Find
persepsi sosial
>> fatal.
>>
>> Menarik pada saat Gorbachev terpilih sebagai pemimpin Uni Soviet,
>> Menteri
>> Luar Negeri Andrei Gromyko mengatakan, "Pria ini memiliki senyum yang
>> manis,
>> namun giginya terbuat dari besi." (Time, 1988, dalam Brehm dan Kassin
>> 1989).
>>
>> Peringatan Gromyko itu berdasarkan pada asumsi bahwa manusia mudah
>> dikelabui
>> oleh penampilan. Apabila seseorang tampak lembut dan manis, terkesan,
ia
>> seolah-olah lemah dan tidak berdaya sebagai representasi
kelembutannya
>> itu.
>> Kendati, Goetz begitu spontan bertindak keras terhadap penodongnya.
>> Sedangkan Gorbachev digambarkan memiliki gigi (kekuatan) yang terbuat
>> dari
>> besi.
>>
>> Hal yang acap kali diujarkan orang justru terabai dalam praktiknya.
>> Terasa
>> mudah mengatakan,"Hati-hati, jangan menilai buku dari sampulnya."
Namun
>> diakui atau tidak sebagian besar orang sulit menemukan cara menilai
dari
>> sisi yang berbeda. Apalagi saat perjumpaan yang singkat. Kesan
terhadap
>> orang lain adalah persepsi sosial, yang sesungguhnya merupakan sumber
>> penting dalam pola interaksi antarmanusia. Persepsi sosial menentukan
>> hubungan seseorang dengan orang lain.
>>
>> Persepsi Sosial
>>
>> Menurut Brehm dan Kassin (1989), persepsi sosial adalah
>> penilaian-penilaian
>> yang terjadi dalam upaya manusia memahami orang lain. Tentu saja
sangat
>> penting, namun bukan tugas yang mudah bagi setiap orang. Tinggi,
berat,
>> bentuk tubuh, warna kulit, warna rambut, dan warna lensa mata, adalah
>> beberapa hal yang mempengaruhi persepsi sosial. Contohnya di Amerika
>> Serikat, wanita berambut pirang dinilai sebagai seorang yang hangat
dan
>> menyenangkan.
>>
>> Persepsi sosial terdiri atas tiga elemen yang merupakan petunjukpetunjuk
>> tidak langsung ketika seseorang menilai orang lain. Tiga elemen
tersebut
>> bersumber pada: pribadi (person), situasi (situation) dan perilaku
>> (behavior). Proses pembentukan persepsi sosial berdasarkan penilaian
>> pribadi, antara lain yang dilakukan dengan cepat, ketika melihat
>> penampilan
>> fisik seseorang. Termasuk di dalamnya jenis kelamin, usia, ras, latar
>> belakang etnik, dan beberapa aspek demografi lain.
>>
>> Sebagaimana kita percaya manusia terbagi dalam beberapa tipe,
demikian
>> pula
>> kita memiliki konsep awal tentang beragam situasi berdasarkan
pengalaman
>> terdahulu. Situasi sering dianggap sebagai naskah kehidupan. Semakin
>> banyak
>> pengalaman yang orang miliki dalam satu situasi, maka semakin
terperinci
>> isi
>> naskah yang disusunnya mengenai situasi tersebut. Ketika seseorang
merasa
>> sangat akrab dengan tipe situasi tertentu, maka peristiwa-peristiwa
akan
>> terletak tepat pada tempatnya, bagaikan potongan-potongan puzzle yang
>> tersusun rapi. Hal ini berarti, semakin kaya pengalaman hidup
seseorang,
>> semakin bijak persepsi sosial yang dibentuknya dari situasi.
>>
>> Elemen perilaku adalah mengidentifikasi perilaku yang diproduksi oleh
>> aktivitas seseorang. Perilaku membutuhkan bukti-bukti yang dapat
diamati.
