Kaidah Ouchterlony
Kaidah ini berguna untuk menentukan perhubungan antigen (antigenic relationship). Corak
pertama di atas menunjukkan tindak balas seiras (reaction of identity) yang berlaku apabila
epitop-epitop pada antigen 1 dan 2 yang dicam oleh antibodi adalah sama. Dalam tindak
balas kedua epitop-eitop yang terdapat pada antigen 1 dan 3 adalah berbeza dan tidak
dikongsikan. Ini menghasilkan corak tindak balas tak seiras (reaction of non-identity). Jika
terdapat epitop-epitop yang dikongsikan antara dua antigen dan pada masa yang sama
terdapat epitop-epitop unik pada satu antigen, corak separa iras (reaction of partial identity)
akan terhasil. Dalam corak ketiga, antigen 1 dan 4 mempunyai epitop-epitop yang sepunya,
tetapi antigen 1 mempunyai epitop-epitop unik yang dicam oleh antibodi dan ini akan
menghasilkan pacu (spur). Dalam corak keempat, antibodi hanya mengcam epitop pada
antigen 1 yang tidak mempunyai epitop yang dikongsikan dengan antigen 5.
Kaidah ini tergolong ke dalam asai imunoenzim kerana melibatkan tindak balas enzim
dengan substrat. Kaedah ELISA terus digunakan untuk mengesan kehadiran antigen
sementara kaedah tak terus digunakan untuk mengesan kehadiran antibodi.
Rajah di atas menunjukkan prinsip ELISA untuk mengesan kehadiran antibodi. Telaga piring
mikrotiter diselaputkan dengan antigen (berwarna biru) kemudian sampel ujian ditambah.
Jika terdapat antibodi spesifik (berwarna merah) untuk antigen dalam sampel tersebut ia akan
bergabung dengan antigen. Kehadiran antibodi ini dikesan menggunakan antibodi sekunder
(biru) berlabel enzim (kuning). Selepas penambahan substrat, warna produk ditentukan
berdasarkan serapan dan nilai serapan ini adalah berkadaran dengan kuantiti antibodi yang
tergabung kepada antigen.
Setiap sel T mempunyai spesifisitas ganda. Hal ini berarti T cell receptor (TCR) mengenali
peptida antigen dan juga mengenali molekul MHC yang membawa peptida tersebut.
Sel yang berfungsi khusus untuk menangkap antigen mikroba dan mengikatnya supaya dapat
dikenali oleh limfosit T dinamakan antigen-presenting cell (APC). Limfosit T naif
memerlukan presentasi antigen oleh APC agar dapat memulai respons imun.
Penangkapan antigen protein oleh APC
Antigen protein dari mikroba yang memasuki tubuh akan ditangkap oleh APC, kemudian
terkumpul di organ limfoid perifer dan dimulailah respons imun (lihat Tabel 7-1). Mikroba
masuk ke dalam tubuh terutama melalui kulit, saluran gastrointestinal, dan saluran napas.
Epitel merupakan pertahanan fisik terhadap infeksi. Epitel mengandung sekumpulan APC
yang tergolong dalam sel dendrit. Di kulit, sel dendrit epidermal disebut sebagai sel
Langerhans. Sel dendrit di epitel ini masih imatur karena tidak efisien untuk menstimulasi sel
T.
Antigen mikroba yang memasuki epitel akan ditangkap oleh sel dendrit dengan cara
fagositosis (untuk antigen partikel) atau pinositosis (untuk antigen terlarut). Sel dendrit
memiliki reseptor untuk berikatan dengan mikroba. Reseptor tersebut mengenali residu
manosa terminal (terminal mannose residue) yang terdapat pada glikoprotein mikroba namun
tidak ada pada glikoprotein mamalia. Ketika makrofag dan sel epitel bertemu dengan
mikroba, sel tersebut mengeluarkan sitokin tumor necrosis factor (TNF) dan interleukin-1
(IL-1). Sitokin tersebut bekerja pada sel dendrit yang telah menangkap antigen dan
menyebabkan sel dendrit terlepas dari epitel.
