaksanakan pembangunan yang profesional dan terarah,
anggota legislatif sependapat bahwa keberadaan instansi sosial tidak
digabungkan

dengan

instansi

lain,

hal

permasalahan sosial yang harus ditangani.

ini

mengingat

kompleksnya

Pengelolaan Panti-Panti Sosial

yang diserahkan ke daerah seiring dengan penerapan otonomi daerah


merupakan langkah yang tidak tepat, mengingat berbagai keterbatasan
daerah antara lain dalam hal dana maupun SDM yang tersedia. Sehubungan
dengan hal tersebut, legislatif juga masih berharap bahwa pekerja sosial
fungsional yang pernah dibangun oleh Departemen Sosial agar dijaga
eksistensinya.

2. Saran
Memperhatikan berbagai temuan tersebut di atas, implikasinya terhadap
upaya Departemen Sosial dalam optimalisasi program bidang kesejahteraan
sosial, diajukan berbagai saran seperti berikut:
a. Departemen Sosial Pusat perlu lebih memantapkan dan meningkatkan
kegiatan sosialisasi dan pembinaan terhadap aparat di daerah. Hal ini
mengingat bahwa banyak aparat instansi sosial daerah (terutama yang

berasal dari instansi lain) belum memahami secara baik konsep, maupun
program pembangunan bidang kesejahteraan sosial.
b. Khusus dengan anggota legislatif, diharapkan Departemen Sosial lebih
memantapkan sosialisasi tentang kebijakan dan program, melalui
kunjungan dan berdialog atau mengundang legislatif daerah dalam suatu
pertemuan khusus. Sosialisasi ini diarahkan untuk membangun komitmen
yang lebih intens antara pemerintah (Departemen Sosial) dengan
legislatif. Melalui kegiatan dimaksud, diharapkan pula akan tercapai
kesamaan

persepsi

dan

pandangannya

terhadap

pembangunan

kesejahteraan sosial, dan diharapkan pula akan terjalin hubungan yang


harmonis antara legislatif dengan ekskutif di daerah.
c.

Kegiatan sosialisasi akan lebih berhasil bila disertai dengan publikasi


(buku-buku) hasil-hasil penelitian, produk-produk kebijakan, program, dan
produk panduan dalam penanganan masalah kesejahteraan sosial.

d. Perlu dilakukan penelitian lanjutan terutama tentang peranan legislatif


dalam pembangunan kesejahteraan sosial di daerah. Penelitian tersebut
dimaksudkan untuk lebih mengetahui secara mendalam tentang peranan
legislatif dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah. Peranan
tersebut antara lain menyangkut upaya atau komitmen anggota legislatif
dalam memperjuangkan kesejahteraan sosial masyarakat, kegiatankegiatannya dalam usaha kesejahteraan sosial, dan seberapa kuat
anggota legislatif melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
pembangunan kesejahteraan sosial di daerah.
e.

Perlu tinjauan tentang panti-panti milik pusat yang telah diserahkan


kepada daerah, apakah panti yang bersangkutan benar dibutuhkan oleh
masyarakat daerah setempat; apakah daerah setempat mempunyai
kemampuan anggaran yang memadai untuk operasional panti. Hal ini
merupakan langkah awal untuk mencegah panti tidak dapat beroperasi

karena kurangnya anggaran atau karena tidak dibutuhkan daerah


setempat.
f.

Terkait dengan keberadaan pekerja sosial fungsional, mengingat


bahwa secara hukum telah ditetapkan sebagai pejabat fungsional dengan
menerima tunjangan sesuai aturan yang ada, maka perlu diadakan
klarifikasi dengan pemerintah daerah tentang keberadaan fungsional
pekerja sosial di daerah.