>> Ketajaman pengamatan seseorang menentukan persepsi sosial yang
>> dibentuknya
>> berdasarkan gejala-gejala perilaku orang lain. Orang mengandalkan
>> perilaku
>> nonverbal untuk menguatkan penilaiannya, namun sering kali hasilnya
>> kurang
>> akurat. Masalahnya terletak pada terlalu banyak perhatian yang
ditujukan
>> pada kata-kata dan ekspresi wajah. Tombol komunikasi sepenuhnya
berada di
>> bawah kendali orang yang dinilai, sehingga ia dapat mengatur katakata
>> dan
>> ekspresinya. Namun isyarat bahasa tubuh dan perubahan intonasi suara
>> adalah
>> petunjuk yang sangat berharga dalam proses persepsi sosial bersumber
pada
>> elemen perilaku.
>>
>> Penelitian membuktikan persepsi sosial yang kita lakukan dalam upaya
>> membangun relasi interpersonal sering cukup akurat, namun tidak
selalu
>> demikian. Dalam hal inilah perlu dilakukan pengasahan mendalam agar
kita
>> dapat lebih tajam menilai orang lain.
>>
>> Tak kalah penting untuk dipahami adalah dua perbedaan radikal dalam
>> pembentukan persepsi sosial. Pertama, proses yang cepat dan otomatis.
>> Tanpa
>> terlalu banyak berpikir, menimbang, berhati-hati, dengan cepat orang
>> menilai
>> orang lain berdasarkan penampilan fisik, naskah kehidupan yang telah
>> tersusun sebagai konsep awal situasi, dan hasil pengamatan perilaku
yang
ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan di tujuh propinsi, yakni Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa
Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Responden
penelitian adalah anggota DPRD kota dan kabupaten periode 1999-2004, terutama anggota
Komisi E. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa setelah responden diperkenalkan
dengan konsep, kebijakan, dan beberapa program bidang kesejahteraan sosial, secara umum
mereka setuju dengan apa yang digariskan oleh Departemen Sosial. Hal penting yang perlu
diperhatikan dalam pelaksanaan program, adalah kesesuaiannya dengan kondisi lokal.
Kendala yang dihadapi dalam pembangunan kesejahteraan sosial di daerah, adalah belum
memadainya kualitas SDM di daerah, diperlukan upaya pembinaan dan peningkatan kualitas
SDM secara terus menerus. Berdasarkan beberapa temuan hasil penelitian ini,
kekemukakan pula beberapa saran, antara lain perlunya sosialisasi dan dialog sesering
mungkin antara Departemen Sosial dengan lembaga legislatif dan ekskutif di daerah. Upaya
dimaksud akan lebih berhasil bila disertai dengan publikasi berbagai produk kebijakan,
program, maupun panduan-panduan yang dapat dijadikan acuan oleh daerah dalam
melaksanakan pembangunan kesejahteraan sosial di wilayahnya.
A.
PENDAHULUAN
Menurut informasi dari beberapa instansi sosial di daerah, dampak
diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah
(kemudian
diperbaharui
dengan
UU
N0.
32
tahun
2004),
perhatian
kesejahteraan sosial.
pemerintah
daerah
terhadap
pembangunan
dan
mampu,
padahal
daerah
memiliki
kemampuan
untuk
telah
memberikan
rumahtangganya
sendiri;
peluang
tapi
kepada
pada
sisi
daerah
lain
untuk
daerah
mengurus
menghadapi
data
dilakukan
melalui
wawancara
dengan
B. KERANGKA KONSEP
1. Pengertian persepsi
Persepsi dalam Psikologi diartikan sebagai salah satu perangkat
psikologis yang menandai kemampuan seseorang untuk mengenal dan
memaknakan sesuatu objek yang ada di lingkungannya. Menurut Scheerer
persepsi adalah representasi phenomenal tentang objek distal sebagai hasil
dari pengorganisasian dari objek distal itu sendiri, medium dan rangsangan
proksinal (Salam; 1994). Dalam persepsi dibutuhkan adanya objek atau
stimulus yang mengenai alat indera dengan perantaraan syaraf sensorik,
kemudian diteruskan ke otak sebagai pusat kesadaran (proses psikologis).
Selanjutnya, dalam otak terjadilah sesuatu proses hingga individu itu dapat
mengalami persepsi (proses psikologis).