Sel dendrit mempunyai reseptor terhadap kemokin yang diproduksi di kelenjar getah bening
yang penuh dengan sel T. Kemokin tersebut akan mengarahkan sel dendrit untuk masuk ke
pembuluh limfe dan menuju ke kelenjar getah bening regional. Selama proses migrasi, sel
dendrit bermaturasi dari sel yang berfungsi menangkap antigen menjadi APC yang dapat
menstimulasi limfosit T. Bentuk dari maturasi ini yaitu molekul MHC dan ko-stimulatornya
disintesis dan diekspresikan di permukaan APC.
Jika suatu mikroba berhasil menembus epitel dan memasuki jaringan ikat/parenkim, mikroba
tersebut akan ditangkap oleh sel dendrit imatur dan dibawa ke kelenjar getah bening. Antigen
terlarut di saluran limfe diambil oleh sel dendrit yang berada di kelenjar getah bening,
sedangkan antigen di dalam darah diambil oleh sel dendrit yang berada di limpa. Antigen
protein dari mikroba yang masuk ke dalam tubuh akan dikumpulkan di kelenjar getah bening
sehingga dapat bertemu dengan limfosit T. Sel T naif bersirkulasi terus-menerus dan melewati
kelenjar getah bening paling tidak satu kali sehari. Proses pertemuan APC dan sel T naif di
kelenjar getah bening sangat efisien. Jika suatu antigen mikroba masuk ke dalam tubuh,
respons sel T terhadap antigen ini akan dimulai di kelenjar getah bening regional dalam 12-18
jam.
Berbagai jenis APC mempunyai fungsi yang berbeda dalam respons imun tergantung sel T (T
cell-dependent immune response). Interdigitating dendritic cells merupakan APC yang paling
poten dalam mengaktivasi limfosit T naif. Sel dendrit tidak hanya menyebabkan dimulainya
respons sel T namun juga mempengaruhi sifat respons tersebut. Misalnya, terdapat beberapa
jenis sel dendrit yang dapat mengarahkan diferensiasi sel T CD4 naif menjadi suatu populasi
yang berfungsi melawan suatu jenis mikroba. Sel APC yang lain yaitu makrofag yang
tersebar di semua jaringan. Pada respons imun selular, makrofag memfagosit mikroba dan
mempresentasikannya ke sel T efektor, yang kemudian mengaktivasi makrofag untuk
membunuh mikroba. Limfosit B yang teraktivasi akan mencerna antigen protein dan
mempresentasikannya ke sel T helper; proses ini berperan penting dalam perkembangan
respons imun humoral. Selain itu, semua sel yang berinti dapat mempresentasikan antigen
dari mikroba di dalam sitoplasma kepada sel T sitotoksik.
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu upaya tubuh untuk mempertahankan diri terhadap masuknya antigen adalah
dengan cara meniadakan antigen tersebut, secara non spesifik yaitu dengan cara fagositosis.
Dalam hal ini, tubuh memiliki sel-sel fagosit yang termasuk ke dalam 2 kelompok sel, yaitu
kelompok sel agranulosit dan granulosit. Kelompok sel agranulosit adalah monosit dan
makrofag, sedangkan yang termasuk kelompok sel granulosit adalah neutrofil, basofil,
eosinofil yang tergolong ke dalam sel PMN (polymorphonuclear). Respon imun spesifik
bergantung pada adanya pemaparan benda asing dan pengenalan selanjutnya, kemudian
reaksi terhadap antigen tersebut. Sel yang memegang peran penting dalam sistem imun
spesifik adalah limfosit. Limfosit berfungsi mengatur dan bekerja sama dengan sel-sel lain
dalam sistem fagosit makrofag untuk menimbulkan respon immunologik.
I.2 Rumusan Masalah
Mengetahui bagaimana interaksi antara antigen an antibodi
BAB II
ISI
Antigen yang masuk ke dalam tubuh akan berikatan dengan reseptor sel limfosit B.