DAFTAR PUSTAKA
Adi, Faried, 1997. Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Adi, Isbandi Rukminto, 2002. Pemikiran-pemikiran dalam Pembangunan
Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Chamsyah, Bachtiar, 2002. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kesejahteaan
Sosial. Jakarta: Balatbangsos Depsos RI.
________, 2003. Dimensi Religi dalam Kesejahteraan Sosial, Mukman Nuryana
ed. Jakarta: Balatbangsos Depsos RI.
David O., Sears, et. al., 1994. Psikologi Sosial, Jilid 1, Alih bahasa oleh Micahael
Adriayanto dan Savitri Soekrisno. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Dhakidae, Daniel, 2003. Profil Daerah Kabupaten dan Kota, Jilid 3. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Istiqomah, dkk, 1988. Modul 1-9: Materi Pokok Psikologi Sosial. Jakarta:
Penerbit Karunika Universitas Terbuka.
Kaloh, J., 2002. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Jakarta: Rineka Cipta.
Koswara E., 2001. Otonomi Daerah untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat.
Jakarta: Sembrani Aksara Nusantara.
Piliang, Indra, dkk (editor). 2003. Otonomi Daerah Evaluasi dan Proyeksi.
Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa.
Sujamto, 1993. Perspektif Otonomi Daerah. Jakarta: Rineka Cipta

Supriyady, B. Deddy, Dadang Solihin, 2002. Otonomi Penyelenggaraan


Pemerintah Daerah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Syaukani, dkk, 2003. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Wasistiono, Sadu dan Ondo Riyani (editor), 2003. Etika Hubungan Legislatif
Eksekutif. Bandung: Fokus Media.

Dept.Comp.Soc. BFI

Awal Tutorial

Kontak

MERETAS JALAN SOSIOLOGI


MERETAS JALAN SOSIOLOGI: interaksionisme
simbol
Di dekat sebuah warkop, tiga ekor anjing sedang berkelahi. Anjing
yang satu mulai menggertak dengan menggeram, menunjukkan
deretan giginya, dan mulai mengambil ancang-ancang untuk
menyergap lawannya. Anjing kedua ketakutan, lalu lari tunggang
langgang karena tubuhnya memang paling kecil, sementara
anjing ketiga menanggapi yang pertama dengan juga menggeram
dan menunjukkan giginya, siap untuk balas menyerang. Anjing
pertama setelah melihat reaksi anjing ketiga akan menunjukkan
perubahan diri, ia memperkeras geramannya. Hal ini
mengundang respon anjing ketiga tersebut, dan seterusnya.
Dua mahasiswa yang sedang duduk di warkop tersebut melihat
anjing yang berkelahi itu, tadinya sedang bertukar cerita tentang
orang tua masing-masing. Anak pertama berseru melihat anjing
yang hendak berkelahi itu, dan membelokkan pembicaraan
menjadi tentang anjingnya yang dua tahun lalu hilang. Ternyata
anak kedua tak menyukai topik pembicaraan itu, ia memberi

A multiple personality is i
certain sense norm
GHM

respon dengan melihat ke langit-langit, sesekali melihat jam


tangannya, dan seterusnya.

Perilaku tiga anjing dan dua mahasiswa itu merupakan


ikhwal bahasa isyarat. Menunjukkan gigi sambil
menggeram, lari tunggang langgang, melihat langitlangit dan jam tangan, dan seterusnya merupakan
bahasa isyarat, masing-masing kemarahan, rasa takut,
dan kebosanan. Ini adalah inti dari teori interaksionisme
simbol yang didirikan oleh sosiolog Amerika, George
Herbert Mead (1863-1931), yang juga dikenal sebagai
seorang sosiolog pragmatis, karena ia berkeyakinan
bahwa semua teori sosial yang ada harus dapat diuji
secara praktis, termasuk semua hal tentang kebenaran,
pengetahuan, moralitas, dan politik. Interaksionisme
'I,' 'me,' 'my' and 'mine'wa
simbol merupakan teori yang dicanangkannya sebagai
a matter of peculiar
interest....we may hope to
studi perilaku individu dan atau kelompok kecil
make out what the self-idea
masyarakat melalui serangkaian pengamatan dan
actually is, in its naive and
comparatively simple form, i
deskripsi. Metode ini berlandaskan pada pengamatan
the form under which it
atas apa yang diekspresikan orang meliputi
functions in the every day
relations of life
penampilannya, gerak-geriknya, dan bahasa simbolik
C H Cooley
yang muncul dalam situasi sosial. Jadi sangat berbeda
dengan pendekatan yang terinspirasi dari Marxisme yang
ingin mempelajari seluruh sistem ekonomi dan politik,
para interaksionis mengambil cara pandang akan
masyarakat dari bawah, sebagaimana situasi yang
diciptakan oleh individu-individu tersebut.
Dengan pendekatan ini Mead dikenal juga sebagai
seorang psikolog sosial, karena memang pada akhirnya ia
banyak berbicara tentang proses berfikir, konsep diri
dalam organisasi sosial, dan pola-pola pengambilan
peran orang lain sebagai dasar organisasi sosial.
Kontribusi untuk teori sosial ini juga dilakukan oleh
Charles Horton Cooley (1864-1929), seorang sosiolog
Amerika yang pernah dekat dengan Mead. Cooley
membangun teori relasi sosial yang tak bertitik berat
pada kondisi individual (MIKRO) maupun sosial
(MAKRO), dengan meyakini bahwa kedua hal itu tak bisa
dipisah-pisahkan. Cooley banyak berbicara tentang
konsep diri (disebutnya konsep melihat diri di kaca),
sifat-sifat manusia, kelompok primer dalam
pembentukan sifat manusia, interaksi antara pemimpin
politik dan massanya, dan pentingnya arti sosial dalam
nilai keuangan. Dalam beberapa hal, Cooley