Psikologi kontemporer menyebutkan persepsi secara umum diperlukan
sebagai satu variabel campur tangan (intervening variabel), bergantung pada
faktor-faktor motivasional. Artinya suatu objek atau satu kejadian objektif
ditentukan baik oleh kondisi perangsang maupun oleh faktor-faktor
organisme. Dengan alasan sedemikian, persepsi mengenai dunia oleh
pribadi-pribadi yang berbeda juga akan berbeda, karena setiap individu
menanggapinya
berkenaan
dengan
aspek-aspek
situasi
tadi
yang
tidak
mengherankan
jika
seringkali
terjadi
perbedaan
paham
yang
persepsi
juga
bersifat
inferensional
(menarik
kesimpulan)
(Sarwono,1983).
Persepsi sosial menurut David O Sears adalah bagaimana kita
membuat kesan pertama, prasangka apa yang mempengaruhi mereka, jenis
informasi apa yang kita pakai untuk sampai pada kesan tersebut, dan
bagaimana akuratnya kesan itu (David O Sears, et. al, 1994). Menurut
Istiqomah dkk, Persepsi sosial mengandung unsur subyektif. Persepsi
seseorang bisa keliru atau berbeda dari persepsi orang lain. Kekeliruan atau
perbedaan persepsi ini dapat membawa macam-macam akibat dalam
hubungan antar manusia. Persepsi sosial menyangkut atau berhubungan
dengan adanya rangsangan-rangsangan sosial. Rangsangan-rangsangan
sosial ini dapat mencakup banyak hal, dapat terdiri dari (a) orang atau orangorang berikut ciri-ciri, kualitas, sikap dan perilakunya, (b) persitiwa-peristiwa
sosial dalam pengertian peristiwa-peristiwa yang melibatkan orang-orang,
secara langsung maupun tidak langsung, norma-norma, dan lain-lain
(Istiqomah, dkk, 1988).
Penelitian lain menunjukkan bahwa proses persepsi juga dipengaruhi
oleh pengalaman belajar dari masa lalu, harapan dan preferensi (Bartol &
Bartol, 1994). Terkait dengan persepsi sosial, Istiqomah menyebutkan ada 3
hal yang mempengaruhi, yakni 1) variabel obyek-stimulus, 2) variabel latar
atau suasana pengiring keberadaan obyek-stimulus, dan 3) variabel diri
preseptor (pengalaman, intelegensia, kemampuan menghayati stimuli,
ingatan, disposisi kepribadian, sikap, kecemasan, dan pengharapan)
(Istiqomah, dkk, 1988).
Ada tiga dimensi yang terkait dengan persepsi, menurut Osgood
tentang konsep diferensial semantik menjelaskan tiga dimensi dasar yang
pemerintah
di
daerah;
fungsi
legislasi
adalah
dalam
fungsi
legislatif sehari-hari,
Daerah
untuk
lebih
memberdayakan
legislatif,
dan
meningkatkan
sendiri
upaya-upaya
mensejahterakan
masyarakatnya,
termasuk
wewenang
untuk
mengupayakan
kesejahteraan
sosial
mewujudkan
kesejahteraan
sosial
oleh
perorangan,
keluarga,
ketahanan
sosial
melalui
upaya
memperkecil
pelaku
meningkatkan
pembangunan
profesionalisme
dan
kesejahteraan
kinerjanya,
sosial
serta
untuk
pemberian
3)
keputusan
serta
melakukan
pilihan
terbaik
untuk
sasaran,
terdapat 5
(lima) sasaran
signifikan
yang
dapat
lainnya,
yaitu:
masalah
C.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diperoleh gambaran
mengenai persepsi anggota legislatif di daerah terhadap pembangunan
kesejahteraan sosial adalah sbb:
1. Persepsi Legislatif Tentang Konsep Kesejahteraan Sosial
Sebagian besar responden anggota legislatif (sekitar 85,5%) belum
mengetahui secara mendalam tentang makna/isi dari UU No.6 Tahun 1974.
Mereka mengetahui sekilas tentang konseps kesejahteraan sosial setelah
mendapatkan informasi yang bersifat umum pada awal menjadi anggota
legislatif.
Selain
itu,
pengetahuan/pengalaman
mereka
tentang
mampu
mengimplementasikan
program-program
sosial
yang
diharapkan,
88,8%
responden
dan
seluruh
masyarakat
Indonesia,
mengingat
ini
walaupun
telah
diberlakukan
otonomi
daerah,
menurut
masalah
kemiskinan,
masalah
kecacatan,
masalah
koordinasi antar instansi terkait yang belum berjalan dengan baik, karena
masing-masing instansi berpegang pada target program yang telah
direncanakan.
Secara umum (82,6% responden) memandang, bahwa strategi dalam
pembangunan kesejahteraan sosial mencakup strategi pemberdayaan sosial,
kemitraan, partisipasi sosial, dan advokasi sudah tepat. Mereka mengatakan
bahwa
tanpa
menempuh
strategi
tersebut,
pelaksanaan
program
yang
bersifat
karikatif
(belas
kasihan),
dan
kompleksnya
Persepsi
Legislatif
Tentang
Penyelenggaraan
Pelayanan
Kesejahteraan Sosial
Dalam kerangka penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial,
sebagian besar responden (sekitar 68%) menyebutkan, bahwa pemerintah
daerah belum mampu menjalin hubungan yang sinergis dengan elemen
masyarakat yang ada didaerahnya. Kondisi ini ditandai dengan banyaknya
program pelayanan sosial yang tidak diketahui oleh sebagian besar lapisan
masyarakat.
Partisipasi masyarakat lokal dalam penanganan masalah sosial secara
umum masih belum optimal. Pada umumnya partisipasi masyarakat yang
menonjol adalah dalam penanganan masalah yang sifatnya insidentil seperti
penanganan/pelayanan korban bencana: banjir, tanah longsor, gunung berapi
dan sebagainya. Partisipan elemen masyarakat seperti ORSOS/LSM, dalam
pelaksanaan usaha kesejahteraan sosial menurut sebagian responden
(56,5%), masih banyak berorientasi pada proyek dan belum pada
hasil/manfaat bagi masyarakat.
mengemukakan
perhatian
yang
perlu
bahwa,
terhadap
dilakukan
pemerintah
keberadaan
adalah
daerah
Pekerja
bagaimana
seharusnya
sosial.
Upaya
membina
dan
mempunyai
pengetahun
dan
pengalaman
di
bidang
usaha
dengan
instansi
lain,
hal
ini
mengingat
kompleksnya
2. Saran
Memperhatikan berbagai temuan tersebut di atas, implikasinya terhadap
upaya Departemen Sosial dalam optimalisasi program bidang kesejahteraan
sosial, diajukan berbagai saran seperti berikut:
a. Departemen Sosial Pusat perlu lebih memantapkan dan meningkatkan
kegiatan sosialisasi dan pembinaan terhadap aparat di daerah. Hal ini
mengingat bahwa banyak aparat instansi sosial daerah (terutama yang
berasal dari instansi lain) belum memahami secara baik konsep, maupun
program pembangunan bidang kesejahteraan sosial.
b. Khusus dengan anggota legislatif, diharapkan Departemen Sosial lebih
memantapkan sosialisasi tentang kebijakan dan program, melalui
kunjungan dan berdialog atau mengundang legislatif daerah dalam suatu
pertemuan khusus. Sosialisasi ini diarahkan untuk membangun komitmen
yang lebih intens antara pemerintah (Departemen Sosial) dengan
legislatif. Melalui kegiatan dimaksud, diharapkan pula akan tercapai
kesamaan
persepsi
dan
pandangannya
terhadap
pembangunan
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Faried, 1997. Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Adi, Isbandi Rukminto, 2002. Pemikiran-pemikiran dalam Pembangunan
Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Chamsyah, Bachtiar, 2002. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kesejahteaan
Sosial. Jakarta: Balatbangsos Depsos RI.
________, 2003. Dimensi Religi dalam Kesejahteraan Sosial, Mukman Nuryana
ed. Jakarta: Balatbangsos Depsos RI.