Pengikatan tersebut menyebabkan sel limfosit B berdiferensiasi menjadi sel plasma. Sel
plasma kemudian akan membentuk antibody yang mampu berikatan dengan antigen yang
merangsang pembentukan antibody itu sendiri. Tempat melekatnya antibody pada antigen
disebut epitop, sedangkan tempat melekatnya antigen pada antibodi disebut variabel.
a. Tiga Kategori Interaksi Antigen-Antibodi
Interaksi antigen-antibodi dapat dikategorikan menjadi tingkat primer, sekunder, dan
tersier.
1. Primer
Interaksi tingkat primer adalah saat kejadian awal terikatnya antigen dengan antibody
pada situs identik yang kecil, bernama epitop.
2. Sekunder
Interaksi tingkat sekunder terdiri atas beberapa jenis interaksi, di antaranya:
a. Netralisasi
Yaitu interaksi yang terjadi jika antibody secara fisik dapat menghalangi sebagian
antigen menimbulkan effect yang merugikan. Contohnya adalah dengan mengikat toksin
bakteri, antibody mencegah zat kimia ini berinteraksi dengan sel yang rentan.
b. Aglutinasi
Adalah jika sel-sel asing yang masuk, misalnya bakteri atau transfuse darah yang
c.
sehingga tidak dapat bertahan untuk terus berada di larutan dan akhirnya mengendap.
d. Fagositosis
Adalah jika bagian ekor antibodi yang berikatan dengan antigen mampu mengikat
reseptor fagosit (sel penghancur) sehingga memudahkan fagositosis korban yang
mengandung antigen tersebut.
e. Sitotoksis
Adalah saat pengikatan antibodi ke antigen juga menginduksi serangan sel pembawa
antigen oleh killer cell (sel K). Sel K serupa dengan natural killer cell kecuali bahwa sel K
mensyaratkan sel sasaran dilapisi oleh antibody sebelum dapat dihancurkan melalui proses
lisis membran plasmanya.
3. Tersier
Interaksi tingkat tersier adalah munculnya tanda-tanda biologic dari interaksi antigenantibodi yang dapat berguna atau merusak bagi penderitanya. Pengaruh menguntungkan
antara lain: aglutinasi bakteri, lisis bakteri, immnunitas mikroba,dan lain-lain. Sedangkan
pengaruh merusak antara lain: edema, reaksi sitolitik berat, dan defisiensi yang menyebabkan
kerentanan terhadap infeksi.
C. Interaksi Antigen-Antibodi
Tahap pertama dari respon antibodi dimulai dari fagositosis antigen oleh makrofag
atau sel lain dalam sistem retikuloendotelial yang meliputi sel-sel Langerhans di kulit, sel
dendritik pada spleen dan lymph node, serta monosit dalam darah. Sel-sel tersebut
berdasarkan fungsi imunologisnya digolongkan sebagai antigen-presenting cells (APC).
Penghasilan antibodi terhadap kebanyakan antigen memerlukan interaksi dan
pengaktifan kedua-dua sel B dan T. Antibodi memiliki kemampuan spesifik untuk mengikat
determinat site dari antigen atau yang disebut dengan determinan antigenik. Berikut
merupakan gambaran ikatan antara dua molekul antigen dengan dengan situs pengikatan
antigen di daerah-daerah variabel pad anti bodi
Sel-sel ini mungkin menghasilkan gerak balas terhadap epitop berbeza pada antigen
yang sama, tetapi epitop-epitop tersebut mesti tergabung (physically-linked). Kompleks
antigen yang tergabung ke reseptor sel B (terdiri dari imunoglobulin permukaan, sIg) akan
didegradasi dalam sel yang mengandungi molekul MHC II. Kompleks peptid-MHC ini akan
diekspres pada permukaan sel, di mana ia akan berinteraksi dengan sel T yang mempunyai
reseptor sesuai. Hasil dari pergabungan antigen serta sitokin-sitokin yang dihasilkan oleh sel
T, sel B diaktifkan dan menjalani proses proliferasi menjadi sel penghasil antibodi (sel
plasma).