. . . if men def
situations as real, t
are real in th
consequen
W I Tho

menunjukkan dilema yang dihadapi antara hal-hal yang


menjadi warisan biologis dan hal-hal yang menjadi
warisan lingkungan sosial.
Hal menarik yang ditunjukkan oleh Cooley adalah
perumpamaannya yang mengatakan bahwa sebuah kapal
yang dibangun oleh seratus orang yang berbeda, sangat
berbeda dengan seratus kapal yang masing-masing
dibangun oleh satu orang untuk menjelaskan terjadinya
pandangan umum dalam masyarakat yang dibentuk oleh
pandangan-pandangan umum yang dimiliki oleh tiap
individu yang membangun masyarakat. Pandangan
umum MEMBROJOL (emergent) dari pandanganpandangan individual. Inilah yang menjadi pusat
kajiannya.
Di sisi lain, William I. Thomas (1863-1947), juga sosiolog
interaksionis Amerika, memusatkan teorinya atas sifat
saling ketergantungan organis antar individu dan
lingkungan sosialnya dengan metoda yang hampir dapat
dikatakan sama dengan metode Mead dan Cooley.
Misalnya, Thomas berusaha mengidentifikasi faktorfaktor psikologis dan biologis yang dibawa sejak lahir
dan menjelaskan perilaku manusia itu; ia menyimpulkan
ada empat hal dasar keinginan manusia, yaitu
(1) keinginan untuk pengalaman baru
(2) keinginan untuk dihargai
(3) keinginan untuk menguasai
(4) keinginan untuk merasa aman
Thomas yakin bahwa perilaku manusia tidak dapat
dimengerti dengan baik semata sebagai respon reflektif
dari stimulus lingkungan. Ia percaya bahwa ada definisi
subyektif yang penting yang ada di antara stimulus dan
respon.
Interaksionisme simbol Mead-Cooley-Thomas ini
mendapat sambutan dari banyak sosiolog Amerika
bahkan hingga kini.

GEORGE HERBERT MEAD,


Mind, Self, and Society,
University of Chicago Press,
1934.

Manford Kuhn (1904-1968), sosiolog yang ingin


menstrukturkan metodologi empiris dalam
interaksionisme simbol, menyatakan bahwa perlu
beberapa perspektif teoretis yang sifatnya terbatas yang
tergabung dalam interaksionisme, yaitu teori peran, teori

Symb
interactionism is
peculiar and distinct
character of interact
as it takes pl
between human bei
Herbert Blu

kelompok referens, perspektif persepsi sosial dan


persepsi pribadi, teori diri, dan teori dramaturgi. Intinya,
Kuhn ingin membuat strategi pengukuran empiris atas
konsep-konsep interaksionisme simbol tersebut.
Kontribusinya yang terkenal adalah 20-UJIPERNYATAAN untuk mengukur analisis diri; isinya
adalah 20 respon yang diminta dari orang terhadap
GEORGE HERBERT MEAD,
pertanyaan "Siapakah saya?".
Selected Writings, edited by
Andrew J. Reck, BobbsMerrill, 1964.

Hal ini ditentang oleh seorang murid Mead, Herbert


Blumer (1900-1987), dengan mengatakan bahwa metoda
HERBERT BLUMER .
Symbolic Interactionism:
pengukuran empiris itu bertentangan dengan konsep
Perspective and Method.
BROJOLAN (emergence) dari kenyataan sosial. Bagi
Englewood Cliffs, NJ:
Prentice-Hall, 1969.
Blumer, brojolan itu lahir dari aksi dan interaksi, dan
segala upaya yang ingin mengukur konsep diri tanpa
E. GRIFFIN, A First Look at
memperhitungkan aksi dan interaksi berakibat fatal dan
Communication Theory.
New York: The McGraw-Hill gagal dalam mengukur konsep diri dalam sistem sosial.
Companies, 1997.
Bagi Blumer, kenyataan sosial dan strukturnya pada
dasarnya tak pernah tetap melainkan terus memiliki
HOWARD S. BACKER &
MICHAEL McCALL (editors), dinamika oleh karena interaksi antar individu tak pernah
Symbolic Interaction and
berhenti. Segi-segi struktural seperti budaya, sistem
Cultural Studies,University
sosial, stratifikasi sosial, atau peran sosial MEMBENTUK
of Chicago Press, 1990.
tindakan individu, tapi TIDAK MENENTUKAN tindakan
ERVING GOFFMAN, The
mereka. Orang yang bermain sebagai penjaga gawang
Presentation of Self in
Everyday Life, Doubleday, dalam permainan sepak bola TERBENTUK perilakunya
1959
dalam pertandingan sepak bola, tapi TIDAK
MENENTUKAN bagaimana ia harus bertindak saat
CHARLES HORTON COOLEY,
gawangnya terancam serangan lawan.
Human Nature and the
Social Order, Schocken
Books, 1964.

Seorang sosiolog interaksionis lain, Erving Goffman


CHARLES HORTON COOLEY, (1922-1983), menitikberatkan teorinya pada konsep
Social Organization: A
dramaturgi. Ia menganalisis berbagai strategi individu
Study of the Larger Mind,
everyday life is the
dalam meraup kepercayaan sosial melalui konsepSchocken Books, 1962.
foundation of social reality
konsep teater, seperti manajemen kesan dan sebagainya. Erving Goffman
WILLIAM I. THOMAS, "Life Misalnya, ia menganalisis bagaimana orang cenderung
History", American Journal
of Sociology 79: 243-250, untuk saling menutupi kesalahan dengan teman, atau
1973
minimal berpura-pura tidak tahu dan tidak
memperhatikan kesalahan teman, dan seterusnya.
WILLIAM I. THOMAS, The
Pendeknya, baginya sosiologi adalah upaya membedah
Unadjusted Girl, Little
Brown, 1923
interaksi antar individu atau kelompok kecil dengan
audiensnya, yaitu sistem sosial secara keseluruhan. Lebih
jauh ia juga banyak berbicara tentang dasar kontekstual
interaksi sosial seperti PEMAHAMAN BERSAMA
sebagai KERANGKA di mana peristiwa-peristiwa sosial
terjadi. Pendeknya dengan memperhatikan simbolsimbol yang digunakan oleh individu dalam interaksi

sosial, interaksionis berkeinginan untuk mencari


keterhubungan antara BROJOLAN yang terjadi dari
tingkat MIKROSOSIAL ke MAKROSOSIAL secara
komprehensif.

MERETAS JALAN SOSIOLOGI: studi-studi


budaya
Budaya adalah sebuah obyek studi yang menarik dalam
sosiologi. Hal ini dikemukakan oleh teoretisi sosial
Douglas Kellner yang menunjukkan pentingnya studi
multidispliner dalam memahami budaya. Hal ini diawali
di Inggris oleh Studi Budaya Birmingham yang melihat
budaya dalam perspektif politik, kemasyarakatan dan
budaya itu sendiri. Studi budaya tidak lagi didominasi
oleh studi obyek-obyek budaya tinggi (avant-garde)
namun juga membedah secara langsung budaya
kontemporer yang berkembang di tengah masyarakat,
mulai dari komik, bacaan, sains, hingga film.

DOUGLAS KELLNER, The


Frankfurt School and British
Cultural Studies: The
Missed
Articulation, Illuminations,
1999.

Studi budaya seringkali dikaitkan dengan studi-studi


poskolonial yang hampir paralel dengan teori-teori yang
dikembangkan mazhab Frankfurt yang ingin membedah
terjadinya penjajahan baru melalui obyek-obyek kultural.
Semangat ini dikembangkan dalam teoretisi politik
Amerika Serikat, Edward Said (1935-2003), dengan
konteks pembedaan struktur sosial di belahan barat dan
timur.

SCOTT LASH, Sociology of


Postmodernism, Routledge,
1990.

Secara umum, studi budaya menjalin studi yang


melibatkan banyak analisis dan studi dalam disiplin
studi komunikasi, politik, ekonomi, dan studi tentang
BRYAN S. TURNER,
Orientalism,
linguistik atau semiologi. Semiologi merupakan bidang
Postmodernism, and
Globalism, Routledge, 1994. ilmu yang mempelajari konsep tanda sebagai elemen
penyusun obyek budaya.
PIERRE BOURDIEU, On
Television, New Press,
1999.

ROLAN BARTHES, Elements


of Semiology, Jonathan
Cape, 1964.

Salah satu pengayaan kajian sosiologi budaya


dikembangkan oleh sosiolog Perancis, Pierre Bordieu
(1930-2002), yang mempelajari bagaimana pola budaya
yang terbentuk atas ruang pengalaman sosial manusia
yang menyentuh hampir seluruh sisi kehidupan
masyarakat modern, mulai dari sains, budaya pop,
televisi, dan sebagainya.

like the political and econom


fields, and much more tha
the scientific, artistic, literar
or juridical fields, the
journalistic field is
permanently subject to tria
by market, whether directly
through advertisers, or
indirectly, through audienc
ratings
Pierre Bourdieu

MERETAS JALAN SOSIOLOGI: set-back


posmodernisme
Jika kita membicarakan sosiologi dan sejarah yang
melahirkannya, seringkali kita terjebak pada diskusi filsafat dan
metafisika yang menjadi dasar transendental lahirnya sebuah
teori sosiologis. Ini tak terjadi pada bidang ilmu alam, karena
memang ilmu alam memiliki seperangkat piranti empiris yang
segera dapat menguji keabsahan sebuah teori. Sistem sosial sangat
berbeda dengan sistem di alam, karena ia sangat dekat dengan
manusia dan kehidupan sosialnya, obyek sains yang sangat tinggi
derajat kebebasan ruang pengalamannya.

Pengalaman ini dialami oleh alam filosofis yang dikenal


dengan posmodernisme. Pada awalnya, posmodernisme
adalah sebuah terminologi yang diungkapkan oleh
sosiolog Perancis, Jean-Franois Lyotard (1924-1998).
Lyotard pada awalnya tertarik pada studi-studi
fenomenologi, dan filsafat paganisme. Ia berubah haluan
dengan banyak berbicara tentang kondisi
posmodernisme. Dalam paradigma Lyotard, kondisi
posmodernisme adalah kondisi ketidakpercayaan sosial
atas metanarasi. Metanarasi diartikan sebagai cerita atau
teori keseluruhan tentang sejarah dan tujuan dari
manusia yang menjadi dasar dan pengabsahan
pengetahuan dan praktik budaya. Lyotard
menggambarkan bagaimana situasi sosial setelah sekian
lama dalam era modernisme (pasca pencerahan) dalam
mengembangkan teknologi komputer, digitalisasi di
mana-mana dan sebagainya dan mengkontraskannya
dengan pendekatan filsafat sosial klasik seperti Hegel,
Marx, dan seterusnya.
Belakangan, pendapat tentang posmodernisme yang
seringkali memang bersandar pada studi linguistik Swiss,
Ferdinand de Saussure (1857-1913), berkembang
menjadi studi filsafat dan linguistik yang juga
menghasilkan klaim-klaim dalam ilmu sosial. Inti
pendekatan linguistik (disebut dengan istilah
INTERTEKSTUALITAS) difahami sebagai rantai elemen
bahasa yang bebas makna, karena satu kata ber-referensi
atas kata lain, dan kata lain ber-referensi atas kata lain
dan seterusnya dalam rantai yang luar biasa panjang. Hal
ini memunculkan di antaranya filsuf sosial dan kritikus
budaya Perancis yang sarat kontroversi, Jean
Baudrillard, dua orang teoretisi Perancis, Gilles Deleuze
dan Felix Guattari, teoretisi Frederic Jameson, dan
sebagainya, dengan berbagai pendapat dan terminologi
yang mengimpor istilah-istilah sains, khususnya fisika

that the status of knowledg


altered as societies enter w
is known as the postindust
age and cultures enter wha
known as the postmodern a
J. F Lyotard

MERETAS JALAN SOSIOLOGI: obyek-obyek


ekonomi
Bagaimanapun, hari ini ekonomi telah menjadi disiplin
ilmu tersendiri yang berkenaan dengan analisis
masyarakat dengan aspek-aspek khusus sebagai efek dari
modernisme dan penggunaan yang sangat luas uang dan
modal. Ekonomi sendiri bahkan menjadi sedemikian
luas sehingga perlu mendapat kategorisasi atas
berdasarkan obyek yang hendak menjadi fokus studinya,
yaitu MAKROEKONOMI dan MIKROEKONOMI.
Ekonomi biasanya berbicara tentang akumulasi modal,
alokasi sumber daya, masalah tenaga kerja, mata uang,
bank, dan sebagainya yang telah berdiri sendiri sebagai
kaisar yang sangat populer dalam urusan
kemasyarakatan, pemerintahan, dan politik. Sejarah
perkembangan ekonomi telah bersimpangan dengan
sejarah perkembangan sosiologi sendiri. Pengembangan
pasca Adam Smith telah sedemikian jauh dan
terspesialisasi atas masalah-masalah seperti
pengangguran, mobilitas regional, hingga ke motif-motif
ekonomi. Tak jarang memang kebijakan ekonomi
JOHN MAYNARD KEYNES,
mengandung kebijakan-kebijakan politik dan sebaliknya.
The General Theory of
Employment, Interest and
Tokoh ekonomi modern yang terkenal adalah John
Money, Macmillan, 1936.
Maynard Keynes (1883-1946) yang selama depresi dunia
1930 menjelaskan siklus pasang surut ekonomi yang
STEVE KEEN, Debunking
Economics: The Naked
menggerogoti kapitalisme. Keynes dikenal dan menjadi
Emperor of the Social
Sciences, Pluto Press, 2001. inspirasi atas teorinya tentang ketenagakerjaan, interes,
uang dan fluktuasi ekonomi.
J. R. HICKS, "Mr Keynes
and the 'Classics': a
suggested interpretation",
Econometrica 5: 147-159.

Saat ini teori Keynes telah sangat banyak mendapat


perubahan dengan pengembangan berbagai model
matematika dan komputasi yang secara khusus
membahas berbagai fenomena ekonomi.

Dept.Comp.Soc. BFI

Awal Tutorial

Kontak

If only the cake were


not cut but was
allowed to grow in the
geometrical proportion
predicted by Malthus of
population, but not
less true of compound
interest, perhaps a day
might come when
there would at last be
enough to go round,
and when posterity
could enter into the
enjoyment of our
labours.
J M Keynes

FIND

Home
Profil
Pengelola
Agenda
Jaringan
AD/ART
Alamat

Artikel
Berita
Buku
Buletin
Jurnal
Muslim ASEAN
SUARA MODERAT
ARSIP

[ ID | ARAB | EN ]

Tak Ada yang Salah Dengan Perbedaan


Oleh DK Alka
25-April-2005
Sesungguhnya orang-orang Mukmin, Yahudi, Shabiin, dan orang-orang Nasrani, siapa
saja (diantara mereka) yang benar-benar beriman keapda Allah, hari kemudian dan
beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka
bersedih hati.
(Q.S Al-Maaidah: 69)
Sesungguhnya orang-orang Mukmin, Yahudi, Shabiin, dan orang-orang Nasrani, siapa
saja (diantara mereka) yang benar-benar beriman keapda Allah, hari kemudian dan
beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka
bersedih hati.
(Q.S Al-Maaidah: 69)
Ketika berhadapan dengan masalah perbedaan, dibenak kita biasanya akan muncul
anggapan bahwa perbedaan itu adalah sebuah bentuk permusuhan atau pertikaian.
Anggapan itu terkadang ada benarnya, karena beberapa kasus pertikaian yang terjadi di
negeri ini disebabkan karena perbedaan. Baik itu perbedaan pendapat, perbedanaan suku,
partai, agama, dan masih banyak lagi pertikaian yang terjadi akibat sebuah perbedaan.
Hal ini bukanlah fenomena yang baru.
Dalam sejarah atau cerita, barangkali kita pernah membaca tentang peperangan antarsuku
yang disebabkan karena perebutan lahan atau daerah kekuasaan. Sederetan kasus, seperti:
munculnya pemberontakan-pemberontakan lokal dengan segala dalih yang ada;
kerusuhan-kerusuhan rasialis dengan berbagai latar belakang isu yang mengitarinya;
sengketa ideologi yang terkadang sampai menimbulkan perkelahian; pertikaian sosial
yang melibatkan prasangka-prasangka kesukuan; ketegaangan yang terjadi antar
hubungan umat beragama, itu semua karena posisi masing-masing tidak sama. Baik itu
mengenai persepsi, ideologi dan latar belakang lain yang membuat mereka berbeda.
Bentuk perbedaan yang akan tetap abadi hingga akhir nanti adalah perbedaan agama.
Karena, sentuhan wilayah agama begitu panjang sampai pada hidup sesudah mati. Belum
lagi persoalan tentang cara pandang mengenai Tuhan, syurga, neraka dan keyakinanleyakinan lain yang membuat pemahaman kita tentang agama menjadi berbeda. Kita
ambil contoh negeri yang didalamnya terdapat banyak hal yang berbeda, Indonesia
namanya.
Kemajemukan bangsa Indonesia-- termasuk dalam hal agamaselain kebanggaan
nasional juga kekayaan konflik. Lalu apa yang salah dengan perbedaan? Tiada yang salah
dengan perbedaan, yang salah hanyalah sudut pandang kita. Perbedaan bukan alasan
untuk kita dapat saling memahami. Maka, disinilah letak pentingnya toleransi.

Pandangan setiap agama akan absolutisme ajaran kalau dilihat dari kepentingan
eksistensi masing-masing agama sendiri memang sudah semestinya, mengingat agama
adalah menyangkut kualitas hidup dan pilihan rohani manusia, dan dengan pandangan
seperti ini akan kemungkinan setiap agama mampu mempertahankan kemurnian ajaran
dan identitasnya masing-masing.
Namun, dari sudut yang lain, akibat logis dari rasa keyakinan ini adalah meunculnya
sikap fanatisme dari masing-masing pemeluk agama yang tidak saja mempercayai
kebenaran mutlak ajaran agama yang dipilihnya, melainkan juga, meminjam istilahnya
Moeslim Abdurrahaman merasa menanggung tugas suci,--bagaimana harus
meyakinkan orang lain akan kebenaran mutlak ajaran agamanya tersebut.
Sikap semacam itu hampir merata pada setiap pemeluk agama, sekalipun dalam kadar
yang berbeda-beda. Sebab utama, mengapa kadang-kadang tampak hubungan sosial yang
kurang serasi dan seringkali justru menjadi tegang antara pemeluk agama yang satu
dengan yang lain, diduga adalah karena faktor fanatisme ini, sekalipun harus diakui
pula kemungkinan adanya faktor-faktor lain yang ikut mendorong terjadinya konflik
semacam itu.
Pada perkembangann terakhir, kini telah tumbuh suatu kesadaran baru khususnya di
kalangan tokoh agama, yaitu perlunya di selenggarakan dialog antar agama. Kesadaran
itu muncul diduga karena mereka merasa dihadapkan pada tanda-tanda peradaban
modern yang dinilai semakin hari cenderung irreligious, atau apa yang disebut oleh
mereka dengan kegersangan spiritual, terutama akibat kemajuan teknologi yang sangan
pesat. Sehingga menuntut adanya tanggung jawab bersama di antara pimpinan agama
untuk mengatasi kecenderungan yang memprihatinkan tersebut.
Di Indonesia, kegiatan dialog antar agama baru terlaksana pada tingkat-tingkat atas atau
para pemuka agama dan lapisan tertentu saja. Padahal, persengketaan sering terjadi pada
masyarakat kelas bawah. Oleh karena itu, dialog antar agama saat ini lebih diarahkan
pada level masyarakat pinggiran dengan mencari persamaan-persamaan persepsi sosial
yang mungkin bisa dikembangkan terutama kaitannya dengan kemungkinan menyusun
program-program kemasyarakatan yang bisa ditangani bersama.
Dengan demikian diharapkan melalui cara ini dapat lebih mendayagunakan umat
beragama dalam kegiatan-kegiatan yang dapat mencairkan semangat-semangat
fanatisme tersebut. Yang jelas bahwa masalah hubungan antar agama di Indonesia
sampai sekarang masih menempati salah satu topik nasional yang kelihatannya amat
diperlukan ketekunan dan kehati-hatian dalam mengamati dan menanganinya.
Sebagai agenda awal adalah bagaimana memecahkan hambatan teologis di kalangan
umat beragama dalam menerima kehadiran pluralisme sebagai hukum Tuhan. Problem
kita adalah kenyataan semakin mengerasnya masyarakat ke arah eksklusivisme,
komunalisme, dan bahkan semangat antipluralisme. Padahal, intelektual di pentas-pentas
elit sedang ramai-ramainya mengusung wacana toleransi, inklusivisme, dan bahkan
pluralisme.
Indonesia merupakan sebuah miniatur dunia dalam arti di Indonesia dapat ditemukan
keanekargaman tetapi dihayati dalam kesadaran kesatuan. Tuhan telah menciptakan
manusia terdiri dari berbagai jenis suku bangsa dan membekali manusia dengan berbagai

agama. Model penciptaan manusia seperti itu jelas sekali-kali tidak dimaksudkan untuk
memecah belah manusia atau menjadikan mereka saling bermusuhan satu sama lain.
Sebaliknya, berdasarkan perbedaan-perbedaan yang ada manusia didorong untuk saling
mendekat dan saling berkerjasama berlandaskan kesadaran bahwa sesungguhnya mereka
adalah umat yang satu.
Manusia, apapun tradisi dan agamanya, apapun bahasa dan warna kulitnya, adalah
mahluk ciptaan Allah. Kesadaran atas kesatuan manusia ini, kesadaran bahwa Tuhan
yang satu telah menciptakan kita semua, dan kesadaran bahwa kita memiliki hak-hak
yang sama, dan karena itu kita harus memperlakukan setiap orang secara manusiawi,
merupakan prinsip utama yang akan dapat menyatukan manusia sekalipun mereka
memiliki latar belakang berbeda-beda.
Kita menghargai jerih payah yang dilakukan para tokoh agama dalam melakukan
sosialisasi wacana toleransi, inklusivisme dan pluralisme. Dengan jalan sering
melaksanakan kegiatan dialog antar agama, baik pada tingkat nasional maupun
internasional.
Namun, yang lebih penting lagi, wacana toleransi, inklusivisme, dan pluralisme itu
selama ini belum mengalami proses pembumian ke level bawah (grass root society). Oleh
karena itu, dialog antar agama menjadi agenda strategis agar perlu segera dibumikan ke
masyarakat bawah, agar masyarakat bawah mengalami proses penyerapan intelektual dan
pencerahan keagamaan. Sehingga masyarakat bawah mengalami proses dialektika dan
dialogis antar-umat, yang pada tahap selanjutnya dapat mempercepat proses objektivikasi
ke level kesadaran umat.
Allah telah menciptakan manusia terdiri dari berbagai jenis suku bangsa dan membekali
manusia dengan berbagai agama. Model penciptaan manusia seperti itu jelas sekali-kali
tidak dimaksudkan untuk memecah belah manusia atau menjadikan mereka saling
bermusuhan satu sama lain. Sebaliknya, berdasarkan perbedaan-perbedaan yang ada
manusia didorong untuk saling mendekat dan saling berkerjasama berlandaskan
kesadaran bahwa sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, yaitu umat yang bernama
manusia.
Ketua Program Center for Moderate Moslem

Komentar Anda
Tulis Komentar
Nama:
Email:
Lokasi:
URL:

Komentar:

Perlihatkan email

Ingat saya

Peringatkan saya jika seseorang membalas komentar saya?


SUBMIT

PREVIEW

kirim ke teman
kembali

Home
Profil
Pengelola
Agenda
Jaringan
AD/ART
Alamat

Artikel
Berita
Buku
Buletin
Jurnal
Muslim ASEAN
ARSIP

Copyright 2005 - Center For Moderate Muslim Indonesia

Anda mungkin juga menyukai