David O., Sears, et. al., 1994. Psikologi Sosial, Jilid 1, Alih bahasa oleh Micahael
Adriayanto dan Savitri Soekrisno. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Dhakidae, Daniel, 2003. Profil Daerah Kabupaten dan Kota, Jilid 3. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Istiqomah, dkk, 1988. Modul 1-9: Materi Pokok Psikologi Sosial. Jakarta:
Penerbit Karunika Universitas Terbuka.
Kaloh, J., 2002. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Jakarta: Rineka Cipta.
Koswara E., 2001. Otonomi Daerah untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat.
Jakarta: Sembrani Aksara Nusantara.
Piliang, Indra, dkk (editor). 2003. Otonomi Daerah Evaluasi dan Proyeksi.
Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa.
Sujamto, 1993. Perspektif Otonomi Daerah. Jakarta: Rineka Cipta
Dept.Comp.Soc. BFI
Awal Tutorial
Kontak
A multiple personality is i
certain sense norm
GHM
. . . if men def
situations as real, t
are real in th
consequen
W I Tho
Symb
interactionism is
peculiar and distinct
character of interact
as it takes pl
between human bei
Herbert Blu
Dept.Comp.Soc. BFI
Awal Tutorial
Kontak
FIND
Home
Profil
Pengelola
Agenda
Jaringan
AD/ART
Alamat
Artikel
Berita
Buku
Buletin
Jurnal
Muslim ASEAN
SUARA MODERAT
ARSIP
[ ID | ARAB | EN ]
Pandangan setiap agama akan absolutisme ajaran kalau dilihat dari kepentingan
eksistensi masing-masing agama sendiri memang sudah semestinya, mengingat agama
adalah menyangkut kualitas hidup dan pilihan rohani manusia, dan dengan pandangan
seperti ini akan kemungkinan setiap agama mampu mempertahankan kemurnian ajaran
dan identitasnya masing-masing.
Namun, dari sudut yang lain, akibat logis dari rasa keyakinan ini adalah meunculnya
sikap fanatisme dari masing-masing pemeluk agama yang tidak saja mempercayai
kebenaran mutlak ajaran agama yang dipilihnya, melainkan juga, meminjam istilahnya
Moeslim Abdurrahaman merasa menanggung tugas suci,--bagaimana harus
meyakinkan orang lain akan kebenaran mutlak ajaran agamanya tersebut.
Sikap semacam itu hampir merata pada setiap pemeluk agama, sekalipun dalam kadar
yang berbeda-beda. Sebab utama, mengapa kadang-kadang tampak hubungan sosial yang
kurang serasi dan seringkali justru menjadi tegang antara pemeluk agama yang satu
dengan yang lain, diduga adalah karena faktor fanatisme ini, sekalipun harus diakui
pula kemungkinan adanya faktor-faktor lain yang ikut mendorong terjadinya konflik
semacam itu.
Pada perkembangann terakhir, kini telah tumbuh suatu kesadaran baru khususnya di
kalangan tokoh agama, yaitu perlunya di selenggarakan dialog antar agama. Kesadaran
itu muncul diduga karena mereka merasa dihadapkan pada tanda-tanda peradaban
modern yang dinilai semakin hari cenderung irreligious, atau apa yang disebut oleh
mereka dengan kegersangan spiritual, terutama akibat kemajuan teknologi yang sangan
pesat. Sehingga menuntut adanya tanggung jawab bersama di antara pimpinan agama
untuk mengatasi kecenderungan yang memprihatinkan tersebut.
Di Indonesia, kegiatan dialog antar agama baru terlaksana pada tingkat-tingkat atas atau
para pemuka agama dan lapisan tertentu saja. Padahal, persengketaan sering terjadi pada
masyarakat kelas bawah. Oleh karena itu, dialog antar agama saat ini lebih diarahkan
pada level masyarakat pinggiran dengan mencari persamaan-persamaan persepsi sosial
yang mungkin bisa dikembangkan terutama kaitannya dengan kemungkinan menyusun
program-program kemasyarakatan yang bisa ditangani bersama.
Dengan demikian diharapkan melalui cara ini dapat lebih mendayagunakan umat
beragama dalam kegiatan-kegiatan yang dapat mencairkan semangat-semangat
fanatisme tersebut. Yang jelas bahwa masalah hubungan antar agama di Indonesia
sampai sekarang masih menempati salah satu topik nasional yang kelihatannya amat
diperlukan ketekunan dan kehati-hatian dalam mengamati dan menanganinya.
Sebagai agenda awal adalah bagaimana memecahkan hambatan teologis di kalangan
umat beragama dalam menerima kehadiran pluralisme sebagai hukum Tuhan. Problem
kita adalah kenyataan semakin mengerasnya masyarakat ke arah eksklusivisme,
komunalisme, dan bahkan semangat antipluralisme. Padahal, intelektual di pentas-pentas
elit sedang ramai-ramainya mengusung wacana toleransi, inklusivisme, dan bahkan
pluralisme.
Indonesia merupakan sebuah miniatur dunia dalam arti di Indonesia dapat ditemukan
keanekargaman tetapi dihayati dalam kesadaran kesatuan. Tuhan telah menciptakan
manusia terdiri dari berbagai jenis suku bangsa dan membekali manusia dengan berbagai
agama. Model penciptaan manusia seperti itu jelas sekali-kali tidak dimaksudkan untuk
memecah belah manusia atau menjadikan mereka saling bermusuhan satu sama lain.
Sebaliknya, berdasarkan perbedaan-perbedaan yang ada manusia didorong untuk saling
mendekat dan saling berkerjasama berlandaskan kesadaran bahwa sesungguhnya mereka
adalah umat yang satu.
Manusia, apapun tradisi dan agamanya, apapun bahasa dan warna kulitnya, adalah
mahluk ciptaan Allah. Kesadaran atas kesatuan manusia ini, kesadaran bahwa Tuhan
yang satu telah menciptakan kita semua, dan kesadaran bahwa kita memiliki hak-hak
yang sama, dan karena itu kita harus memperlakukan setiap orang secara manusiawi,
merupakan prinsip utama yang akan dapat menyatukan manusia sekalipun mereka
memiliki latar belakang berbeda-beda.
Kita menghargai jerih payah yang dilakukan para tokoh agama dalam melakukan
sosialisasi wacana toleransi, inklusivisme dan pluralisme. Dengan jalan sering
melaksanakan kegiatan dialog antar agama, baik pada tingkat nasional maupun
internasional.
Namun, yang lebih penting lagi, wacana toleransi, inklusivisme, dan pluralisme itu
selama ini belum mengalami proses pembumian ke level bawah (grass root society). Oleh
karena itu, dialog antar agama menjadi agenda strategis agar perlu segera dibumikan ke
masyarakat bawah, agar masyarakat bawah mengalami proses penyerapan intelektual dan
pencerahan keagamaan. Sehingga masyarakat bawah mengalami proses dialektika dan
dialogis antar-umat, yang pada tahap selanjutnya dapat mempercepat proses objektivikasi
ke level kesadaran umat.
Allah telah menciptakan manusia terdiri dari berbagai jenis suku bangsa dan membekali
manusia dengan berbagai agama. Model penciptaan manusia seperti itu jelas sekali-kali
tidak dimaksudkan untuk memecah belah manusia atau menjadikan mereka saling
bermusuhan satu sama lain. Sebaliknya, berdasarkan perbedaan-perbedaan yang ada
manusia didorong untuk saling mendekat dan saling berkerjasama berlandaskan
kesadaran bahwa sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, yaitu umat yang bernama
manusia.
Ketua Program Center for Moderate Moslem
Komentar Anda
Tulis Komentar
Nama:
Email:
Lokasi:
URL:
Komentar:
Perlihatkan email
Ingat saya
PREVIEW
kirim ke teman
kembali
Home
Profil
Pengelola
Agenda
Jaringan
AD/ART
Alamat
Artikel
Berita
Buku
Buletin
Jurnal
Muslim ASEAN
ARSIP