Pergabungan antigen dan sitokin yang dihasilkan oleh sel T, sel diaktifkan dan
menjalani proliferasi dan membeza menjadi sel plasma penghasil antibodi. Jenis sitokin yang
dihasilkan mempengaruhi kelas antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma. Ini jelas
ditunjukkan dalam gerak balas terhadap antigen bebas timus (diterangkan di bawah). Antigen
ini tidak mengaruh pertukaran kelas atau gerak balas ingatan.
Dalam gerak balas primer, sel T paling berkesan diaktifkan oleh antigen yang diproses
oleh sel dendritik. Sel T teraktif ini kemudian akan berinteraksi dan mengaktifkan sel B
seperti diterangkan di bawah. Dalam gerak balas sekunder sel dendritik tidak diperlukan. Sel
B dan T boleh bekerjasama dengan efisien kerana sel-sel ini telah teraktif. Dalam gerak balas
sekunder sel B memerangkap antigen melalui reseptornya (sIg) dan kompleks antigen-sIg
ditelan, kemudian didegradasi dalam dengan molekul MHC II, diangkut dan diekspres pada
permukaan sel di mana ia akan berinteraksi dengan sel T CD4+. Interaksi ini disertai oleh
interaksi antara beberapa molekul permukaan lain Hasilnya kedua-dua sel B dan T menjadi
teraktif: sel T akan menghasilkan sitokin dan sel B menghasilkan antibodi.
Aktivasi jalur klasik dimulai dengan C1 yang dicetuskan oleh kompleks imun
antibody dan antigen. IgM memiliki sebanyak 5 Fc mudah diikat oleh C1 . meskipun C1
tidak mempunyai sifat enzim, namun setelah dia berikatan dengan Fc dapat mengakifkan C2
dan C4 yang selanjtunya mengkatifkan C3. IgM dan IgG1, IgG2, IgG3 (IgM lebih kuat
dibandingkan dengan IgG) yang membentuk kompleks imun dengan antigen, dapat
mengaktifkan komplemen melalui jalur klasik, jalur klasik melibatkan 9 komplemen protein
utama yaitu C1-C9. Selama aktivasi, protein-protein tersebut diaktifkan secara berurutan.
Produk yang dihasilkan menjadi katalisator dalam reaksi berikutnya. Jadi stimulus kecil dapat
menimbulkan reaksi aktivasi komplemen berantai.
Dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif :
Bakteri (endotoksin)
Jamur, virus, parasit
Zimosan
Agregat IgA (IgA1, IgA2) dan IgG4
Faktor nefritik
C3b dlm jumlah sedikit di dalam serum, dapat mengikat faktor serum yang disebut
faktor B Komplemen ini selanjutnya diaktifkan faktor D dalam serum yang mengikat C3bB
membentuk kompleks imun C3bBD yang berfungsi sebagai konvertase C3 yang melepas
C3a dan C3b. Kompleks C3bBD dengan cepat dipecah oleh protein serum tetapi pemecahan
tersebut dicegah oleh protein lain dalam serum yaitu Properdin .
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Antigen yang masuk ke dalam tubuh akan berikatan dengan reseptor sel limfosit B.
Pengikatan tersebut menyebabkan sel limfosit B berdiferensiasi menjadi sel plasma. Sel
plasma kemudian akan membentuk antibody yang mampu berikatan dengan antigen yang
merangsang pembentukan antibody itu sendiri. Tempat melekatnya antibody pada antigen
disebut epitop, sedangkan tempat melekatnya antigen pada antibodi disebut variabel.
Interaksi antigen-antibodi dapat dikategorikan menjadi tingkat primer, sekunder, dan
tersier.
III. Saran
Sebaiknya kita menjaga kesehatan kita agar imunitas kita dapat berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA